MAKALAH PENTINGNYA PENDIDIKAN DEMOKRASI UNTUK GENERASI MUDA

Admin Sunday, May 06, 2018

MAKALAH PENTINGNYA PENDIDIKAN DEMOKRASI  UNTUK GENERASI MUDA

BAB I PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Pendidikan yang demokratik adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah sesuai dengan kemampuannya. Pengertian demokratik di sini mencakup arti baik secara horizontal maupun vertikal.

Maksud demokrasi secara horizontal adalah bahwa setiap anak, tidak ada kecualinya, mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan sekolah. Hal ini tercermin pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yaitu : “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Sementara itu, demokrasi secara vertikal ialah bahwa setiap anak mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuannya.
image / pixabay.com
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Dalam pendidikan, demokrasi ditunjukkan dengan pemusatan perhatian serta usaha pada si anak didik dalam keadaan sewajarnya (intelegensi, kesehatan, keadaan sosial, dan sebagainya). Di kalangan Taman Siswa dianut sikap tutwuri handayani, suatu sikap demokratis yang mengakui hak si anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya.

Dengan demikian, tampaknya demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengelola pendidikan.

BAB II PEMBAHASAN 

1.  PENDIDIKAN DEMOKRASI

 Demokrasi dewasa ini ternyata memerlukan syarat hidup yaitu warga Negara yang memiliki dan menegakan nilai-nilai demokrasi. Tersedianya demokrasi ini membutuhkan waktu yang lama, berat dan sulit. Oleh karena itu, secara substantif berdimensi jangka panjang, guna mewujudkan masyarkat demokratis, pendidikan demokratis mutlak diperlukan. Karena pada hakikatnya pendidikan demokrasi adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi supaya bisa diterima dan dijalankan oleh oleh warga Negara.

Tujuan pendidikan demokrasi adalah mempersiapkan warga masyarakat berperilaku dan bertindak demokratis melalui aktivitas menanamkan pada generasi muda akan pengetahuan, kesadaran, dan nilai-nilai demokrasi

A.   Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Nasional

Dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan pula bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

B.   PKN  sebagai Pendidikan Demokrasi

Sekarang ini banyak kalangan menghendaki Pendidikan Kewarganegaraan baik sebagai mata pelajaran di sekolah maupun mata kuliah di perguruan tinggi mengemban misi sebagai pendidikan nasional.

Tuntutan demikain tidak salah oleh karena secara teoritis, pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu ciri dari pemerintah yang demokratis. International Commission of Jurist sebagai organisasi ahli hokum internasionaldalam konferensinya di Bangkok 1965 mengemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law ialah sebagai berikut :

1.    Perlindungan konstitusionil, dalam arti konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.    Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals)
3.    Pemilihan umum yang bebas
4.    Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5.    Kebebasan untuk berserikat/berorganisasidan beroposisi
6.    Pendidikan kewarganegaraan (civic education)

Sebutan kepada generasi muda sebagai “Agen Pembawa Perubahan”, perlahan-lahan mulai memudar. Hal tersebut berafiliasi erat dengan pandangan stereotip masyarakat terhadap sikap anarkis generasi muda, khususnya ketika menggunakan hak menyatakan pendapat. Pada konteks negara demokrasi, hak menyatakan pendapat sebenarnya memiliki letak (positioning) yang strategis. Terutama bagi Indonesia sendiri, pasca ratifikasi Declaration of Human Right PBB menjadi  UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Kemudian, disusul masuknya butir-butir pasal tentang HAM di UUD 1945. Namun dalam tataran realitas-praksis, ada suatu paradoks yang acapkali terjadi sebagai konsekuensi dari “overdosis” pengaktualisasian hak menyatakan pendapat oleh generasi muda. Jika mencermati suasana dan kondisi sosial, bisa diketahui tiga faktor yang mengakibatkan timbulnya sikap anarkistis di dunia Generasi Muda. Ketiga faktor tersebut terdiri dari: a) Demokrasi Indonesia sebagai demokrasi transisi, b) dekadensi moral-etika, c) tidak pekanya pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Karakteristiknya internal dan eksternal, yang berdiri di atas panggung carut-marutnya konstelasi sosial serta degradasi nilai-nilai luhur.

Demokrasi layaknya sebuah obat. Jika dikonsumsi berlebihan dari aturan pakai, dapat menyebabkan “candu”, kemudian “overdosis”. Untuk itu, perlu upaya-upaya preventif demi membingkai demokrasi agar tidak terbelenggu pada kesalahan tafsir dan implementasi yang “kebablasan”. Setidaknya, ada tiga upaya solutif yang mampu dijadikan instrumen mengatasi anarkisme generasi muda dalam menggunakan hak menyatakan pendapat. Jumlah tiga sengaja ditawarkan dengan harapan proporsionalitas antara “masalah” dan “solusi” terjaga. Ketiganya masing-masing adalah: a) optimalisasi pendidikan karakter, b) cerdas dalam berdemokrasi, c) menciptakan aparatur pemerintah yang profesional. Lekat dengan negative image tentu sangat merugikan generasi muda. Sesungguhnya mereka adalah generasi futuristic yang selalu punya peran kunci dalam setiap perjalanan perjuangan bangsa. Stigma anarkis yang berangkat dari kenyataan awal bahwa saluran-saluran aspirasi tidak lagi dilaksanakan secara santun, harus segera diberangus tuntas melalui berbagai ikhtiar nyata menuju perubahan berkesinambungan ke arah yang lebih baik.

Generasi muda merupakan orang-orang yang akan menentukan dan meneruskan arah pergerakan bangsa. Menurut data tahun 2007 menyebutkan, 64 juta atau sekitar 28,64 persen dari total penduduk Indonesia adalah golongan remaja.[1] Pada masa adolescence atau remaja tahap akhir, mereka cenderung mulai membuka dirinya terhadap hal-hal yang berbau realistis dan mulai menentukan sikapnya akan hidup. Hal itu menjadi jawaban yang ilmiah mengenai pertanyaan, mengapa saat usia muda orang kerap bertindak labil.

Dalam perjalanan sejarah negeri ini, tercatat beberapa peristiwa yang dimotori pemuda yang kemudian ikut mempengaruhi nasib bangsa. Pertama, diawali dengan terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908.[2] Selanjutnya, kelahiran ikrar Sumpah Pemuda di tahun 1928 yang semakin membuktikan eksistensi generasi muda dalam toggak perjalanan bangsa. Begitu juga ketika melihat peran generasi muda saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, transisi Orde Lama ke Orde Baru, serta pergolakan meraih Reformasi. Semuanya itu, kini tidak lagi terelakan untuk menjadi bukti sahih bahwa generasi muda berperan sangat signifikan sebagai key actor of change.

Tetapi sekarang, sejarah heroiknya pemuda dalam aksi-aksi fantastis atas nama rakyat mulai terkikis. Tidak lain disebabkan oleh budaya anarkisme, yang merubah sebutan Agent of Change and Control hanya menjadi sebuah euforia utopis. Praktek kemerdekaan menyatakan pendapat yang telah diatur berbagai produk hukum[3] perlu dilakukan secara bijak. Kebebasan berpendapat bukan berarti tanpa batas, meskipun di negara demokratis. Suara rakyat memang suara Tuhan, dengan catatan selama masih disampaikan lewat cara-cara yang sesuai ketentuan norma yuridis.

PEMBAHASAN Demokrasi, Moral-Etika, dan Pemerintah

Menganalisis struktur anarkisme generasi muda (anomali kebebasan hak menyatakan pendapat) tidak akan jauh-jauh dari tiga key words yang koheren dengan akar persoalan, yaitu “demokrasi”, “moral-etika”, dan “pemerintah”. Pertama, berbicara tentang demokrasi. Saat ini Demokrasi Indonesia dinilai masih berada dalam tahap transisi[4], yaitu tahap di mana hak dan kewajiban belum mampu bersinergis. Padahal, bayang-bayang kewajiban selalu melekat kuat mengikuti hak, begitu pula sebaliknya. Sebagian masyarakat hanya tahu bahwa mereka bebas bicara, beraspirasi, dan berdemo, tanpa tahu semua itu mengandung konsekuensi natural yaitu tanggung jawab. Keadaan yang demikian kacau pada akhirnya menjatuhkan generasi muda ke dalam kubangan anomali kebebasan hak berpendapat. Sungguh realita yang sangat ironis, jika mengingat (hope) idealnya sistem demokrasi di suatu negara.

Kedua, membahas moral-etika. Problem utama yang ditawarkan dalam kerangka dasar persoalan anarkisme di kalangan generasi muda adalah dekadensi moral-etika. Pembangunan nasional yang berkembang pesat di beberapa bidang[5], ternyata tidak diimbangi oleh restorasi moral-etika generasi muda. Sebagai contoh mudah, aksi demonstrasi mahasiswa yang sering melampaui batas-batas kewajaran. Mulai dari merusak fasilitas umum,[6] hingga merobek serta membakar lambang-lambang negara yang seharusnya dihormati. Chaos yang ada bertambah parah ketika menyoroti lunturnya nilai solidaritas sosial, musyawarah-mufakat, kekeluargaan, sopan santun, kejujuran, rasa malu dan cinta tanah air. Perilaku-perilaku moral-etika kini juga tidak lagi disandarkan pada faham utilitarianisme (The Greates Happiness Theory) komunal, melainkan primordial.

Ketiga, menyoal kepekaan pemerintah atas suara masyarakat luas. Tugas pemerintah yang tidak kalah penting selain mengeksekusi program adalah listen and take action terhadap aspirasi masyarakat. Perlu ditekankan, menerima aspirasi bukan lantas menjadi indikator akan vonis pemerintahan yang aspiratif. Pemerintah disebut aspiratif jika memiliki progress tidak hanya menerima aspirasi semata, tetapi juga mau mengelola dan menindaklanjutinya dengan baik. Berikutnya muncul pertanyaan, apakah pemerintah sudah seperti itu? Aspirasi yang bisa dianggap sebagai suplemen motivasi untuk pemerintah ternyata kurang diperhatikan, sehingga berdampak pada ketidakpuasan masyarakat, termasuk generasi muda. Hal tersebut kemudian menjadi pemantik timbulnya pressure kepada pemerintah, yang celakanya banyak dilakukan secara tidak terkontrol.

Character (Democracy) Building and Good Governance

Setelah sebelumnya mengetahui tiga faktor penyebab anarkisme di kalangan generasi muda dalam menyatakan pendapat, tentu sekarang sudah bisa diramu obat penawarnya. Sama persis dengan “nominal” tiga pada faktor penyebab, upaya solutif yang diangkat juga ada tiga. Pertama, optimalisasi pendidikan karakter. Watak atau karakter merupakan objek kajian dari berbagai disiplin ilmu, mulai filsafat hingga teologi, dan psikologi sampai sosiologi. Itu sebab mengapa konsep karakter mempunyai definisi beragam, tergantung perspektif pendekatan apa yang melatarbelakanginya. Jika berasumsi sesuai nalar, karakter (character) dapat dipadankan dengan kepribadian (personality). Jadi, pendidikan karakter berarti pendidikan yang relevan terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Generasi muda sebagai pihak yang memegang tongkat estafet pembangunan bangsa diyakini perlu memiliki karakter kuat-tangguh. Pasalnya, kekuatan-ketangguhan karakter akan menjadi modal yang sangat berharga bagi generasi muda agar tidak gampang goyah oleh isu-isu negatif.[7] Dengan demikian, bisa ditarik benang merah bahwa optimalisasi pendidikan karakter adalah suatu keniscayaan untuk mencegah anarkisme di kalangan generasi muda.

Kedua, mengkaji tentang cerdas dalam berdemokrasi. Pasal 28-e ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat”.[8] Cerdas (berdemokrasi) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan (mental capacity) dalam berfikir dan bertindak sebagai alat mengembangkan skill menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berfikir abstrak, memahami gagasan serta ide-ide berdemokrasi. Jika mengkomparasikan pasal dan teori (das sollen) tersebut dengan realita (das sein), ada kesenjangan yang nampak begitu besar. Banyak sekali generasi penerus yang belum memahami hakikat demokrasi dan melaksanakannya secara cerdas. Nilai-nilai esensial demokrasi tidak hanya menitikberatkan pada kebebasan dan keterbukaan, tetapi juga balance dan reconcilement.[9] Perlu dikhawatirkan, sinyalmen indikasi distorsi arus demokrasi menuju Demokrasi Sosialis maupun Liberalis kian terang benderang. Kendati tegas, demokrasi yang dianut Indonesia ialah Demokrasi Pancasila (Philosophy Gronslaag). Oleh karena itu, cerdas dalam berdemokrasi sudah tidak perlu dipertanyakan lagi urgenitas substansialnya.

Ketiga, masuk ke pokok telaah terakhir perihal upaya solutif mengahadapi anarkisme pemuda dalam spektrum anomali deliberacy hak menyatakan pendapat di negara demokrasi, yaitu menciptakan aparatur pemerintah yang profesional (good governance). Menurut OECD, salah satu prinsip good governance adalah responsiveness.[10] Artinya, pemerintah dituntut agar selalu peka terhadap permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat. Pergantian paradigma good government menjadi good governance menunjukkan, kedudukan warga negara tidak lagi (vertikal) di bawah pemerintah, melainkan horisontal. Menciptakan aparatur pemerintah yang profesional[11] akan sangat penting maknanya untuk mencegah krisis kepercayaan. Pola berfikir generasi muda yang amat kritis, rawan memposisikan pemerintah ada di unsure category dan membencinya. Kadar kebencian yang disisipi oleh labilnya emosi, sering kemudian meledak-ledak (anarkis). Salah satu jalan keluar realistis untuk mengatasi problema kompleks tersebut, yakni menciptakan aparatur pemerintah yang profesional, segera!

BAB III KESIMPULAN
Demokrasi merupakan sistem yang paling tepat untuk dipakai suatu negara dalam era modern ini. Amien Rais mengungkapkan:

“Penelitian (disponsori UNESCO) yang melibatkan lebih dari 100 sarjana barat dan timur menunjukkan bahwa tidak ada satupun (negara) yang menolak demokrasi, jadi, barangkali pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi dipandang sebagai manifestasi yang paling tepat dan ideal bagi semua sistem organisasi politik dan kemasyarakatan modern”[12]

Tidak ada alasan lain untuk tidak menggunakan/menolak sistem demokrasi. Mengenai realita yang ada sekarang terkait anomali kebebasan hak menyatakan pendapat, itu bukan kesalahan demokrasi, tetapi kesalahan pelaku (subjek) demokrasi itu sendiri (tataran behavioral).

Generasi muda perlu memahami lebih jauh konsekuensi alamiah dari kebebasan (hak), yaitu tanggung jawab (kewajiban). Anarkisme, dalam konteks apapun tidak dapat dibenarkan, meski mengatasnamakan prinsip kebebasan dan demokrasi. Mengemukakan pendapat dengan mekanisme-mekanisme positif, akan menempatkan generasi muda diposisi layak, sebagai The Real Agent of Change and Control. Setiap tindakan-tindakan yang diambil, hendaknya juga mengandung moral force (daya moral) agar dihargai orang lain. Di sini, urgennya kecerdasan dalam berdemokrasi dan pendidikan karakter.

Beralih ke “optik” selanjutnya, ketika mengurai demokrasi transisi Indonesia, ada satu rasa optimistis yang tumbuh. Bahwa selama dua dasawarsa terakhir ini, rakyat Indonesia telah mengalami transformasi sosial (social transformation) yang sangat fundamental.[13] Kecerahan masa depan demokrasi transisi Indonesia sekarang bertumpu potensi anak-anak muda dalam mengartikulasikan demokrasi secara cerdas dan santun. Sepatutnya sebuah tumpuan memang mereka harus kuat dan tangguh, di situasi krisis maupun insidensial seperti kapal yang sedang terombang-ambing ombak lautan.

Paradigma good governance memberikan sekelumit harapan lenyapnya budaya patron -client[14]. Pemerintah mesti proaktif terhadap persoalan yang dialami masyarakat, diminta atau tidak diminta. Citra peka dan responsif pemerintah, akan mencegah krisis kepercayaan yang sering dibarengi oleh demontrasi besar-besaran berbuntut anarkisme. Tidak ingin menghakimi pemerintah saja, seluruh elemen bangsa dan stake holder juga perlu berkontemplasi mencari pemecahan masalah terbaik. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar