SEJARAH DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

Monday, May 07, 2018

SEJARAH  DALAM  PERSPEKTIF AL-QUR'AN Oleh Imam Fu’adi 

The one of popularity issues analyzed still researchers is a history. Urgent of this issue, clearly, can be looked at human behavior as product of civilization that always repeats the past achievements, on the one hand, and eliminates the failures to get the better future, on the other hand. There were some literatures accentuated products of the history, and this written wanted to present principle problem concerning the history on al-Qur’an perspective. The problem, perspective al-Qur’an about a history, I think, is special issue, and has not been touched by researchers. In order to, the written need to explore.
Kata kunci : Al-Qur’an, sejarah, manusia.

I. Pendahuluan
Bahwa, al-Qur’an itu merupakan sumber rujukan utama yang menempati posisi sentral bagi seluruh disiplin ilmu keislaman, telah kita sepakati. Kitab suci ini disamping sebagai Hudan (petunjuk), juga Bayyinat Min al-Huda (penyelaras bagi petunjuk-petunjuk tersebut) serta menjadi Furqan (tolak ukur pemisah antara yang benar dan yang salah. Didalamnya terkandung pesan-pesan ilahi kepada manusia. Dari sini tidak heran jika al-Qur’an mendapat perhatian yang besar dari semua pihak yang ingin memperoleh cahaya petunjuk dan atau mengenal lebih dekat ajaran-ajaran Islam.[1]

Dalam pengertian formal, menurut Lukman Abdul Qahar Sumabrata,[2] al-Qur’an dapat dipahami sebagai sebuah kitab, atau lembaran kertas berjilid, dan tertulis di dalamnya diktum berbahasa Arab yang oleh umat Islam dipercaya sebagai wahyu Allah. Sedangkan dalam pengertian esensial, al-Qur’an itu adalah manusia atau alam semesta atau alam semesta itu sendiri. Sebab di dalamnya terdapat berbagai suratan yang mengambarkan struktur kosmik, seperti matahari, sapi betina, binatang ternak, rembulan, manusia, batu, bintang, dan lain-lain.

Dalam hal ini, hubungan antara al-Qur’an sebagai kitab yang berisi sandi tertulis dengan alam semesta dan manusia, bagaikan hubungan antara “ide” dan “realitas”. Oleh karena itu, kedua pemaknaan tersebut tidak bisa dipisahkan secara ekstrim, sebagaimana dalam pengalaman hidup sehari-hari, antara ide dan realitas tidak dapat dipisahkan secara ketat. Antara kata dan benda merupakan dua hal yang saling mewakili, demikian juga terkait satu sama lain dalam benak manusia.

Bagi umat Islam al-Qur’an itu membekali manusia dengan berbagai prinsip dan kaidah-kaidah umum serta dasar-dasar ajaran Islam yang menyeluruh, ia berisikan pesan moral, hukum, etika, dan kisah sejarah kehidupan manusia masa lampau. Sedemikian penting keberadaan al-Qur’an itu, sehingga ia tidak henti-hentinya dijadikan sebagai bahan kajian manusia dari dahulu hingga sekarang. Diantara sekian pengkajian terhadap al-Qur’an itu adalah tentang bagimana pandangan al-Qur’an terhadap sejarah.

Dalam hubungan dengan uraian diatas, makalah ini ingin mendiskusikan seputar pandangan al-Qur’an terhadap sejarah. Agaknya, tema ini belum banyak digagas oleh para mufassir atau ilmuwan-ilmuwan lain, karena itu tema ini boleh dibilang relatif langka. Untuk itu pembahasan dalam makalah ini bersifat pengenalan dan perlu dilakukan upaya tindak lanjut.

II. Karakteristik Pengungkapan Sejarah dalam al-Qur’an
Meskipun al-Qur’an bukan merupakan buku sejarah, tetapi al-Qur’an banyak berbicara soal sejarah. Berbeda dengan berbagai buku-buku sejarah umumnya yang mengungkapkan peristiwa-peristiwa sejarah secara kronologis, al-Qur’an justru memiliki karakteristik tersendiri dalam menceritakan sejarah.  Karakteristik tersebut antara lain adalah pertama, dalam menceritakan peristiwa sejarah, al-Qur’an tidak mengungkapkannya dalam bentuk deskripsi detail yang dirangkai dalam suatu cetita yang utuh dan runtut.[3] Seluruh peristiwa yang ditampilkan al-Qur’an, baik yang bersifat individu maupun kolektif, disajikan secara bebas dan tersebar dalam beberapa surat dan membentuk suatu rangkaian cerita yang terkesan terputus-putus dan berulang-ulang. Namun dibalik penggalan-penggalan historis yang diungkapkan itu, al-Qur’an ingin menampilkan gaya narasi yang unik, yang menekankan pada pendekatan dan perspektif moral dari penggal-penggal historis yang ditampilkannya. Dengan pendekatan ini, al-Qur’an menjelaskan suatu peristiwa sejarah secara lebih mendalam dan mencoba menganalisis dasar-dasar ideologis dan psikologis serta aspek-aspek moral dari peristiwa tersebut.

Dalam beberapa kasus, al-Qur’an mengacu pada fakta sejarah politik dan keagamaan. Akan tetapi yang menjadi perhatian utamanya bukan fakta itu sendiri, melainkan aspek moral yang terkandung dari peristiwa tersebut. Misalnya al-Qur’an menyebutkan ketidakjujuran dalam perdagangan sebagai gejala atau tanda kemerosotan moral. Ditempat lain al-Qur’an menyebutkan bahwa ketidakadilan dan kelaliman adalah musuh dari solidaritas masyarakat, bahwa suatu kemakmuran ekonomi dan kekuasaan politik yang lepas dari tatanan moral-spiritual akan menyebabkan kehancuran dan kekacauan sosial.[4] Kesemuanya itu diletakkan dalam konteks kesejarahan.



Kedua, sejarah manusia yang diungkapkan oleh al-Qur’an adalah sejarah manusia dalam pengertian universal. Ia tidak bicara tentang satu bangsa atau satu kelompok manusia tanpa perbedaan. Oleh karena itu hukum sejarah berlaku bagi siapa saja, bangsa dan umat dimanapun dan hidup dikurun kapanpun. Karena itu menurut Mazheruddin Siddiqi, al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang dapat digunakan sebagai sumber pijakan dalam pengembangan filsafat sejarah.[5] Artinya dari peristiwa-peristiwa sejarah yang ditampilkan al-Qur’an, dapat ditarik prinsip-prinsip umum yang menentukan proses sejarah secara umum dan berlaku bagi seluruh bangsa dan kelompok manusia dimanapun dan kapanpun. Pernyataan-pernyataan al-Qur’an yang berhubungan dengan bangsa-bangsa Arab kuno, bangsa Yahudi, Kristen dapat diterapkan dengan kekuatan yang sama kepada masyarakat muslim. Sesungguhnya ulasan al-Qur’an tentang perilaku dan kehidupan bangsa-bangsa masa lalu itu agar dijadikan pelajaran oleh masyarakat muslim bahwa jika mereka jatuh ke dalam perilaku-perilaku amoral yang menyebabkan kehancuran bangsa-bangsa pra-Islam, maka mereka akan mendapatkan perlakuan yang sama dari Tuhan sebagaimana yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu.[6]

Dengan demikian, hukum sejarah yang berlaku menurut al-Qur’an adalah hukum sejarah untuk semua umat, tanpa pengecualian. Keunggulan suatu umat tergantung dari sejauh mana mereka memegangi prinsip-prinsip moral-spiritual. Dalam hal ini kisah-kisah mengenai Nabi merupakan contoh yang layak bagimana al-Qur’an menggambarkan unsur-unsur moral spiritual yang berhasil membentuk sejarah.

Ketiga, al-Qur’an tidak pernah melebihkan peran individu atas kelompok, begitu juga sebaliknya. Peran yang dimainkan individu dalam membentuk sejarah tetap dihargai, tetapi bukan penentu. Keterlibatan kolektif juga diperhitungkan. al-Qur’an banyak menyebutkan contoh perjuangan para penegak kebenaran, Nabi misalnya, yang berjuang bersama sahabat dan pengikut-pengikutnya.[7]

III. Beberapa Persoalan Sejarah Dalam Perspektif al-Qur’an
1.      Hukum Kesejarahan (Sunnah Tarikhiyyah)

Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (ajal), apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkan barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya ” (QS. Al-A’raf [7]: 34-lihat pula Yunus/10: 49). Ayat tersebut memberikan gambaran bahwa bagi setiap bangsa atau masyarakat, terdapat ajal atau ketentuan waktu tersendiri. Ajal tersebut berbeda dengan ajal yang berlaku bagi setiap individu. Dalam ayat lain Allah juga berfirman: “Dan kami tiada membinasakan suatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan. Tidak pula ada suatu umatpun yang mendahului ajalnya, dan tidak (pula) mengundurkan (nya)” (QS. Al-Hijr [15]: 4-5).

Jika diperhatikan ayat-ayat diatas sesungguhnya mengindikasikan bahwa terdapat hukum kesejarahan, gagasan umumnya adalah penegasan bahwa tiap-tiap umat mempunyai batas waktu seperti yang diungkap dari ayat diatas.

Redaksi ayat diatas menunjukkan bahwa ajal yang ditentukan itu, yang telah dekat atau yang tentang kedekatannya peringatan telah diberikan, merujuk kepada kematian kolektif masyarakat, bukan kematian individu anggota-anggotanya, sebab semua anggota suatu bangsa lazimnya tidaklah mati bersama-sama. Manakala kematian kolektif suatu bangsa disebutkan, itu artinya kematian sosial mereka, bukan kematian individual. Seperti diketahui, secara individual orang mati pada waktu yang  berbeda. Tetapi jika kita melihat mereka sebagai suatu kelompok yang terikat bersama dalam masalah keadilan dan kelaliman, kesejahteraan dan kemiskinan, maka mereka semua memiliki ajal kematian bersama. Kematian sosial ini adalah kematian suatu bangsa.[8]

Kematian suatu masyarakat atau bangsa merupakan konsekuensi logis dari tindakan lalim bangsa tersebut. Konsekuensi-konsekuensi alamiah perbuatan mereka tidak terbatas pada orang yang jahat saja, tetapi juga meliputi seluruh anggotanya tanpa memandang perilaku dan kepribadian masing-masing.[9]

Adanya ketentuan waktu suatu bangsa itulah yang ingin ditunjukkan al-Qur’an sebagai ‘ibrah (pelajaran), “Sungguh telah berlalu aturan-aturan Allah sebelum kamu. Karena itu, mengembaralah dimuka bumi dan perhatikan (dengan sungguh-sungguh) bagimana akibat orang-orang yang mendustakan. Ini adalah penjelasan bagi manusia, petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Ali Imran [3]: 137-8).

2.      Ketidaknetralan dan Selektifitas Proses Sejarah

Menurut al-Qur’an proses sejarah itu tidak netral, tetapi ada intervensi Tuhan dalam menentukan jalannya sejarah. Konsep ini menurut Muthahhari, berbeda secara radikal dengan ajaran Karl Marx dimana gerak sejarah itu diciptakan oleh manusia sendiri dalam pengertian sosial dan ekonominya.[10] Al-Qur’an dalam surat an-Nahl [16] : 28 mengisyaratkan: “Sesungguhnya Allah berada dipihak orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan”. Kata “takwa” di ayat ini menurut Siddiqi,[11] bukan berarti takut pada zat Allah, melainkan pada sunnah Allah yang menguasai proses sejarah. Penafsiran ini diletakkan pada konteks historis pada saat ayat itu diturunkan. Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya (126-7) yang berbicara dalam konteks perjuangan orang-orang Islam melawan orang-orang kafir di makkah.

Dengan meletakkannya dalam konteks historis, ayat tersebut menegaskan bahwa kesadaran akan hukum-hukum Tuhan yang berlaku dalam proses historis yang dibarengi dengan tindak kebajikan yang membawa perbaikan bagi hubungan antar manusia, akan membantu keberhasilan usaha manusia dalam perjuangan (perorangan maupun kolektif) melawan kelaliman dan ketidakadilan. Allah, sebagai penggerak proses sejarah, akan berpihak pada atau memenangkan orang-orang yang menjalankan sejarahnya sesuai dengan hukum-hukum sejarah yang ditetapkan-Nya.

Al-Qur’an sekaligus memberi ketegasan bahwa perbuatan buruk apapun bentuknya tidak akan membawa keberhasilan atau kemakmuran pada manusia. Keberpihakan Allah pada individu atau kelompok yang memiliki standar moral tinggi dengan sendirinya proses sejarah bakal mengalahkan kekuatan-kekuatan yang secara etis dinilai rendah. Al-Qur’an menyebutkan: “Ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan perintah-perintah (kalimat), dia mematuhinya (berhasil melaksanakan ujian). (Itulah sebabnya mengapa) Allah berkata kepadanya, “Aku akan jadikan engkau pemimpin (imam) manusia”. Ibrahim menimpali, tapi bagimana dengan keturunanku? Allah pun menegaskan, “Janjiku ini tidak melibatkan (berlaku lagi) orang-orang yang zalim” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 124).

Pada umumnya, para ulama’ berpendapat bahwa ayat tersebut berkaitan dengan kepemimpinan umat manusia (pemimpin agama dan politik).[12] Berbeda dengan kaum syi’ah, menafsirkan ayat ini karena percaya bahwa adanya imamah merupakan kebutuhan mutlak.[13]

Dengan pengertian imam diatas secara tersirat ayat ini mengemukakan bahwa Allah tidak mempercayakan jabatan pemimpin umat manusia kepada individu atau kelompok yang secara etis dinilai rendah (zalim).[14]

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa proses sejarah itu lebih merupakan ethically oriented. Oleh karena itu, sejarah tidak akan membiarkan suatu kelompok masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan minimum kedailan, perlakuan yang wajar, dan kejujuran terhadap masyarakat lain naik keatas untuk menduduki posisi pimpinan. Prinsip ini tidak mencakup keberhasilan sementara (temporal yang mungkin dicapai oleh masyarakat atau bangsa yang memiliki kekuatan senjata atau kekuasaan materi yang menghancurkan peradaban lain.[15]

Dengan penjelasan diatas sesungguhnya al-Qur’an memberikan pandangan yang jelas mengenai proses seleksi dalam sejarah. Dalam arti sejarah memiliki kemampuan memilih, menyaring atau menyisihkan (selektif) orang-orang yang secara etis-moral kurang layak, digantikan oleh orang-orang yang mampu melahirkan kebudayaan dan peradaban dalam pengertian moral spiritual. Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathi. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya ; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah memberi perumpamaan-perumpamaan.” (QS. Al-Ra’d [13]:17).

Dalam gambaran al-Qur’an diatas, orang-orang yang tersisih ibarat buih, sedangkan orang-orang yang terpilih sebagai air yang tercurah dari langit. Buih sekalipun diatas tidak mempengaruhi kesuburan tanah. Ayat diatas menekankan “kekuatan tahan lama” yang terdapat dalam kebenaran, dan sifat sementara yang terdapat dalam hal-hal yang tidak benar. Keberadaan akan terus berlangsung dan mempengaruhi jalannya sejarah. Dengan demikian proses sejarah merupakan seleksi terhadap kelompok yang mempunyai nilai yang berguna bagi kemanusiaan. Sejarah tidak ditentukan oleh faktor-faktor personal atau impersonal, melainkan oleh suatu nilai guna yang langsung dan permanen terhadap masyarakat,[16] sehingga suatu kekuatan bakal lestari.

Dalam surat Ali Imran [3]:179 Allah berfirman: “Allah tidak akan meninggalkan hamba-hamba-Nya yang percaya dalam keadaan yang sedang mereka hadapi, kecuali bila ia telah memisahkan orang-orang yang zalim dari umat-Nya yang saleh”. Dari ayat ini nampaknya al-Qur’an ingin menunjukkan bahwa sejarah bergerak dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memisahkan orang-orang yang berakhlak baik dari orang-orang yang zalim. Siddiqi menjelaskan bahwa Tuhan menggunakan kekuatan-kekuatan alam tentunya untuk melengkapi pemisahan atau penyaringan yang disebutkan dalam ayat diatas. Kekuatan tersebut adalah jumlah keseluruhan kondisi dimana manusia hidup dan perubahan yang harus mereka alami di dalam kehidupan. Cara manusia menyesuaikan dirinya dengan kondisi dimana manusia hidup dan perubahan yang harus mereka alami di dalam kehidupan. Cara manusia menyesuaikan dirinya dengan kondisi kehidupan yang dihasilkan oleh perubahan sosial dan ekonomi akan nilai-nilai yang lebih baik dari watak serta sikap mental dan spiritualnya, sehingga proses kehidupan itu sendiri merupakan proses yang selektif, dan berusaha untuk menunjukkan proses ini.

Maka dapat disimpulkan bahwa rangkaian sejarah itu sendiri merupakan kekuatan moral yang akan membuat mereka yang bermoral tinggi muncul diatas, sementara mereka yang bermoral rendah akan tenggelam ke dasar. Karena itu, proses sejarah bersifat selektif dalam arti secara moral.[17]

3.      Daya Penggerak Sejarah

Gerak dan perubahan merupakan salah satu sunnah tarikhiyyah. Siapa sesungguhnya yang mendorong gerak dan perubahan sejarah? Dalam perspektif al-Qur’an, sejarah bergerak didorong oleh kekuatan yang bersifat moralistik-idealistik sebagaimana yang disinggung terdahulu. Adapun pelaku (yang menggerakkan) sejarah, al-Qur’an menyebut dua pelaku; Allah dan manusia.[18] Dalam al-Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri mereka (sikap mental mereka)” (QS. Al-A’raf [13]: 11). Perubahan dan gerak sejarah yang dilakukan Allah terjadi secara pasti melalui hukum-hukum kesejarahan yang ditetapkan-Nya.[19] Oleh karena itu, sejarah bersifat ilahiah, sakral, suci, dalam arti ditetapkan Allah. Allah mengoperasikan kekuasaannya melalui hukum-hukum ini.[20]

Namun demikian, kebebasan berkehendak dan pilihan manusia adalah kenyataan yang ditekankan al-Qur’an. Dengan kebebasannya, manusia punya peran penting dalam peristiwa-peristiwa sejarah. al-Qur’an menggabungkan kedua pelaku ini; kemutlakan Allah dengan hukum-hukumnya dan kebebasan manusia (lihat QS. Al-Kahfi [18]:16). Maka sesungguhnya hukum-hukum sejarah tidak berada di luar jangkauan manusia. Hukum itu tunduk pada manusia  --- dengan kemampuannya mengadakan perubahan --- sepanjang perubahan itu baik. Hukum ini sekaligus memberi kesempatan yang positif pada manusia untuk mengungkapkan kebebasan memilihnya. Agar dapat memperoleh kesempatan-kesempatan positif itu manusia harus mengikuti pola hukum yang ditentukan Allah dan mengambil tindakan yang semestinya sebagaimana yang dituntut hukum itu. Disini al-Qur’an meletakkan tanggung jawab manusia yang besar dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Tanggung jawab yang tidak menyangkut individu tetapi juga tanggung jawab kolektif (lihat QS. Al-Dukhkhan [45]: 28-29, 13-15).[21]

4.      Pertarungan Antara Kebaikan dengan Keburukan dalam Sejarah.

Al-Qur’an mengakui adanya konflik berkesinambungan antara kebaikan dengan keburukan di sepanjang sejarah. Secara simbolik konflik ini diawali oleh anak-anak Adam, Habil dan Qabil. Berbeda dengan filsafat Hegelian, Islam tidak menunjuk terjadinya sintesis yang terbentuk antara pertentangan antara kedua kekuatan tersebut (sebagai tesis dan antitesis dalam konsep Hegel). Sebaliknya yang terjadi adalah pergulatan yang saling memusnahkan --- dengan kebikan ditakdirkan sebagai pemenang.[22] Kisah Ibrahim melawan Namrud, Musa melawan Fir’aun dan kisah Ashab al-Kahf [23] adalah beberapa contoh dari pertarungan ini.

Kisah-kisah yang ditampilkan al-Qur’an memang mencerminkan adanya pergulatan antara kebaikan dengan keburukan, kebenaran dan kesalahan sepanjang sejarah. Penjelasan al-Qur’an lewat ayat berikut ini menunjukkan pengakuannya terhadap konflik-konflik tersebut; “Seandainya Allah tidak membenturkan sebagian manusia dengan yang laun pasti rusaklah bumi ini” (QS. Al-Baqarah [2]:251).

Ayat tersebut diatas berbicara tentang pertempuran antara Thalut dan Jalut. Meskipun demikian, keburukan, kesalahan, dan kejahatan, tentu saja memiliki alasan keberadaannya sendiri. Ia akan ada sepanjang sejarah manusia, timbul tenggelam dalam pergulatan melawan kebaikan dan keberadaan. Dalam perspektif moral yang dikedepankan, al-Qur’an menyajikan pergulatan tersebut dalam penggal-penggal historis yang ditampilkannya, sebenarnya untuk dijadikan pelajaran kepada manusia bahwa ada sesuatu yang laten dalam diri manusia, kebaikan dan keburukan yang bakal mengakibatkan kehancuran adalah suatu kemestian. Keburukan, kesalahan, dan kejahatan pada dasarnya tidak memiliki hakikat mendasar dan tidak maujud secara independen; kesemuanya itu bersifat aksidental, relatif,  dan temporal. Adapun kebenaran dan kebaikan adalah abadi dan lestari serta merupakan sumbu sistem wujud dan masyarakat manusia.[24] Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa pertentangan antara kebaikan dan keburukan itu pada akhirnya kebaikanlah yang tampil sebagai pemenang. Al-Qur’an mengindikasikan persoalan tersebut pada ayat-ayat berikut; “Tapi, Kami lontarkan yang hak atas yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itupun lenyap” (QS. Al-Anbiya' [21]: 18), “Sungguh, Kami menolong Rasul-Rasul Kami dan orang-orang beriman dalam kehidupan di dunia dan pada hari kala saksi bangkit” (QS. Al-Mui'min [40]: 51), dan “Dan Sungguh, telah tetap kata Kami serta hamba-hamba Kami para Rasul; sungguh, mereka pasti mendapat pertolongan, sedang tentara Kami itulah yang pasti menang” (QS. Al-Saffat [37] : 171-173).

IV. Sebab-Sebab Terjadinya Disintegrasi Sosial dalam Sejarah
Dalam kaitannya dengan persoalan disintegrasi sosial ini, Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut; “Yang demikian itu karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara semena-mena, sedangkan penduduknya dalam keadaan lengah” (QS. Al-An’am [6]: 131) dan “Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan suatu masyarakat secara zalim, sedang penduduknya ada yang masih berbuat kebaikan” (QS. Hud[11]: 117). Dari kedua ayat tersebut, sesungguhnya al-Qur’an ingin menegaskan bahwa Allah tidak akan menghancurkan suatu masyarakat secara semena-mena selama masyarakat itu tidak menyadari hukuman Allah (maksudnya tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu pada mereka), dan Allah tidak akan menghancurkan suatu masyarakat selama tingkah laku moral para anggota masih berada pada tingkat yang cukup memuaskan.

Pernyataan al-Qur’an di atas memiliki implikasi yang jangkauannya cukup jauh dalam hubungannya dengan sifat proses sejarah. Sebab, sejarah hanya memperhitungkan sifat-sifat praktis dari segala perkara dalam masyarakat manusia dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip abstrak, kecuali bila prinsip itu diterapkan secara afektif ke dalam tindakan. Hal yang relevan bagi sejarah bukanlah apa yang dipikirkan manusia,melainkan apa yang dilakukan.[25]

Kenyataan penting lainnya adalah bahwa sejarah tidak pernah melibatkan orang tanpa disadari. Namun harus ditegaskan, jika suatu masyarakat tidak mengindahkan peringatan yang diberikan sejarah seperti perang, huru-hara, kekeringan, kelaparan, atau ledakan sosial --- yang menjadi tanda bahwa ada yang tidak beres dalam sistem sosial --- maka hukum sejarah ajal pasti akan menimpa mereka.

Adapun mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial, jatuh dan hancurnya suatu masyarakat, al-Qur’an menyebutkan beberapa faktor, antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, gagasan umum penyebab paling utama kehancuran suatu masyarakat adalah ketidakadilan, kelaliman, dan penindasan.[26] Allah berfirman: “Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduknya) di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari. Maka tidak adalah keluhan mereka waktu datang kepada mereka siksaan Kami, kecuali mengatakan, “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim” (QS. 7: 4-5). Contoh yang dapat diambil dari faktor ini adalah kisah Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan mejadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan mereka, menyembelih anak-anak laki dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sungguuh, dia termasuk orang-orang yang berbuat kesusahan (QS. Al-Qashash/28 : 4).

Al-Qur’an mengutuk Fir’aun karena ia berlaku sewenang-wenang dan tidak mau tunduk kepada hukum Allah. Yang lebih penting lagi bahwa nafsu superior dan gila kekuasaan mendorongnya untuk menyatakan banwa dirinya adalah tuhan, yang membuatnya memperlakukan orang lain sebagai budak. Kebijakan deskriminasinya yang berdasarkan ras dan superior kelompok telah menjadi masyarakat menjadi dua kelompok yang saling bertentangan. Ia menghinakan Bani Isra’il dengan membunuh keturunan laki-lakinya dan membiarkan hidup perempuan sebagai obyek seksual Fir’aun beserta pengikutnya. Al-Qur’an menyebutnya sebagai pembuat kerusakan mufsid dengan maksud mengutuk pelanggaran-pelanggaran semacam itu terhadap masyarakat karena bakal menghancurkan pondasi masyarakat bersangkutan.[27]

Kedua, pelanggaran yang dilakukan orang yang bergaya hidup senang, mewah, bersikap hedonisme, sehingga mengakibatkan kerusakan sosial yang pada akhirnya menyebabkan hancurbya masyarakat mereka. Allah berfirman: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri,, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudiam Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya… Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” (QS. Al-Isra' [17]: 16 dan 18).

Al-Qur’an tampaknya tidak henti-hentinya menekankan bahwa melimpahnya barang-barang materi (kemakmuran ekonomi) memiliki kecenderungan untuk merusak moral suatu masyarakat, tapi keadaan ini dapat ditanggulangi bila masyarakat merasa takut kepada Allah dan bila agama mereka jadikan sebagai alat kontrol moral yang kuat. Al-Qur’an menyatakan: “Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam hidupnya; maka itulah tempat kediaman mereka yang telah tiada didiami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebahagian kecil. Dan Kami adalah pewaris (nya)” (QS. Al-Qassas [28]: 58).

Menurut Al-Razi seperti disitir oleh Siddiqi, maksud ayat tersebut adalah bahwa banyak kota atau masyarakat yang didiami orang-orang yang hidup dalam keejahteraan dan kemewahan sambil menikmati fasilitas hidup tersebut, sehingga akhirnya mereka sombong dan terkalahkan oleh sikap menipu diri sendiri. Terlebih lagi mereka tidak memenuhi kewajiban terhadap Allah dan sesama manusia mengingat rahmat dan karunia yang telah mereka terima.[28]

Ketiga, penolakan terhadap seruan Nabi sebagai pembawa risalah. Sejarah telah membuktikan, selalu ada kaitan negatif dan kontradiktif antara misi Ilahi yang dibawa Nabi dalam kehidupan sosial dengan posisi yang diambil oleh penguasa atau orang-orang yang congkak dan bergaya hidup mewah.[29] Kisah Musa dan Fir’aun menunjukkan kaitan negatif antara kelaliman penguasa dengan pembawa misi Ilahi. Al-Qur’an menyebutkan: “Kemudian Kami utus Musa sesudah Rasul-rasul itu dengan membawa ayat-ayat Kami kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya, tetapi mereka mengingkari ayat-ayat itu” (QS. Al-A’raf [7]: 103). Setelah menguraikan pembicaraan antara Musa dan Fir’aun ketika Fir’aun meminta bukti kebenaran ajaran yang dibawanya, Musa menunjukkan bukti dengan mengubah tongkat Fir’aun menjadi ular berbisa. Qur’an mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin Mesir menuduh Musa sebagai penyihir yang bermaksud mengusir bangsa Mesir dari tanah air mereka. Para pembesar Mesir menasehati Fir’aun untuk memanggil ahli-ahli sihir. Musa berusaha meladeni tantangan mereka. Setelah Musa berhasil mengalahkan mereka semua, akhirnya penyihir-penyihir itu menyerah dan menerima agama Musa (lihat Q.S. Yunus [10] : 76-79, 82-85, 89 dll).

Kisah di atas memberikan beberapa indikasi. Pertama, dalam usaha menekan Musa, Fir’aun dan pengikutnya berusaha menyudutkan Musa sebagai “pemberontak”, perebut kekuasaan yang sah, dan pengubah tatanan sosial yang mapan. Kedua, kecongkakan, kemewahan duniawi, dan pertentangan supremasi, gengsi dan status quo membuat mereka menolak kebenaran yang paling murni meskipun sebenarnya kebenaran itu dapat dipahami dengan baik. Dengan alasan yang hampir sama, begitu juga pengalaman yang dihadapi oleh Nabi Syuaib menghadapi kaum Tsamud (QS. Hud [11]: 62).

Ketiga, timbulnya sikap hidup mewah dan berlebih-lebihan tanpa diimbangi oleh moral-spiritual. Jikalau orang tetap dapat hidup dalam kemewahan tanpa kehilangan nilai-nilai moral dan spiritual yang dapat menjaga masyarakat dari kekacauan moral dan sosial, mungkin mereka akan bebas dari akibat buruk yang timbul dari hidup sejahtera dalam tempo waktu yang lama. Allah berfirman: “Sekiranya penduduk kota beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. Al-A’raf [7]:79). Ayat tersebut sebenarnya ingin menunjukkan bahwa kemakmuran dan kekayaan dapat berjalan bersamaan dengan kehidupan spiritual yang seimbang dan masyarakat yang bermoral sehat asal saja tidak terjadi kekurangan dalam alam kepercayaan dan tingkah laku. Walaupun demikian, keadaan ini membutuhkan usaha khusus dari orang-orang yang dipercayakan sebagai pemimpin sosial, keagamaan dan politik dalam masyarakat tersebut.

Al-Qur’an secara konsisten memperingatkan orang-orang dari kerusakan moral yang ditimbulkan dari kebiasaan hidup mewah yang berlebihan, kecuali ada kendali moral yang kokoh. Akan tetapi ada masalah mendasar yang berhubungan erat dengan keadaan stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi yang jadi pusat perhatian al-Qur’an, yakni munculnya penyakit-penyakit moral-spiritual sebagai akibat logis dari keadaan itu. Al-Qur’an memberikan contoh terhadap kecenderungan ini lewat penggal-penggal historis bangsa, “Ad, Tsamud, Madyan, Kaum Saba’, dan pelanggaran umat Yahudi terhadap hari Sabath. Terhadap semua bangsa itu, al-Qur’an menceritakan keberhasilan dan prestasi yang mereka capai diberbagai bidang ; arsitektur, filsafat, ilmu, seni, militer, sistem pertanian, dan sebagainya sekaligus menunjukkan kegagalannya membangun peradaban yang berlandaskan nilai-nilai etis-moral-spiritual.[30]

Disintegrasi sosial yang dialami oleh beberapa bangsa terdahulu dilukiskan dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, beberapa contoh diantaranya akan diungkap dalam  artikel ini. Bangsa Arab paling tua yang diungkap al-Qur’an adalah bangsa ‘Ad-Iram. Berdasarkan beberapa penemuan, mereka adalah keturunan Sam, Putra Nabi Nuh, yang kemudian mendirikan kerajaan di Jazirah Arab (Yaman) dimana ada bukti bahwa Nabi Hud yang diutus kepada mereka dikuburkan di Yaman.[31]

Menurut al-Qur’an, bangsa ‘Ad adalah bangsa yang kuat, tetapi sayang mereka sombong (Q.S. Fussilat [41]:15), kejam dan bengis, serta tenggelam dalam pengejaran duniawi dengan membangun benteng-benteng megah dan kokoh (Q.S. al-Syu'ara' [26]: 128-30). Tetapi justru inilah yang menjadi faktor kehancuran mereka. Nabi Hud yang diutus kepada mereka tidak membuatnya berhenti dari usaha pengejaran diniawi (al-Syu'ara' [26]:132-134).

Al-Qur’an dalam memandang perilaku bangsa Tsamudpun tidak jauh dari bangsa ‘Ad. Mereka memiliki keahlian teknologi yang tinggi, tetapi kemudian menjadi sombong (Q.S. al-A'raf [7]:73-5). Kemakmuran ekonomi dan hasil pertanian yang melimpah membuat mereka serakah dan memuaskan kesenangan fisik semata. Nabi Shalih yang diutus untuk menyadarkan mereka akan akibat perilaku itu ditentangnya hibis-habisan (al-Syu'ara' [26]:141-52).

Mengenai kepunahan bangsa Madyan, umat Nabi Syuaib, al-Qur’an memberi penekanan bahwa praktek-praktek dagang yang tidak etis seperti mengurangi takaran dan timbangan, melakukan pencatutan terhadap pelanggan, penggelapan milik orang lain, dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia itulah yang mengakibatkan mereka ditenggelamkan dari percaturan sejarah kemanusiaan (Lihat, Q.S. al-A'raf [7]: 25-26, Hud [11]: 84-87, dll).

Selain itu bangsa yang bersekutu dengan bangsa Madyan, yaitu penduduk Aikah, yang juga menolak kehadiran Nabi Syuaib sebagai Nabi mendapat peringatan keras dari Allah dengan mengirim angin beracun yang mengakibatkan hawa panas dan kekeringan yang berkepanjangan, serta terik matahari yang menyengat membuat kepala, kaki, dan daging mereka terkelupas. Mereka semua binasa, tinggal orang-orang yang  mempercayai Nabi Syuiablah yang selamat dari malapetaka (Lihat al-Syu'ara' [26]:176-83).

Dari uraian diatas dapat ditarik pelajaran bahwa kekayaan, kemakmuran ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem militer yang kuat tidak menjadi jaminan kekuatan dan ketahanan suatu bangsa jika tidak diimbangi dengan kekokohan moral-spiritual yang dilandasi oleh nilai-nilai absolut (agama, nilai-nilai Ilahi). Justru banyak terjadi kemajuan-kemajuan material yang dicapai suatu bangsa menjadi sebab kemerosotan moral yang pada gilirannya membawa kepada adanya disintegrasi sosial.

V.    Keismpulan
Al-Qur’an mempunyai gaya narasi tersendiri dalam mengungkapkan peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu. Hal ini menjadi corak tersendiri yang membedakan al-Qur’an sebagai sumber informasi kesejarahan jika dibandingkan dengan buku-buku sejarah pada umumnya. Dengan cara yang demikian al-Qur’an berusaha menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu yang dapat diambil pelajaran dari pesan-pesan yang diberikannya.

Sejarah yang diungkap oleh al-Qur’an merupakan “sejarah hidup”. Peristiwa-peristiwa sejarah tersebut seakan-akan mengajak berdialog dengan para pembacanya untuk memperhatikan aspek yang sangat mendalam dan asasi dari proses historis. Bahwa ada hukum yang bekerja dalam proses historis yang sifatnya universal, suci, bersifat ilahi, dan karenanya berlaku untuk semua manusia, semua bangsa dan semua masyarakat dalam segala zaman.

Dalam perspektif al-Qur’an, faktor moral dalam sejarah memiliki keunggulan tersendiri. Faktor ini dapat melestarikan bangsa dari kebinasaan. Hal ini sangat rasional karena faktor moral berimplikasi langsung dalam kehidupan praktis, sebagai parameter kepribadian dan tingkah laku suatu bangsa atau masyarakat. Faktor moral ini menjadikan suatu kelompok masyarakat atau bangsa menjadi pemenang dalam pertarungannya dengan faktor-faktor lain.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Alusi, Mahmud. Ruh al Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al Adhim wa Sab al-Matsani, Jilid I. Dar al-Fikr al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1994.

Al-Aththar, Daud. Mujaz ‘Ulum al-Qur’an, penerjemah Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad. Pustaka Pelajar, Bandung, 1994.

Muhtasib, Al-Salam, Abd, Majid, Abdul. Ittijahat al-Tafsir fi al-Ash al-Hadits. Dar al-Fikr, Beirut, 1973.

Mutahhari, Murtaza. Menguak Masa Depan Umat Manusia, Suatu Pendekatan Filsafat Sejarah. Pustaka Hidayah, Jakarta, 1991.

Muthahhari, Murtadha. Masyarakat dan Sejarah, Kritik Islam Atas Marxisme dan Teori Lainnya. Mizan, Bandung, 1995.

Al-Nadwi, Ali, Hasan, Abu. Faith and Materialism, The Massage of Surah al-Kahf. Academy Islamic Research an Publication, India, 1976.

Rahman, Afzalur. Quranic Science, Penerjemah H. M Arifin, M. Ed. Bina Aksara, Jakarta, 1980.

Al-Shadr, Baqir. Trends of History in Qur’an, Penerjemah M.S. Nasrullah. Pustaka Hidayah, Jakarta, 1993.

Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur’an. Mizan, Bandung, 1997.

Siddiqi, Mazheruddin. Konsep al-Qur’an Tentang Sejarah, Penerjemah Nur Rachmi Cs. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986.

Sumabrata, Qahar, Abdul, Lukman. Pengantar Fenomenologi al-Qur’an, Dimensi Keilmuan di Balik Mushaf Utsmani. Grafikatama Jaya, t.t.p., 1991.

Suryanegara, Mansur. Menemukan Sejarah Wacana Islam di Indonesia. Mizan, Bandung, 1996.

* Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tulungagung

[1] Daud al-Aththar, Mujaz ‘Ulum al-Qur’an, penerjemah Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad. (Bandung: Pustaka Pelajar, 1994), 7.

[2] Lukman Abdul Qahar Sumabrata, Pengantar Fenomenologi al-Qur’an, Dimensi Keilmuan di Balik Mushaf Utsmani. (t.t.p.: Grafikatama Jaya, 1991),  11.

[3] Abdul Majid Abd Al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-Ash al-Hadits. (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), 131.

[4]Mazheruddin Siddiqi, Konsep al-Qur’an Tentang Sejarah, Penerjemah Nur Rachmi Cs. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 49-50.

[5]Mazheruddin Siddiqi, Konsep al-Qur’an ,  54.

[6]Ibid.

[7]Ibid., Lihat pula Murtaza Mutahhari, Menguak Masa Depan Umat Manusia, Suatu Pendekatan Filsafat Sejarah. (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 59.

[8]Baqir al-Shadr, Trends of History in Qur’an, Penerjemah M.S. Nasrullah. (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), 80.

[9] Ibid.,  79-81.

[10]Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, Kritik Islam Atas Marxisme dan Teori Lainnya. (Bandung: Mizan, 1995), Bab VII dan VIII.

[11] Mazheruddin Siddiqi, Konsep al-Qur’an ………,. 2.

[12]Mahmud al-Alusi, Ruh al Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al Adhim wa Sab al-Matsani, Jilid I. (Beirut: Dar al-Fikr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 374.

[13] Siddiqi, Konsep al-Qur’an  3.

[14] Al-Razi, Mafatih al-Ghaib. (Kairo: t.p., 1308 H), 473-86.

[15] Siddiqi, Konsep al-Qur’an ………, 3-4.

[16] A. Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1996), 51.

[17] Siddiqi, Konsep al-Qur’an ,  9.

[18] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1997),. 246.

[19] Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah,  211.

[20] Baqir al-Shadr, Trends of History, 89-92.

[21]Ibid.,. 92-5.

[22] Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah , 186.

[23] Baca pada Abu Hasan Ali Nadwi, Faith and Materialism, The Massage of Surah al-Kahf. (India: Academy Islamic Research an Publication, 1976).

[24] Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah,. 185.

[25] Mazheruddin Siddiqi, Konsep al-Qur’an , 20-1.

[26] Ibid.,. 23.

[27]Muthahhari, Masyarakat dan , 203.

[28]Siddiqi, Konsep al-Qur’an , 27.

[29] Baqir al-Shadr, Trends of History,  85.

[30]Afzalur Rahman, Quranic Science, Penerjemah H. M Arifin, M. Ed. (Jakarta: Bina Aksara, 1980), 128-9.

[31]Siddiqi, Konsep al-Qur’an , 67-9.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar