Pluralitas Beragama dalam Perspektif Nurcholish Madjid

Admin Friday, December 17, 2010
Oleh: M. Su’ud, Lc.

A. Pendahuluan
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Ia juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” yang hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Akan tetapi pluralisme di sini haruslah dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”.
Allah juga telah menjelaskan bahwa Ia tidak pernah menghendaki manusia menjadi umat yang satu yang diatur oleh satu gagasan, melainkan mereka akan selalu berbeda dan terus berbeda seiring laju zaman. Hal ini menurut al-Qur’an adalah suatu keharusan demi keselamatan umat manusia, dan memelihara keutuhan bumi sebagaimana diisyaratkan:
   ••          
Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.

Dalam pergaulan antara agama dewasa ini, memang semakin hari kita merasakan semakin intensnya pertemuan agama-agama itu. Pada tingkat pribadi misalanya, hubungan antara pemuka-pemuka agama semakin meneukan titik toleransi dan keakraban. Namun pada tingkat teologis ternyata masih ditemukan kebingungan-kebingunagan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri di tenga agama-agama lain.
Dari pemaparan di atas menegaskan adanya paham pluralisme dalam kehidupan ini masih saja menyisakan masalah yang dewasa ini banyak menyulut perdebatan diantara umat Islam yang menuntut untuk segera ditemukan solusinya agar tidak berlarut-larut dalam susana yang tidak harmonis. Oleh karena itu dalam tulisan singkat ini kami mencoba untuk menelusuri hakikat yang sebenarnya tentang pluralisme beragama melalui kacamata Nurcholish Madjid dimulai dari pembahasan tentang konsep kesatuan kebenaran, kemajemukan keagamaan, dan bagaimana akhlaq al-Qur’an menyikapi keragaman kersebut.

B. Sekilas tentang Nurcholish Madjid
Nurcholis Madjid (selanjutnya ditulis cak Nur), lahir di Jombang Jawa Timur, 17 maret 1939. ia adalah alumni KMI pesantren Gontor Ponorogo 1960, menyelesaikan S1 Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1968, kemudian meraih gelar Doktor (summa Cum Laude) dari niversitas Chicago di AS 1984. disertasinya berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafa.
Cak Nur adalah pribadi yang sering dijuluki "Guru Bangsa" karena banyak memikirkan bagaimana Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berperadaban tinggi. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya terbatas mengenai Islam, tetapi juga meliputi pemikiran tentang ke Indonesiaan modern. Ia telah menulis sebuah buku Indonesia Kita (2003), yang berisi platform reformasi yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi dan politik negara dan bangsa Indonesia.
Ia pun menjadi pelopor banyak isu pembaruan politik, seperti ide pentingnya oposisi loyal, civil society, demokrasi, Pancasila sebagai common platform bangsa di tengah nilai-nilai keagamaan, pluralisme, hak asasi manusia. Kontribusi pemikiran Cak Nur bukan hanya berkaitan dengan umat Islam, tetapi juga bangsa Indonesia
Adapun pengalaman-pengalaman beliau diantaranya, selama dua periode memimpin himpunan mahasiswa islam (HMI) 1966-1971 dan menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara 1967-1969, serta pernah menjadi wakil sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organisation). Pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta 1971-1974; direktur LSIK Jakarta 1973-1976; direktur lembaga kebijakan Islam samanhudi jakrta 1974-1976; peneliti Leknas-LIPI 1976-1984; staff ahli IPSK-LIPI 1984; pernah menjdai guru besar tamu di Mc Gill University Montreal Canada 1991-1992, sebelumnya juga pernah mendapatkan Fellow dalam Eisenhower Fellowship 1990. selain tercatat sebagai pendiri dari yayasan wakaf Paramadina, beliau juga pernah menjadi anggota Komnas HAM RI, pengajar pada program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan masih banyak lagi pengalaman-penngalaman beliau yang belum terwakili dalam tulisan singkat ini.
Sebagai seorang penulis yang terkenal produktif, cak Nur telah meninggalkan beberapa karya monumental dalam beberapa bidang ilmu, antara lain: Islam Doktrin dan Peradaban, sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam pembangunan Indonesia, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Islam agama kemanusiaan: membangun tradisi dan visi baru Islam di indonesia, dan banyak lagi tulisannya dalam buku kumpulan bunga rampai di dalam dan luar negeri. Seperti, kontekstualisai doktrin islam dalam sejarah, the issue of modernization among muslim in indonesia: from a participan’s point of view, what is modern indonesian culture?, Islam in indonesia: chalenges ang opportunities, islam in the contemporary world, dan lain-lain.




Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.

C. Istilah-Istilah Teknis Dalam Al-Qur’an Tentang Pluralitas Agama
Istilah-istilah yang digunakan dalam menjelaskan fenomena pluralitas agama antara lain adalah ahl al-Kitab, Utu al-Kitab, Utu Nashiban min al-Kitab, al-Yahud, al-Ladzina Hadu, al-Nashara, Bani Israil, Shabi-in dan istilah lainnya . Kata ahl al-Kitab terulang sebanyak 31 kali, Utu al-Kitab sebanyak 18 kali, Utu Nashiban min al-Kitab 3 kali, al-Yahud 8 kali, al-Ladzina Hadu 10 kali,al-Nashara 14 kali, Bani Israil 41 kali, dan al-Shabi-in 3 kali . Istilah-istilah tersebut digunakan al-qur’an dalam konteks yang berbeda, ada yang bernada positif, netral –namun acapkali- negatif .
Konteks negatif tentang ahl al-Kitab [dan segala kata derivasinya] digunakan al-Qur’an terkait dengan pola keberagamaan mereka yang ekstrem (QS. Al-Nisa’4;171) yang mengingkari ayat-ayat Tuhan dan mencampuradukkan antara kebenaran dan kesalahan (QS. Ali ‘Imran, 3: 70-71) dan banyak diantara mereka fasik (QS. Al-Ma’idah, 5:59). Namun demikian, pencitraan al-Qur’an terhadap karakteristik ahl al-Kitab tidak monoton negatif peyoratif, namun juga mengungkap sisi positif dari mereka, seperti jujur (QS. Ali ‘Imran, 3:75), dan diantaranya juga ada yang berlaku lurus, membaca ayat-ayat Tuhan dan taat melakukan ritual agama (QS. Ali ‘Imran 3:113) tidak sombong dan sekaligus sangat dekat persahabatannya dengan kaum Muslimin (QS.al-Maidah, 5: 82).
Pada sisi lain, perlu ditegaskan bahwa cakupan istilah ahl al-Kitab tidak hanya mencakup agama-agama Semitis atau Abraham Religions, namun -mungkin- bisa juga meliputi agama yang oleh ahli perbandingan agama, disebut Eastern Religion, dengan alasan sebagaimana yang ditegaskan al-Qur’an:
Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap ummat [yang menyeru] “sembahlah Allah dan jauhilah thaghut. Sebagian dari mereka diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang sesat. Maka mengembaralah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaiman akibat orang-orang mendustakan rasul. (QS. Al-Nahl, 16:36).

Atas dasar itu, al-Qur-an menyuruh umatnya untuk memperlakukan ahl al-Kitab, siapapun mereka, sebagaimana cakupan kata tersebut, secara proporsional, dalam arti berlaku adil, sebagaimana dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah cenderung mempersalahkan seorang Yahudi-yang memang tidak bersalah-karena berperasangka baik pada keluarga kaum Muslim yang menuduhnya dan sikap Nabi tersebut ditegur oleh Allah dengan menurunkan:
sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah. Dan janganlah kamu menjadi penentang orang tidak bersalah karena membela orang-orang yang berkhianat. (QS. Al-Nisa’,4:105).

D. Konsep Tentang Kesatuan Kebenaran
Semua agama, baik yang mati maupun yang hidup, yang kuno maupun modern, yang teistik maupun non-teistik, lahir dan hadir lengkap dengan klaim kebenaran (truth claim). Terlepas apakah klaim ini valid atau tidak, rasional atau irasional. Namun pembahasan kali ini penulis mencoba lebih fokus berbicara tentang kesatuan kebenaran yang dimiliki oleh semua agama agar tujuan dari konsep tentang pluralitas beragama ini bisa tampil humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis, dan promising.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang muslim ialah, agama Islam adalah sebuah agama universal, untuk sekalian umat manusia, walaupun kesadaran serupa juga dimiliki hampir semua penganut agama lain, namun kiranya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada orang-orang muslim kesadaran tersebut melahirkan sikap-sikap sosial-keagamaan yang unik. Yaitu, sikap toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan, dan kejujuran (fairness).
Landasan prinsip-prinsip itu didasarkan atas berbagai nuktah ajaran dalam kitab suci bahwa kebenaran universal dengan sendirinya adalah tunggal, meskipun ada kemungkinan manifestasi lahiriahnya beraneka ragam. Ini juga menghasilkan pandangan antropologis bahwa pada mulanya umat manusia adalah tunggal, karena berpegang kepada kebenaran yang tungal. Tetapi kemudian mereka berselisih antara sesama yang disebabkan oleh hawa nafsu untuk memenangkan suatu persaingan.
  ••  •             
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, Kemudian mereka juga berselisih, kalau tidaklah Karena suatu ketetapan yang Telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.
 •• •    •         ••                                    
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Yunus, 10:19).

Berdasarkan penjelasan di atas, Cak Nur berpendapat, bahwa sesungguhnya pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal itu ialah paham Ketuhanan yang Maha Esa atau Tauhid (secara harfiah berarti “memahaesakan”). Bahwa manusia sejak dari semula keberadaanya menganut Tauhid juga dilambangkan dalam diri dan keyakinan Adam, yang dalam agama-agama Semetik (Yahudi, Kristen, dan Islam, kecuali sedikit dari mereka) dianggap sebagai tidak saja manusia pertama, tetapi juga nabi dan rasul pertama.
Pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal tersebut mempunyai konsekuensi sangat penting, dimana hal tersebut menuntut seseorang untuk bisa mewujudkan dalam jiwa dan raganya akan adanya sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah Tuhan yang Maha Esa, tanpa kemungkinan memberi peluang untuk melakukan sikap mendasar serupa sesuatu apapun selain daripada-Nya. Sikap pasrah dan memahaesakan Tuhan inilah yang kemudian dinamakan dengan al-Islam, yang menjadi inti sari semua agama yang benar.
Berkenaan dengan makna al-Islam itu Cak Nur mengemukakan penjelasan Ibn Taymiah tentang makna tersebut:
Perkataan (arab) “al-Islam” mengandung pengertian perkataan “al-istislam” (sikap berserah diri) dan “al-inqiyad” (tunduk dan patuh), serta mengandung pula makna perkataan “al-ikhlas” (tulus)....maka tidak boleh tidak dalam Islam harus ada sikap berserah diri kepada Allah yang maha Esa, dan meninggalkan sikap berserah diri kepada yang lain. Inilah hakikat ucapan kita “la ilaha illallah”. Maka jika seseorang berserah diri kepada Allah dan (sekaligus juga) kepada selain Allah, dia adalah musyrik.

Oleh karena itu ditegaskan bahwa sesungguhnya Islam itu universal, pertama-tama karena Islam dikonotasikan sebagai sikap pasrah dan tunduk kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Baik sikap pasrah tersebut terjadi karena kepasrahan yang terjadi dengan sendirinya tanpa adanya pilihan lain (ialah ketundukan dan kepasrahan alam kebendaan dan alam atau wujud lain yang tidak memiliki daya pilih), maupun kepasrahan dan ketaatan yang terjadi karena pilihan secara sadar dan suka rela (ialah ketundukan dan kepasrahan kalangan makhluk yang dianugerahi daya pilih, antara lain ialah umat manusia). Dengan demikian untuk menuntun umat manusia agar jangan sampai “salah pilih” dalam menempuh hidup untuk selalu tunduk dan pasrah kepada penciptanya, maka Tuhan kemudian mengutus para rasul untuk menyampaikan ajaran tentang Tuhan yang Maha Esa atau Tauhid, serta ajaran tantang keharusan manusia tunduk patuh hanya kepada-Nya saja. Mereka para utusan itu datang silih berganti dalam sejarah umat manusia, dan semuanya membawa pesan yang sama yaitu Islam, ajaran untuk selalu pasrah dan patuh kepada Tuhan alam semesta, sebagaimana firman Allah:

              
Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".

Jelaslah bagi kita bahwa prinsip ajaran nabi dan rasul itu sama, maka para pengikutnyapun adalah merupakan umat yang satu atau tunggal. Dengan kata lain, konsep kesatuan dasar ajaran membawa kepada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang kemudian dalam urutannya sendiri membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman. Dari semua yang telah kami paparkan di atas, maka dapat diringkas bahwa ajaran al-Islam dalam pengertian generik seperti ini adalah inti dan saripati semua agama para nabi dan rasul. Dengan mengikuti ajaran para rasul itu umat manusia akan memperoleh keselamatan, tidak saja dalam pengalaman hudup di dunia, akan tetapi juga dalam pengalaman hidup abadi di akhirat nanti. Dan barang siapa yang menganut dan menempuh jalan hidup berbeda dengan apa yang telah disampaikan oleh para utusan Allah, maka yang demikian itu mereka hidup melawan design Ilahi, menentang hukum universal yang ditetapkan oleh Tuhan melalui para rasul-Nya.

E. Pluralitas Beragama
Berbicara tentang pluralitas beragama, Cak Nur mengakui bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Menurutnya sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada: yaitu, semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada yang Maha Esa, maka agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena per-singgungannya satu sama lain akan secara berangsur-angsur menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu dalam suatu “titik pertemuan” (common platform), atau dalam istilah al-Qur’an “kalimah sawa” , sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an:

                               
Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".(Ali Imran, 3:64).

Lebih lanjut cak Nur menjelaskan, bahwa dikarenakan adanya paralelism, bahkan identifikasi anatara sikap “tidak menyembah selain Tuhan” dan “al-Islam” sebagaiman pengertian generik atau dasarnya telah dijelaskan oleh Ibnu Taymiyah di atas (yakni, sebelum “Islam” menjadi “proper name” agama nabi Muhammad), maka titik temu agama-agama semuanya tidak lain ialah al-Islam. Oleh karenanya sikap berserah diri setulusnya kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa, tanpa sedikitpun mengasosiasikan atribut ketuhanan kepada apa dan siapapun selain dari pada-Nya sendiri, adalah satu-satunya sikap keagamaan yang benar. Hal ini secara eksplisit mempunyai implikasi yang sangat hebat, bahwa adanya sikap selain yang sudah dijelaskan tersebut dengan sendirinya akan tertolak. Itulah sebabnya al-Qur’an menegaskan:

            
Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran, 3:85).

Di dalam al-Qur’an sendiri telah di jelaskan bahwa, semua agama adalah satu (sama), karena kebenaran adalah satu (sama). Ia adalah agama yang diajarkan oleh nab-nabi terdahulu, yang kebenarannya terdapat dalam semua kitab suci yang terut serta menyempurnakan tugas mereka sebagai utusan Allah. Dalam kaitannya dengan pernyataan di atas Allah telah berfirman:

•     •                  
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah, 2:62).

Ayat di atas telah memberikan pengertian, bahwa sebagaimana orang-orang muslim, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in kelak akan memperoleh keselamatan “salvation”, asalkan mereka beriman kepada Allah tuhan yang maha Esa, dan hari akhir, kemudian berdasarkan kepercayaan itu, mereka berbuat baik di dalam kehidupan ini.
Namun menurut cak Nur, ayat yang terakhir tersebut telah banyak menimbulkan kontroversi, karena pemahaman ayat tersebut menurut sebagian ahli tafsir sulit direkonsilidasikan dengan logika, bahwa semua orang yang ingkar kepada nabi Muhammad adalah “kafir”, dan orang kafir tidak akan masuk surga. Untuk memperjelas pendapat tersebut mereka mengutip penjelasan yang ada di dalam tafsir Baydlawi:
Orang-orang dari kalangan yang percaya kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat baik dalam agama masing-masing sebelum agama itu dibatalkan (mansukh) dengan sikap membenarkan dalam hati akan pangkal pertama (al-mabda’) dan tujuan akhir (al-ma’ad), serta berbuat sejalan dengan syari’at agama itu; juga dikemukakan pendapat: siapa saja dari orang-orang kafir itu yang benar-benar beriman secara tulus dan sungguh-sungguh masuk al-Islam

Pendapat lain yang kontroversi dengan pendapat di atas juga dihadirkan oleh cak Nur seperti pernyataan A. Yusuf Ali yang memberi komentar terhadap firman Allah di atas sebagaimana berikut:
Karena pesan Tuhan itu sama, maka agama Islam mengakui keimanan yang benar dalam bentuk-bentuk lain, asalkan keimanan itu tulus, didukung oleh akan sehat, dan ditunjang oleh tingkah laku yang penuh kebaikan

Dari adanya perbedaan penafsiran di atas menurut cak Nur tidak secara tegas menentukan keberpihakannya dengan pendapat tertentu, namun beliau lebih memberikan komentar terhadap adanya sikap kaum Muslim yang cukup unik dikalangan para pemeluk agama-agama, yaitu sikap-sikap yang didasari oleh kesadaran tentang adanya kemajemukan keagamaan, dengan sikap toleransi, keterbukaan dan fairness yang menonjol dalam sejarah Islam.

F. Akhlaq Al-Qur’an Menyikapi Perbedaan
Setelah kita mengetahui bahwa pluralitas beragama merupakan sunnatullah maka bagaimanakah akhlak al-Qur’an dalam menyikapi kemajemukan tersebut sehingga dapat mempersatukan kita semua, dan hidup berdampingan dengan aman dan sentosa?
Dalam hal ini nampak jelas al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam mengemban tugas sebagai “mediator” atau penengah diantara berbagai kelompok umat manusia, dan diharapkan untuk menjadi saksi yang adil dan fair dalam hubungan antar kelompok tersebut. Inilah yang menyebabkan bahwa kaum muslim -yang benar-benar berpegang kepada prinsip-prinsip yang diajarkan dalam al-Qur’an-sedemikian terbuka, sehingga dalam bertindak selaku pemegang kekuasaan mereka selalu bersikap “ngemong” terhadap golongan-golongan lain.
Disamping itu telah dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa agama Islam sebagai misi nabi Muhammad, merupakan rahmat untuk sekalian alam. Maka dalam pergaulan dengan penganut agama lainpun umat muslim diberi petunjuk oleh Allah untuk selalu bertindak penuh kebaikan dan keadilan, asalkan mereka tidak berbuat zalim:
                  •   .                       .
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (al-Mumthanah, 60:6-8).

Sejalan dengan itu Allah juga berpesan untuk tidak melibatkan diri dalam perdebatan yang tidak sehat dengan Ahli Kitab kecuali, dengan sendirinya, jika mereka bertindak agresif:

              •           
Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri". (al-Ankabut, 29:46).

Prinsip-prinsip diatas tersebut yang mendasari umat Islam untuk selalu bersikap adil ditengah-tengah kemajemukan keagamaan tanpa harus memaksakan kehendak kepada orang lain, sehingga antar sesama agama bisa saling berinteraksi dengan baik dan hidup berdampingan.
Dalam kenyataannya nabi Muhammad sebagai suri tauladan yang baik telah memperaktekkan ajaran al-Qur’an tersebut, hal ini dapat kita ketahui dari perjanjian yang dibuat rasul s.a.w untuk penduduk Madinah, termasuk kaum Yahudi, sesaat ketika beliau tiba dari Makkah dalam Hijrah. Perjanjian yang kemudian terkenal dengan Piagam Madinah itu merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan bekerja. Bahkan nabi juga telah membuat perjanjian tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan terhadap penganut agama kristen dimana saja, sepanjang masa.
Begitulah rasulullah s.a.w. telah memberikan suri tauladan yang baik tentang bagaimana mewujudkan keharmonisan dan persaudaraan antar umat beragama. Oleh karena itu umat Islam berkewajiban membawa sebanyak mungkin manusia ke jalan Allah, namun harus sejalan dengan semangat persaudaraan tanpa adanya paksaan.

G. Analisa
Menurut hemat penulis berdasarkan pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa cak Nur sesungguhnya tidak menyatakan bahwa semua agama sama dan masing-masing berhak untuk mendapatkan keselamatan, hal ini juga diperkuat dengan pendapat cak Nur di dalam kesempatan yang lain ketika memberikan komentar terhadap makna islam secara generik yang merupakan ajaran agama semua nabi dan rasul yang di utus kepada setiap umat manusia di mana saja dan kapan saja, maka dalam pengertian itulah terdapat salah satu makna penting universalisme “Islam Khusus”, yaitu Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad s.a.w. penutup segala rasul. Sebab “islam Khusus” tidak lain adalah sebuah kelanjutan dan konsistensi “islam umum”, berbentuk pengajaran Tuhan kepada manusia yang telah dilengkapkan dan disempurnakan.
Namun, inti yang ditekankan dalam pernyataan beliau tentang pluralitas beragama adalah sikap toleransi tehadap agama-agama lain, yaitu mengakui adanya kemajemukan beragama dalam hidup ini. pendapat ini mempunyai konsekuwensi bahwa, semua agama itu diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama masing-masing, baik secara individu ataupun kelompok. Hal ini di dasarkan kepada ayat al-Qur’an yang berulang kali telah dinyatakan bahwa Allah memang menghendaki adanya kemajemukan beragama yang merupakan bagian dari takdir dan kehendak Allah.

 •• •    •         ••                                    
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.


Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diajukan beberapa hal, pertama, pandangan al-Qur’an terhadap pluralitas agama pada dasarnya sangat positif dan apresiatif. Dimana eksistensi kebebasan mereka dalam menjalankan agamanya sangat dijunjung tinggi oleh Islam, sehingga tidak ada halangan sedikitpun untuk menjalin kerjasama; kedua, adanya silang pendapat diantara ulama dalam mensikapi tema pluralisme beragama masih dalam konteks kewajaran, namun yang menjadi tidak wajar adalah ketika seseorang dianggap “menyimpang” dari ajaran Islam, lantaran dia memilih salah satu dari beragam pedapat tentang pluralitas beragama.
Di akhir makalah ini kami ingin memberikan kesimpulan dengan mengutip kalimat dari Gamal al-Banna dalam bukunya “Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an” sebagai berikut:
“........dalam berbagai ayat al-Qur’an berulang kali telah dinyatakan bahwa Allah memang menghendaki adanya pluralitas agama dengan berbagai perbedaan yang lahir dari hukum-hukum sosial yang Allah tetapkan bagi masyarakat. Ketika perbedaan itu memang bagian dari takdir Allah, maka hanya Dia yang berhak menentukan perselisihan yang terjadi di antara mereka pada hari kiamat, oleh karena itu setiap kelompok tidak dibenarkan merasa paling unggul dan menganggap kelompok lain tidak berarti. Juga tidak dibenarkan ada klaim bahwa surga hanya milik golongan tertentu, tidak untuk golongan yang lain. Ini bukan wewenang manusia karena sesunggunya hal itu adalah merupakan wewenang Allah semata.”

Beliau juga menjelaskan, bahwa adanya hubungan yang diciptakan oleh semangat pluralisme atas dasar toleransi merupakan anugerah dan kesempurnaan, karena semua agama mengajak kepada nilai-nilaicinta, kebaikan, dan keadila. Setiap agama dengan berbagai kelebihannya, berlomba untuk berperan dalam membangun sebuah peradaban, “Untuk kalian agama kalian untukku agamaku.”.



BIBLIOGRAFI
_______, “Nur cholis Madjid dan Pemikiran Islam”, http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=202, akses 25 Maret 2008.
_______, Islam Doktirn dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 2000.
_______“Nurcholish Madjid”, http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid, akses 25 Maret 2008.
Banna, Gamal al-, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, terj. Taufik Damas, Lc., Jakarta: Menara, 2006.
Baqy, Muhammad Fuad ‘Abd al-, al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an. Kairo: Dar al-Fikr, 1994.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003.
Rachman, Budhy Munawar , Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001.
Shihab, M.Quraish, Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996.
Wardani, “Masyarakat ideal Dalam al-Qur’an: Sebuah Telaah Tafsir al-qur’an Tematik”, Paper, (Surabaya: Program Doktor IAIN Sunan Ampel).


loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar