Kepemimpinan Perempuan Dalam Dunia Politik

Admin Friday, December 17, 2010

(Studi Terhadap Hadis Misoginis)

A.    Pendahuluan

Adanya  pernyataan yang sarkastis “perempuan selalu bersahabat dengan ‘agama’, tetapi ‘agama’ kerapkali tidak bersahabat dengan perempuan” agaknya merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan posisi perempuan sejak zaman klasik hingga masa kini.
Dalam kaitannya dengan agama Islam, adanya ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang terkesan misoginis[1] terhadap kaum perempuan, khususnya dalam ranah politik dan publik, seringkali dipahami secara parsial dan tekstual, tidak secara kontekstual dan integral. Dalil-dalil normatif tersebut kemudian digunakan oleh kaum laki-laki untuk melanggengkan hegemoni dan dominasi mereka atas kaum perempuan dari urusan seks hingga urusan yang ‘ecek-ecek’, dari urusan domestik hingga urusan publik.
Adanya perubahan zaman dari waktu ke waktu termasuk persoalan nilai yang dijadikan ukuran menuntut adanya rekonstruksi, rasionalisasi serta reaktualisasi ajaran-ajaran Islam khususnya terkait dengan Hadis-hadis yang terkesan misoginis (terkesan memusuhi) terhadap perempuan.
 Salah satu diskursus tentang perempuan yang masih aktual sekaligus faktual untuk dibicarakan adalah isu tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam khsusunya berkaitan dengan sabda Nabi yang (dipahami) melarang perempuan sebagai pemimpin kepala negara.

B.     Hadis dan Terjemahnya


Dalam hubungan dengan Hadis Nabi yang berbicara tentang kepemimpinan perempuan dalam dunia politik, dalam Kutub Al-Tis’ah setidaknya terdapat 11 Hadis yang secara tekstual  mengindikasikan adanya larangan perempuan menjadi pemimpin dalam ranah politik.[2]. Menarik untuk ditelaah bahwasanya 11 Hadis tersebut hanya bersumber dari satu sahabat Nafi bin Al-Haris (Abu Bakrah) dan diriwayatkan oleh 4 mukharrij (yakni Bukhari  1 Hadis, Al-Nasa’I 1 Hadis, Al-Turmudzi 1 Hadis dan Ahmad 8 Hadis). Adapun riniciannya adalah sebagai berikut:
Dalam riwayat Bukhari no. 4.073 disebutkan:[3]
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

“…Abu Bakrah, ia berkata: “Sungguh Allah telah memberi manfaat kepadaku—lantaran kalimat yang saya dengar dari Rasulullah—pada saat perang Jamal, setelah semula hampir saja aku mengikuti tentara perang Jamal (yang dipimpin Aisyah yang mengendarai unta) dan berperang di pihak mereka”. Lalu ia melanjutkan: “Ketika sampai berita kepada Rasulullah bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang perempuan”.

Dalam riwayat Bukhari no. 6.570 disebutkan: [4]

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
                                                                             
 “..Dari Abu Bakrah, ia berkata: “semoga Allah memberi manfaat kepadaku—lantaran kalimat yang saya dengar dari Rasulullah—pada saat perang Jamal,yaitu tatkalasampai berita kepada Nabi bahwa bangsa Persi diperintah oleh anak perempuan Kisra, nabi bersaba “ Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan keemimpinannya mereka kepada seorang perempuan”.

         Dalam riwayat Turmudzi no. 2.188 disebutkan:[5]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ عَصَمَنِي اللَّهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى قَالَ مَنْ اسْتَخْلَفُوا قَالُوا ابْنَتَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً قَالَ فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي الْبَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِي اللَّهُ بِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“…dari Abu Bakrah berkata, semoga Allah menjagaku dari kemaksiatan dengan sesuatu yang aku dengar dari Nabi SAW. Tatakala kisra turun tahta, Nabi bertanya, ‘siapa yang memerintah mereka? Para sahabat menjawab,’puterinya’, maka Nabi pun bersabda, tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan’, Abu Bakrah berkata, tatkala Aisyah sampai di Basrah, aku sampaikan perkataan Nabi ini , semoga Allah menjauhkan kemaksiatan kepadaku dengan Hadis ini..” 

         Berikutnya, dalam riwayat An-Nasa’i no. 5.293 disebutkan:[6]

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ قَالَ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ عَصَمَنِي اللَّهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى قَالَ مَنْ اسْتَخْلَفُوا قَالُوا بِنْتَهُ قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

“…dari Abu Bakrah berkata, semoga Allah menjauhkan kemaksiatan daripadaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Nabi tatkala lengsernya Kisra, Rasul bertanya, siapa yang memerintah mereka (rakyat Persi)?’ para sahabat menjawab, ‘anak perempuannya’, Nabi berkata,’ tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan’…”

Selanjutnya, dalam riwayat Ahmad no. 19.507 juga disebutkan:[7]

حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ إِلَى امْرَأَةٍ

“…Dari Abu Bakrah, dari Nabi SAW bersada,’Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyandarkan kepemimpiannnya kepada perempuan’.”

Dalam riwayat Ahmad no. 19.542 disebutkan:[8]

حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ حُمَيْدٍ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ فَارِسَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ قَتَلَ رَبَّكَ يَعْنِي كِسْرَى قَالَ وَقِيلَ لَهُ يَعْنِي لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ قَدْ اسْتَخْلَفَ ابْنَتَهُ قَالَ فَقَالَ لَا يُفْلِحُ قَوْمٌ تَمْلِكُهُمْ امْرَأَةٌ

“…Dari Abu Bakrah, ada seorang laki-laki dari bangsa Persi dating kepada Nabi SAW, ia berkata,’semoga Tuhanku memberkatimu, telah meninggal raja Kisra, Abu Bakrah berkata, dan dikatakan kepada Nabi, kepemimpinannya (bangsa Persia) dipegang oleh putrinya, maka Nabi berkata,’tidak akan beruntung suatu kaum yang pemimpinnya perempuan..”

Dalam riwayat Ahmad no. 19.556 disebutkan: [9] 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الْحَرَّانِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرَةَ بَكَّارُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ بَشِيرٌ يُبَشِّرُهُ بِظَفَرِ جُنْدٍ لَهُ عَلَى عَدُوِّهِمْ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَامَ فَخَرَّ سَاجِدًا ثُمَّ أَنْشَأَ يُسَائِلُ الْبَشِيرَ فَأَخْبَرَهُ فِيمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ وَلِيَ أَمْرَهُمْ امْرَأَةٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآنَ هَلَكَتْ الرِّجَالُ إِذَا أَطَاعَتْ النِّسَاءَ هَلَكَتْ الرِّجَالُ إِذَا أَطَاعَتْ النِّسَاءَ ثَلَاثًا


“…Dari Abu Bakrah bahwasanya ia menyaksikan Nabi SAW didatangi seorag laki-laki yag mengabarkan kemenangan pasukannya terhadap musuh mereka, sedangkan…lalu ia memberitahukan sesuatu yang telah disampaikannya bahwasanya (bangsa Persi) dipimpin seorang perempuan. Lalu Nabi bersabda,’saat ini, celakalah kaum laki-laki bila menaati perempuan, celakalah kaum laki-laki bila menaati perempuan (sampai tiga kali).”

Dalam riwayat Ahmad no. 19.573 disebutkan:[10]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا عُيَيْنَةُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ إِلَى امْرَأَةٍ

“…Dari Abu Bakrah berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,’  dari Nabi SAW bersada,’Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyandarkan kepemimpinannya kepada perempuan’.”

Dalam riwayat Ahmad no. 19.575 disebutkan:[11]

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا عُيَيْنَةُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُفْلِحُ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ إِلَى امْرَأَةٍ

“…Dari Abu Bakrah, dari Nabi SAW bersada,’Tidak beruntung suatu kaum yang menyandarkan kepemimpiannnya kepada perempuan’.”

Dalam riwayat Ahmad no. 19.576 disebutkan:[12]

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا مُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْلِحُ قَوْمٌ تَمْلِكُهُمْ امْرَأَةٌ
“…Dari Abu Bakrah, dari Nabi SAW bersada,’Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin perempuan’.”

Dalam riwayat Ahmad no. 19.603 disebutkan:[13]

وَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَلِي أَمْرَ فَارِسَ قَالُوا امْرَأَةٌ قَالَ مَا أَفْلَحَ قَوْمٌ يَلِي أَمْرَهُمْ امْرَأَةٌ

“…Dari Abu Bakrah berkata, Nabi SAW bertanya,’siapakah yang memimpin bangsa Persi?’ Para sahabat menjawab,’seorang peremuan,’ Nabi SAW pu bersabda,’Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyandarkan kepemimpiannnya kepada perempuan’.”

Dalam riwayat Ahmad no. 19.612 disebutkan: [14]

وَبِهِ حَدَّثَنَا مُبَارَكٌ عَنْ الْحَسَنِ عَن أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ تَمْلِكُهُمْ امْرَأَةٌ

“…Dari Abu Bakrah berkata, Nabi SAW telah bersada,’Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin perempuan’.”

C.    Otentisitas Hadis

1.      Aspek Sanad
Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa ada sebelas (11) jalur periwayatan tentang hadis kepemimpinan perempuan yang seluruhnya bersumber dari satu sumber utama yakni Nafi’ bin al-Harits (Abu Bakrah). Berkaitan dengan jalur periwayatan dan  kualitas rawi dari kesebelas Hadis tersebut, dapat dirinci sebagai berikut:
Jalur Pertama, riwayat al-Bukhari no. 4.073 dan. 6.570 terdiri dari 5 rawi yakni: (1) Nafi bin al-Harits dinilai dha’if, [15] sementara dalam versi yang lain tetap dinilai tsiqah [16] (2) al-Hasan dinilai siqah (3)‘Auf, dinilai siqah 94) Utsman dinilai siqah (5) serta al-Bukhari dinilai ahfaz al-Hadits.[17]
Terkait dengan sosok Nafi bin al-Harits yang dinilai dhaif oleh Nurun Najwah, ia memaparkan argumentasi ke-dhaif-an tersebut. Sebagai sosok sahabat yang menjadi sumber primer tunggal, Nafi bin al-Harits bin Kaldah bin ‘Amr bin ‘Alaj bin Abi Salamah bin Abd al-Izz bin ‘Amr bin ‘Auf yang memiliki Kunyah Abu Bakrah , bermukim dan wafat di Basrah tahun 50 H (riwayat lain mengatakan tahun 52 H) . Ia adalah seorang dari 10 budak yang dimerdekakan Nabi karena bersedia meninggalkan benteng Tha’if tahun 8 H.[18]  Abu Bakrah sendiri menerima Hadis dari Nabi SAW dan menyebarkan Hadis kepada anak-anaknya, Abu Usman Al-Nahdi, Rubi bin Hirasy Hamid bin Abd Rahman al-Humairi, al-Ahnaf bin Qais.
Dalam kaitannya dengan hadis kepemimpian perempuan tersebut, Najwah mengindikasikan adanya kepentingan politik yang muncul, yakni:
a.       Saat dimunculkannya hadis tersebut, Abu Bakrah adalah satu-satunya sahabat yang menggunakan alasan ”perempuan” ketika menolak mendukung Aisyah, sementara banyak sahabat yang lain, yang bersikap netral ataupu tidak mendukung Aisyah lebih didasarkan kekawatiran adaya fitnah (perang saudara) anatara kubu Ali dan Aisyah. Terlebih, hadis tersebut disampaikan pasca kemenangan Ali pada perang Jamal, yang dapat dimaknai adanya tndensi politik Abu Bakrah sebagai penguasa Basrah, karena seruan Ali mengisyaatkan keharusan keberpihakan kepada Ali jika tidak ingin kehilangan kekuasaan.[19]
b.      Abu Bakrah juga[20] melakukan periwayatan untuk kepentingan politik pada saat terbunuhnya Ali dan berpindahnya kekuasaan ke tangan Mu’awiyah. Sebagai satu-satunya perawi, Abu Bakrah menyebut Hadis dari Nabi yang diriwayatkan lima (5) mukharrij diantaranya Bukhari dalam “al-Sulh, Qaul al-Nabi li al-Hasan bin Ali Ibni haza..”:[21] 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سَمِعْتُ الْحَسَنَ يَقُولُ اسْتَقْبَلَ وَاللَّهِ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ مُعَاوِيَةَ بِكَتَائِبَ أَمْثَالِ الْجِبَالِ فَقَالَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ إِنِّي لَأَرَى كَتَائِبَ لَا تُوَلِّي حَتَّى تَقْتُلَ أَقْرَانَهَا فَقَالَ لَهُ مُعَاوِيَةُ وَكَانَ وَاللَّهِ خَيْرَ الرَّجُلَيْنِ أَيْ عَمْرُو إِنْ قَتَلَ هَؤُلَاءِ هَؤُلَاءِ وَهَؤُلَاءِ هَؤُلَاءِ مَنْ لِي بِأُمُورِ النَّاسِ مَنْ لِي بِنِسَائِهِمْ مَنْ لِي بِضَيْعَتِهِمْ فَبَعَثَ إِلَيْهِ رَجُلَيْنِ مِنْ قُرَيْشٍ مِنْ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ فَقَالَ اذْهَبَا إِلَى هَذَا الرَّجُلِ فَاعْرِضَا عَلَيْهِ وَقُولَا لَهُ وَاطْلُبَا إِلَيْهِ فَأَتَيَاهُ فَدَخَلَا عَلَيْهِ فَتَكَلَّمَا وَقَالَا لَهُ فَطَلَبَا إِلَيْهِ فَقَالَ لَهُمَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ إِنَّا بَنُو عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَدْ أَصَبْنَا مِنْ هَذَا الْمَالِ وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ قَدْ عَاثَتْ فِي دِمَائِهَا قَالَا فَإِنَّهُ يَعْرِضُ عَلَيْكَ كَذَا وَكَذَا وَيَطْلُبُ إِلَيْكَ وَيَسْأَلُكَ قَالَ فَمَنْ لِي بِهَذَا قَالَا نَحْنُ لَكَ بِهِ فَمَا سَأَلَهُمَا شَيْئًا إِلَّا قَالَا نَحْنُ لَكَ بِهِ فَصَالَحَهُ فَقَالَ الْحَسَنُ وَلَقَدْ سَمِعْتُ أَبَا بَكْرَةَ يَقُولُ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يُقْبِلُ عَلَى النَّاسِ مَرَّةً وَعَلَيْهِ أُخْرَى وَيَقُولُ إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ إِنَّمَا ثَبَتَ لَنَا سَمَاعُ الْحَسَنِ مِنْ أَبِي بَكْرَةَ بِهَذَا الْحَدِيثِ

c.       Dalam suatu riwayat, sebagaimana dikutip oleh Nurun Najwah dalam Al-Isti’ab, Abu Bakrah pernah di-qazaf oleh Umar bin Khattab karena sebagai saksi (yang meragukan, dari empat orang saksi satu saksi menyatakan ragu-ragu atas apa yang dilihatnya) dalam kasus tuduhan zina terhadap sahabat Mughirah bin Syu’bah.[22]
Jalur kedua, adalah riwayat al-Nasa’i, no.5.293, yang terdiri dari 6 rawi, dengan rawi 1 dan 2 sama dengan sanad Bukhari (Hadis no. 4.073), (2) Humaid, dinilai siqah (4) Khalid bin al-Harits dinilai siqah tsabit (5) Muhammad bin al-Musanna dinilai siqah sabit  dan (6) al-Nasa’i dinilai siqah.[23]
Jalur ketiga, riwayat al-Turmudzi no. 2.188, terdiri dari 6 rawi, dimana rawi 1,2,3,4,5 sama dengan jalur 2; (6) al-Turmudzi, dinilai hafiz.[24]
Jalur keempat, riwayat Ahmad no. 19.542, terdiri dari 6 rawi, dengan rawi 1,2,3 sama dengan jalur 2; (4) Hammad bin Salamah dinilai siqah (5) al-Aswad dinilai siqah mutqin (5) Ahmad dinilai Salih al-Hadits.[25]
Jalur kelima, riwayat Ahmad no. 19.576, terdiri dari 5 rawi, dengan rawi 1,2 sama dengan rawi dalam sanad Bukhari no. 4.073 (Abu bakrah dan al-Hasan); (3) Mubarak bin Fadalah dinilai saduq yudallisu (4) Yazid bin Harun dinilai siqah mutqin; (5)Ahmad dinilai Salih al-Hadits.[26]
Jalur keenam, riwayat Ahmad no. 19.612 terdiri dari 5 rawi, dengan rawi 1,2,3,5 sama dengan sanad rawi dalam Ahmad no. 19.612; (4) Affan bin Maslam dinilai siqah sabit.[27]
Jalur ketujuh, riwayat Ahmad no. 19.603 terdiri dari 6 rawi, denegan rawi pertama sama dengan sebelumnya; (2) Abdurrahman bin Abi Bakrah diniai siqah (3) Ali bin Zaid dinilai dha’if (4) hammad bin Salamah dinilai siqah (5) Hauzah bin Khalifah dinilai saduq (6) Ahmad.[28]
Jalur kedelapan, riwayat Ahmad no. 19.575 terdiri dari 5 rawi, dengan rawi pertama sama dengan sebelumnya (2) abdurrahman bin Jausyan diniali siqah (3) Uyainah dinilai saduq (4)  Yazid bin Harun dinilai siqah mutqin (5) Ahmad.[29]
Jalur kesembilan, riwayat Ahmad no. 19.573, terdiri dari 5 rawi, dengan rawi 1,2,3,5 sama dengan jalur delapan, (4) Muhammad bin Bakr dinilai saduq. [30]
Jalur kesepuluh, riwayat Ahmad no. 19.507, terdiri dari 5 rawi dengan rawii 1,2,3,5 sama dengan jalur 8, (4) yahya bin Sa’id dinilai siqah mutqin.[31]
Jalur kesebelas, riwayat Ahmad no. 19.556, terdiri dari 5 rawi, dimana rawi 1 sama dengan sebelumnya, 92) Abdul Aziz, dinilai saduq yahimu (4) Ahmad dinilai siqah; (5) Ahmad.[32]
Berangkat dari berbagai keterangan tentang larangan perempuan menjadi pemimpin di atas, secara umum dapat dinilai bahwa sanad-sanadnya adalah bersambung. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya proses tahammul wa al-‘ada al-hadits yang menggunakan tingkatan tinggi (haddatsana, akhbarana, sami’na, sami’tu ..).
Dilihat dari segi kualitas perawi, kita juga dapat menilai secara keseluruhan bahwa mereka memiliki tingkat ‘adalah yang kredibel dimana kualitas mereka diantaranya ditunjukkan dengan kata-kata siqah, saduq, siqah mutqin, sahih al-hadits ahfaz al-hadits. Adanya pernyataan dhaif terhadap sosok Abu Bakrah di atas tidak dapat menjatuhkan dirinya sebagai rawi yang adil, karena dalam riwayat-riwayat yang lain yang jumlahnya lebih banyak Abu Bakrah sendiri dinilai siqah.
 Dengan demikian dari sisi sanad, hadis-hadis tentang perempuan di atas dapat dinilai memiliki sanad yang sahih. Lebih jauh lagi Nizar Ali menyatakan bahwa dilihat dari kemungkinan bertemunaya (liqo’) satu perawi dengan perawi sebelumnya hadis ini juga dapat dipertnggungjawabkan kesahihannya.[33]
Penulis sendiri telah melacak riwayat para perawi tersebut dalam al-Ruwah mereka baik dari segi masa hidup maupun tempat domisili (tahun wafat, tempat domisili). Kesemuanya memiliki kemungkinan untuk bertemu sebagaimana diungkapkan pula oleh Nizar Ali di atas.[34]
Berangkat dari kaidah umum yag berlaku dalam studi hadis, Abu Bakrah dapat diposisikan sebagai seorang perawi yang ‘adil karena ia adalah seorang sahabat Nabi yang juga turut berjuang bersama Nabi (Al-Sahabah kulluhum ‘udul).[35]
Namun dalam konteks Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah di atas, kaidah umum di atas agaknya perlu dikritik dan dipertanyakan kembali. Dalam kaitannya dengan hadis-hadis yang bernuansa politis maupun bernunsa misoginis, kita perlu bersikap skeptis dan kritis. Apalagi misalnya, dalam kasus hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah di atas, terdapat beberapa indikasi yang dapat meragukan sosok Abu Bakrah dari segi kredibilitas dan moralitasnya selaku seorang sahabat. Terlebih lagi hadis tersebut dikeluarkan saat eskalasi politik antara Ali dan Aisyah masih panas. Dalam hal ini pula sikap Abu Bakrah yang pro-Ali juga patut untuk dijadikan pertimbangan dalam menilai kembali posisinya dalam periwayatan hadis tersebut.
2.      Aspek Matan
Dalam memahami suatu hadis, khususnya hadis-hadis tentang kepemimpinan perempuan di atas, perlu dicermati terlebih dahulu keadaan yang berkembang pada satu hadis tersebut dituturkan, atau harus dilihat latar belakang historis munculnya hadis disamping setting sosial sehingga akan ditemukan pemahaman yang koherensif dan komprehensif.[36]
Secara historis terutama menyangkut asbab al wurud, Hadis tersebut di atas bermula dari kisah Abdullah ibn Hudzaifah, kurir Rasulullah saw. yang menyampaikan surat ajakan masuk Islam kepada Kisra Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama Majusi. Ternyata ajakan tersebut ditanggapi sinis dengan merobek-robek surat. Dari laporan tersebut Nabi saw. memiliki firasat bahwa Imperium Persia kelak akan terpecah belah sebagaimana Anusyirwan merobek-robek surat. Tidak beberapa lama, firasat itu terjadi hingga akhirnya kerajaan dipimpin putri Kisra yang bernama Buran. Mendengar realitas negeri Persia yang dipimpin wanita, Nabi berkomentar:   يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً َ لَنْkomentar Nabi ini sangat argumentatif karena kapabilitas Buran yang lemah di bidang kepemimpinan.[37] Tidak berbeda secara subsantif dan redaksional, Syekh Muhammad al-Ghazali juga menuturkan  sistim politik Persia pada saat itu sangatlah otoriter tanpa adanya demokrasi.[38]
Berpijak dari asbab al-wurud hadis-hadis tentang kepemimpinan perempuan di atas, tampaknya hadis-hadis tersebut tidak diucapkan Nabi SAW dalam keadaan “hampa suasana”. Dengan menelaah asbab al-wurud nya, dapat dipahami bahwa Hadis tersebut diucapkan dalam konteks  dan situasi tertentu, sehingga pembacaan dan pemaknaan terhadap Hadis di atas harus dilakukan dengan cara melakukan “empati kesejarahan” dengan menyelami kembali suasana politik pada saat itu.

D.    Kepemimpinan Perempuan dalam dunia Politik


1. Pandangan klasik
Terkait dengan kepemimpinan perempuan dalam perspektif hadis tersebut di atas, jumhur ulama sendiri memahami hadis di atas secara tekstual.[39] Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut, pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya dilarang. Selanjutnya mereka juga menyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberikan tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.[40] Sementara dengan alasan yang berbeda, ulama seperti Ibn Hazm, Imam al-Ghazali, Kamal Ibn abi Syarif juga tidak membolehkan perempuan sebagai kepala Negara, [41] meskipun Ibn Hazm sendiri membolehkan wanita berkarir di bidang selain kepala negara atau khilafah.[42] Berpiak dari Hadis tentang pemimpin perempuan di atas, Al-Khattabi juga misalnya  berpendapat bahwa wanita tidak sah menjadi kepala negara (khalifah).[43] Demikian pula Imam al-Syaukani, sebagaimana dikutip oleh Said Agil al-Munawwar dalam Nayl al-Authar, dengan mendasarkan pada hadis tersebut, berpandangan bahwa wanita tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan terlebih kepala negara.[44] Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki-laki sebagai kepala Negara karena didasarkan pada Hadis-hadis tentang tersebut di atas.[45]
Hampir seluruh ahli fiqih yang melarang keterlibatan perempuan sebagai pemimpin mengambil hadis ini sebagai dalil. Di belakang itu, mereka memberikan argumen penguat bahwa perempuan adalah makhluk yang kurang akalnya, tidak kuat fisiknya dan labil mentalnya.[46] Sehingga ditutup peluang bagi perempuan untuk menempati jabatan pimpinan pada segala bidang yang mengurusi urusan orang banyak. Kecuali, Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan perempuan menjabat hakim yang hanya mengurusi perkara perdata, bukan pidana. Dalam hal ini, hanya Imam Jarir al-Thabary yang memperbolehkan perempuan menjadi pimpinan disegala bidang,[47] yang—oleh Imam Mawardi, di dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah—langsung dicap sebagai pendapat yang syadz dan menentang ijma’[48]
Disamping hadis di atas, kelompok yang menentang permpuan sebagai pemimpin negara juga merujuk kepada ayat al-Quran:[49]
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr&

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...[50]

2. Rekonstruksi Hadis kepemimpinan Perempuan
Untuk memahami kembali hadis di atas agar sesuai dengan semangat zaman yang bekembang saat ini, diperlukan pemahaman yang koheren dan komprehensif terhadap aspek histories maupun korelasinya dengan ayat-ayat Al-Quran dan fakta sejarah.
Pertama, Dari sisi historis dan situasi sosial politik dapat dikuak bahwa menurut tradisi yang berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan kepala Negara (raja) dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H tersebut menyalahi tradisi, sebab yang diangkat sebagai pemimpin bukan lagi laki-laki, melainkan perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum laki-laki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. [51] Dalam tradisi Persia, hanya laki-laki lah yang yang dipandang cakap dan mampu mengelola kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia, tetapi juga di seluruh semenanjung Arab. Dengan kondisi seperti ini, sangatlah wajar jika Nabi yang memiliki kearifan yang mendalam, melontarkan sabda bahwa bangsa yang menyerahkan masalah kenegaraan kepada kaum perempuan tidak akan sukses dan sejahtera. Sebab bagimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin adalah golongan yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakatnya karena ketiadaan wibawa dan kualifikasi.[52] 
Salah satu aspek penting dalam mencari petunjuk hadis  adalah dengan mengaitkan hadis pada kapasitas nabi saat menyabdakan hadis apakah sebagai Rasul, kepala negara, panglima perang atau seorang manusia biasa.[53] Dalam kaitannya dengan hal ini Mahmud Syaltut sebagaiman dikutip oleh Nizar Ali mengatakan:
“mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh Nabi dengan mengaitkannya pada fungsi Nabi ketika hal itu dilakukan, sangat besar manfaatnya..”[54]
Terkait dengan dengan hadis tentang kepemimpinan perempuan tersebut, agaknya kapasitas Nabi saat menyampaikan hadis tersebut adalah sebagai manusia biasa yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan waqi’)  dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legtimasi dari masyarakat.[55]
Dengan demikian hadis di atas sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara; namun boleh jadi hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat yang pada saat itu tidak memungkinkan seorang perempuan memimpin negara karena tidak mendapatkan legitimasi dan tidak dihormati masyarakatnya jika menjadi pemimpin negara.[56]
Selain itu, jika hadis tersebut dipahami sebagai pesan dan ketentuan dari Nabi yang mutlak mengenai syarat seorang pemimpin  akan terasa janggal, karena peristiwa dalam Hadis tersebut tidak terjadi di dunia Islam sehingga tidak mungkin Nabi menyatakan ketentuan suatu syarat bagi pemimpin negara Muslim dengan menunjuk fakta yang terjadi di negara non-muslim (yakni Persia yang pada waktu itu masih non-muslim). Jika hadis ini dipaksakan sebagai syarat bagi kepemimpinan politik, termasuk di negara non muslim adalah tidak rasional.[57]
Kedua, Dari aspek dalil, hadis ini tidak cukup syarat dijadikan pelarangan keterlibatan perempuan sebagai pemimpin, karena menurut ushul fiqh, sebuah nash, baru dapat dikatakan menunjukkan larangan (pengharaman) jika memuat setidaknya hal-hal berikut: Pertama, secara redaksional, nash dengan tegas mengatakan haram. Kedua, nash dengan tegas melarangnya dalam bentuk nahy. Ketiga,  nash diiringi oleh ancaman (‘uqubah). Keempat, menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika bahasa Arab menunjukkan tuntutan yang harus dilaksanakan.[58] Sedangkan hadis tersebut hanya menggunakan redaksi: يفلح لن (tidak akan beruntung), yang tidak bisa diarahkan pada pelarangan (haram)[59]
Dalam kaitannya dengan nash yang lebih tinggi kedudukannya, secara faktual hadis tersebut menurut Quraish Shihab[60] bertentangan dengan keterangan Al-Quran yang menguraikan betapa bijaksananya Ratu Saba’ yang memimpin negeri Yaman (QS. Al-Naml: 23). Lebih jauh jauh lagi diungkapkan bagimana kenyataan dahulu hingga kini tentang banyaknya perempuan yang berhasil dalam memimpin negara melebihi kepemimpinan laki-laki seperti Cleopatra (51-30 SM) di Mesir dan Syajarat ad-Dur (1257 M) yang menjadi Ratu Mesir pasca wafat suaminya Malik al-halih al-Ayyubi (1206-1249 M). Dalam konteks dunia modern dan kontemporer, sosok seperti Margaret Tathcer di Inggris, Indira Gandhi di India dan (mendiang) Benazir Bhutto di Pakistan merupakan tokoh-tokoh perempuan yang dianggap sukses memimpin negara di tegah kepungan dominasi kaum laki-laki.[61]
Qurasih Shihab juga memberikan komentar terkait QS al-Nisa:34 diatas. Bagi Shihab, ayat di atas harus dipahami dalam arti yang khusus (al-‘ibratu bi al-khusuhus al sabab), yakni kehidupan rumah tangga. Apalagi lanjutan ayat tersebut menegaskan sebab (‘illat) kepemimpinan tersebut yakni antara lain karena lelaki berkewajiban menanggung biaya hidup isteri/ keluarga masing-masing.[62]
Dalam konteks ini, syekh Muhamad Al-Ghazali juga mengatakan bahwa  seandainya sistim pemerintahan di Persia pada saat itu berdasarkan musyawarah dan seandainya wanita yang menduduki singgasana kepemimpinan mereka  seperti Golda Meir (mantan PM Israel) yang memerintah Israel niscaya komentar Nabi akan berbeda.[63]
Analisis seperti ini juga diperkuat dengan tidak ditemukannya satu buah hadis pun yang secara eksplisit yang mensyaratkan bahwa seorang pemimpin harus dari kaum laki-laki.[64] Beberapa teks Hadis Nabi bahkan menunjukkan bahwa beberapa sifat yang harus dimiliki pemimpin sifatnya bukan kodrat (given), akan tetapi merupakan sesuatu yang diperoleh melalui tempaan kecerdasan intelektual, emosional dan moral. Dalam beberapa hadis misalnya seorang pemimpin harus memiliki sifat dicintai rakyatnya (Hadis Muslim no. 3.447), Menjalankan amanat dengan baik (Hadis Bukhari no. 6.617), bukan orang yang ambisius erhadap kekuasaan (Hadis bukhari no. 6.132).[65]
Dari latar belakang sosial—sebagaimana dipaparkan sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa hadis ini merupakan komentar Nabi yang ditujukan kepada bangsa Persia yang mengangkat putri kaisar sebagai Ratu. Sehingga selayaknya hadis ini tidak melebar terhadap persoalan yang lebih luas. Menurut Quraish Shihab, oleh karena hadis ini tidak bersifat umum, maka hadis tersebut khusus berlaku pada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalamsemua urusan.[66] Masih menurutnya, tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki, di sisi lain cukup banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut.[67]
Memang, ada kaidah ushul fiqh yang melihat sebuah nash dari keumuman lafadznya (اللفط العبرة بعموم) tidak dari kekhususan sebab                (السبب لابخصوص ). Tetapi dalam kasus hadis ini, kaidah tersebut tidak relevan untuk diterapkan.  Sebab tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa hadis ini berlaku umum. Justru, kaidah yang cocok dan lebih mengena adalah kaidah yang berbunyi: al-‘ibrah bikhushuhs al-sabab la bi ‘umumi al-lafdhi (yang dilihat adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafadz). Sebab dengan cara ini , nash akan lebih arif sesuai dengan asbab al-wurud dan kenyataan yang ada.[68]
Penolakan terhadap perempuan sebagai pemimpin juga didasarkan kepada argumentasi bahwasanya perempuan memiliki kemampuan fisik yang lemah. Memang harus diakui bahwa hal di atas adalah benar, namun kelemahan ini tidak akan terlalu berpengaruh jika ditunjang oleh fasilitas yang memadai. Fasilitas transportasi, komunikasi, dan manajemen yang canggih akan dapat menutupi kelemahan ini. Sekaligus, ini juga merupakan faktor yang menutupi kekhawatiran banyak orang tentang ketidakmampuan perempuan menata mentalnya.[69] Lebih jauh lagi, menurut Quraish Shihab, dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh setiap orang—termasuk wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi, kendati ada jabatan yang oleh sebagian ulama dianggap tidak boleh diduduki oleh kaum perempuan, yaitu jabatan kepala negara (al-Imamah al-‘Uzmah) dan hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari masa ke masa mengurangi dukungan terhadap larangan tersebut.[70]
Untuk melanjutkan argumen ini, satu persoalan yang perlu kiranya dijernihkan adalah pelarangan perempuan keluar rumah. Alasan yang digunakan untuk pelarangan perempuan berperan di dunia sosial politik biasanya didasarkan pada ayat:
Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang terdahulu.[71]
Perlu diketahui bahwa pelarangan keluar rumah pada ayat ini lebih ditujukan pada mereka yang keluar rumah dengan mengumbar aurat. Maka dari itu syara’ memperbolehkan perempuan keluar rumah untuk bermu’amalah. Dan bahkan perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah sekalipun masih ditolelir oleh syara’ untuk keluar rumah dengan alasan hajat (ada keperluan yang mendesak). Kalau untuk urusan mu’amalah yang dimensinya personal, syara’ memperbolehkan perempuan keluar rumah, apakah dengan alasan yang sama—li hajatin ( karena kebutuhan)—, perempuan yang menangani urusan umat manusia yang dimensinya sosial, tidak lebih logis untuk diperbolehkan? [72]
Harus diakui bahwa memang ulama dan pemikir klasik tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan-jabatan publik terutama kepala negara/ pemrintahan, tetapi hal tersebut agaknya disebabkan oleh situasi dan kondisi zaman pada saat itu yang belum ‘ramah’ terhadap perempuan. Boleh jadi juga hal tersebut disebabkan oleh pemahaman terhadap Hadis yang sangat parsial, literal dan atomistik tanpa melihat asbab al-nuzul SERTA Hadis-hadis lain. Seiring dengan perubahan zaman, khususnya dari kultur gender yang patriarki ke arah emansipatoris, maka peran dan kapabilitas perempuan juga mengalami perubahan dari posisi yang sub-ordinatif menuju posisi yang setara dengan kaum laki-laki.

E.     Kesimpulan

Berpijak dari  pembahasan tersebut di atas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa Hadis-hadis yang berbicara tentang kepemimpinan perempuan meskipun memiliki kualitas sanad yang valid,  tidaklah bisa dijadikan sebagai dalil dalam membatasi apalagi melarang perempuan menjadi pemimpin politik.
      Dalam hubungannya dengan pemahaman terhadap matan, hadis-hadis misoginis tentang kepemimpinan perempuan tersebut sangat lah kasuistis dan kondisional sehingga diperlukan kajian yang integral dan pemahaman yang kontekstual-hermeneutik terhadap hadis-hadis misoginis agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai Al-Quran serta semangat perubahan zaman yang menempatkan manusia, tanpa kecuali, pada posisi yang kolektif kolegial dan setara tanpa adanya dominasi ataupun bias jender.









[1] Istilah misoginis sendiri berasal dari bahasa Inggris misoginy yang berarti kebencian terhadap wanita. Dalam konteks studi Hadis Nabi, misogini berarti kajian terhadap Hadis-hadis yang mengandung pemahaman bias jender dan terkesan merendahkan dan memarjinalkan posisi serta peran kaum perempuan karena adanya narasi yang memungkinkan untuk mengarah kesana (walaupun secara hakiki maksud Hadis terebut tidak bermakna demikian). Lihat John M Echols dan Hasan Sadily: Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: gramedia, 2003) cet. XXVII, hlm. 382.
[2] Nurun Najwah, Rekonstruksi pemahaman Hadis-hadis Perempuan, desertasi pada UIN Sunan Kalijaga tahun 2004, (tidak diterbitkan)
[3] HR Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Kitab al-Nabi ila Kisra wa Qaishir, no. 4.073, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997
[4] HR Bukhari, Kitab al-Fitan, bab al-Fitnah allati Tamuju Kamauj al-Bahr, no. 6.570, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997
[5] HR. Al-Turmudzi, Kitab Al-fitan An Rasul Allah Ma Ja’a fi al-Nahyi An Sabb Riyah no. 2188, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997
[6] HR. Al-Nasai, Kitab Adab Al-Qudah, Bab Al-Nahyy ‘an Isti’mal fi Al-Hukm, no.5293, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997
[7] HR.Ahmad, Awwal Musnad Al-Basyariyyin Hadis Abi Bakrah Nafi’ bin Haris bin Kaldah, no. 19.507, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997
[8] ibid, no. 19.542
[9] ibid, no. 19.556
[10] ibid, no. 19.573
[11] ibid, no. 19.575
[12] ibid, no. 19.576
[13] ibid, no. 19.603
[14] ibid, no. 19.612
[15] Nurun Najwah menukil ke-dahif-an Abu Bakrah bersumber dari al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal karya Abdullah bin ‘Adi bin Abdullah bin Muhammad Abu Ahmad al-Jurjani (Beirut: dar al-Fikr, 1988) hlm. 43.
[16] Penulis sendiri telah menelusuri riwayat al-Jarh wa al-Ta’dil Nafi’bin al-Harits (Abu Bakrah)  yang tercantum dalam HR Bukhari Kitab al-Fitan, bab al-Fitnah allati Tamuju Kamauj al-Bahr, no. 6.570, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997 dan dinyatakan bahwa sosok Nafi bin al-Harits adalah periwayat yang tsiqahadl karena posisinya sebagai seorang sahabat.
[17] HR Bukhari, Kitab al-Fitan, bab al-Fitnah allati Tamuju Kamauj al-Bahr, no. 6.570, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997
[18]  Muhamad bin Sa’ad bin Mani Al-Hasyimi Abu Abd Allah, al-Thabaqat al-Kubra, juz II (madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hukm, 1408 H) hlm. 159.
[19]  Nurun Najwah, Rekonstruksi…293.
[20] ibid
[21] HR Al-Bukhari, Kitab al-Sulh, Bab Qaul al-Nabi li al-hasan bin Ali Ibni haza.” No. 2.505, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997. Dengan redaksi dan substansi yang tidak jauh berbeda, Hadis ini  juga ditemukan dalam al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, al-Manaqib an rasul Allah, Manqaib Hasan wa al-Husain, no 3.706, al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i: al-Jumu’ah mukhatabah al-Imam Ra’iyyatuh wa huwa ala al-Minbar” no. 1.393; Abu Daud: Sunan Abi Dawud” al-Sunnah, Ma yadullu ala Tark al-Kalam fi a-Fitnah”, no. 4.043; Ahmad: Musnad Ahmad, “Awwal Musnad al-Basyariyyn, Hadits Abi Bakrah Nafi bin al-Harits bin Kaldah”, no 19.497, 19550,19.572, 19.595, 19.611
[22] Nurun Najwah, Rekonstruksi…, hlm. 294
[23] HR. Al-Nasa’i, Kitab Adab Al-Qudah, Bab Al-Nahyy ‘an Isti’mal fi Al-Hukm, no.5293, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997
[24] HR. Al-Turmudzi, Kitab Al-fitan An Rasul Allah Ma Ja’a fi al-Nahyi An Sabb Riyah no. 2188, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997
[25] HR.Ahmad, Awwal Musnad Al-Basyariyyin Hadis Abi Bakrah Nafi’ bin Haris bin Kaldah, no. 19.507, dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997.
[26] ibid
[27] ibid
[28] ibid
[29] ibid
[30] ibid
[31] ibid
[32] ibid
[33] Nizar Ali, “Kepemimpinan Perempuan dalam Dunia Politik” dalam Hamim llyas dkk: Perempuan tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga-Ford Foundation, 2003) hlm. 294
[34] Lihat secara lengkap dalam CD al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, th. 1997.
[35] Imam Jalaluddin Al-Shuyuti, Tadrib Al-Rawi fi Syrh Taqrib Al-Nawawi dalam Maktabah Misykat Al_Islamiyyah, tt.tt) hal. 400
[36] Nizar Ali, “Kepemimpinan hlm. 296
[37] Ibn Hajar al-Atsqalany, Fath al-Bary bi Syarh Shahih al-Bukhary, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H.) Juz XIII, hal. 53
[38] Muhammad al-Gazali, Al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadits,(Beirut: Dar al-Syurq: 1409 H/ 1989 M) cet. I, hlm.48
[39] Nizar Ali, “Kepemimpinan …, hlm 295
[40] Ibn Hajar al-Atsqalany, Fath..juz VIII, hlm.128
[41] M. Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, terj.M. Thalib (Yogyakarta: Pustaka LSI, 1991) hlm. 60
[42] Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah…, hlm. 48
[43] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath…, jilid VIII, hlm. 128
[44] Said Agil H. Munawwar & Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001, cet. I) hlm.35
[45] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Semarang: Thoha Putra, t.t. jilid III) hlm. 315 
[46] Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat, Pertautan Fiqh dan Kekuasaan (Yogyakarta: LkiS, 2000) hal. 73
[47] Al-Atsqalany, Fath al-Bary…,Juz XIII, hal. 54
[48] Ibid.
[49] M. Quraish Shihab, Perempuan: Dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama hingga Bias Baru (Jakarta: Lentera, 2005) hlm. 344
[50]  QS. Al-Nisa: 34
[51] Nizar Ali, “Kepemimpinan…, hlm. 297.
[52] ibid, hlm. 297
[53] HM. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan kontekstual, (Jakarta: PT bulan Bintang, 1994) hlm. 33
[54] ibid, hlm. 298
[55] ibid, hlm. 298
[56] ibid, hlm. 299
[57] ibid, hlm. 299
[58] Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul Fiqh (Kairo: Dar al-Falah, 1987) hal. 113
[59] Tim, Fiqh Rakyat…,  hal. 74
[60] M. Quraish Shihab, Perempuan…,hlm. 348
[61] ibid, hlm. 349
[62] M. Quraish Shihab, Perempuan…,hlm. 344-345
[63] Muhammad Ghazali, al-Sunnah…, hlm.49
[64] Nizar Ali, “Kepemimpinan…, hlm. 300
[65] Nurun Najwah, Rekonstruksi…, hlm. 305-306
[66] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996) hal. 314
[67] Ibid.hlm. 314
[68] Tim, Fiqh Rakyat…,  hal. 74-75
[69] Ibid., hal. 75
[70] Quraish Shihab, Wawasan…, hal. 316-317
[71] QS. Al-Ahzab, 33
[72] Tim, Fiqh Rakyat…,  hal. 76
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar