Makalah Studi HadisStud

Admin Friday, December 17, 2010
A. Pendahuluan
Hadis yang secara konsensus dianggap sebagai sumber otoritatif yang kedua setelah Al-Quran sampai saat ini masih mengandung sekaligus mengundang beragam permasalahan yang menarik untuk dikaji secara ilmiah. Kajian dimaksud baik menyangkut kritik internal (al-naqd-al-dakhlili) yakni aspek matan, maupun kritik eksternal (al-naqd al-khariji) yaitu yang terkait aspek sanad.
Salah satu aspek eksternal yang banyak mengundang perdebatan dari zaman klasik hingga zaman kontemporer adalah tentang keadilan kolektif terhadap Sahabat (ta’dil al-Sahabat). Mengapa demikian? Karena Sahabat memiliki posisi yang sangat sentral dalam sistem isnad (rantai periwayatan hadis) dimana mereka merupakan periwayat pertama yang bertemu dan melihat langsung lahirnya Hadis Nabi.
Dengan ihwal seperti di atas, maka dapat dipahami bahwa kualitas suatu hadis sangat bergantung dari para Sahabat yang menjadi perawi pertama dan utama hadis-Hadis Nabi saw .
Hingga saat ini, tampaknya hanya ada 2 (dua) kelompok ideologis dalam Islam yang memiliki pandangan yang kontradiktif dalam menilai keadilan kolektif Sahabat, yakni golongan Sunni (ahlusunnah wal-jamaah) dan golongan Syi’ah. Kelompok lain yang juga memiliki pandangan, walaupun hanya minoritas dan tidak signifikan, adalah kelompok Mu’tazilah dan Khawarij.
Secara perorangan, khususnya di Mesir pada sekitar abad ke-20 telah muncul orang-orang yang mempertanyakan validitas kaidah ushul al-hadits “seluruh sahabat adalah adil (A-l sahabah kulluhum ‘udul)”.
B. Definisi Ta’dil Sahabat
Istilah ta’dil dalam ilmu hadis berasal dari kata ‘adl yang secara etimologis berarti “lurus, tidak bengkok” , atau dengan definsi yang tidak jauh berbeda “apa yang lurus dalam jiwa”, lawan dari durhaka .
Istilah ta’dil atau ‘adil dalam ilmu hadis sendiri, ketika dihubungkan atau didhafatkan dengan kata “Sahabat” (ta’dil al-sahabah) berarti sebuah penilaian tentang ‘adalah atau tidaknya sosok Sahabat Nabi dalam konteks riwayat mereka mengenai suatu hadis, bukan dalam konteks sebagai makhluk yang selalu terpelihara dari perbuatan maksiat. Sebab manusia, selain Nabi saw yang telah mendapat jaminan, mustahil tidak pernah berbuat kesalahan dalam hidupnya. Senada dengan hal di atas, Mahmud Thahhan menjelaskna bahwa yang dimaksud adil dalam konteks ilmu hadis adalah terhindarnya para Sahabat dari kebohongan ataupun bias dalam periwayatan hadis.
Sedangkan secara etimologis, ‘adl berarti orang yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak agama dan perangainya sehingga diterima berita dan kesaksiannya dalam meriwayatkan suatu hadis. Dari kata adl, muncul istilah ta’dil—bentuk masdhar dari kata jadian adl—yang berarti pensifatan atau sebuah bentuk penilaian yang positif atas seorang perawi, sehingga nampak ke’adalah-annya dan diterima beritanya.
Jadi makna adil disini ketika dikaitkan dengan ilmu Hadis adalah adil dalam konteks periwayatan hadis, bukan dalam konteks yang lain.
Adapun aspek-aspek ‘adalah menurut Nuruddin ‘Ithr seorang perawi adalah beragama Islam, baligh, berakal sehat, takwa, serta berperilaku yang sejalan dengan muru’ah.
Selanjutnya terkait dengan istilah sahabat, para ulama memiliki pandangan yang berbeda dalam mendefinisikannya. Secara etimologis, kata “sahabat” berasal dari kata dasar “shahbun” yang memiliki derivasi kata “shuhbah” (persahabatan). Kata ini digunakan untuk setiap orang yan bergaul atau bersahabat dengan orang lain baik lama ataupun sesaat.
Berangkat dari definsi di atas dapat disimpukan bahwa setiap orang yang menyertai baik setahun, sehari ataupun hanya sesaat semuanya dapat dikatakan Sahabat.
Secara terminologis, definisi Sahabat Nabi menjadi perdebatan di kalangan ulama. Para ahli hadis sendiri agaknya mendefinisikan Sahabat Nabi dengan cakupan yang luas yakni setiap orang Islam yang yang bertemu Nabi walaupun hanya sesaat dalam keadaan beriman dan meninggal dunia dalam keadaan memeluk Islam.
Pendapat ini tampaknya memiliki makna sama dengan definisi yang diberikan oleh Imam Bukhari dalam sahihnya yang menyatakan bahwa Sahabat Nabi adalah orang yang bersahabat (bergaul) dengan Nabi atau melihat beliau dalam keadaan Islam.
Sementara menurut ahli ushul, Sahabat Nabi adalah orang-orang yang yang bergaul lama dengan Nabi dengan cara mengikuti dan mengambil sunnahnya. Lebih lanjut diriwayatkan juga bahwa Sai’d bin Musayyab menyatakan bahwa seseorang tidak dianggap Sahabat kecuali orang tersebut berada bersama Nabi selama satu atau dua tahun dan berperang bersama Nabi dalam satu atau dua peperangan. Akan tetapi para ulama mengkritik definisi ini karena tidak mencakup beberapa kaum yang telah disepakati sebagai Sahabat. Dalam hal ini juga Ibnu Shalah berkomentar bahwa definisi Said bin Musayyab di atas sangat sempit sehingga jarir bin Abdullah al-Bajili tidak termasuk ke dalam jajaran Sahabat. Begitu juga orang-orang yang sama dengannya yang tidak memenuhi lahiriah kriteria Sahabat yang ia tetapkan padahal mereka termasuk orang yang tidak diperselisihkan.”
Mayoritas ulama Sunni sendiri mendefinisikan Sahabat Nabi tidak jauh berbeda dengan konsep ulama Hadis yakni, “ siapa saja yang bertemu dengan Nabi Muhammad saw pada masa kenabian beliau, sedang dia percaya kepada beliau, serta meninggal dalam kedaan muslim walaupun diselingi dengan kemurtadan.
Walaupun secara umum para ulama memiliki definisi yang beragam tentang sahabat Nabi, namun demikian tampaknya definisi yang dikemukakan oleh mayoritas Ahlussunnah di atas banyak dipakai di kalangan mayoritas umat Islam tatkala berbicara tentang Hadis Nabi.
C. Thabaqat Sahabat
Al-Hakim Al-Nisaburi merinci pembagian thabaqat Sahabat berdasarkan penelitiannya yang mendalam tentang keislaman dan keikutsertaan mereka dalam beberapa peperangan. Ia membagi thabaqat Sahabat menjadi 12 (dua belas) thabaqat:
Thabaqat pertama, adalah kelompok yang masuk Islam di Mekkah seperti Abubakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib.
Thabaqat kedua, adalah para Sahabat yang hadir di Darun Nadwah, yaitu tatkala Umar masuk Islam dan menampakkan keislamannya, kemudian ia mengajak Nabi saw ke Darun Nadwah, lalu Umar dibai’at oleh sejumlah penduduk Mekkah.
Thabaqat ketiga, adalah para Sahabat yang turut berhijrah ke negeri Habasyah (Ethiopia).
Thabaqat keempat, adalah para Sahabat yang berbai’at kepada Nabi saw di Aqabah, oleh karena itu mereka disebut Fulanun ‘Aqabi.
Thabaqat kelima, adalah para Sahabat yang terlibat dalam bai’at Aqabah yang kedua, yang mayoritas berasal dari kaum Anshar.
Thabaqat keenam, adalah para Sahabat yang ikut hijrah ke Madinah di garis terdepan dan mereka bertemu Nabi saw ketika beliau masih berada di Quba dan membangun mesjid disana sebelum masuk ke kota Madinah.
Thabaqat ketujuh, adalah para Sahabat yang terlibat dalam perang Badar.
Thabaqat kedelapan, adalah orang-orang yang berhijrah setelah perang Badar dan sebelum perjanjian Hudaibiyah.
Thabaqat kesembilan, adalah para Sahabat yang terlibat dalam Ba’iat al-Ridlwan dimana Allah swt berfirman tentang mereka:
Thabaqat kesepuluh, adalah para Sahabat yang berhijrah setelah perdamaian Hudaibiyah dan sebelum penaklukan kota Mekkah. Diantara merak yakni Khalid bin Walid, Amr bin Al-‘Ash, Abu Hurairah dan lain-lain.
Thabaqat kesebelas, adalah para Sahabat yang masuk Islam pada peristiwa penaklukan kota Mekkah.
Thabaqat keduabelas, adalah anak-anak yang melihat Nabi saw ketika penakluka kota Mekkah, haji wada’ dan peristiwa lainnya.
Sementara Ulama lain, Imam Jalaluddin Al-Shuyuti hanya membagi thabaqat Sahabat ke dalam 3 (tiga) kelompok besar yakni pertama, thabaqat Sahabat senior, seperti sepuluh orang Sahabat yang dijanjikan masuk surga dan para pemeluk Islam terdahulu yang satu thabaqat dengan mereka; kedua, thabaqat Sahabat menengah, dan ketiga, thabaqat Sahabat yunior yang masuk Islam belakangan atau saat masih kecil pada zaman Rasulullah saw.
D. Berbagai pandangan tentang ta’dil kolektif Sahabat
Terkait dengan penilaian terhadap ta’dil kolektif para Sahabat Nabi dalam perspektif periwayatan hadis, umat Islam khususnya para pakar hadis memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan tersebut jika dilihat secara historis ternyata tidak murni dipicu oleh faktor akademik-intelektual, namun sedikit banyaknya dilatarbelakangi oleh bias politik dan kepentingan golongan.
Dalam kaitannya dengan hal ini, kelompok Sunni (ahlussunnah wal jama’ah) memiliki pandangan yang berbeda secara diametral dengan kelompok Syiah. Demikian pula kelompok Mu’tazilah dan Khawarij juga memiliki sikap tersendiri terhadap permasalah ta’dil sahabat walaupun tidak ‘sehangat’ Sunni-Syi’ah. Hal lain yang menarik untuk diperbincangkan adalah munculnya tokoh-tokoh muslim di abad kontemporer yang secara individual menggugat kemapanan tentang konsep ta’dil kolektif terhadap Sahabat tersebut.
1. Pandangan Ahlusunnah wal jamaah
Kelompok Ahlusunnah sendiri secara mayoritas memandang bahwa seluruh Sahabat adalah bersifat adil (al-sahabah kulluhum ‘udul). Keadilan tersebut, menurut Nuruddin Ithr ditetapkan berdasarkan bukti yang lebih kuat daripada bukti keadilan selain mereka, yakni berdasarkan Al-Quran, Sunnah, ijma’ dan dalil aqli. Bukti tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Bukti pertama, adalah berupa statement dalam Al-Quran sendiri antara lain:

  •  ••        
            

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Ayat ini berkenaan dengan seluruh Sahabat karena merekalah yang langsung diseru oleh nash ini.
Demikian pula QS Al-Fath ayat 29:
               
   
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya..”

Ayat lain yang dijadikan alasan oleh Ahlussunnah untuk mena’dilkan seluruh Sahabat adalah:
          

“Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon ...”

Disamping ayat-ayat di atas, masih banyak ayat-ayat lain yang, menurut Ithr, dianggap menjadi indikasi keutamaan dan ke-‘adalah-an para Sahabat Nabi. Dalil Al-Quran tersebut antara lain juga dapat dijumpai dalam QS. Al-Anfal: 64, Al-Taubah: 100 serta Al-Baqarah: 143.
Bukti kedua, berupa sunnah (hadis) Nabi yang jumlahnya cukup banyak, Antara lain adalah hadis dari Abu Sa’id al-Khudri yang disepakati kesahihannya, yakni:
“Janganlah kamu sekalian mengumpat Sahabat-Sahabatku, demi Zat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sekiranya salah seorang di antara kamu menginfakkan emas sebesar gunug Uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala sedekah satu mud salah seorang diantara mereka dan tidak pula separuhnya.”

Selain itu, menurut Nuruddin Ithr, dalam hadis mutawatir yang diriwayatkan dari Imran bin Husin, Nabi saw bersabda:
“sebaik-baiknya manusia adalah periodeku, lalu orang-orang setelah mereka.”
Adanya hadis-hadis di atas dan hadis-hadis lain yang sangat banyak jumlahnya, termasuk hadis dari Abu Hurairah tentang Arab Badui serta Hadis ‘Uqbah bin Al-Harits, semuanya menetapkan keadilan seluruh Sahabat.
Adapun bukti ketiga yakni berupa ijma’ (kesepakatan) sebagaimana dijelaskan oleh Abu amr bin Abdul Barr dalam Al-Isti’ab, “ Tidak perlu lagi kita membahas tentang kondisi mereka , lantaran adanya ijma’ ahli kebenaran dari umat Islam yakni Ahlussunnah wal jama’ah akan keadilan seluruh Sahabat.”
Senada dengan hal di atas, Ibnu Shalah, sebagimana dikutip oleh Ithr’ juga berkata:
“Sungguh umat ini sepakat untuk menilai adil kepada seluruh Sahabat samapi mereka yang terlibat dalam fitnah sekalipun. Demikian juga para ulama yang muktabar beijma yang sama lantaran praduga yang positif terhadap mereka, dan mengingat begitu banyak usaha-usaha terpuji yang telah dilakukan para Sahabat. Hal ini seakan-akan Allah tentukan adanya ijma’ mengingat kedudukan mereka sebagai perantara syari’at.”

Lebih jauh lagi ke’adalah-an Sahabat secara kolektif dalam pandangan Sunni dapat dibuktikan dengan dalil yang keempat yakni berupa dalil aqli. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Khatib al-Baghdadi bahwasanya seandanya tidak ada sedikitpun keterangan tentang para Sahabat tersebut dari Allah dan Rasul-Nya, maka ke-adalah-an seluruh Sahabat tersebut dapat dibuktikan secara logis melalui kondisi yang mereka alami seperti hijrah, jihad, pertolongan Allah, korban jiwa, harta, anak, saudara, kesetiaan kepada agama serta keyakinan kepada Allah. Semua fakta tersbut dapat dijadikan suatu Indikasi akan keadilan para Sahabat Nabi saw.”
Berdasarkan dalil-dalil di atas, kalangan Ahlussunnah memandang bahwa secara kolektif seluruh Sahabat adalah adil (Al-shahabatu kulluhum ‘udul) dalam kaitannya dengan periwayatannya hadis. Dengan demikian kaidah al-jarh muqoddamun ala al-ta’dil (kecacatan seorang perwai harus didahulukan daripada ke’adalah-annya) tidak bisa diterapkan terhadap para Sahabat Nabi, meskipun di antara para Sahabat sendiri pernah terjadi friksi yang melahirkan berbagai pandangan terutama dalam bidang politik. Kaidah di atas tentang adilnya seluruh sahabat Nabi sendiri hanya berlaku dalam bidang hadis. Lebih jauh lagi kalangan Sunni menyatakan bahwa Adanya friksi dan konflik politik diantara para Sahabat dianggap sebagai sebuah ijtihad, bukan sebagai sebuah dosa.
Berangkat dari argumentasi di atas, agaknya kalangan Sunni berpegang teguh pada pendapat secara umum bahwasanya seluruh sahabat adalah adil tanpa melihat secara utuh integritas seluruh sahabat yang menjadi pewari hadis. Pandangan seperti ini kiranya perlu dipertimbangkan sekaligus dikritisi ulang mengingat tidak sedikit sahabat yang, baik oleh Al-Quran maupun Hadis, dikritik dan memiliki peluang ‘menyimpangkan’ maksud dan substansi hadis, khususnya hadis-hadis yang misoginis dan bernuansa politik.
2. Pandangan Syi’ah
Terkait dengan definisi ta’dil Sahabat Nabi di atas, kelompok Syi’ah juga memiliki rukun-rukun tingkat keistimewaan dan keadilan sahabat Sahabat, yakni: Pertama, kekerabatan dan keturunan suci Rasulullah; Kedua, adalah yang lebih dahulu menyatakan keimanan; Ketiga, adalah tingkat ketakwaan; keempat adalah tingkat keilmuan; dan yang kelima adalah mereka yang mengakui kekhalifahan orang yang ditunjuk Rasulullah.
Dengan merujuk kepada 5 (lima) rukun di atas, sebagian besar Mazhab Syi’ah berpendapat bahwa tidak semua Sahabat itu adil. Menurut pandangan mereka Sahabat-Sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Usman adalah orang-orang yang merampas hak kekhalifahan Ali. Mereka dalam hal ini juga mencela Aisyah, Thalhah, Zubair, Mu’awiyah dan Amr bin Ash yang juga memerangi Ali bin Abu Thalib. Lebih jauh lagi, dalam pandangan Syi’ah, orang yang tidak mengangkat Ali sebagai pemimpin mereka dianggap telah menghianati wasiat Nabi saw dan keluar dari imam yang sah. Oleh karena itu periwayatannya tidak dianggap sebagai ahli tsiqah dan kepercayaan. Bagi Syi’ah sendiri, mayoritas Sahabat setelah Nabi wafat sudah murtad, kecuali tiga sampai sebelas orang saja. Mereka hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl- Al-Bayt (keluarga Nabi) saja.
Berdasarkan hal tersebut di atas, tidak keliru jika dikatakan bahwa mereka tidak menerima hadis kecuali jika diriwayatkan melalui Ja’far Shadiq, dari ayahnya Muhammad Albaqir, dari ayahnya Zainal Abidin, dari Ayahnya Husein, dari ayahnya Ali bin Abi Thalib yang berasal dari Nabi saw.
Kelompok Syiah juga mengeritik konsep ta’dil kolektif terhadap sahabat yang dimiliki kaum Ahlussunnah. Beberapa kritik tersebut antara lain:
Pertama, Pembagian sahabat menjadi beberapa tingkat sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Sa’ad dan al-Hakim masing-masing menjadi lima (5) dan dua belas (12) thabaqat merupakan refleksi dari perbedaan tingkat kesistimewaan di antara mereka, sehingga tidak logis jika orang yang pertama masuk Islam disamakan tingkat keadilannya dengan orang yang masuk Islam pada hari Fath- Makkah secara terpaksa.
Kedua, Pendapat seluruh sahabat adalah adil bertentangan dengan Sunnah Nabi. Contohnya, Dzu Tsadiyah merupakan sahabat Nabi yang rajin beribadah, tetapi Nabi saw pernah berkata, “Dia adalah seorang yang di wajahnya terdapat kumpulan setan. “ Dzu Sadiyah sendiri menurut Kelompok Syiah adalah pemimpin Khawarij yang terbunuh di tangan Ali dalam perang Nahrwan. Sebelumnya Rasulullah konon pernah mengutus Abubakar, Umar, dan Ali untuk membunuhnya.
Lebih jauh lagi kelompok Syiah menilai bahwa konsep ta’dil sahabat itu sendiri diciptakan oleh kelompok Bani Umayah untuk kepentingan politik dan legitimasi kekuasaan. Kelompok Syiah juga menunjuk suatu ayat dalam QS al-Taubah: 75-77 yang turun terkait dengan sahabat nabi yang bernama Tsa’labah. Ayat ini menjadi salah satu indikasi bahwa tidak semua sahabat adalah adil.
Melihat argumentasi kelompok Syi’ah di atas, tampaknya alasan mereka menolak keadilan kolektif terhadap Sahabat sangat dipengaruhi oleh faktor politik dan subyektifritas yang sangat kental, bukan murni lahir dari pemahaman teologis.
Dengan kata lain jika melihat fakta sejarah sendiri, lahirnya kelompok Syi’ah memang didasari sesuatu yang berbau politis yang ujungnya merembet ke masalah akidah maupun lapangan hadis dan fikih, sehingga pandangan seperti ini juga perlu direkonstruksi agar sahabat bisa dinilai secara objektif.
3. Pandangan Mu’tazilah dan Khawarij
Menurut mazhab Mu’tazilah seluruh Sahabat itu adil kecuali yang memerangi Ali, maka mereka dipandang sebagai orang yang fasik dan secara otomatis ditolak riwayat dan kesaksiannya karena mereka menentang kepala negara yang sah.
Namun sebagian dari golongan Mu’tazilah ada yang berpendirian yaitu menolak riwayat Sahabat baik yang memerangi Ali maupun yang berpihak kepada Ali, karena salah satu dari dua golongan ini adalah orang-orang yang dipandang bersalah walaupun tidak dapat dipastikan golongan yang mana.
Berbeda dengan pandangan-pandangan di atas, kelompok Khawarij berpendapat bahwa para Sahabat itu harus dinilai adil sehingga munculnya kekacauan di antara mereka (Al-Shohabatu Kulluhum ‘udul illa ba’da al-fitnah). Maka sesudah timbul kekecauan itu haruslah diteliti keadilan mereka ketika menerima riwayatnya.
4. Pandangan beberapa cendekiwan kontemporer
Adanya pihak yang berupaya meruntuhkan adagium “Ash-shahabh kulluhum ‘udul” ternyata tidak hanya muncul dari kelompok yang secara tradisional menjadi ‘seteru klasik’ kelompok Ahlussunnah, namun juga di abad modern.
Thaha Husein, misalnya mengatakan,
“Kita tidak dapat memberikan penilaian apa-apa terhadap para Sahabat sekiranya mereka sendiri tidak pernah memberikan penilaian terhadap diri mereka. dan ternyata mereka menilai bahwa diri mereka adalah manusia biasa seperti halnya orang lain yang tidak terbebas dari kesalahan dan dosa. Mereka saling melontarkan tuduhan keji, saling mengafirkan dan menuduh yang lain suka berbuat maksiat.”

Senada dengan hal di atas, Ahmad Amin yang mengarang Fajr Al-Islam dan Dhuha Al-Islam, juga berkomentar:
“Tampaknya para Sahabat sendiri ketika mereka masih hidup sudah saling mengkritik, namun demikian, mayoritas ulama Hadis khususnya yang hidup pada masa belakangan telah menggeneralisir bahwa para Sahabat itu seluruhnya memiliki kredibilitas (sifat-sifat ‘adalah) dimana tidak seorangpun di antara para Sahabat yang dituduh sebagai pendusta atau pemalsu Hadis. Para ulama Hadis hanya mengkritik perawi yang berasal dari generasi sesudah Sahabat saja.”

Masih terkait dengan kritik terhadap ta’dil al-sahabah, seorang tokoh lain yaitu Abu Rayyah lebih keras lagi mengungkapkan:
“Para ulama Hadis telah menetapkan keharusan dilakukannya penelitian terhadap identitas para periwayat Hadis, tetapi keharusan tersebut berhenti ketika mereka berhadapan dengan periwayat Hadis yang berasal dari generasi Sahabat. Mereka tidak mau menelitinya dengan alasan bahwa para sahabat itu seluruhnya ‘adil, dan karenanya tidak perlu diteliti kembali. Aneh sekali prinsip mereka ini, padahal para sahabat sendiri saling mengkritik di kalangan mereka.

Menanggapi munculnya kritikan di atas, Musthafa Ash-Shiba’i melakukan pembelaan dengan menyatakan bahwa dalam sejarah telah dibuktikan bahwa para sahabat tidak pernah mereka-reka hadis Nabi, dan bahwa jika seseorang atau beberapa sahabat telah mereka-reka Hadis Nabi, maka akan timbul badai protes dari sahabat-sahabat lain. Protes tersebut menurut Musatafa Ash-Shiba’i tentu akan disebutkan dalam sumber-sumber historis. Lebih jauh Ash-Shiba’i menjelaskan bahwa adanya hadis Nabi yang menyatakan “Barang siapa yang berdusta tentangku…” bukanlah suatu indikasi telah terjadi pemalsuan atau pendustaan oleh para sahabat tentang suatu Hadis, namun hal tersebut merupakan sebuah peringatan dan tindakan preventif dari Nabi agar sunnahnya tidak terdistorsi ataupun terkontaminasi.
5. Telaah ulang konsep keadilan kolektif sahabat
Berpijak dari konsep ta’dil kolektif terhadap sahabat sebagaimana dipaparkan oleh berbagai kelompok di atas, tampaknya perlu ada sebuah tinjauan ulang terhadap konsep bahwa seluruh sahabat adalah adil.
Memang harus diakui bahwa, secara umum, sahabat Nabi adalah sosok-sosok yang memiliki kredibilitas dan integritas yang tidak diragukan lagi. Namun di sini kiranya diperlukan seuah sikap kritis terhadap hadis-hadis tertentu, khsususnya hadis-hadis yang bernuansa politis dan misoginis , yang diriwayakan oleh para sahabat. Terhadap hadis-hadis sepeti ini diperlukan kaian yang lebih integral dan komrehensif terkait denagan sosok sahabat yang menjadi periwayat hadis-hadis tersebut, sebab boleh jadi ada unsur politik atau kepentingan lain yang menjadi motif munculya hadis-hadis tersebut.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil konklusi bahwa perbedaan pandangan dalam menilai konsep “keadilan kolektif terhadap sahabat” sangat dipengaruhi oleh konflik politik klasik yang terjadi di kalangan umat Islam khsususnya Sunni-Syi’ah.
Adanya perbedaan pandangan dalam menilai keadilan Sahabat Nabi di antara kelompok Umat Islam di atas tentu saja memiliki implikasi secara langsung terhadap penerimaan dan penolakan suatu hadis sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam kelompok masing-masing.
Pada akhirnya, munculnya berbagai penolakan dan kritikan terhadap konsep “seluruh sahabat adalah adil” harus dapat dijadikan acuan untuk mengkaji ulang tentang makna ta’dilkolektif terhadap sahabat khususnya para sahabat yang meriwayatkan hadis-hadis misoginis dan bernuansa politis.






BIBLIOGRAFI

Abi Al-Fadl Jamaluddin Muhammad bin Makram Ibn Mandzur al-Afriqi al-Mishri, Lisan Al-Arab, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)

Al-Hakim Al-Nisaburi, Ma’rifat Ulum Al-Hadits, (download dari Maktabah Misykat Al-Islamiyyah, tk.tt.)

Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2004)

Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Terhadap Kajian Hadis Kontemporer (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004)

G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (18-90-1960), terjemah oleh Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1999)

Husein Yakub, Telaah Kritis Tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam, editor Maryadi (Surakarta: Muhammadiyah Press, 2002)

Imam Jalaluddin Al-Shuyuti, Tadrib Al-Rawi fi Syarh Taqrib Al-Nawawi (download dari Maktabah Misykat Al_Islamiyyah, tt.tt)

Muhammad Mustafa Al-A’zami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terjemah oleh Ali Mustafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006)

M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah bergandengan tangan: Mungkinkah? Kajian atas Konsep, Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera hati, 2007)

Mahmud Thahhan, Taisir Mustalah al-Hadits, (download dari Maktabah Misykat Al-Islamiyyah, tk. Tt.)

Manna Al-Qaththan, Musthalah al-Hadis, terjemah oleh Mifdol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004)

Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Al-Hadits, terjemah oleh HM Qodirun Nur (Jakarta: gaya Media Pratama, 2007)

Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terjemah oleh Adnan Qohar (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2006)

Muhammad bin Islmail Bukhari, Sahih Al-Bukhari: bab Fada’il al-Shahabah (didownload dari Mausu’ah Al-hadits Al-Nabawi al-Syarif: Al-Shahhah wa al-Sunnan wa al-Masanid, tk.tt.)
Nuruddin I’thr ,Manhaj al-Naqdl fi Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr Al-Mishriiyah, 1997)
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar