Isu Aktual Dalam Al-Quran

Admin Friday, December 17, 2010
Bab I
Pendahuluan
Salah satu isu global dan kontemporer yang menjadi “musuh bersama” (common enemy) umat manusia adalah krisis lingkungan hidup (crisis of environment). Krisis lingkungan saat ini sudah sampai pada tahap yang serius dan mengancam eksitensi planet bumi di mana manusia, hewan dan tumbuhan bertempat tinggal dan melanjutkan kehidupannya. Kerusakan lingkungan baik dalam skala global maupun lokal termasuk di Indoensia hingga saat ini sudah semakin parah. Indikator kerusakan lingkungan terutama yang diakibatkan oleh degradasi lahan cukup nyata didepan mata dan sudah sangat sering dialami seperti banjir tahunan yang semakin besar dan meluas, erosi dan pendangkalan (sedimentasi) sungai dan danau, tanah longsor, kelangkaan air (kuantitas dan kualitasnya) yang berakibat terjadinya kasus kelaparan di beberapa daerah dinegara kita dan beberapa negara lain. Polusi air dan udara, pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dunia, mencairnya salju di wilayah kutub utara dan selatan, kerusakan keragaman hayati, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan serta ledakan hama dan penyakit merupakan gejala lain yang tak kalah serius yang sedang mengancam kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan diplanet bumi ini.
Masalah lingkungan atau wawasan ekologi hampir tidak mendapatkan tempat dalam agama, tak terkecuali Islam. Agama memang “mampu” berbicara panjang lebar dan detail tentang eskatologi (alam akhirat beserta isinya: surga, neraka, malaikat, bidadari dll), ibadah ritual (salat, puasa, zikir, beserta pernik-perniknya), teologi (sifat Tuhan, zat Tuhan, dan seterusnya), moralitas individual dan lain-lain, tetapi hampir-hampir tidak menyinggung masalah dunia ekologi (lingkungan hidup), padahal lingkungan hidup adalah masalah yang sangat fundamental dan esensial bagi kehidupan
Dalam konteks Studi Al-Quran dan tafsir, tidak ditemukan bahasan dan kupasan yang memadai dan komprehensif terkait upaya pelestarian lingkungan hidup maupun teologi lingkungan. Kitab-kitab tafsir baik klasik hingga modern banyak bergumul dengan isu-isu kemanusiaan dan eskatologis, hingga isu tentang “lingkungan hidup” serta upaya membangun trilogi hubungan yang harmonis antara manusia-tuhan-alam menjadi terlupakan.
Bab II
Pembahasan
A. Kondisi Lingkungan hidup Global
Krisis lingkungan hidup akibat tindakan eksploitatif yang destruktif mengakibatkan berbagai ancaman bencana bagi dunia global. Kerusakan lingkungan hidup ini antara lain ditandai dengan eksploitasi hutan secara berlebihan, penambangan tanpa melihat dampak lingkungan, maupun produk di karbondioksida yang berlebihan dari asap kendaraan, freon dan dunia industri. Akibatnya, berbagai bencana pun mengancam umat manusia, diantaranya:
1. Perubahan iklim Pemanasan global (global warming). Hal ini ditandai adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. Dalam KTT Global Warming di Nusa Dua Bali tanggal 3-14 Desember 2007 yang diikuti sekitar 15.000 delegasi dari 180 negara anggota PBB, disepakati bahwa pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim merupakan fenomena alam menakutkan bagi penghuni bumi yang tidak mustahil akan merusak dan menghancurkan bumi. Suhu yang semakin panas akan mempengaruhi secara langsung terhadap kepunahan spesies flora dan fauna sekaligus akan menurunkan produktifitas hasil pertanian di daerah tropis seperti Asia dan Afrika.
2. Bencana banjir dan tanah longsor. Berbagai bencana alam tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang saling berjalin kelindan antara diakibatkan gundulnya hutan, sistem pembuangan sampah dan pengelolaan air yang tidak sesuai dengan kaidah pengelolaan lingkungan serta eksploitasi sumber daya alam yang tidak mengindahkan dampak lingkungan. Kerusakan hutan di Indonesia serta dunia pada umumnya merupakan pemicu dan pemacu utama bencana banjir dan tanah longsor yang akhir-akhir ini makin akrab menyambangi manusia. Sampai dengan tahun 2005, pemerintah mengklaim Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 126,8 juta hektar namun lahan kritis di hutan mencapai 59,17 juta hektar dan lahan kritis diluar kawasan hutan mencapai 41,47 juta hektar. Kerusakan hutan tiap tahunnya tidak berkurang tapi makin bertambah. Pada tahun 1950 sampai dengan 1985 angka kerusakan mencapai 32,9 juta hektar atau setara dengan 942 ribu hektar setiap tahun. Penguasaan 70 persen pasar plywood dunia pada tahun delapan puluhan juga memicu kehilangan hutan seluas 45,6 juta juta hektar atau dengan rata-rata deforestasi 5,7 juta hektar hutan pertahun (1985 – 1993). Sementara tiap tahun kita hanya mampu merehabilitasi hutan seluas 70 ribu hektar. Dengan perhitungan yang kasar, dan tanpa adanya perubahan tingkahlaku, maka tahun 2023, hutan di Indonesia tinggal 19 juta hektar saja. Sementara itu dengan jumlah penduduk mencapai 219,9 juta jiwa , sekitar 48,8 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di dalam dan sekitar hutan.
3. Krisis air bersih yang kini melanda beberapa daerah di pulau Jawa pada khususnya dan dunia pada umumnya. Hal ini disebabkan masih banyak manusia atau sekelompok manusia yang mempunyai perilaku buruk terhadap air dan sumber air. Air dan sumber-sumber air terutama sungai, danau dan laut dijadikan sebagai tempat buangan berbagai macam limbah, mulai dari limbah –limbah yang mudah terurai hingga logam berat. Akibatnyan air dan sumber air menjadi tercemar, terkontaminasi dan tak bisa dimanfaatkan (dengan dampak mematikan ) bagi manusia, hewan maupun tumbuhan. Disamping itu masih banyak pula manusia yang berlaku boros dalam menggunakan air. Disamping itu, krisis air juga disebabkan kurangnya daerah resapan air akibat makin berkurangnya daerah hutan yang mnjadi media resapan air. Padahal dalam Al-Quran ditegskan bahwa air merupakan asal sekaligus sumber kehidupan bagi makhluk hidup (QS. Al-Rum: 21).
Disamping krisis-krisis lingkungan yang telah disebutkan di atas, masih banyak ancaman lain akibat krisis lingkungan hidup, antara lain dengan berkembangnya berbagai penyakit akibat penggunaan bahan kimia pada tanaman. Polusi udara juag mengancam penduduk bumi dengan berbagai ancaman penyakit yang tidak ringan.
Pada akhirnya krisis lingkungan hidup suatu saat akan melahirkan konflik horizontal antar masyarakat sekaligus munculnya imperialisme nagara-negara kuat terhadap negara lemah dalam upaya merebut sumber daya alam yang semakin menipis dan rusak akibat krisis lingkungan. Bukankah ini ancaman global yang nyata yang menghadang segenap umat manusia?
B. Krisis lingkungan hidup dalam perspektif Al-Quran
Salah satu ayat Al-Quran yang dianggap representatif untuk berbicara tentang krisis lingkungan hidup global saat ini adalah QS. Al-Rum: 41 yang menyatakan:
        ••      
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Terkait dengan isu krisis lingkungan hidup global dewasa ini, kata “fasad” dalam ayat di atas merupakan salah satu kata kunci (key word) yang menjadi pokok bahasan. Kata al-fasad menurut Al-Ashfahani adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan menunjuk apa saja baik jasmani, jiwa, maupun hal-hal lain.Kata al-fasad juga merupakan antonim dari kata al-shalah yang berarti manfaat, kebaikan atau berguna.
Sementara ulama, terutama ulama-ulama klasik, membatasi pengertian kata al-fasad pada ayat ini dalam arti tertentu yang sempit seperti kemusyrikan atau pembunuhan Qabil terhadap Habil. Begitu juga misalnya Ibnu Katsir (tafsir Ibn Katsir) dan Al-Qurthubi (al-Jami’ li Ahkam Al-Quran) memahami kata al-fasad hanya sebagai perbuatan syirik, pembunuhan dan maksiat. Pendapat-pendapat yang membatasi makna al-fasad tersebut, dalam pandangan Quraish Sihab tidak memiliki basis argumentasi yang kuat. Beberapa ulama kontemporer memahaminya dalam konteks kerusakan lingkungan, karena ayat tersebut mengaitkan al-fasad dengan kata darat dan laut. Lebih jauh lagi, Quraish Shihab mengutip pendapat al-Biqa’i yang menyatakan bahwa al-fasad berarti “kekurangan dalam segala hal yang dibutuhkan makhluk”. Makhluk dalam arti yang luas tidak terbatas hanya manusia.
Ayat di atas menyebutkan bahwa darat dan laut merupakan tempat terjadinya kerusakan (fasad). Tidak disebutkannya udara, menurut Quraish Shihab, boleh jadi karena yang ditekankan disini adalah apa yang nampak secara kasat mata (visible), sebagaimana makna kata zahara yang berarti “tampak”. Apalagi ayat ini turun dalam konteks masyarakat yang belum memiliki wawasan yang luas tentang ekologi lebih-lebih tentang atmosfer.
Pendapat ini walaupun dari sisi mengandung kebenaran, namun kuranglah tepat untuk menggambarkan cakupan maknanya. Tidak disebutnya udara atau bagian atmosfer (al-jaww al-sama’) sebagai bagian alam yang rusak, karena sumber kerusakan atmosfer yang mnjadi pemicu pemanasan global adalah dipicu dan dipacu adaanya kerusakan di daratan dan lautan, sehingga dengan demikian hanya “darat dan laut” saja yang disebutkan dalam ayat di atas.
Lebih jauh lagi ayat di atas mengisyaratkan bahwa alam raya telah diciptakan Allah dalam satu sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia. Akan tetapi karena manusia melakukan kegiatan yang destruktif, sehingga terjadilah kepincangan dan ketidak seimbangan dalm sistem kerja alam. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap manusia. Semakin banyak dan beraneka macam ragam dosa manusia, semakin parah pula kerusakan lingkungan. Bila terjadi gangguan pada keharmonisan dan keseimbangan alam, maka kerusakan terjadi, dan hal ini kecil atau besar, pasti berdampak pada seluruh bagian alam termasuk manusia, baik yang merusak maupun yang merestui kerusakan alam.
Dengan kata lain, bencana yang diisyaratkan dalam ayat tersebut di atas merupakan bentuk hukum kausalitas antara manusia dengan alam. Ketika manusia “berbuat baik” dan menjaga hubungan yang harmonis dengan makhluk lainnya, maka makhluk lain pun akan ‘memberikan yang terbaik” kepada manusia, begitu pula sebaliknya.
Intisari dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa krisis lingkungan hidup yang berdampak pada munculnya berbagai bencana seperti banjir, tanah longsor, pemanasan global, krisis air bersih merupakan dampak dari perbuatan manusia sendiri yang berlaku zalim alias tidak adil terhadap alam. Padahal dalam berbagai ayat, Al-Quran telah mengingatkan:
        •  •     
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia, manusia sebagai khalifaullah fi al-Ardl, dipersilahkan oleh Tuhan untuk memanfaatkan sekaligus mengelola segala sumber daya yang ada dibumi. Dalam konteks ini Al-Quran memberikan penjelasan sebagi berikut:
                         •     

“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Ayat di atas secara eksplisit menjelaskan bahwa manusia dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan hidupnya di dunia. Namun disini ada satu syarat yang harus dipenuhi yaitu manusia “harus berbuat baik” kepada makhluk Tuhan yang lain, yakni berupa dunia fauna, flora, serta semua hal menyangkut ekosistem bumi. Hal ini karena Tuhan telah “berbuat baik’ kepada manusia yaitu dengan cara menempatkannya di bumi dengan segala fasilitas yang lengkap. Cara untuk berbuat baik tersebut yakni dengan tidak melakukan eksploitasi yang berlebihan yang dapat melahirkan kerusakan lingkungan.
C. Penyebab Krisis Lingkungan
Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional, jika dicermati, sebenarnya berakar dari pandangan manusia tentang alam dan lingkungannya (teo-ekologi). Perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap alam itulah yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini. Cara pandang dikotomis yang yang dipengaruhi oleh paham antroposentrisme yang memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia dan bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan.
Cara pandang antroposentris ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras sumber daya alam dengan sebesar-besarnya demi kelangsungan hidupnya. Tak pelak, krisis lingkungan pun sulit terhindarkan, karena alam tidak mampu lagi berdaya menahan gempuran keserakahan manusia. Akar antroposentrisme disebutsebut bersumber dari dua tradisi pemikiran, yakni agama-agama monotheis dan alam pikiran modern. Dari agama, misalnya didasarkan pada Kitab Kejadian pasal 1 ayat 26- 28 yang menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah. Dari sinilah seorang pemikir seperti Thomas Aquinas menyebut bahwa manusia berada pada posisi yang terdekat dengan Tuhan, bahkan manusia merupakan imago Dei, sementara makhluk selain manusia (alam dan ekosistemnya) begitu jauh dengan Tuhan. Ungkapan tersebut serupa dengan posisi manusia sebagai khalifah Tuhan yang terungkap di dalam Alquran, misalnya pada surat Al-Baqarah ayat 30 dan Al-Fatir ayat 39. Karena kekhalifahannya, manusia juga diberi fasilitas kehidupan berupa apa-apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya ditundukkan untuk kepentingan manusia. Hal ini terungkap misalnya pada Surat Luqman ayat 20 dan al-Jatsiyah ayat 13.
Jadi, cara pandang manusia yang bersipat antroposentris menjebak manusia itu sendiri kepada sikap eksploitatif dan destruktif terhadap alam dan lingkungan tanpa berpikir bahwa manusia, tuhan dan alam merupakan trilogi hubungan yang bersifat integral.
D. Upaya Menanggulangi Krisis Lingkungan
Berpijak dari ajaran Al-Quran tentang hubungan manusia dengan lingkungan hidup, ada beberapa hal yang ditawarkan untuk menanggulangi krisis lingkungan hidup.
1. Rekonstruksi teologi Lingkungan
Jika ditelisik lebih dalam, lingkungan sebenarnya memiliki makna yang luas dan mendalam. Ia dedifinisikan sebagai “sustu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang bekerja secara teratur sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur biotik (manusia, hewan, tumnbuhan) dan abiotik (udara, air, tanah, iklim dan sebgainya). Dalam definisi yang lain, lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang menentukan perikehidupan serta kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa antara manusia dan alam sekitarnya, yakni hewan, tumbuhan dan makhluk lainnya, memiliki kedudukan dan fungsi yang sejajar dan seimbang. Dengan kata lain semua berada pada rantai ekosistem yang saling membutuhkan. Al-quran dalam hal ini menegaskan:
          •     
•     
Dan kami Telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan kami Telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya.

Secara eksplisit, ayat di atas menegaskan bahwa kehidupan di muka bumi diciptakan dengan ukuran atau mekanisme dan kausalitas tertentu yang saling berhubungan. Dengan demikian, manusia tidak dapat mengkalim bahwa dialah pihak yang paling punya otoritas dalam menentukan segala sesuatu (antroposentrisme).
Lebih jauh lagi, dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman/31: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A’raf/7: 56). Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologis. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran berat. Sebab, alam dicipatakan dengan cara yang benar (bi al-haqq, QS. al-Zumar/39: 5), tidak main-main (la’b, QS. al-Anbiya’/21: 16), dan tidak secara palsu (QS. Shad/38: 27).
Perlu pula dicatat, bahwa kata ‘khalifah’ berarti orang yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan aturan-aturan di muka bumi.. Kekhalifahan ini mempunyai tiga unsur yang saling berjalin-kelindan, yang kemudian ditambah unsur keempat yang berda di luar namun sangat menentukan arti kekahlifahan. Ketiga unsur pertama adalah manusia (dalam hal ini disebut khalifah), alam raya (bumi), serta hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya termasuk dengan manusia (istihlaf). Sedangkan unsur keempat yang merupakan unsur eksternal adalah Allah sebagai pemberi tugas kekhalifahan. Dalam hal ini, yang diberi tugas harus memperhatikan kehendak yang memberikan tugas yakni Allah.
Masih dalam konteks manusia sebagai khalifah, diutusnya Nabi Muhammad saw kepada manusia sebagaimana ditegaskan oleh Al-Quran adalah sebagai rahmat bagi semesta alam seperti ditegaskan-Nya.
    
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Dengan demikian, kehadiran manusia di muka bumi seyogyanya mampu menjadi pengayom, penjaga dan pemelihara bagi seluruh makhluk yang ada agar semua tetap eksis dan hidup secara harmonis satu sama lain (simbiosis mutualistik).
Dalam konteks ini, Naess (1993) salah seorang penganjur ekosentrisme dan deep ecology pernah menyatakan bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini hanya bisa diatasi dengan merubah secara fundamental dan radikal cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Tindakan praktis dan teknis penyelamatan lingkungan dengan bantuan sain dan teknologi ternyata bukan merupakan solusi yang tepat. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku dan gaya hidup yang bukan hanya orang perorang, akan tetapi harus menjadi semacam budaya masyarakat secara luas. Dengan kata lain dibutuhkan perubahan pemahaman baru tentang hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya yang akan bisa melandasi perilaku manusia terhadap alam.
Dalam kaitan dengan hal ini pula, menarik untuk dikemukakan apa yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi, bahwa penamaan surat-surat Al-Quran dengan mengambil nama satwa seperti al-Baqarah (sapi), al-An’am (binatang ternak), al-Fiil (gajah), al-Adiyat (kuda), al-Naml (semut), al-Nahl (lebah), dan Al-Ankabut (laba-laba) serta nama-nama dunia flora seperti al-Tin (sebangsa tumbuh-tumbuhan), al-Hadid (barang tambang), Al-Syams (matahari), dan sebagainya adalah isyarat agar manusia sadar bahwa dirinya terikat dengan alam sekitarnya, sehingga manusia tidak lalai dalam menjalankan kewajiban melestarikan alam.
2. Membangun ekologi sebagai doktrin ajaran.
Pada saat ini, sudah saatnya bagi umat Islam menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu’), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib). Lebih jauh Qardhawi menjelaskan bahwa perbuatan merusak alam menodai substansi dari keberagamaan yang benar dan secara tidak langsung menuadakan tujuan eksistensi manusia di muka bumi. Di lain pihak perbuatan sewenang-wenang terhadap alam dengan mengeksploitasinya secara berlebihan tanpa memikirkan dampaknya bertentangan dengan perintah Al-Quran untuk berbuat adil dan ihsan.
Pendapat Qardhawi tersebut agaknya patut diapresiasi bahkan menjadi suatu keniscayaan. Selama ini, pembahasan para cendekiawan muslim yang bergelut dalam kajian keagamaan khususnya fikih dan tafsir hanya sibuk membahas hubungan manusia dengan Tuhan sereta manusia dengan sesamanya. Sementara alam sekitarnya hanya dianggap sebagai “pelengkap dan pelayan” umat manusia.
Masih terkait dengan pendapat di atas, Emil Salim, pakar lingkungan hidup yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup, dalam tulisannya Sains dan Pembangunan Berkelanjutan menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai kunci sukses pembangunan yang ideal memiliki tiga (3) kali yaitu kaki keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Ketiganya harus berjalan secara serentak dan seimbang tanpa mengabaikan satu sama lain. Mengapa harus demikian? Menurut Emil Salim Pembangunan ekonomi yang mengabaikan aspek sosial dan lingkungan akan berdampak terhadap munculnya krisis lingkungan hidup seperti naiknya suhu bumi, berubahnya iklim dan naiknya permukaan airi laut. Disamping itu pembangunan yang mengabaikan aspek ekologi dan hukum lingkungan juga berdampak pada degradasi tanah, erosi keanekaragaman hayati, menipisnya lapisan ozon dan lain sebagainya. Pembangunan, menurut Emil Salim, harus dilakukan dengan pendekatan holistik, bukan pendekatan sektoral. Setiap deprtemen dan instansi harus duduk bersama untuk menyusun konsep pembangunan yang ramah sosial dan ramah lingkungan sehingga bumi akan tetap menjadi tempat yang nyaman untuk didiami.
3. Perlunya merekonstruksi teologi bencana.
Selama ini terdapat satu teologi yang keliru tentang bencana alam, bahwasanya berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor, serta merebaknya berbagai penyakit menular seperti demam berdarah sebagai hukuman dari Tuhan. Tuhanlah penyebab segala bencana yang ada. Manusia kemudian enggan melakukan introspeksi dan otokritik. Ketika musibah menimpa, kebanyakan manusia hampir selalu berlindung dan mencari pembenaran atas setiap bencana tersebut dibalik ayat:
         •   
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Dengan kata lain, manusia menganggap bahwa mereka adalah makhluk yang sedang diuji kesabarannya oleh Tuhan dengan berbagai bencana alam yang menimpa mereka. Akan lebih menyedihkan lagi jika kemudian manusia terperangkap kepada teologi yang fatalis. Dalam konteks teologi seperti ini, manusia kemudian memiliki asumsi bahwa segala musibah yang melanda merupakan ketentuan Tuhan yang telah termaktub sejak zaman azali. Teologi seperti ini disandarkan kepada Ayat-Nya:
                 • 
                 • 
  
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembiraterhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”

Kekeliruan manusia dalam memaknai bencana tidak hanya sebatas ‘menyalahkan’ Tuhan sebagai pembuat bencana, namun kelompok manusia yang berideologi fasad, yakni ideologi yang berorintasi pada eksploitasi manusia dan alam secara berlebihan untuk kepentingan segelintir. ketika diperingatkan agar tidak membuat kerusakan di bumi, mereka justru mengkalim bahwa mereka adalah kelompok yang melakukan perbaikan. Dalam hal ini Al-Quran menjelaskan:
               
   
Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.

Ketika berbicara tentang bencana, Al-Quran sendiri menggunakan berbagai istilah dan konteks yang berbeda sesuai dengan jenis dan penyebab bencana itu sendiri. Istilah yang digunakan tersebut misalnya mushibah (76 kali), bala’ (6 kali), fitnah (60 kali), azab, serta iqab.
Dalam konteks bencana yang disebabkan oleh ketidakseimbangan ekosistem dan ketidakharmonisan alam, hal tersebut tentu saja akibat kesalalahan manusia sendiri. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran:
          
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).

Lebih tegas lagi, Al-Quran menjelaskan bahwa bencana yang disebabkan kerusakan lingkungan hidup adalah akibat perbuatan manusia sendiri, sehingga dengan adanya bencana yang ditimbulkan akibat kerusakan tersebut merupakan azab sekaligus peringatan dan pelajaran bagi manusia agar melakukan introspeksi dan kembali kepada pemahaman serta perlakuan yang benar terhadap lingkungan hidup (QS. 21:41)
Namun demikian, upaya penanggulangan krisis lingkungan hidup tidak cukup hanya dengan membangun kesadaran keagamaan semata. Diperlukan sebuah gerakan mendampingi pembangunan agar berperspketif ekologis. Kebijakan-kebijakan politik yang anti-ekologi, mekanistik dan materialistik diarahkan menuju kebijakan politik yang sadar lingkungan. Hal ini penting dan krusial, karena krisis lingkungan hidup saat ini telah mencapai titik yang sangat parah dan tidak mungkin hanya diselesaikan melalui pendekatan agama. Dalam konteks ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya dan sosial.












Bab III
Penutup

Sebagai penutup dari pembahasan dalm makalah ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dunia global sedang mengalami krisis lingkungan hidup yang berdampak pada kemaslahatan kehidupan manusia. Krisis lingkungan hidup tersebut antara lain pemanasan global, perubahan iklim, mencairnya es di kutub utara, deforestasi hutan dunia yang menjadi penyebab berbagai bencana alam yang melanda umat manusia.
2. Kerusakan lingkungan sebagaimana disinyalir Al-Quran diakibatkan oleh kesalahan manusia dalam memperlakukan alam. Kesalahan tersebut kesemuanya berawal dari teologi yang keliru dimana manusia memandang bahwa dirinya lah yang menjadi pusat segalanya dalam kehidupan (antroposentrisme). Untuk memperbaiki cara pandang yang keliru tersebut, diperlukan cara pandang baru dalam melihat aspek lain dalam kehidupan manusia yakni dengan membangun teo-ekologi yang memandang seluruh makhluk sebagai bagian yang holistik dan interdependen satu sama lain.
3. Untuk memperbaiki cara pandang yang keliru tersebut, diperlukan cara pandang baru dalam melihat aspek lain dalam kehidupan manusia yakni dengan membangun teo-ekologi yang memandang seluruh makhluk sebagai bagian yang holistik dan interdependen satu sama lain. Dengan cara pandang yang holistik dan humanis, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) akan mampu menjaga lingkungan hidup dari krisis yang mengancam kehidupan umat manusia.








DAFTAR PUSTAKA


Al-Raghib Al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfaz Al-Quran (Beirut:Dar al-Fikr, tth)

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)

Emil Salim, Sains dan Pembangunan Berkelanjutan, PDF reader, download tanggal 15 Mei 2008.

http://id.wikipedia.org (“Agama dan Basis Etika Lingkungan Global”)

Jalaluddin As-Suyuti. Addurr al-Mantsur dalam CD Maktabah Syamilah

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 11 (Jakarta: Lentera, 2006)

-------------, Menabur Pesan Ilahi, (Jakarta: Lentera, 2006)

-------------, Tafsir Al-Misbah, vol. I (Jakarta: Lentera, 2006)

-------------, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1999)

Tafsir Ibn Katsir dan al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran dalam CD Maktabah Syamilah 2007

Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup.

Wikipedia Indonesia.( “Pemanasan Global”)

www. Muhammadiyah. Or.id. (“Memahami Nilai Air dan mengambil manfaatnya bagi Kehidupan)

www.Muhammadiyah. Or.id

www.muhammadiyah.or.id (“Ideologi Fasad”)

www.Muhammadiyah.or.id (“Islam dan perubahan Iklim”)

Yusuf Qardhawi, Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam, diterjemahkan dengan judul Islam agama Ramah Lingkungan (Jakarta: Pustaka Alkausar, 2002)

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar