Takwa dan takut dalam Al-Qur’an

Admin Thursday, December 16, 2010
[sebuah kajian semantik Leksikal dan Historis]
Oleh: M. Su’ud, Lc.


A. Pendahuluan
Perkembangan Agama Islam merupakan proses panjang yang bersejarah, sehingga paradigma original perkembangannya dapat dilihat pada konteks kontemporer saat ini. Pada beberapa pendekatan yang terjadi dalam kajian Islam terdapat satu esensial yang dipandang sebagai proses yang paling urgen dan berpengaruh dalam proses perkembangan Islam itu sendiri yaitu “Pendekatan Linguistik-Semantik”. Pendekatan ini merupakan sebuah instrumen ataupun metode efektif terbesar dari species eksistensi manusia guna menfungsikan pemikiran dan mengkomunikasikan berbagai problematika ke-Islaman melalui alat yang dikenal dengan bahasa (semantic).
Dari pengalaman di atas juga memicu terhadap munculnya berbagai ragam kajian atas al-Qur’an yang dimaksudkan untuk senantiasa menggali makna dan pesan yang tekandung di dalamnya. Munculnya ragam kajian dimana al-Qur’an sebagai objeknya sangatlah memungkinkan, karena sebagai teks al-Qur’an bersifat interpretable, bisa memiliki banyak makna (yahtamilu wujuh al-ma’na) sehingga mengandung berbagai kemungkinan ragam penafsiran. Disinilah peranan kajian teks sangat dibutuhkan agar pesan-pesan al-Qur’an bisa diserap secara keseluruhan dan diterapkan dalam kehidupan.
Berdasarkan hal tersebut, Tulisan ini akan mencoba untuk menganalisa kata takwa dan takut dalam al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan semantik baik secara leksikal, dan kemudian diteruskan dengan menelusuri perubahan makna kata yang biasa dikenal dengan semantik historis.

B. Pengertian Semantik
Bila saja kita mengungkapkan sebuah kata ”manusia” atau sebuah kalimat ”saya makan roti di restoran”, maka tentu saja ada sesuatu yang tersirat di dalam kedua ungkapan tersebut dimana memiliki pengertian yang berbeda. Ungkapan pertama secara struktural terdiri dari satu patah kata sedangkan yang kedua terdiri atas beberapa kata yang akhirnya disebut dengan kalimat. Baik informan ataupun orang yang mendengarkan kata dan kalimat tadi, ia akan terpikir ke arah maksud dari pada makna kata dan kalimat tersebut. Akan terbayang pula wujud manusia dan bagaimana makan sepotong roti di sebuah restoran, baik bentuknya, warnanya dan segala aspek yang berkaitan dengannya. Nah dari sini kita sedikit dapat memahami apakah esensi bahasa, yang nantinya dapat dikorelasikan dengan berbagai ilmu pengetahuan lain termasuk di dalamnya terhadap berbagai kajian-kajian Islam.
Para tokoh terkemuka atau kontemporer pada dasarnya memiliki pengertian yang sama akan definisi semantik. Secara universal pengertian semantik merupakan suatu bagian dari tata bahasa yang menyelidiki tentang tata makna atau arti kata dan bentuk linguistik, yang berfungsi sebagai simbol dan peran yang dimainkan dalam hubungannya dengan kata-kata lain dan tindakan manusia. Ia merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna (meaning) atau kajian makna istilah.
Kata semantik berasal daripada bahasa Yunani (Greek) "semantikos" yang berarti "arti yang penting". Berbeda antara semantik dengan sintaksis. Semantik merujuk kepada makna perkataan sedangkan sintaksis merujuk kepada struktur ataupun pola yang formal bagi penyataannya (contoh, secara bertulis ataupun bertutur).
Lehrer (1974) misalnya mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang makna. Baginya semantik merupakan bidang stuktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi. Pengertian yang sama dikemukakan pula oleh Kambartel dimana semantik adalah studi tentang makna, menurutnya semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari stuktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Sedangkan menurut Verhaar (1983) semantik berarti teori makna atau teori arti (Inggris, Semantics, kata sifatnya semantic yang dalam Bahasa Indonesia (BI) dipadankan dengan kata semantik sebagai nomina dan semantis sebagai ajektiva). Kemudian juga Bach K. (1994) Dalam karyanya Conversational Implicature Mind & Language, menyatakan bahwa "To describe a language is to formulate the rules which are internalized by speakers when they learn the language and applied in speaking and understanding it".
Selanjutnya setelah mengetahui makna universal dari pada semantik tersebut, sekarang bagaimana pendapat Izutsu tentang pengertian semantik sebagai pengguna pendekatan tersebut pada berbagai kajian-kajian ke-Islaman (al-Qur’an)?. Dapat dideskripsikan bahwa di sini ia memahami semantik sebagai sebuah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci dari sebuah bahasa dengan sebuah pandangan yang akhirnya sampai pada sebuah pemahaman konseptual Weltanschauung atau yang kita kenal dengan pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat berbicara atau berfikir tetapi yang lebih penting dari hal tersebut adalah mengkonseptualisasikan dan menafsirkan dunia yang melingkupinya. Jadi, semantik adalah sejenis weltanschauungslehre, sebuah kajian terhadap hakikat dan struktur pandangan dunia suatu bangsa saat sekarang atau pada zaman yang sangat penting dari sejarahnya, yang didapati melalui sarana analisis metodologi terhadap konsep-konsep kebudayaan utama yang dilahirkan bangsa tersebut untuk dirinya dan telah menyatu ke dalam bahasa-bahasa kunci dari bahasa itu. Kemudian secara eksplisit Izutsu menyimpulkan bahwa semantik al-Qur’an seharusnya dipahami hanya di dalam pengertian weltanschauung atau pandangan dunia al-Qur’an atau dengan kata lain visi al-Qur’an tentang alam semesta (universe). Dan kenyataan jelas-jelas mengetengahkan sebuah tesis bahwa Islam berbeda dengan kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama yang ada sebelumnya.
Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa semantik adalah sejenis ontologi, satu ontologi yang kongkrit, hidup dan dinamik, bukan semacam ontologi sistematik statik yang dihasilkan oleh seorang ahli falsafah pada tingkat pemikiran yang abstrak. Menurut Izutsu, analisis semantik akan membentuk sebuah ontologi wujud (being) dan eksistensi pada tingkatan yang kongkrit sebagaimana tercermin di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Tujuannya adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur’an dengan penelaahan analitik dan metodologi terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang tampaknya memainkan peranan menentukan dalam pembentukan visi Qur’ani tentang alam semesta. Jadi, semantik yang digunakan oleh sarjana Jepang ini tidak hanya berusaha memahami makna tetapi sekaligus budaya yang terkandung di dalamnya.

C. Jenis-jenis Semantik
Semantik merupakan subdisiplin linguistik yang objeknya adalah makna. Makna dapat dikaji dari banyak aspek seperti teori maupun aliran. Ada banyak sekali jenis-jenis semantik, diantaranya; Semantik Behavioris, Deskriptif, Generatif, Gramatikal, Historis, Leksikal dan semantik Logika. Namun untuk lebih menyingkat pembahasan kami hanya akan menjelaskan dua jenis semantik, yaitu Leksikal dan Historis sebagai berikut ini:
a. Semantik Historis
Semantik historis adalah semantik yang mengkaji sistem makna dalam rangkaian waktu. Palmer (1976: 11) mengatakan ”historic semantic, the study of the change of meaning in time.” semantik tersebut menekankan pada makna dalam rentangan waktu, bukan pada sejarah perubahan bentuk kata. Contohnya; kata juara dahulu bermakna pengatur pesta atau hakim, pada suatu acara menyabung ayam, dan sekarang telah dimaknai dengan seorang yang mendapat peringkat teratas dalam suatu perlombaan.
b. Semantik Leksikal
Merupakan kajian semantik yang lebih memuaskan pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata. Semantik ini tidak terlalu sulit, contohnya adalah sebuah kamus, dimana makna kata diuraikan di dalamnya secara komplit.

D. Kata Takwa dalan Al-Qur’an
Secara etimologis kata ini merupakan bentuk masdar dari kata ittaqâ–yattaqi (اتَّقَى- يَتَّقِىْ), yang berarti “menjaga diri dari segala yang membahayakan”. Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan dengan “berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Kata takwa dengan pengertian ini dipergunakan di dalam al-Quran, misalnya pada QS. Al-Mu’min, 40:45 dan Ath-Thûr 52: 27.
          
Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir'aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk.

     
Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.

Untuk lebih memberikan gambaran yang sempurna akan makna takwa dalam al-Qur’an maka kami rasa perlu untuk menyebutkan pengulangan Kata takwa dalam dalam al-Quran. Kata ini disebut 258 kali dalam berbagai bentuk dan dalam konteks yang bermacam-macam diantaranya:
• Dalam bentuk kata kerja lampau (fi‘l mâdhi) ditemukan sebanyak 27 kali, yaitu dengan bentuk ittaqâ (اِتَّقَى) sebanyak 7 kali, antara lain dalam QS. Al-Baqarah [2]: 189; dalam bentuk ittaqaw (اِتَّقَوْا) sebanyak 19 kali, seperti dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 93; dan dalam bentuk ittaqaytunna (اِتَّقَيْتُنَّ) hanya satu kali, ditemukan dalam QS. Al-Ahzâb [33]: 32. dalam bentuk-bentuk seperti di atas, kata taqwâ pada umumnya memberi gambaran mengenai keadaan, sifat-sifat, dan ganjaran bagi orang-orang bertakwa.
• Kata taqwâ yang diungkapkan dalam bentuk kata kerja masa sekarang (fi‘l mudhâri‘) ditemukan sebanyak 54 kali. dalam bentuk ini, Al-Quran menggunakan kata itu untuk: (1) menerangkan berbagai ganjaran, kemenangan, dan pahala yang diberikan kepada orang yang bertakwa, seperti dalam QS. Ath-Thalâq [65]: 5; (2) menerangkan keadaan atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga ia diharapkan dapat mencapai tingkat takwa, yang diungkapkan bentuk la‘allakum tattaqûn (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُـوْنَ = semoga engkau bertakwa), seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183; dan (3) menerangkan ancaman dan peringatan bagi orang-orang yang tidak bertakwa, seperti dalam QS. Al-Mu’minûn [23]: 32.
• Kata taqwâ yang dinyatakan dalam kalimat perintah ditemukan sebanyak 86 kali, 78 kali di antaranya mengenai perintah untuk bertakwa yang ditujukan kepada manusia secara umum. Obyek takwa dalam ayat-ayat yang menyatakan perintah takwa tersebut bervariasi, yaitu: (1) Allah sebagai obyek ditemukan sebanyak 56 kali, misalnya pada QS. Al-Baqarah [2]: 231 dan Asy-Syu‘arâ’ [26]: 131; (2) Neraka sebagai obyeknya dijumpai sebanyak 2 kali, yaitu pada QS. Al-Baqarah [2]: 24 dan آli ‘Imrân [3]: 131; (3) Fitnah/siksaan sebagai obyek takwa didapati satu kali, yaitu pada QS. Al-Anfâl [8]: 25; (4) Obyeknya berupa kata-kata rabbakum (رَبَّكُمْ), al-ladzî khalaqakum (الَّذِيْ خَلَقَكُمْ), dan kata-kata lain yang semakna berulang sebanyak 15 kali, misalnya di dalam QS. Al-Hajj [22]: 1.
• Kata taqwâ yang dinyatakan dalam bentuk mashdar, ditemukan di dalam al-Quran sebanyak 19 kali. Yang diungkapkan dalam bentuk tuqât (تُقَاة) sebanyak 2 kali dan dalam bentuk taqwâ (تَقْوَى) sebanyak 17 kali. dalam bentuk ini kata taqwâ pada umumnya digunakan al-Quran untuk: (1) menggambarkan bahwa suatu pekerjaan yang dilakukan harus didasarkan atas ketakwaan kepada Allah Swt, seperti dalam QS. Al-Hajj [22]: 37; dan (2) menggambarkan bahwa takwa merupakan modal utama dan terbaik untuk menuju kehidupan akhirat.

Sedangkan Takwa dalam istilah syar‘i (hukum), kata taqwâ mengandung pengertian “menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah Swt. dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya”.
Pernyataan di atas senada dengan pendapat para ulama terdahulu, diantaranya: Imam Ar-Raghib Al-Asfahani mendenifisikan: yaitu menjaga kebersihan jiwa kita dengan meninggalkan saegala sesuatu yang dilarang oleh Allah. Sedangkan Takwa kepada Allah, menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan Tuhan dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya. Hal ini, lanjutnya, hanya dapat terlaksana melalui rasa takut dari siksaan yang menimpa dan rasa takut kepada yang menjatuhkan siksaan, yaitu Allah. Rasa takut itu pada mulanya timbul dari keyakinan tentang adanya siksaan.

E. Analisis Semantik terhadap kata Takwa dan Sinonimnya di dalam al-Qur’an
Sebagaimana disampaikan oleh Izutsu, bahwa banyak cara untuk memahami makna dari satu atau beberapa kata asing. Yang paling sederhana dan umum adalah memberikan kata padanan dalam bahasa orang itu sendiri, tetapi kaidah ini kurang dapat dihandalkan. Izutsu memberikan contoh kata Jerman ”gatte” mempunyai makna yang sama dengan kata Inggris ”husband” (suami di dalam bahasa Melayu). Sarjana Jepang ini memberi contoh beberapa kata Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa lain untuk memahami maknanya, antaranya ”kafir” dapat dijelaskan sebagai persamaan dari ”misbeliever” (orang yang tidak percaya), ”zalim” sebagai ”evil-doer” (orang yang aniaya), ”dhanb” sebagai ”sin” (dosa) dan lainnya. Memang ada beberapa persamaan semantik dari tiap-tiap kata tertentu, namun demikian siapa pun yang mengenali bahasa Arab akan mengakui bahwa persamaan yang akan tampak paling mendekati makna yang dimaksudkan, meskipun sebenarnya jauh dari ketepatan dari kata-kata yang asli. Kata ”zalim” secara tepat tidak dapat disamakan dengan ”evil-doer” dan ”kafir” dengan ”misbeliever”. Terdapat perbedaan sangat esensial yang tak boleh diabaikan. Oleh sebab itu, Izutsu mengemukakan bahwa terjemahan boleh menyebabkan kesalahpahaman dan bahkan menyesatkan. Lalu, bagaimana agar pembaca kitab suci bisa menangkap makna yang dimaksudkan?, beliau menunjukkan sekaligus menyajikan pendekatan semantik yang telah mengalami paradigma.
Ada empat hal penting yang perlu dipahami sebelum menerapkan semantik terhadap teks al-Qur’an yaitu memahami perpaduan konsep-konsep individual, kosa kata, makna dasar dan makna relasional, serta weltanschauung.
Dalam kajian ini penulis akan mencoba untuk melakukan upaya pelacakan penggunaan istilah yang berkaitan dengan akar kata takwa dengan merujuk kepada penelitian Toshihiko Izutsu dalam bukunya Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur’an bahwa pada periode awal kenabian banyak sekali menunjukkan visi eskatologik yang sangat mengesankan. Dan konsep takwa berhubungan erat dengan atmosfir ini. Dengan kata lain, takwa, dalam konteks khusus ini, merupakan kekuatan eskatologik pada malapetaka besar sebagaimana tersurat dalam ayat al-Qur’an:
 ••        
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).

Takut pada hari kiamat yang merupakan motif yang paling fundamental dari agama baru ini, yang mendasari semua aspeknya serta menentukan modus dasarnya. Iman kepada jalan Allah, secara singkat adalah takut kepada-Nya sebagai raja di hari kiamat. Oleh karena itu bagi siapa saja yang menentang perintah Allah, maka mereka akan diganjar atas apa yang telah mereka lakukan
lebih lajut Toshihiko menjelaskan bahwa pada dasarnya takwa bukanlah jenis ketakutan biasa, paling tidak asal-usulnya adalah emosi ketakutan. Hal ini terbukti bahwa al-Qur’an menggunakan sinonim takwa dengan kata-kata yang lain, diantaranya adalah:
1. Khasyah
kata tersebut terkadang digunakan dalam frase analitik yang secara tepat dibuat untuk menerangkan kata muttaqi (sifat dari kata takwa) sebagaimana dijelaskan dalam al-qur’an:
                        
Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat. Dan Al Quran Ini adalah suatu Kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang Telah kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya? (al-Anbiya, 21:48-50)

Kata khasya hampir tanpa kecuali mengambil Allah sebagai objeknya dan bukan manusia. Hal ini dapat kita ketahui ketika ada suatu peristiwa yang menimpa rasulullah dimana suatu ketika Zaid tidak ada di rumah, rasulullah melihat zainab (istri dari Zaid) dan tertarik akan kecantikannya yang luar biasa. Maka Zaenab kemudian memberitahu suaminya mengenai kesan yang dia dapatkan terhadap rasulullah. Berdasarkan hal ini Zaid lalu memutuskan untuk menceraikan istrinya sehingga rasul bisa segera menikahinya. Maka kemudian rasulullah tidak senang dengan tawaran tersebut, karena takut akan timbul prasangka yang buruk dari orang lain. Peristiwa ini terekam di dalam al-Qur’an:

           •         ••           •                  
Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (al-Ahzab, 33:37).


2. Khawf
Kata khawf secara umum menunjukkan emosi asli dari ketakutan, namun pada dasarnya kata ini menunjukkan ketakutan yang disebabkan oleh beberapa fenomena yang luar biasa. Seperti kejadian yang dialami oleh nabi Musa ketika diperingatkan oleh Allah untuk tidak takut menghadapi sihir dari pengikut Fir’aun, dan seyogyanya tetap bertakwa kepada Allah karena hanya kepada-Nya kita harus takut. Hal ini telah digambarkan di dalam al-Qur’an:
      •              
Dan lemparkanlah tongkatmu". Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. "Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku. (an-Naml, 27:10)

3. Rahiba
Kata rahiba sebagai sinonimitas dari kata takwa dapat kita lacak di dalam al-Qur’an yang menegaskan bahwa manusia dilarang untuk menyembah kepada selain Tuhan dan hendaklah kepada-Nya jua mereka merasa takut:
             
Allah berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; Sesungguhnya dialah Tuhan yang Maha Esa, Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut". (an-Nahl, 16:51)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kata Khasya, Khawf, dan Rahiba adalah sinonimitas dari kata takwa. Namun bukan berarti ketiga sinonimitas dari kata takwa tersebut akan selalu mempunyai persamaan makna dengan kata takwa, karena terkadang ketiga kata tersebut murni hanyalah sebuah ketakutan biasa dan tidak ada hubungannya dengan makna takwa.

F. Perluasan Arti Takwa, Tidak Hanya Berarti Takut
Setelah menelusuri makna dasar takwa yang secara umum mempunyai pengertian “takut kepada Tuhan” yang dilaksanakan dengan cara menjauhi larangan-Nya” dan menjalankan semua yang telah diperintahkan-Nya. Barangkali pamaknaan seperti inilah yang masyhur di kalangan umat Islam di masa lalu ketika memberikan arti tentang “takwa”. Namun pada pembahasan kali ini penulis ingin mencoba untuk mendobrak pemahaman yang sempit tersebut dengan mengemukakan beberapa pandangan bahwa sesungguhnya pemaknaan terhadap kata takwa tidakalah terbatas hanya kepada makna seperti di atas.
Di dalam Al-Quran, sering Tuhan menyeru dengan kalimat ittaqu atau yattaqi. Di mana ada tambahan huruf pada asal kalimah waqa, ia membawa perubahan kepada makna Di sini ittaqullah membawa maksud hendaklah kamu mengambil Allah sebagai pemelihara, pembenteng, pelindung. Yaitu hendaklah jadikan Tuhan itu pelindung. Jadikan Tuhan itu kubu atau benteng. Bila sudah berada dalam perlindungan, kubu atau benteng Tuhan, perkara yang negatif dan berbahaya tidak akan, masuk atau tembus. Atau jadikan Tuhan itu dinding dari kejahatan.
Oleh karena itu seyogyanya kata takwa janganlah selalu diartikan takut, sebab takut hanyalah sebagian kecil dari takwa. Dan didalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridla, sabar, dan lain sebagainya. Bahkan lebih luas takwa mengandung arti kata berani, yang demikian itu karena adanya rasa percaya kepada Tuhan, yang diikuti dengan upaya terus-menerus untuk berjalan di jalan yang benar akan menjaduikan orang kehilangan rasa takut dan kesusahan. Karena dalam memelihara hubungan dengan tuhan, bukan saja karena takut, akan tetapi lebih karena adanya kesadaran diri sebagai hamba.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya takwa adalah merupakan himpunan segala sifat-sifat mahmudah yang diperoleh melalui kesadaran penuh bahwa Allah tidak pernah absent dari seluruh kegiatan kehidupan kita. Allah itu maha hadir, hal inilah yang pernah dikatakan oleh rasulullah kepada Abu Bakar waktu bersembunyi di dalam gua tsur dalam perjalanan sangat rahasia untuk hijrah kemadinah ketika dikejar-kejar oleh musuh mereka. Dalam kondisi itu nabi dengan tenang mengatakan, sebagaimana yang terekam dalam al-Qur’an :
                                             
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah Telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia Berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang Tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (at-Taubah, 9:40)

Dari pemaparan ayat di atas, takwa adalah suatu sikap hidup yang didasari oleh kesadaran sedalam-dalamnya bahwa Allah selalu menyertai kita. Sehingga dalam diri kita sendiri timbul suatu keinsyafan untuk melakukan segala sesuatu yang sekiranya Allah akan memperkenankannya. Dan apabila kita menyadari akan hadirnya Tuhan dalam setiap langkah kita, maka kita akan dibimbing kearah budi pekerti yang luhur, dan keseluruhan sifat mahmudah itulah yang dinamakan dengan takwa. Dimana ia membawa keselamatan dunia dan Akhirat.
Berdasarkan penelaahannya mengenai konsep takwa, Mirza Nasir Ahmad, dalam terjemahan The Holy Qur’an-nya yang indah, menterjemahkan muttaqi dengan the righteous, orang yang lurus dan budiman. Walaupun secara harfiah, terjemahan kata tersebut kurang tepat, akan tetapi dapat mewakili pengertian yang lebih mendekati kebenaran. Dalam ketereangannya, jika takwa itu berasal dari kata waqa, maka muttaqi adalah orang yang menjaga dirinya dari yang melukai atau merusak.
Namun kalau ditarik dari kata wiqayah, maka artinya adalah orang yang memakai baju pelindung bukan karena takut, melainkan karena waspada dan berhati-hati. Akan tetapi, kata Mirza, hal ini hanya menggambarkan orang yang selalu menaga dirinya dari perbuatan dosa, tetapi dengan suatu pedoman, yaitu petunjuk dari al-Qur’an itu sendiri guna mengembangkan kemampuan rohani dan kesempurnaan diri.Menurutnya orang yang bertakwa, adalah orang yang memiliki mekanisme atau daya penangkal terhadap kejahatan yang merusak diri sendiri dan orang lain.
Setelah panjang lebar membahas tentang perubahan makna takwa yang lebih luas, maka yang tampak dalam benak kita adalah, bahwa makna takwa mengandung kesadaran vertikal, yaitu hubungan makhluk dengan Tuhannya. Disamping itu kata takwa juga mempunyai kesadaran horizontal, yaitu hubungan dengan sesama manusia. Dua kesadaran tersebut haruslah benar-benar terwujud secara balance (seimbang), sehingga ketika kita mengaku termasuk sebagai orang yang bertakwa, maka hal ini mempunyai dua konsekuensi; harus bersungguh-sungguh dalam membina hubungan baik dengan Tuhan yang diapresiasikan melalui amal perbuatan kita, yaitu dengan melakukan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya; serta, membina hubungan baik dengan sesama manusia dengan mencerminkan akhlaqul karimah.
Ketakwaan yang dinyatakan dalam bentuk amal perbuatan jasmaniah diatas merupakan perwujudan keimanan seseorang kepada Allah Swt. Iman yang terdapat di dalam dada diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan jasmaniah. Oleh sebab itu, kata taqwâ dalam al-Quran sering dihubungkan dengan kata îmân (الإِيْمَان) karena sesungguhnya antara Iman dan takwa merupakan dua sisi mata uang yang sangat sulit untuk dipisahkan dan bahkan kedua-duanya saling membutuhkan. Dengan kata lain, jenjang takwa tidak akan pernah terwujud bila tidak diawali dengan keimanan dan keimanan itu sendiri tidak akan memiliki nilai apa-apa bila tidak sampai ke derajat ketakwaan. Hal ini digambarkan oleh al-Qur’an dalam beberapa surat diantaranya yang terekam dalam dalam al-Qur’an:
   •         
Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan Sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka Mengetahui. (al-Baqarah, 2: 103).

G. Respecting Humanism (Penghormatan kemanusiaan) Sebagai Contoh Aktualisasi Takwa dalam Kehidupan
Dalam rangka memahami takwa secara benar, maka kami rasa perlu mengemukakan efek dari takwa dalam kehidupan sehari-hari, karena pada dasarnya sikap takwa tidak hanya selalu condong kepada urusan akhirat, akan tetapi takwa disini adalah sebuah keseimbangan antara sisi duniawi dan ukhrawi secara bersamaan. Hal ini telah digambarkan dalam al-Qur’an:
              
Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (al-Qasash, 28:83).

Konteks ayat di atas memberikan gambaran bahwa sesungguhnya perbuatan takwa tidak hanya mementingkan urusan ukhrawi (akhirat) saja, melainkan aspek duniawi juga tidak kalah pentingnya untuk kita perhatikan. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan takwa, maka kita juga harus mengerti segala persoalan yang berkenaan dengan masyarakat. Kita tidak boleh melompat kepada kesimpulan tanpa mengerti hal-hal yang ada disekitar kita. Karena gelaja pelompatan biasanya akan melahirkan gejala-gejala absolutime. Berkaitan dengan hal ini, sebagaimana telah digambarkan oleh al-Qur’an di atas, bahwa kebahagiaan di akhirat nanti justru akan disediakan oleh Allah bagi mereka yang juga selalu memperhatikan terhadap sesama, kebahagiaan akhirat di sini bukan disediakan untuk mereka yang adigung-adiguna dan tidak peduli dengan urusan orang lain.
Prinsip yang memandang kemuliaan manusia berdasarkan ketakwaannya dalam Islam sangat jelas tertuang di dalam al-Qur’an, dimana agama telah mengajarkan kepada kita untuk menerapkan achivement orientation atau orientasi prestasi bukan orientasi prestise, soal keturunan, daerah, warna kulit, dan segala sesuatu yang bersifat ascribtive atau kenisbatan tidak boleh dijadikan alat untuk mengukur tinggi rendahnya derajat manusia, karena sksistensi manusia dalam Islam ialah amalnya.
 ••           •      •   
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujuraat, 49:13).

Oleh karena itu kita harus benar-benar menghargai manusia secara menyeluruh, hal ini pernah dijelaskan oleh nabi Muhammad s.a.w. dalam khutbah wada’nya (khutbah terakhir) “wahai manusia, tahukah kamu di hari apa kamu berada? Di bulan apa kamu berada? Dan di tempat mana kamu berada? Semua menjawab, ya rasulullah, kami berada di hari suci, di bulan suci, dan di tempat suci. “ lalu rasulullah mengatakan, “oleh karena itu ketahuilah bahwa darahmu, hartamu, dan kehormatanmu itu suci sampai hari kiamat, sampai nanti kamu menemui Tuhanmu.”
Sebagai wujud dari ketakwaan kita kepada Allah, maka kita harus benar-benar mampu menghargai manusia seutuhnya dengan cara mempererat hubungan Ukhuwah Islamiyah yang dilanjutkan dengan Ukhuwah Insaniyah yang menjadi platform agar mendidik diri kita sendiri dan masyarakat untuk mampu menghargai manusia bukan karena hal-hal yang askriptif seperti kasus kesukuan, identitas kebangsaan, melainkan berdasarkan hasil kerja dan karyanya.
Pada dasarnya kata takwa memang mempunyai dua dimensi yang konsisten dan seimbang -sebagaima dijelaskan dalam pembahasan terdahulu-, dimana takwa di satu pihak mencakup pengertian Iman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab dan para nabi terdahulu, sedangkan di lain pihak disinonimkan dengan nilai birr atau kebajikan seperti memberikan hartanya karena cinta kepada Allah, yang diwujudkan dengan kasih sayang kepada sanak-keluarga, anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan sebagainya, serta diwujudkan dalam prilaku untuk selalu menepati janji, sabar dalam menghadapi kesulitan dan sebagainya. Orang-orang dengan sikap dan perilaku itu disebut sebagai orang-orang yang lurus, dan itulah yang disebut dengan orang-orang bertakwa.
                 •                 •           •        
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.

Dengan mamahami arti takwa dan merealisasiaknnya dalam kehidupan nyata ini, maka kita akan menyadari betapa Islam menganjurkan untuk selalu Ingat kepada Allah dan mengerjakan segala perintahnya serta menjauhi larangannya. Dalam hal ini pengakuan kepada ke-Esa-an Allah saja tidak cukup, akan tetapi kita juga dituntut untuk selalu melaksanakan harmoni di dalam alam dan persaudaraan anatar manusia dan bangsa, sehingga sikap seperti ini akan melahirkan manusia yang mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi.

H. Penutup
Setalah panjang lebar kita membahas tentang makna takwa maka dapat kita simpilkan bahwa makan dasar dari kata tersebut adalah takut, dengan mempunyai sinonimitas kata diantaranya; Khasya, Kawf, dan Rahiba. Namun dari ketiga sinonim tersebut belum tentu bermakna takwa, karena terkadang mereka mempunyai arti yang murni karena takut. Oleh karena itu apabila untuk mengetahui kesamaannya dengan kata takwa harus dilihat konteks ayatnya terlebih dahulu.
Untuk kata takwa selain bermakna takut dalam arti sempit, banyak sekali pemaknaan yang lebih luas dan tidak hanya terpaku pada penghambaan diri kepada Allah sang Khalik, akan tetapi pada dasarnya kata takwa mempunyai dua dimensi yang konsisten dan seimbang, dimana takwa di satu pihak mencakup pengertian Iman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab dan para nabi terdahulu, sedangkan di lain pihak disinonimkan dengan nilai birr (perbuatan baik). Oleh karena itu seyogyanya kata takwa janganlah selalu diartikan takut, sebab takut hanyalah sebagian kecil dari takwa.
*****




DAFTAR PUSTAKA
Asfahani, Raghib al-, Mufradati Alfadz al-Qur’an, Lebanon: Dar el-Fikr, t.t
Attas, Syed Naquib al-, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995.
Barry, Pius A. Partanto & M. Dahlan Al-, Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya: Arloka, 1994.
George, Semantic, London: The English University Press, 1964.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001.
Izutsu, Toshihiko, Konsep-konsep Etika Religius dalam Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana,1993.
______________, Relasi tuhan dan Mnusia: Pendekatn Semantik Terhadap al-Qur’an, Yogyakarta: Tiara Wacana,2003.
Lehrer, Adriene, Semantic Field and lexical structure, Amsterdam: North Hollan Publising, 1974.
Lyons, John, semantic I, Cambridge: Cambridge University Press, 1977.
Madjid, Nurcholish, Pesan-pesan Takwa Nurcholish Madjid, Jakarta: Paramadina, 2000.
Mustaqim, Abdul, “Metodologi Tafsir Perspektif Gender”, dalam Studi al-Qur’an Kontemporer, ed. Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Pateda, Mansoer, Semantik Lesikal, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002.
“Takwa”, http://www.psq.or.id/ensiklopedia_detail.asp?mnid=34&id=85 yang direkam pada April 2008 16:26:58 GMT.
(http://.ms.wikipedia.org/wiki/semantik/#searchInput).


loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar