ISLAM DAN MENSTRUAL TABOO SUBORDINASI PEREMPUAN DAN MITOS

Monday, May 07, 2018

ISLAM DAN MENSTRUAL TABOO

Oleh. Evi Mu’afiah.*
Abstract
Menstrual taboo merupakan pemahaman masyarakat sepanjang sejarah yang menganggap menstruasi sebagai kutukan. Pemahaman ini telah merugikan posisi perempuan dalam relasi dengan kehidupannya. Tulisan ini, secara sepintas lalu, mengungkap tentang pandangan Islam terhadap isu tersebut.
Isu menstrual taboo ini dirasakan sebagai sesuatu yang sangat penting bagi Islam mengingat ia menjadi dasar bagi pola pikir, laku, dan tata nilai masyarakat dalam memandang perempuan. Islam memandang bahwa mitos seputar isu itu dan implikasi negatif darinya sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi nilai persamaan antara laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan doktrin beberapa agama yang memandang menstruasi sebagai kutukan atas kesalahan Hawa ketika di surga, Islam memandangnya sebagai suatu takdir yang menegaskan harmonitas kehidupan manusia.
Kata Kunci : Menstrual Taboo, Mitos, Subordinasi Perempuan, Islam

A. Pendahuluan
Gejala menstruasi adalah gejala yang hanya dialami oleh perempuan. Sementara laki-laki tidak. Menstruasi merupakan “tamu” rutin yang datang setiap sebulan sekali. Pada saat menstruasi, perempuan terlihat lemas, bermalas-malasan, mudah tersinggung, bahkan tidak jarang mereka panas sekujur tubuh (sakit). Kegiatan yang ada menjadi terganggu, menjadi tidak tuntas. Di sisi lain, perempuan yang sedang menstruasi menjadi memiliki kegiatan individual tambahan berupa, menjaga agar darah menstruasi tidak tercecer, selalu melakukan pembersihan, dan menjaga diri dari akibat yang ditimbulkan menstruasi untuk selalu stabil. Keadaan seperti itu tidak dialami laki-laki.
Beban berat perempuan saat menstruasi sebagaimana digambarkan di atas pada realitas sosial justru dipahami oleh masyarakat sebagai kelemahan perempuan. Hal ini berdampak pada rendahnya daya tawar posisi perempuan dalam segala lini. Misalnya, perusahaan memberikan upah murah kepada perempuan karena perempuan selalu memiliki saat di mana ia lemas karena menstruasi, kehamilan, melahirkan, dan sebagainya. Dalam wilayah publik yang lain, perempuan dianggap tidak memiliki kecakapan apapun lantaran ketidakstabilan emosi saat menstruasi terjadi. Sehingga dengan menstruasi kedudukan perempuan menjadi di bawah laki-laki. Dalam konteks kerja kewilayahanpun perempuan hanya bisa di ruang domestik.

Anggapan masyarakat itu telah dipengaruhi mitos-mitos yang berserakan di masyarakat yang disemangati oleh doktrin-doktrin agama. Karena itulah dapat dibanyangkan betapa kuatnya pemahaman menstrual taboo itu di benak masyarakat sepanjang zaman. Bagaimana dengan doktrin Islam? Tulisan ini mencoba secara sederhana mengkaji bagaimana doktrin Islam tentang menstruasi dan mitos yang berkembang di sekitarnya yang akhirnya dapat tergambar bagaimana sesungguhnya cita-cita Islam tentang kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, pembahasan tentang definisi, sejarah, dan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat mengenai menstrual taboo perlu dipaparkan terlebih dahulu.

B. Istilah Menstrual Taboo

Secara bahasa, menstrual taboo merupakan kumpulan dua kata (term) yang secara sederhana menstrual berarti menstruasi dan taboo bermakna larangan (forbiden), tabu, pantangan. Menstruasi merupakan gejala rutin yang dialami perempuan normal di mana proses biologis luruhnya dinding sel telur akibat tidak terjadinya pembuahan dan keluar dalam bentuk darah. Makna itu tentu saja berdimensi biologis, karena hal itu terjadi dalam proses alamiyah dalam raga manusia (khususnya perempuan) berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Pada masa tertentu semua perempuan mengalami proses seperti itu, di manapun ia berada dan dalam bentuk apapun ia terlahir.
Istilah taboo sesungguhnya mempunyai arti sesuatu yang dianggap tidak layak dan tidak sopan untuk dilakukan. Dalam sebagian besar masyarakat Jawa, istilah tersebut diidentikkan dengan “pamali”. Pensifatan atau perbuatan yang dianggap pamali, kadang-kadang tidak saja mencerminkan sikap unethical seseorang, lantaran tidak sesuai dengan tradisi yang dikembangkan leluhur (mitos), tetapi juga oleh masyarakat dianggap memiliki implikasi negatif (baca: kuwalat). Oleh karena itu istilah ini sedikit mengandung ancaman.

Penggabungan dua term di atas, menstrual taboo, karenanya, memiliki pengertian bahwa darah menstruasi adalah darah kotor yang mengandung penyakit dan menjadi bawaan bagi perempuan sehingga ia tidak saja menunjukkan kelemahan perempuan tetapi juga dipercaya dapat mengundang bahaya.[1] Anggapan miring masyarakat secara turun-temurun seperti itulah yang kemudian memunculkan istilah tersebut, di mana masyarakat menjadi terlarang (forbiden, tabu) untuk membicarakan lagi karena kejelasan akan kekotoran dan pengaruhnya yang buruk. Masyarakat merasa harus mengisolasi dan mengkarantina perempuan yang sedang menstruasi agar terhindar dari aura negatifnya.

Namun, menurut Lara Owen, yang dikutip oleh Nasaruddin Umar, istilah menstruasi tidak dapat terlepas dari makna teologis. Kata menstruasi (mens) berasal dari bahasa Indo-Eropa. Akar katanya adalah manas, mana, atau men, juga sering menjadi maa yang artinya sesuatu yang berasal dari dunia gaib kemudian menjadi “makanan” suci (divine “food”) yang diberkahi lalu mengalir ke dalam tubuh dan memberikan kekuatan bukan hanya pada jiwa, tetapi juga fisik. Mana juga berhubungan dengan kata Mens (Latin) yang kemudian menjadi kata mind (pikiran) dan moon (bulan). Keduanya mempunyai makna yang berkonotasi sebagai kekuatan spiritual. Dalam bahasa Yunani, Men berarti Month (Bulan).[2]

Teologi menstruasi di atas, menurut Umar, dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi. Prilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan.[3]

Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap sebagai darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus (menstrual huts), suatu gubuk khusus dirancang untuk tempat hunian perempuan menstruasi atau mengasingkan diri di dalam goa-goa, tidak boleh bercapur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu. Yang lebih penting ialah tatapan mata (menstrual gaze) dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan “mata iblis” (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai macam bahaya. Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.[4]

Dari beberapa gambaran di atas menunjukkan bahwa menstruasi tidak dapat dipahami sekedar dari perspektif biologis, sebagaimana pemahaman sebagian masyarakat modern, tetapi juga berakar dari perspektif teologis di mana pemahaman ini justru lebih mendarahdaging dalam jantung peradaban manusia sejak dulu. Oleh karena itu pembahasan selanjutnya penting ditampilkan sejarah munculnya pemahaman tersebut dan bagaimana teologi menstruasi, pemahaman bahwa menstruasi merupakan kutukan, berbaur dengan mitos yang berkembang dari mulut ke mulut (oral tradition) ke berbagai belahan bumi.

C. Sejarah Munculnya Menstrual Taboo
Menelusuri sejarah atau asal-usul menstruasi sulit dilakukan. Data-data kongkrit yang menjadi bukti bagi kapan mulai adanya gejala menstruasi bagi perempuan sulit ditemukan. Apakah ketika perempuan itu ada di bumi? Kalau memang benar sejak kapan perempuan itu ada di bumi? Dan mengapa dia mengalami menstruasi?

Yang dapat ditelisik adalah implikasi dari menstruasi itu sendiri bagi perempuan dalam setiap peradaban manusia. Dalam masyarakat primitif, misalnya, tugas kaum pria adalah berburu (hunting), sedangkan kaum perempuan yang menstruasi di rumah mengingat banyak daerah yang terlarang untuknya. Karena tidak mungkin menyerahkan kerja perburuan kepada perempuan yang sedang menstruasi. Demikian juga pada masyarakat agraria, kaum laki-laki tidak menyerahkan pekerjaan cocok tanamnya kepada perempuan yang sedang menstruasi, karena gangguan itu membuatnya tidak mempunyai kekuatan, dan bahkan juga diyakini dapat mengakibatkan penyakit bagi tanamannya.[5] Pada beberapa suku bangsa juga melarang perempuan yang menstruasi mengikuti upacara adat. Ia dianggap kotor, dekil dan sakit serta tidak seimbang.[6] Namun, semua itu tidak menunjukkan kapan dan sebab apa perempuan mengalami menstruasi.

Beberapa penjelasan dari doktrin agama mungkin dapat dijadikan sebagai jawaban. Menstruasi sebagai sesuatu yang tabu sebenarnya berawal dari konsep dosa warisan (original sin) yang dikesankan di dalam Yahudi dan Kristen. Dalam Kitab Kejadian 3: 12 dikatakan bahwa perempuan (Hawa) yang menemani manusia pertama (Adam) telah memberikan buah dari pohon terlarang. Maka perempuan tersebut diberikan sanksi berupa kepayahan saat mengandung, kesakitan saat melahirkan, bernafsu terhadap suami dan dikuasai suami (Kitab Kejadian 13: 16). Sedangkan dalam Kitab Talmud, secara lebih terperinci, disebutkan bahwa akibat pelanggaran yang dilakukan Hawa di surga, maka para perempuan secara keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan;[7] (1) perempuan akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami Hawa, (2) perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit, (3) perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya yang membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan hingga dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti diharapkan, (4) perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri, (5) perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua, (6) perempuan akan merasa sakit pada waktu melahirkan, (7) perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki, (8) perempuan masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi, (9) perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya, dan (10) perempuan lebih suka tinggal di rumah.

Doktrin agama inlah yang dianggap paling kuat mempengaruhi pemahaman masyarakat sepanjang abad. Teks dan doktrin itu telah diinterpretasikan dan direinterpretasikan dari generasi satu ke generasi yang lain sehingga nampak begitu sulit untuk berubah. Dari itu pula muncul mitos-mitos seputar menstruasi di kalangan masyarakat dalam setiap peradabannya. Mitos-mitos tersebut berkembang tidak saja mengulang dari mitos-mitos yang telah ada, tetapi juga memunculkan mitos-mitos baru yang secara prinsip mempunyai maksud yang sama. Dalam konteks inilah menstrual taboo yang dianggap sebagai kutukan berkembang secara variatif yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya, dari satu masa dengan masa lainnya.

D. Mitos Seputar Menstruasi
Mitos secara sederhana adalah berbagai pandangan, pendapat, persepsi, dan kepercayaan tentang suatu hal yang dipercaya oleh masyarakat karena dianggap benar, padahal belum tentu benar. Bahkan ia tidak saja berhenti pada wilayah persepsi atau kepercayaan saja, tetapi pada wilayah sikap mitos juga diaplikasikan. Beberapa tradisi dan budaya di berbagai daerah yang berangkat dari mitos menstruasi telah membuat perempuan menerima akibat sikap, fisik dan psikis yang menyengsarakan.
Misalnya, masyarakat di Afrika menganggap perempuan yang sedang menstruasi sebagai perempuan yang tidak suci dan berbahaya. Perempuan ini tidak boleh hadir di gereja atau pertemuan ritual suci lainnya. Mereka dianggap berada pada masa pengasingan dan tak bertangan. Mereka harus tinggal di pondok khusus dan tidak boleh makan bersama keluarganya.[8]

Dalam tradisi India, menstruasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak bersih, sehingga berada di bawah pengaruh Ahriman (roh jahat). Pada jalan-jalan tertentu di setiap desa terdapat rumah untuk mengisolasi perempuan yang sedang menstruasi. Apa pun yang disentuh oleh perempuan menstruasi menjadi tidak bersih dan jika mereka menggendong anak mereka, maka badan anak tersebut harus dicuci dahulu sebelum dibawa keluar dari rumah tersebut. Hubungan seksual dengan perempuan menstruasi akan mendapatkan hukuman berat. Perempuan ini mendapat jatah makanan yang sangat terbatas yang diletakkan dalam bejana metal. Makanan ini diberikan oleh seseorang yang harus dibungkus tangannya. Pada akhir masa menstruasi, perempuan ini harus mandi, mencuci pakaian dan tempat tidurnya. Namun perlakuan ini sekarang agak berbeda. Perempuan menstruasi tidak lagi berada di rumah yang terpisah namun cukup berada dalam kamar pribadi di lantai atas rumah mereka. Selain diasingkan, perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh memasak, mengambil air, menari atau berkorban.[9]

 Tradisi Jepang kuno lebih sadis lagi memandang perempuan menstruasi. Bahkan terhadap seluruh perempuan dalam keadaan apapun. Perempuan dianggap sebagai sumber kotoran. Mereka dicegah dari jabatan penting dan praktek peribadatan keagamaan. Perempuan yang menstruasi dan hamil dianggap mengotori, sehingga mereka harus tinggal terpisah dan memakan makanan yang terpisah pula.[10]

Menurut Alma Gottlieb, dalam masyarakat Beng di Pantai Gading, secara tegas ditekankan bahwa menstruasi dikaitkan dengan polusi dan fertilitas. Hal ini mengakibatkan larangan bagi perempuan untuk masuk ke hutan, tidak boleh memasak karena dianggap kotor dan tidak boleh melakukan aktifitas pertanian.[11] Berbagai larangan ini disebabkan oleh hubungan menstruasi dengan polusi yang dibawa perempuan yang dianggap dapat merusak kesuburan dan mengganggu kesucian. Dalam banyak kasus terjadi pengucilan terhadap wanita haidl dengan menempatkan mereka pada gubuk-gubuk yang terpisah dari masyarakat dan disertai larangan-larangannya. Mereka mislanya, tidak boleh memakan makanan tertentu, tidak boleh melintas di ladang yang ditanami tanaman laki-laki seperti talas.[12]

Masih banyak lagi varian dari mitos tentang menstruasi di beberapa masyarakat yang pada intinya meliputi: menstruasi adalah kotor, membahayakan hubungan seks, kutukan Tuhan, mengganggu kesehatan, tanda dari inferioritas perempuan, mengganggu keteraturan sosial, pengecualian dari suatu kebiasaan, dan lain-lain.[13]

Kadang-kadang mitos juga muncul di dunia yang sudah maju. Mitos ini muncul dengan bentuknya yang baru, menyesuaikan dengan tema perkembangan masanya. Mitos ini terjadi karena beberapa hal, yaitu; penyampaian informasi yang kurang tepat dan kurang lengkap atau penyampaian informasi terlalu berlebihan sehingga menimbulkan sikap diskriminasi di kalangan masyarakat terhadap berbagai masalah. Sangat banyak mitos yang berkembang di kalangan masyarakat sehubungan dengan menstruasi sedangkan kebenarannya belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Berikut adalah beberapa mitos seputar menstruasi itu:

(1) Perempuan yang sedang menstruasi dianggap kotor dan sakit. Sebenarnya, menstrusi tidak membuat perempuan menjadi kotor dan sakit. Tapi memang benar kalau sedang menstruasi, perempuan harus menjaga kebersihan, seperti sering mengganti pembalut, terutama pada awal-awal masa menstruasi. Jika tidak diganti, jamur dapat tumbuh dan itu merupakan salah satu penyebab keputihan. (2) Menstruasi dapat membuat perempuan lemah. Sebenarnya menstruasi tidak membuat tubuh lemah. Menurut para ahli darah menstruasi yang keluar banyaknya sekitar 50 sampai 150 mililiter atau sekitar empat sampai enam sendok saja. Jadi tidak benar kalau tubuh akan lemas karena banyak mengeluarkan darah. (3) Mendapat menstruasi sama dengan mendapat "kutukan atau hukuman" Tuhan. Menstruasi bukan kutukan atau hukuman. Mengalami menstruasi bagi perempuan berarti dia itu sehat dan sistem reproduksinya bekerja dengan normal sebagaimana yang telah dikodratkan oleh Tuhan.

(4) Memakai pembalut saat menstruasi dapat menyebabkan kemandulan. Secara medis justru pembalut merupakan metode perawatan selama masa menstruasi agar tetap bersih dan tidak lembab. Pada dasarnya semua pembalut itu sehat, tetapi sebagian perempuan ada juga yang mengalami alergi dan iritasi. Hal ini tergantung dari sensitivitas organ kelamin perempuan yang masing-masing orang berbeda. Jika terasa gatal, perih atau panas maka perlu diganti dengan pembalut merk yang lain. Disarankan agar saat menstruasi untuk sesering mungkin mengganti pembalut (idealnya setiap 4 jam) terutama ketika sedang banyak-banyaknya keluar darah menstruasi dan setelah buang air kecil atau besar. (5) Selama menstruasi tidak boleh keramas. Menurut medis hal ini tidak benar. Bahkan pada saat menstruasi harus lebih rajin mandi, karena pada saat ini produksi keringat dan kelenjar minyak melebihi hari-hari biasa, termasuk minyak di kulit kepala. Jadi, pada saat menstruasi kita memang harus lebih sering membersihkan badan, termasuk keramas.

(6) Minuman bersoda dapat mempercepat selesainya menstruasi. Menstruasi adalah proses perdarahan yang disebabkan oleh luruhnya dinding dalam rahim sebagai akibat tidak adanya pembuahan. Sakit tidaknya saat menstruasi atau lancar tidaknya menstruasi seseorang selain dipengaruhi oleh hormon juga dipengaruhi oleh faktor psikis. Sebagian orang percaya kalau minuman bersoda (atau minuman berkarbonasi) dapat memperlancar atau mengurangi rasa sakit saat menstruasi, namun belum pernah ada penelitian mengenai hal ini. Berkurangnya rasa sakit yang dialami seseorang saat menstruasi dapat disebabkan karena faktor sugesti (psikis) dimana orang tersebut percaya bahwa minuman tersebut dapat memperlancar menstruasi.[14]
Beberapa mitos di atas menunjukkan betapa kuat mitos-mitos tentang menstrual taboo mencengkram dalam pola pikir masyarakat, baik masyarakat masa lampau ataupun masyarakat modern sekarang ini dengan “bajunya” yang baru. Sementara tubuhnya adalah penindasan terhadap eksistensi wanita dalam berbagai lini kehidupan.

E. Menstrual Tabu sebagai Sumber Subordinasi Perempuan
Faham tentang menstrual taboo sesungguhnya suatu yang sangat merendahkan perempuan. Sikap subordinatif tersebut telah membuat garis tegas bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan. Perempuan memiliki rahim (uterus) sementara laki-laki tidak. Dengan rahim, perempuan menjadi mengalami kehamilan, kelahiran, ataupun menopause. Dari rahim, perempuan mengeluarkan menstruasi dan nifas. Laki-laki tidak memiliki rahim sehingga tidak mengalami apa yang dialami perempuan. Pembedaan tersebut dianggap sebagai penegas antara yang lemah dan yang kuat. Perempuan dianggap lemah karena memiliki hal-hal di atas, sedangkan laki-laki tidak, laki-laki kuat karena ia dapat melakukan apa saja tanpa terganggu dengan itu. Pemahaman ini menjadi konstruksi kultural di masyarakat. Dengan adanya rahim dan cairan yang keluar dari perempuan tidak mungkin perempuan dapat mengerjakan sesuatu dengan baik dan tuntas. Sementara laki-laki dapat melakukannya karena dalam bekerja dia tidak akan terganggu dengannya. Pemahaman ini ujung-ujungnya diyakini secara kultural bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki, ia lebih lemah dan lebih tidak berdaya dalam mengarungi kehidupan daripada laki-laki.

Akibat dari pembedaan tersebut, maka implikasinya adalah pembagian ruang kerja antara wilayah publik dan domestik. Apa yang dijelaskan dalam mitos bahwa perempuan yang sedang menstruasi harus diasingkan dan dikarantinakan dalam gubuk-gubuk khusus sesungguhnya menegaskan bahwa dengan kebiasaannya mengeluarkan darah menstruasi, seorang perempuan harus selalu ada di wilayah domestik. Perempuan harus disembunyikan dari wilayah publik karena diyakini akan membawa sial bagi yang lain. Mitos bahwa perempuan yang menstruasi dapat mematikan tanaman dan menggagalkan panen sesungguhnya bukti akan hal itu. Pembagian peran antara wilayah publik dan domestik berakibat pada keterpurukan kedudukan perempuan dalam kehidupan. Dari situ kemudian muncul mitos-mitos lain seperti, perempuan itu konco wingking, perempuan itu hidupnya berkutat pada sumur, dapur, kasur, dan lain-lain.

Dengan menjadikannya menstruasi, termasuk alat-alat reproduksi lainnya, sebagai kelemahan perempuan sesungguhnya secara tidak langsung paham ini telah memungkiri takdir. Darah menstruasi, nifas, dan hal-hal yang berkaitan dengan alat reproduksi lainnya sesungguhnya merupakan suratan (given) yang tidak mungkin dirubah. Kalau boleh ditanya kepada para wanita, apakah kelahirannya sebagai wanita atas keinginannya? Jawabnya pasti tidak. Para perempuan tidak punya kuasa apapun untuk melakukan itu, demikian juga kaum laki-laki. Oleh karena itu, perempuan dengan berbagai kondisinya yang given itu tidak kemudian terlarang untuk mendapatkan haknya yang sama dengan apa yang diberikan kepada laki-laki.

Hakikat takdir dari perbedaan “onderdil” antara laki-laki dan perempuan sulit masuk dalam pemahaman masyarakat. Menstruasi sebagai salah satu dari onderdil tersebut juga tidak dapat ditangkap sebagai sebuah “pemberian yang tidak dapat ditolak” (baca: takdir). Apalagi di sana terdapat kenyataan bahwa dalam perspektif biologis, sebagaimana dikatakan J. C. Friedrich, pemojokan terhadap perempuan dilakukan karena perempuan mempunyai masa-masa yang tidak stabil yaitu yang dikenal sebagai sindrom menjelang menstruasi (pre menstruation syndrome).
Pada masa yang demikian, perempuan senantiasa mengalami depresi dan berbagai bentuk stress lainnya. Lama masa ini tergantung pada daya tahan fisik dan psikis seorang perempuan. Terkadang ada yang menjalaninya sampai 17 hari. Jika masa ini ditambah masa menstruasi sekitar 7 hari, maka masa “stabil” perempuan hanya sekitar 6 hari selama sebulan. Kenyataan inilah yang dijadikan alasan untuk memperkuat anggapan bahwa faktor biologis sangat berpengaruh terhadap perilaku rasional manusia. Sehingga hal ini dijadikan alasan penting untuk memojokkan perempuan.[15]
Pada perspektif agamapun menstruasi telah mendapat pengakuan dalam Kitab Suci, bahwa menstruasi muncul karena adanya kesalahan yang diperbuat Hawa ketika di surga. Menstruasi menjadi balasan bagi Hawa atas perbuatannya. Dalam Kitab Talmud, kutukan berupa menstruasi kepada Hawa sangat jelas disebutkan bahwa di kemudian hari kaum perempuan akan mengalami siklus menstruasi yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Kedua rujukan di jelas sangat memberikan keyakinan kepada pemahaman masyarakat. Hal itu mewakili pondasi rasional dan spiritual yang sulit untuk tidak dipercaya, baik melalui kesadaran rasional masyarakat ataupun kesadaran spiritualnya. Oleh karena itu, sesungguhnya paham tentang menstrual taboo ini menjadi cikal bakal penting dan merupakan salah satu penyebab langgengnya sistem patriarki dalam sejarah umat manusia.

F. Islam dan Darah Menstruasi
Istilah menstruasi dalam Islam disebut haidl. Dalam wacana fiqh haidl didefinisikan sebagai darah yang keluar dari kemaluan perempuan dalam kondisi sehat, tidak karena melahirkan atau pecahnya selaput dara.[16] Haidl ini juga disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak empat kali dalam dua ayat; sekali dalam bentuk fi'il mudlari (yahidh) dan tiga kali dalam bentuk isim mashdar (al-mahid). Masalah menstruasi dalam al-Qur’an dijelaskan pada surat al-Baqarah ayat 222 sebagai berikut:
ويسئلونك عن المخيض, قل هو أذى فاعتزلواالنساء فىالمخيض ولا تقربوهن حتى يطهرن, فإذاتطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله إن الله يحب التوبين ويحب المتطهرين.
Artinya: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidl. Katakanlah (darah) haidl adalah kotoran, maka menjauhlah kalian dari istri kalian di tempat keluarnya haidl. Dan janganlah kalian mendekati mereka sampai mereka suci. Jika mereka telah suci maka datangilah (campurilah) mereka sesuai dengan cara yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan yang menyucikan diri. [17]

Menurut Nasaruddin Umar, ayat di atas membedakan antara darah haidl dan tempat keluarnya darah.[18] Apa yang dikatakan sebagai kotor dalam ayat di atas adalah darah itu sendiri, bukan tempatnya (perempuan yang haidl). Sehingga perintah untuk menjauhi itu bukan kepada orannya tetapi kepada darah itu sendiri yang dalam hukum Islam termasuk barang najis. [19]

Pernyataan ini sangat berbeda dengan pernyataan sebagian orang yang mempersamakan keduanya. Mereka mengatakan bahwa perempuan yang sedang menjalani menstruasi adalah perempuan yang kotor, sehingga harus dijauhi atau bahkan diasingkan. Dalam al-Qur’an, yang dianggap kotor adalah darahnya, bukan yang mengeluarkan darah. Dalam sebuah hadits juga disebutkan Imam Muslim meriwayatkan bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah bertanya kepada beliau tentang perilaku para Yahudi yang tidak mau makan bersama dan bergaul dengan istrinya dalam satu rumah pada saat istrinya menstruasi. Kemudian turunlah ayat tersebut di atas. Lalu beliau menjawab: “Berbuatlah apa saja kecuali berhubungan seks.”[20]

Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menentang pandangan miring tentang menstruasi perempuan. Kaitannya dengan itu juga ilmu kedokteran mengatakan bahwa darah menstruasi adalah darah kotor yang harus dibuang, karena jika tidak dikeluarkan akan menimbulkan penyakit.[21] Sehingga dapat dikatakan bahwa sesungguhnya menstruasi adalah suatu peristiwa fisik yang dialami oleh perempuan normal. Justru perempuan dikatakan tidak normal bila tidak mengalami menstruasi. Perdarahan yang terjadi waktu menstruasi berasal dari dinding dalam rahim akibat pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil, karena pengaruh perubahan keseimbangan hormon. Jadi perdarahan yang terjadi bukan berasal dari vagina, dan darah yang dikeluarkan adalah darah normal (bukan karena luka) dan bukan darah yang dapat menimbulkan penyakit atau akibat buruk lainnya.
Islam tidak melarang seseorang untuk menjauhi perempuan yang sedang menstruasi, tetapi Islam melarang bersetubuh dengan dengannya. Ini berarti menstruasi tidak perlu dijadikan gangguan dalam pergaulan. Sedangkan pelarangan untuk menyetubuhinya, bukan lantaran perempuan tersebut najis dan membahayakan keturunan, tetapi karena darah dalam hukum Islam merupakan barang yang najis.
Pendapat Islam tentang menstruasi di atas merupakan gagasan yang sangat revolusioner dan dekonstruktif, karena pada masa Islam awal peradaban manusia Arab sangat merendahkan perempuan, khususnya mereka yang sedang menstruasi. Perempuan dianggap hina, kotor, berpenyakitan dan makhluk kutukan, sehingga ia harus diasingkan di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan, agar tidak membawa nahas bagi yang lainnya.

Demikian juga dalam pelaksanaan pembersihan diri (thaharah) dari haidl. Islam tidak mengenal adanya upacara ritual khusus seperti dalam agama Yahudi dan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa sesudah hari ketujuh ia sudah dapat dianggap bersih setelah mandi, kecuali Abu Hanifah berpendapat tidak harus mandi tapi cukup membersihkan tempat keluarnya darah haid dan juga tidak perlu menunggu tujuh hari. Sekalipun kurang tujuh hari kalau sudah merasa bersih sudah dapat melakukan ibadah secara rutin. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Auza'i dan Ibn Hazm.

Dari gambaran tersebut di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak menganut faham menstrual taboo, sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap perempuan. Seperti mitos tentang perempuan menstruasi seolah-olah tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan ritual yang berat. Sebenarnya justru perempuan yang menstruasi adalah perempuan yang normal. Karena menstruasi termasuk proses yang akhirnya dapat meneruskan kehidupan manusia di bumi ini. Prinsip penajisan terhadap darah itu sendiri memiliki pemahaman bahwa perempuan harus selalu memperhatikan kebersihan.[22] Perempuan harus menjaga agar darah itu tidak tercecer ke mana-mana, harus selalu dibersihkan al-mahidlnya (tempat keluar darah), dan selalu mengontrol kapan datangnya dan kapan pula perkiraan berakhirnya. Inilah sesungguhnya perhatian sekaligus hikmah ajaran Islam terhadap perempuan yang sedang mengalami menstruasi.

Ketika pelarangan terjadi kepada perempuan yang sedang menstruasi untuk membaca al-Qur’an, i’tikaf di masjid, shalat dan puasa, inipun tidak berarti Islam menganggap hina sehingga tidak boleh melakukan ritual sehingga dapat mengurangi kesempatan perempuan mendapatkan pahala. Islam justru sangat menghargai wanita sedang datang bulan tersebut dengan memberikan “cuti” ibadah, karena Islam memahami bahwa perempuan yang sedang menstruasi merupakan realitas alamiah yang sedikit banyak membuat perempuan menjadi terganggu baik secara fisik ataupun psikis. Ketidakadilan justru terjadi ketika Islam tetap saja mengharuskan perempuan yang sedang haidl melakukan amalan-amalan ibadah.

Karena Islam tidak mengenal adanya menstrual taboo, maka sesunguhnya Islam mempunyai pandangan optimis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan dalam kehidupan. Hal ini dapat dilihat dari doktrin Islam yang oleh semua agama juga disebutkan, yaitu sejarah tentang kehidupan Adam dan pasangannya, Hawa, di surga hingga sampai turun ke bumi. Dalam ayat-ayat yang membicarakan tema tersebut, al-Qur’an selalu menekankan kepada kedua belah pihak, Adam dan Hawa, dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma misalnya; keduanya memanfaatkan fasilitas surga,[23] mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan,[24] sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat terbuang dari bumi,[25] sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan.[26] Setelah di bumi antara satu dan lainnya saling melengkapi, mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.[27]
Penyebutan kata ganti huma tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa di surga sesungguhnya atas kesepakatan berdua, tidak ada pemaksaan, tidak ada satu pihak lebih tinggi dari pihak lainnya. Sehingga ketika keduanya harus turun ke bumi, itu karena kemauan keduanya, bukannya menyalahkan salah satunya. Hal ini berbeda dengan doktrin-doktin agama lain yang menganggap bahwa semua itu diakibatkan ulah Hawa (simbol perempuan).
enstruasi yang dipahami oleh agama-agama itu sebagai kutukan Tuhan kepada Hawa karena ajakan memakan buah khuldi oleh Islam sebaliknya dipahami sebagai gejala alamiah biologis semata. Sama dengan “onderdil” lainnya yang memang diciptakan Tuhan berbeda dengan laki-laki. Itu semua given yang menegaskan arti dari keperpasangan manusia. Tidaklah mungkin sebuah pasangan berbentuk sama. Dari keberpasangan itulah uhan ingin menciptakan kehidupan secara variatif. Jadi dalam Islam tidak ada kemudian laki-laki lebih kuat, tinggi, terhormat, mulia ataupun utama dari perempuan.
Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dalam kehidupan. Perempuan mempunyai hak yang dapat dimiliki laki-laki dalam segala hal. Perempuan tidak harus bekerja di rumah. Jika ia dapat mensejahterakan keluarga karena bekerja di wilayah publik, dan jika ia memiliki kecakapan dalam memimpin, dan jika ia memiliki kecerdasan, maka tidak ada alasan untuk mereka berkiprah di wilayah publik. Bahkan lebih jauh peluang-peluang untuk memancing potensi perempuan sehingga menjadi cerdas dan cakap harus selalu diupayakan mengingat perjalanan sejarah yang telah memendam semua kemampuannya. Itulah kiranya implikasi dari sikap penolakan Islam terhadap menstruasi yang dianggap sebagai cikal bakal langgengnya subordinasi kaum laki-laki terhadap perempuan.

G. Kesimpulan
Menstrual taboo merupakan pemahaman masyarakat sepanjang sejarah tentang tabunya menstruasi yang dialami kaum perempuan. Menstruasi dianggap sebagai kutukan sehingga perempuan yang mengalami menstruasi diyakini sebagai makhluk yang kotor dan berpenyakitan. Oleh karena itu perempuan harus dikarantina di tempat-tempat khusus agar aura negatifnya tidak menular kemana-mana.
Anggapan miring masyarakat tersebut telah mengkonstruk secara kultural pola pikir, tingkah laku dan tata nilai masyarakat. Pondasi ini menguat karena doktrin-doktrin agama berbaur dengan mitos-mitos masyarakat di berbagai wilayah dengan segala variannya.
Pemahaman tentang menstrual taboo telah sangat merugikan posisi perempuan. Dengan adanya menstruasi perempuan dianggap sebagai makhluk yang memiliki cacat bawaan yang pada perkembangan selanjutnya merendahkan daya tawar perempuan dalam kehidupan. Pemahaman ini diyakini sebagai cikal bakal langgengnya budaya patriarkis.
Islam sebagai agama tidak menganut paham menstrual taboo. Doktrin agama tentang kehidupan Adam dan Hawa di surga hingga turunnya ke bumi tidak dihubungkan pada kesalahan satu pihak dan membenarkan pihak lain. Keduanya mempunyai kemauan yang sama sehingga implikasinya juga sama. Menstruasi, dan alat reproduksi lainnya, seperti; kalamenjing (jakun), payudara, rahim, vagina dipahami sebagai given yang membangun harmonitas kehidupan. Oleh karena itu Islam sangat mengecam pembedaan sikap dan penilaian yang didasarkan pada takdir tersebut. Paham anti menstrual taboo inilah dijadikan dasar Islam untuk mewujudkan cita-citanya membangun masyarakat berkesetaraan jender.
***

DAFTAR PUSTAKA
“Mitos-mitos Seputar Menstruasi”, dalam Bandung News, Jokes, SCUBA diving, sex education, IT and cinema, 2 Mei 2002.
Abdullah, Irwan., Menstruasi: Mitos dan Konstruksi Kultural atas Realitas Perempuan, dalam Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: Kerjasama PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, The Ford Foundation dan Putera Pelajar: 2002.
Ambaretnani, Prihatini., Upaya Meningkatkan dan Melindungi Kesehatan Reproduksi TKIW, Yogyakarta: Galang Press, 1999.
Amiruddin, Mariana., Kata dan Makna, Jurnal Perempuan edisi 41, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2005.
Fayumi, Badriyah, Haidh, Nifas dan Istihadhah, dalam Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan, Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Katsir, Ibnu., Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Kairo: Dar at-Yurats Juz I, tt.
Muhammad al-Jamal, Ibrahim., Fiqh Muslimah, Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Parrinder, Geoffrey., Teologi Seksual, diterjemahkan oleh Amiruddin dan Asyhabuddin, Yogyakarta: LKiS, 2005.
Umar, Nasaruddin., Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran, Jakarta: Paramadina, 2005.
-----------------------, Perspektif Jender dalam Islam, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, tth.,
________________________________________
* Dosen STAIN Ponorogo
[1] Irwan Abdullah, Menstruasi: Mitos dan Konstruksi Kultural atas Realitas Perempuan, dalam Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: Kerjasama PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, The Ford Foundation dan Putera Pelajar: 2002, hlm. 4.
[2] Nasaruddin Umar, Menstrual Taboo dalam Kajian Kultural dan Islam, dalam Ibid., 23
[3] Nasaruddin Umar, Perspektif Jender dalam Islam, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina. (diambil dari internet, tanpa tahun dan halaman)
[4] Ibid.
[5] Nasaruddin Umar, Menstrual Taboo dalam Kajian Kultural dan Islam, dalam Islam dan..., 22.
[6] Mariana Amiruddin, Kata dan Makna, Jurnal Perempuan edisi 41, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2005, 112
[7] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran, Jakarta: Paramadina, 2001, 225
[8] Geoffrey Parrinder, Teologi Seksual, diterjemahkan oleh Amiruddin dan Asyhabuddin, Yogyakarta: LKiS, 2005, 236-237.
[9] Ibid., 124-128
[10] Ibid., 204-208
[11] Nasaruddin Umar, Perspektif Jender dalam Islam, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina. (diambil dari internet, tanpa tahun dan halaman)
[12] Ibid.
[13] Irwan Abdullah, Menstruasi: Mitos…, 6.
[14] Mitos-mitos Seputar Menstruasi, Bandung news, jokes, SCUBA diving, sex education, IT and cinema, 2 Mei 2002
[15] Dikutip dalam Nasaruddin Umar, Menstrual Taboo dalam Kajian Kultural dan Islam, dalam Islam dan..., 23
[16] Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Muslimah, Jakarta: Pustaka Amani, 1999, 25
[17] Al-Maraghi dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat tersebut turun saat Rasulullah berada di Madinah. Pada saat itu masyarakat Madinah masih membaur antara orang Arab muslim dengan orang Yahudi. Kaum Yahudi menanggapi masalah haidl dengan keras, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 15 kitab Taurat (perjanjian lama), bahwa “Barang siapa menyentuh perempuan haidl maka ia dalam keadaan najis. Setiap orang yang menyentuh tempat tidur perempuan haidl, maka harus mencuci bajunya dan mandi serta ia berada dalam keadaan najis sampai sore harinya.
[18] Nasaruddin Umar, Menstrual Taboo dalam Kajian Kultural dan Islam, dalam Islam dan..., 40.
[19] Ibid., 41.
[20] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Kairo: Dar al-Yurats Juz I, tt, 248
[21] Badriyah Fayumi, Haidh, Nifas dan Istihadhah, dalam Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan, Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Yogyakarta: LKiS, 2002, 22
[22] Prihatini Ambaretnani, Upaya Meningkatkan dan Melindungi Kesehatan Reproduksi TKIW, Yogyakarta: Galang Press, 1999, 47.
[23] Lihat QS. Al-Baqarah (2): 35
[24] Lihat QS. Al-A’raf (7): 20
[25] Lihat QS. Al-A’raf (7): 22
[26] Lihat QS. Al-A’raf (7): 23
[27] Lihat QS. Al-Baqarah (2): 187.

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar