Sejarah Pemikiran Agama

Admin Friday, December 17, 2010
A. Pendahuluan

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (البقرة:115)
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Menurut Ikrimah berdasarkan pendapat Ibn Abbas, ayat di atas memiliki pengertian bahwa menghadap Allah dapat dilakukan baik ke arah barat atau arah timur. Hampir semua pendapat ulama berkesimpulan bahwa ayat di atas tentang konsep qiblat sholat. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa'i meriwayatkan hadis dari Ibn Umar yang menjelaskan Ia sholat dalam suatu perjalanan menghadap ke arah yang tidak menentu. Hal itu menurut Ibn Umar juga pernah dilakukan Rasulullah.
Teks Quran di atas tentu saja eman cuma dilewatkan sebagai ayat tentang qiblat semata. Ayat itu layak dibicarakan tidak saja di ruang pembahasan ibadah tetapi juga sangat relevan dibicarakan dalam konteks pergulatan sejarah peradaban manusia yang terpolarisasi dalam dua konsep ruang kebudayaan: Barat dan Timur. Dua garis batas itu tak henti-hentinya saling berdesah dengan peluh ketegangan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Repotnya, yang satu penuh birahi menghegemoni dan yang satu tak bisa lepas dari dominasi. Barangkali berbagai upaya dilakukan untuk merealisasikan kesadaran kosmik bahwa tidak ada apa yang dimaksud dengan Barat dan Timur, tetapi yang ada adalah satu dunia. Atau paling tidak, banyak upaya ditempuh untuk mendialogkan, mempertemukan, mempersamakan persepsi, atau istilah lainnya yang semaksud, tetapi hasil akhir yang terjadi tetap merupakan hal yang sama: dominasi dan hegemoni Barat. Meskipun hal itu terjadi dalam bentuk ekspansi yang berbeda dan tidak disadari, seperti dalam bentuk nilai-nilai formil Barat mengenai demokrasi yang ternyata boros biaya dan menguras energi.
Namun makalah ini tidak untuk membahas secara lebih lanjut mengenai ketegangan kebudayaan antara Barat dan Timur. Makalah ini hendak fokus membicarakan sejarah agama dan filsafat di Barat era Yunani-Romawi klasik hingga abad pertengahan yang ternyata telah mengasali riwayat Barat dan Timur. Tokoh-tokoh Yunani dan Romawi klasik telah dengan bangga berupaya menunjukkan keunggulan kebudayaan Yunani-Romawi dari bangsa-bangsa yang lain.
B. Sejarah dan Pemikiran Agama di Barat Era Klasik
Carl G. Gustavson mengidentifikasi enam (6) kekuatan sejarah, yaitu : (1) ekonomi, (2) agama, (3) institusi politik, (4) tehnologi, (5) ideology, dan (6) militer. Sejarah sendiri baru ditulis pada jaman Yunani dalam bentuk puisi karya Homer tentang cerita-cerita lama kehancuran Troya pada 1200 SM. Tulisan sejarah dalam bentuk prosa muncul kemudian di Ionia pada abad ke-6 SM. Herodotus, dijuluki sebagai Bapak Sejarah (484-425 SM), Thucydides (456-396 SM), dan Polybius (198-117 SM) merupakan penulis sejarah kuno yang tersohor dari Yunani. Sedangkan penulis sejarah dari Romawi yang terkenal adalah Julius Caesar (100-44 SM), Gaius Sallustius Crispus (86-34), Titus Livius (59 SM-17 M), dan Publius Cornelius Tacitus (55-120 M).
Agama sebagai salah satu faktor dan kekuatan sejarah, tidak mudah diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan latarbelakang pengalaman transenden manusia yang bervariasi. Meskipun tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat disimpulkan bahwa sepanjang gerak sejarah, manusia memiliki catatan tentang hal-hal "suci", dan agama termasuk di dalamnya. Yang "suci" tersebut pada mulanya adalah roh-roh dalam keyakinan masyarakat primitif dan berkembang menjadi dewa-dewa yang dianggap jauh lebih berkuasa daripada roh-roh. Perkembangan ini terjadi pada masyarakat politeisme (menyembah banyak versi Tuhan), seperti Mesir dan Yunani kuno.
Menurut sebuah teori yang dipopulerkan oleh Wilhem Schmidt dalam The Origin of The Idea of God, bahwa telah ada suatu monoteisme (menyembah satu Tuhan) primitif sebelum manusia menyembah banyak Tuhan. Pada awalnya diakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi yang selalu dipuji-puji dalam ritual-ritual. Tetapi Tuhan itu ternyata "tak terjamah" oleh ekspresi kemanusiaan. Diasumsikan bahwa Tuhan Tertinggi itu terlalu jauh dan mulia. Sehingga berikutnya, Ia digantikan oleh ruh yang lebih rendah dan Tuhan-tuhan yang lebih mudah dijangkau. Tuhan tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan kuil pagan yang "lebih menarik".
Agama di dunia awal mula tercatat muncul kira-kira 4500 tahun yang lalu melalui kepercayaan Hinduisme di Asia Selatan dan diteruskan oleh kepercayaan tradisional Hebrew pada kira-kira 3500 tahun yang lalu di Mesopotamia Asia dan kepercayaan-kepercayaan di kawasan gurun purba Mediterania di Barat. Dari tahun 3500 hingga 800 SM disebut era purba agama dunia (The Ancient Period of The World Religions). Setelah itu, sejarah kepercayaan tentang keselamatan dan pembebasan dibagi menjadi lima era:
1. The Axial Age (800-400 SM): Upanishads disusun, Thales filosof Barat pertama mengembangkan ide-ide kosmosnya, kemunculan Zoroaster di Persia, Siddharta Gautama dengan Budhisme, Mahavira dengan Jainisme, K'ung Fu Tzu dengan Confucianisme, dan Sokrates dengan pemikiran baru filsafat Barat.
2. Middle Periode (400-100 SM): zaman Plato, Aristoteles, tradisi Cina, dan ajaran Tao Te Ching disusun.
3. Global Axial Age (100 SM-800 M): masa Bhagavad Ghita disusun, agama Kristen berkembang, dan Islam tumbuh-kembang.
4. Period of Development (800-1300 M): masa pertumbuhan dan perkembangan gerakan sufi dan filsafat Islam, Moses Maimonides pembaharu Yahudi menulis The Guide for The Perplexed, dan kehadiran Thomas Aquinas sebagai teolog Kristen terhebat yang berhaluan Aristotelian par excellent.
Pembagian babakan sejarah agama yang akan dibahas dalam makalah ini tidak mengikuti model pembagian Joseph Ruzo di atas. Babakan sejarah agama dalam makalah ini mengikuti pola babakan yang lazim pada fase kesejarahan filsafat di Barat. Hal ini mengingat terutama Barat, saat ini relatif lebih dikenal karena prestasi-prestasi kegiatan filsafatnya yang mengemuka.
1. Pra Hellenistik
Sejarah Yunani yang banyak dikisahkan adalah sejarah Yunani sekitar abad 6 SM. Sebab, saat itulah puncak kejayaan peradaban dan kebudayaan Yunani pra-Hellenisme. Kala itu Yunani terbagi menjadi dua negara: Sparta dan Athena. Sparta merupakan negara dengan nilai-nilai agraris. Tokoh pemimpinnya yang terkenal adalah Lycurgus (600 SM). Sedangkan Athena adalah negara dengan nilai-nilai maritime. Penguasanya yang terkenal adalah Pisistratus (560 SM), Cleisthenes (508 SM), dan Pericles (461).
Diketahui bahwa sebelum mengenal dewa-dewa, bangsa Yunani kuno memuja dan menyembah daya-daya alam, roh nenek moyang dan pimpinan tertinggi dari anggota keturunan mereka. Kemudian, mereka melakukan pemujaan terhadap para dewa yang dipusatkan di gunung Olympia, sebagaimana diceritakan Homerus dan Hesiodes dalam syair-syair mereka. Hampir semua aktivitas kebudayaan Yunani kuno berhubungan dengan semangat keagamaan. Seni, arsitektur, dan sastra memiliki nilai keagamaan. Bahkan teather dan olahraga olimpiade merupakan upacara keagamaan untuk menghormati Zeus. Kehidupan politik juga meleburkan diri secara intim dengan agama. Para pembesar dan aristokrat Yunani kuno meraih dan mempertahankan kekuasan melalui klaim-klaim kekuatan dan keistimewaan dari para dewa. Dipercaya bahwa beberapa individu istimewa di era mitis ini dapat bertemu muka dengan dewa-dewi mereka lewat mimpi.
Keberadaan kehidupan beragama dan keberadaan para dewa Yunani, seperti Zeus, Apollo, Ares, Aphrodite, Athena, Demeter, Hermes, Thetis, dan Poseidon terlacak dari catatan Homerus (penulis besar sastra Yunani yang berasal dari Asia Kecil). Para dewa-dewi tersebut dihormati dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan yang berbeda-beda. Salah satu dewa favorit masyarakat Yunani kuno adalah Apollo yang konon bertahta di suatu kuil khusus di Delphi yang terletak di lereng curam gunung Parnassus di pusat wilayah Yunani. Apollo menjadi tempat rujukan masyarakat Yunani. Maklumatnya yang dikenal dengan Sabda Delphi (Delphic Oracle) merupakan sabda yang terkenal dan sangat didengar oleh siapapun di Yunani. Kuil Delphi Apollo menjadi pusat nomer satu simbol kebersatuan kebudayaan Yunani kuno (panhellenic center) selain gunung Olympia (di sebelah barat Pelopennesus) dan kota kecil Eleusis.
Tradisi berpikir yang kemudian berkembang di Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga Pythagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa agama bangsa Yunani berdiri di atas serangkaian mitos. Para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu mitos dan agama asalnya.
Para filosof mengalihkan obyek pemikiran manusia dari alam mitis ke arah pemikiran tentang manusia sendiri. Filosof-filosof ini disebut dengan kaum sophis yang dipelopori oleh Protagoras (485-420 SM). Menurutnya, segala fenomena menjadi relatif bagi subyektifitas manusia. Ia mengklaim manusia sebagai ukuran kebenaran dengan istilah "homo mensura". Kaum sophis berpendapat bahwa manusialah yang menjadi ukuran kebenaran. Tidak ada kebenaran yang berlaku secara universal, kebenaran hanya berlaku secara individual. Tidak adanya ukuran kebenaran yang bersifat umum berdampak negatif, yaitu terciptanya kekacauan tentang kebenaran, semua teori pengetahuan diragukan, serta kepercayaan dan doktrin agama diabaikan.
Kaum sophis mendapat imbangannya dalam diri seorang alim yang merupakan guru teladan sepanjang jaman (the greatest teacher of all time) yang bernama Socrates (470-399 SM). Ia tidak menerima kepercayaan yang diabdikan pada sejumlah berhala, sebab baginya Tuhan adalah tunggal. Menurutnya, kebenaran umum itu ada, yaitu kebenaran yang diterima setiap orang. Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Plato (429-348 SM). Bagi Plato, kebenaran umum itu memang ada; namanya adalah ide. Idealisme metafisiknya, Tuhan adalah realitas yang tertinggi dan paling sempurna. Tuhan tidak mencipta sesuatu dari yang tidak ada, tetapi dari sesuatu yang disebut "Dzat Primordial" yang berisikan seluruh unsur asli alam. Plato memiliki kekecewaan pada upacara-upacara kuno dan mitos-mitos agama yang menurutnya merendahkan dan tidak layak.
Aristoteles (384-322 SM) tampil dengan pemahamannya yang tajam tentang hakikat dan arti penting agama dan mitologi. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam berbagai misteri agama (penganut agama) tidak perlu mempelajari fakta apapun kecuali mengalami emosi dan disposisi tertentu. Gagasan Aristoteles tentang Tuhan berpengaruh besar terhadap monoteisme selanjutnya, khususnya terhadap orang Kristen di dunia Barat. Meskipun sesungguhnya konsep Tuhan model tokoh-tokoh Yunani seperti Aristoteles dan Plotinus sangat berbeda dengan konsep Tuhan dalam pandangan agama samawi. Karena, Tuhan Aristoteles dan Plotinus tak berwaktu dan tak bergeming; Dia tidak menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian duniawi, tidak mewahyukan dirinya dalam sejarah, tidak pernah menciptakan alam, dan tidak akan mengadili di Hari Kiamat.
Aliran Neo-Platonisme muncul dirintis oleh Plotinus (205-70 SM). Doktrin pokok Plotinus adalah tiga realitas, yaitu jiwa (soul), akal (nous), dan Yang baik (The Good). Hubungan ketiga unsur tersebut dikenal dengan Plotinus Trinity. Menurut Plotinus, Tuhan bukan untuk dipahami, tetapi untuk dirasakan. Tujuan berfilsafat (tujuan hidup secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan. Rasa inilah satu-satunya yang dituntun kitab suci. Filsafat rasional dan sains tidak penting, bahkan salah seorang murid Plotinus, Simplicus, menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional.
2. Masa Hellenistik
Masa kepercayaan kepada dewa ala Yunani kuno mulai bergeser ketika terjadi kemunduran akibat pertempuran besar antara Athena yang mengandalkan kekuatan laut dan Sparta dengan kekuatan angkatan daratnya. Alexander muda muncul dari Macedonia menjadi sosok penguasa hebat melebihi penguasa Yunani manapun. Alexander merupakan murid Aristoles yang juga mengagumi Homer dan Pindar. Ia berkuasa selama waktu antara 336-323 SM dengan wilayah kekuasaan yang luas membentang antara Macedonia, Mesir, Persia, dan wilayah Afghan. Tetapi kekuasaan besar Alexander harus berakhir saat ia mati di usia yang muda, 33 tahun.
Kematian Alexander merupakan awal dari epos baru yang disebut Hellenistik (Hellenisme). Istilah ini pecahan kata dari Hellas (negeri Yunani). Hellenistik adalah era baru peradaban Barat pasca kekuasaan Alexander yang berlangsung antara 323 SM hingga penaklukan Romawi di Mediterania timur pada abad 2 dan 1 SM. Wilayah kebudayaan Hellenistik tidak tunggal melainkan terbagi menjadi tiga kawasan yang dipimpin oleh mantan-mantan jenderal Alexander: Macedonia di bawah pimpinan tuan-tuan Yunani-Eropa, Mesir di bawah kendali Ptolemies yang berpusat di Alexandria (Iskandariah), dan Syria yang dikontrol oleh Seleucus dengan pusat kekuasaan di Antioch.
Istilah Hellenisme dinilai pertama kali diperkenalkan oleh ahli sejarah dari Jerman, J.G. Droysen. Ia menyebut istilah Hellenismus sebagai sebutan untuk masa peralihan antara Yunani kuno dan dunia Kristen. Masa-masa hellenisme ini membawa berbagai perubahan besar dalam banyak bidang, seperti bahasa dan pemikira filsafat Yunani yang banyak diserap dengan berbagai cara di kawasan Laut Tengah, Syria, dan Mesir. Pada masa ini, agama Yahudi melalui sosok filosof Philo (30 SM-50 M) telah menampilkan dirinya bersanding secara ramah dengan filsafat Yunani. Dengan kecakapannya, Philo merekonstruksi nilai-nilai Yahudi sedemikian rupa sehingga cocok untuk disesuaikan dengan filsafat Hellenisme. Jadi, nilai Yahudi di ranah Barat sudah lebih dahulu eksis daripada Kristen.
3. Pasca Hellenistik (Judeo-Cristiano)
Masa Hellenistik berakhir seiring kekuatan dan kekuasaan Romawi menggantikan kebudayaan Yunani kuno. Romawi sendiri membangun karir sebagai negeri yang independen sudah sejak 500 SM. Mereka juga mendapatkan pengaruh budaya Yunani sehingga peradaban mereka disebut Greco-Roman. Bahkan saat Romawi menegaskan kekuasaannya di Afrika Utara dan Timur Tengah di abad 1 SM, mereka menenggelamkan diri dalam kebudayaan Yunani, menggabungkan dewa-dewa Romawi dengan dewa Yunani, dan mengadopsi filsafat Yunani dengan antusias. Sistem politik Romawi yang berbentuk republik berakhir pada pertengahan abad 1 SM dan diganti dengan system kerajaan (empire).
Di saat yang sama, kehadiran Yahudi di tengah gairah Romawi bersanding dengan kebudayaan Yunani ternyata tidak menimbulkan gejolak. Sebaliknya, Romawi tak jarang lebih membela orang Yahudi daripada orang Yunani karena Romawi memandang Yahudi sebagai sekutu penuh di kota-kota Yunani yang masih menyimpan sisa-sisa permusuhan terhadap Romawi. Orang-orang Yahudi mendapatkan patronase dari Romawi untuk sebebas-bebasnya menjalankan ibadah hingga Yudaisme memiliki pengaruh yang kuat. Akibatnya, orang-orang dari kerajaan Romawi tergoda mencari alternatif agama baru. Gagasan monoteistik pun merebak dan dewa-dewa tak lama kemudian hanya tampil sebagai perwujudan dari keilahian yang lebih luas. Orang Romawi mulai tertarik pada karakter moral Yudaisme.
Namun, keadaan tersebut terganggu oleh rencana sekelompok orang Yahudi ekstrem di Palestina yang dengan keras menentang Romawi. Pada tahun 66 M, mereka merancang pemberontakan melawan Romawi dan di luar dugaan bila mereka mampu menghambat gerak maju pasukan Romawi selama 4 tahun. Pada tahun 70 M, kaisar baru Romawi Vespasian dapat menguasai Yerusssalem, meratakan kuil-kuil Yahudi, dan menumpas orang Yahudi tanpa ampun.
Kedatangan Kristen di Barat menimbulkan konfrontasi dengan arus kebudayaan Hellenistik. Di mana-mana penentangan ditunjukkan oleh para penguasa, pemikir, dan filosof Hellenistik. Pendeta-pendeta Kristen tak berkutik menghadapi para ahli pikir itu. Paulus pengikut utama Yesus sendiri memang kurang menghargai rasionalisme Yunani dan menganggapnya sebagai kekonyolan semata.
Hingga muncul kesempatan melalui terkristenkannya beberapa orang dari kalangan atas dan pemikir Hellenistik. Tampillah pembela-pembela iman Kristen dari serangan dahsyat filsafat Yunani yang disebut para apologit. Di antara dari mereka adalah Aristides dari Athena sendiri, Yustinus Martir dari Palestina, dan Tatianus dari Asur. Yustinus melakukan pembelaan dengan menyatakan bahwa agama Kristen bukanlah agama baru, bahkan lebih tua dari filsafat Yunani itu sendiri. Nabi Musa yang hidup jauh sebelum Plato telah menubuatkan kedatangan Isa. Padahal menurut Yustinus, Plato sendiri mereguk hikmat dari hikmat Musa. Kekuasaan kerajaan Romawi kuno sendiri mencapai puncaknya selama 1-2 abad Era kemunculan Kristen (The Christian Era) yang banyak membawa pengetahuan mutakhir dunia di bawah proyek Pax Romano; Perdamaian Romawi (The Roman Peace).
Kemenangan Kristen (dan sekaligus juga Yahudi) di Eropa, mempunyai pengaruh yang luas. Kebudayaan paganisme Yunani dan Romawi yang bertumpu pada kekuatan akal dianggap hasil setan dan harus ditolak. Kebudayaan Kristen yang bertumpu pada agama dan supernaturalisme harus terlibat menggantikan dua kebudayaan kuno tersebut. Dalam pandangan Kristen, orang harus memilih antara Tuhan atau setan. Orang yang terlibat dalam sejarah suci-lah yang akan dimenangkan oleh Tuhan. Akibatnya, orang-orang yang menghidupkan filsafat rasional dimusuhi dan dibunuh. Di antara korban kefanatikan agama Kristen adalah Hypatia (370-415). Pada saat itu, gereja sedang mengadakan konsolidasi diri dan mencoba untuk mengikis habis paganisme, dan filsafat dianggap sama dengan paganisme. Tidak lama kemudian, gereja membakar habis perpustakaan Iskandaria bersama seluruh isinya. Puncaknya pada tahun 529 M, Kaisar Justianus mengeluarkan undang-undang yang melarang filsafat. Ia menutup sekolah filsafat kuno yang menjadi benteng terakhir paganisme intelektual di Athena yang diajar oleh seorang guru besar bernama Proclus (412-485 M) murid Plotinus yang paling bersemangat. Inilah masa di mana agama berhasil memaksa filsafat "istirahat" hingga dua abad kemudian.
Sejak gereja (agama) mendominasi, peranan akal (filsafat) menjadi sangat kecil. Karena, gereja telah membelokkan kreatifitas akal dan mengurangi kemampuannya. Pada saat itu, pendidikan diserahkan pada tokoh-tokoh gereja yang kemudian dikenal dengan "The Scholastics", sehingga periode ini berikutnya disebut dengan masa-masa skolastik. Para filosof aliran skolastik menerima doktrin gereja sebagai dasar pandangan filosofisnya. Mereka berupaya memberikan pembenaran apa yang telah diterima dari gereja secara rasional.
Di antara pelopor filosof-teolog skolastik yang terkenal adalah Augustinus (354-430 M). Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dari yang tidak ada (creatio ex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah cinta pada Tuhan.
4. Abad Pertengahan
Ciri khas prinsip agama pada abad pertengahan ini terletak pada rumusan filosofis Santo Anselmus (1033-1109), yaitu credo ut intelligam (saya percaya agar saya paham). Filosofi ini jelas berbeda dengan sifat filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman. Puncak kejayaan masa skolastik dicapai melalui pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274). Ia mendapat gelar "The Angelic Doctor", karena banyak pikirannya, terutama dalam karya "Summa Theologia" menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya, pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan diolah akal. Namun, akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi yang ada pada daerah adikodrati. Ini merupakan masalah keagamaan yang harus diselesaikan dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal atau filsafat harus dikembangkan dalam upaya memperkuat dalil-dali agama dan mengabdi kepada Tuhan.
Pada tahap akhir masa skolastik terdapat filosof yang berbeda pandangan dengan Thomas Aquinas, yaitu William Ockham (1285-1349). Tulisan-tulisannya menyerang kekuasaan gereja dan teologi Kristen. Karenanya, ia tidak begitu disukai dan kemudian dipenjarakan oleh Paus. Namun, ia berhasil meloloskan diri dan meminta suaka politik kepada Kaisar Louis IV, sehingga ia terlibat konflik berkepanjangan dengan gereja dan negara. William Ockham merasa membela agama dengan menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus diterima atas dasar keimanan, bukan dengan pembuktian, karena kepercayaan teologis tidak dapat didemonstrasikan. Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi harus disesuaikan dan diabdikan untuk kepentingan gereja.
C. Sejarah Filsafat Barat Era Klasik
Berbicara tentang filsafat merupakan pembicaraan mengenai atraksi dan aksi-aksi akal. Berbeda dengan agama yang merupakan perbincangan tentang abstraksi-abstraksi intuitif yang sering melampaui premis-premis akal sehingga hubungan kedua perangkat epistem seringkali di titik-titik ketegangan yang tak terelakkan dan saling berbantahan.
Era Yunani klasik merupakan masa terpenting yang menandai kontribusi filsafat terhadap peradaban dunia. Banyak kebudayaan dunia yang berhutang pada kebudayaan pemikiran Yunani. Nama-nama, seperti Socrates. Plato, dan Aristoles menancapkan pengaruh pemikirannya dalam berbagai bidang khasanah kebudayaan yang terwariskan hingga saat ini. Meskipun sebenarnya banyak nama pemikir klasik Yunani yang lain yang juga layak disebut-sebut dalam sejarah.
1. Filsafat pra-Sokrates
Jaman tumbuh dan berkembangnya filsafat Yunani dapat dimulai dari tokoh-tokoh filosuf dari Miletos yang hidup sekitar abad ke -6 s.M. Diantaranya Anaximandros dan Anaximenes. Kota Miletos menjadi tempat lahir para folosof dan merupakan kota terpenting dari kedua belas kota Ionia. Thales, termasuk diantara filosuf dari Miletos yang hidup sekitar abad -6 SM. mengenai tanggal lahir dan kematiannya tidak ada data yang pasti, tetapi bukti akan jasa-jasanya nampak dengan keberhasilannya dalam meramal gerhana matahari yang terjadi tanggal 28 Mei 585. Pada tahun 494 SM Miletos musnah diserbu Persia. Nama-nama lain masa ini (selain Thales dari Miletos), yaitu Bias dari Priene, Pittakos dari Maytilene, Soolon dari Athena, Kleobolos dari Lindos, Khiloon dari Sparta, dan Preriandros dari Korinthos. Mereka semua disebut "tujuh orang bijak".
Para filosof Miletos (Mazhab Milesian) dikategorikan sebagai fase kegiatan filsafat pra-Sokrates. Filosof-filosof besar lain era pra-Sokrates adalah Pythagoras (580-500 SM) yang hidup sejaman dengan Anaximenes, Xenophanes (570-480 SM) kelahiran Kolofon Asia Kecil, Herakleitos (540-475 SM) dari Efesus, Parmenides (540-475 SM) dari Elea, Zeno (lahir 490 SM) murid Parmenides yang juga dari Elea, Empodokles (492-432 SM) dari Sisilia, Anaxagoras (499-420 SM) dari Athena, Leukippos (orang yang dianggap pertama kali mengajarkan tentang atom), Demokritos (460-370 SM).
2. Filsafat Arus Utama (Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Para Sophis)
Tokoh-tokoh filsafat arus utama, seperti Sokrates sebenarnya hidup sejaman dengan beberapa tokoh filsafat pra-Sokrates. Pembagian fase ini dilakukan untuk menandai ciri-ciri kegiatan filsafat dari para tokoh filsafat Yunani dengan pusat figur ada pada Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Tokoh-tokoh filsafat pra-Sokrates adalah tokoh pemikir yang kegiatan filsafatnya tidak mendapatkan pengaruh filsafat Sokrates. Di samping itu, pembagian ini sebenarnya untuk mempermudah pemetaan pemikiran filsafat Yunani yang sifatnya lentur.
Sepertihalnya agama (melalui jalan transendensi), filsafat merupakan kegiatan pencarian makna hakiki dari dunia material. Tetapi filsafat tidak membutuhkan apapun termasuk transendensi kecuali, BERPIKIR. Dengan kegiatan berpikir yang otonom itulah Sokrates mempertanyakan banyak hal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Yunani. Sokrates menyatakan:
I have never lived an ordinary quiet life. I did not care for the things that most people care about – making money, having a comfortable home, high military or civil rank, and all the other activities, political appoinments, secret societies, party organization, which go on in our city. I thought that I was really to strict in my principles to survive if I went in for this sort of thing. Examining both myself and others is really the very best thing that a man can do, and that life without this sort of examination is not worth living.
(Aku tidak bisa tinggal diam. Aku tidak peduli terhadap hal-hal yang menjadi kepedulian banyak orang, seperti menumpuk uang, memiliki rumah layak, posisi militer dan kemasyarakatan, pencapaian politik, aturan kelompok, perayaan perkumpulan, yang berlangusng di kota kita. Aku berpikir bahwa aku benar-benar seksama dalam prinsip mempertahankan upaya pemilahan atas sesuatu. Memeriksa diriku sendiri dan hal yang lain adalah hal terbaik yang dapat dilakukan seorang manusia. Hidup tanpa upaya pemilahan teruji ini, adalah hidup yang tidak bernilai).
Kritisisme Sokrates ini, mengantarnya menjemput ajal. Socrates, filsuf kuno Yunani harus mati dengan minum air cemara beracun. Penguasa (atas rekomendasi para agamawan konservatif) menilainya tidak menghargai dewa dan meracuni pikiran-pikiran anak muda Yunani dengan pemikiran-pemikiran yang membahayakan kepercayaan agama Yunani.
Selain Sokrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM), tokoh-tokoh aliran arus utama ini juga didukung oleh tokoh sophis, seperti Protagoras (480-411 SM), Gorgias (480-380 SM), Hippias kawan sebaya Sokrates yang berasal dari Elis, Prodikos juga teman sebaya Sokrates dari pulau Keos, Kritias dari Athena, Antisthenes pelopor aliran Stoa (Stoik), dan Aristippos pelopor aliran Epicuros. Tentu sosok terpopuler kelas ini (bahkan diantara semua filosof Yunani) adalah Plato dan Aristoteles. Profil Sokrates sendiri dikenal melalui Plato dan para pengagumnya, sebab Plato memang tidak meninggalkan sebaris tulisanpun.
Ketiga tokoh menonjol arus utama di atas tidak digolongkan sebagai tokoh sophis karena justru mereka mengkritik cara kerja filosof-filosof bercorak sophis yang dinilai terlampau retoris dan oratif ketika menyampaikan buah pikiran mereka. Istilah sophis sebenarnya memiliki arti yang baik, yaitu seorang yang bijaksana, seorang ahli, seorang cendekia, dan seorang sarjana. Namun, istilah itu menjadi berkonotasi negatif karena maraknya guru-guru filsafat yang berkeliling dari kota ke kota lain untuk memainkan peranan penting di tengah masyarakat Yunani melalui cara-cara penyampaian pidato yang lihai. Sokrates, Plato, Aristoteles, dan para pengikutnya mengecam filosof-filosof yang menggunakan kemampuan berargumen secara filosofis untuk maksud-maksud tertentu (yang bersifat pribadi) yang tidak sah sebagai tindakan orang-orang sophis.
3. Filsafat Hellenistik (peralihan budaya Yunani-Romawi)
Ketika pada tahun 323 SM Aleksander Agung (Alexander The Great) meninggal, berkobar huru-hara di Athena menentang Macedonia (pusat kekuasaan Aleksander). Aristoteles yang sempit bertindak menjadi tutor intelektual Aleksander dituduh sebagai penghianat. Aristoteles meninggalkan Athena menuju Khalkes dan beberapa waktu kemudian meninggal di sana sebagai orang terasingkan.
Meninggalnya Aristoteles adalah defisit besar bagi sejarah pemikiran Yunani era arus utama. Namun, kira-kira 5 abad kemudian muncullah sosok yang tak kalah genial dengan Aristoteles. Sosok itu bernama Plotinus dan menjadi figur filosof era filsafat Hellenisme. Di era ini, filsafat bukan sekedar persoalan teoritik yang rumit melainkan beralih menjadi trend seni hidup bagi banyak orang. Banyak aliran yang muncul pada masa ini yang secara garis besar terbagi menjadi dua : aliran etis (menekankan pada persoalan-persoalan kebijaksanaan hidup yang praktis) dan agamis. Yang termasuk aliran etis adalah aliran Epicuros, Pyrrho dari Elis, dan Stoa. Sedangkan yang termasuk golongan agamis adalah aliran filsafat Neo-Pythagoras (salah satu tokohnya adalah Appolonius dari Tyana yang hidup pada abad 1 SM), Platonis Tengah (tokohnya adalah Plutarkhos dan Noumenios), Yahudi (tokohnya Philo anggota keluarga Imam Yahudi dari Iskandariah), dan Neo-Platonis (tokohnya Ammunius Saccus dari Iskandariah dan muridnya, Plotinus yang pernah berkarir di militer Romawi).
4. Filsafat pasca Hellenistik
Di era ini filsafat Yunani menjadi alat bagi pemertahanan ajaran Yahudi-Kristen. Agama telah "berselingkuh" dengan filsafat. Era ini dapat juga disebut dengan jaman filsafat Patristik (dari asal kata Pater=bapa; pendeta gereja) atau filsafat Katolik menurut istilah Bertrand Russell. Pada masa ini, sebenarnya filsafat tidak sepenuhnya diterima sebagai basis argumen teologi Yahudi-Kristen. Banyak juga yang menolak dan menyusun sendiri konsep filsafat yang mereka nilai bersumber dari ajaran Kristen. Tetapi tidak dapat dibantah bahwa penolakan itu semu karena pengaruh filsafat Yunani terhadap para teolog Yahudi dan Kristen adalah tak terbantahkan. Tokoh-tokoh filosof pasca Hellenisme ini di antaranya adalah Irenaeus (202 M), Klemens (150-215 M) dari Iskandariah, Origenes (185-254 M) juga dari Iskandariah, Tertullianus (160-222 M) dari Karthago Afrika Utara, dan Aurelius Augustianus (354-430 M) dari Numedia yang dijuluki "Bapak Filsafat Kristen". yang besar pengaruhnya pada filsafat abad pertengahan.
Agustinus adalah tokoh besar yang berhasil menguasai pemikiran Eropa hingga lebih dari 10 abad. Pemikiran filsafat Agustinus mendapatkan pengaruh dari Neo-Platonisme yang digagas Plotinus. Setelah masa Agustinus, sekitar abad ke-5 M, filsafat pasca Hellenisme yang bercorak Patristik mulai merosot hingga abad ke 8 M. Tidak muncul lagi tokoh-tokoh baru yang memfenomena untuk dibahas. Filsafat di Barat mulai menggeliat kembali di abad pertengahan berikutnya dan disebut filsafat Skolastik.
5. Filsafat Abad Pertengahan (Skolastik)
Kegiatan berfilsafat menjadi mandeg karena Romawi dan segenap elemen kebudayaannya sedang dilanda kekacauan akibat serangan-serangan asing ke pusat-pusat wilayah Romawi. Baru pada masa Karel Agung (742-814 M), Romawi dapat mengendalikan situasi sehingga kegiatan filsafat dan teologis berlangsung kembali. Pada masa ini kegiatan filsafat sepenuh ditopang oleh keyakinan kukuh pada iman kristiani. Filsafat era ini tidak lebih dari filsafat budak Kristen. Sebuah masa yang payah bagi filsafat. Tokoh-tokohya antara lain, yaitu Johannes Scotus Eriugena (810-870) dari Irlandia, Anselmus (1033-1109 M) dari Canterbury Inggris, dan Petrus Abaelardus (1079-1142 M) dari Perancis. Puncak skolastik berada di tangan Albertus (1206-1280 M) dari Jerman dan Thomas Aquinas (1225-1274 M). Akhir skolastik memudar di pertengahan kedua abad 13. Kejemuan terhadap sistem filsafat yang ada melanda generasi kala itu. Dengan berakhirnya era filsafat pertengahan, lahirlah era baru filsafat modern di Barat.
D. Penutup
Sejarah klasik Barat memang sempat menjadikan agama sebagai pedoman hidup, namun harus diakui bahwa hubungan kesejarahan antara filsafat dan agama mengalami pasang surut yang tajam. Sejarah agama pada masa klasik di Barat nyaris disapu-warnai sepenuhnya oleh filsafat. Walaupun secara ironi, filsafat pernah menjadi "budak" iman gereja/Kristen. Namun, Barat tidak begitu antusias mengidentik diri dengan akar asal-muasal agama karena Barat menegaskan kesejarahannya dibangun di atas pondasi rasio filsafat (tradisi Yunani) yang kental.
Hingga saat ini (untuk konteks sejarah Yunani kuno) belum banyak telaah yang dapat dilakukan untuk meneliti pengaruh agama terhadap pemikiran Yunani, terutama agama yang non-Olympian (dewa Zeus dan kawan-kawannya). Yunani batal melahirkan agama yang bertipe Timur karena mereka tak punya lembaga kependetaan. Apapun yang terjadi, filsafat telah memberikan kontribusi yang luar biasa bagi sejarah peradaban dan kebudayaan Barat. Bahkan hingga saat ini.#

DAFTAR PUSTAKA

Tafsir Ibn Katsir, Noble Quran With Tafseer v.4.0 www.islamsprit.com
Harold A. Titus dkk dalam bukunya Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM. Rasjidi, (Bulan Bintang:Jakarta, 1984)
Joseph Runzo, A Short Introduction Global Philosophy of Religion, (Oneworld:Oxford, 2001)
Edward W. Said, Orientalisme, (Pustaka:Bandung, 1994)
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bentang:Yogyakarta, 2005)
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, (Mizan:Bandung, 2001)
Crane Briton, A History of Civilization, V.1, (Prentice-Hall:New Jersey, 1962)
Encyclopaedia Britannica. s.v "Hellenic Age"
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Kanisius:Yogyakarta, 2006)
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko dkk, (Pustaka Pelajar:Yogyakarta, 2004)
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Kanisius:Yogyakarta, 1987)

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

5 komentar

Write komentar
February 4, 2015 at 8:16 PM delete

terimakasih atas infonya semoga bermanfaat

Reply
avatar
March 13, 2015 at 12:16 AM delete

nice post gan
menarik nih dan sangat bermanfaat sekali info nya
di tunggu info selanjutnya, thanks ya

Reply
avatar
March 19, 2015 at 11:17 PM delete

terimakasih info nya
bermanfaat bgt

Reply
avatar
March 19, 2015 at 11:30 PM delete

menarik dan bermanfaat sekali nih infonya
du tunggu info selanjutnya
terimakasih

Reply
avatar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar