TEOLOGI MENSTRUASI: ANTARA MITOLOGI DAN KITAB SUCI

Monday, May 07, 2018

TEOLOGI MENSTRUASI: ANTARA MITOLOGI DAN KITAB SUCI

Oleh: Nasaruddin Umar. *
Abstract
Menstruasi –fiqih menyebutnya haidh- ternyata bukan semata-mata peristiwa fisik biologis. Peristiwa yang khas dialami kaum wanita ini, terutama di kalangan masyarakat tradisional, rupanya juga dianggap sebagai simbol yang sarat dengan makna dan mitos. Tak heran jika hampir setiap sistem budaya mengenal apa yang -dalam khazanah antropologi- disebut menstrual taboo.

Salah satu implikasi yang paling mencolok dari tabu-tabu menstruasi ini adalah munculnya kreasi-kreasi menstruasi (menstrual creations) seperti kosmetika, selop, dan kerudung. Implikasi lainnya yang tak kalah penting adalah berkurangnya peran sosial wanita. Dua poin itulah yang ingin dielaborasi dalam tulisan ini, dengan mencoba mengkomparasikannya dengan doktrin Islam mengenai menstruasi.

Kata Kunci : Menstruasi,  Mitologi, Islam, Reinterpretasi.

Pendahuluan
Darah dan susu, dua jenis benda cair dalam tubuh wanita ini, sangat berpengaruh dalam sejarah kekerabatan umat manusia. Yang pertama melahirkan konsep pertalian keluarga (kinship) dan yang kedua melahirkan konsep persaudaraan (brother). Kedua konsep ini melahirkan bentuk segregrasi berdasarkan jenis kelamin (gender role). Bentuk segregrasi ini cenderung memberikan peran terbatas kepada kaum wanita. Salah satu pertimbangannya adalah wanita sewaktu-waktu mengalami menstruasi, yang dianggap sebagai tabu (menstrual taboo).[1]  Dalam masyarakat primitif, tugas kaum pria adalah berburu (hunting), sedangkan kaum wanita –yang di sekitarnya penuh daerah terlarang- menjalankan fungsi sebagai ibu rumah tangga (mother hood [mother=penjaga + hood= kemah]).

Menstruasi atau haid tidak hanya merupakan masalah biologis yang secara rutin dialami kaum wanita, tetapi juga mempunyai makna teologis yang amat penting. Selain itu, ia juga menjadi cikal bakal dan salah satu penyebab langgengnya sistem patriarkhi. Lebih dari itu, banyak tradisi besar berkembang dan bertahan hingga saat ini yang sesungguhnya merupakan menstrual creation (kreasi menstruasi).

Dalam lintasan sejarah, menstruasi dianggap sebagai simbol yang sarat dengan makna dan mitos. Darahnya sendiri dianggap tabu. Hampir setiap suku bangsa, agama, dan kepercayaan, mempunyai konsep perlakuan khusus terhadapnya. Dalam tradisi bangsa Indonesia, menstruasi sering diistilahkan dengan “datang bulan”, “sedang kotor”, “kedatangan tamu”, “bendera berkibar” dan sebagainya. Istilah-istilah seperti ini juga dikenal dibelahan bumi lain. Bahkan masyarakat Amerika, Kanada, dan Eropa pada umumnya, masih menggunakan Istilah yang berbau mistik, seperti: “a crescen moon” (bulan sabit), “golden blood” (darah emas), “earth”(tanah), “snake” (ular), dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut masing-masing mempunyai filosofi sendiri yang berujung pada kesimpulan bahwa menstruasi bukanlah peristiwa fisik biologis semata, melainkan mengandung makna teologis.

Istilah menstruasi sendiri, sebenarnya tidak terlepas dari makna teologis. Kata menstruasi (mens) berasal dari bahasa Indo-Eropa. Akar katanya adalah manas, mana, atau men, yang juga sering disingkat menjadi Ma. Artinya sesuatu yang berasal dari dunia gaib kemudian menjadi “makana” suci (divine “food”) yang diberkahi lalu mengalir ke dalam tubuh dan memberikan kekuatan bukan hanya pada jiwa, tetapi juga fisik. Mana juga berhubungan dengan kata mens (latin) yang kemudian menjadi kata mind (pikiran) dan moon (bulan). Keduanya mempunyai makna yang berkonotasi kekuatan spiritual. Dalam bahasa Yunani, Men berarti Month (Bulan). 2

Persoalannya sekarang adalah apakah konsep menstruasi ini benar-benar kutukan (divine creation) atau hanya sebagai pantulan kelemahan taraf kognitif manusia (social construction)?. Kalau hal itu dianggap mitos, masalah lain akan muncul karena sudah mendapat pengakuan dari Kitab Suci. Mitos yang terakomodasi dalam Kitab Suci “harus” diyakini dan berada di luar ontologi sains.

Persepsi orang terhadap menstrual taboo rupanya tidak hanya pada suku-suku bangsa tertentu, tetapi –menurut penelitian Hays dalam bukunya yang terkenal The Dangerous Sex- bersifat universal.

Asal-usul Darah Menstruasi.

Darah menstruasi muncul bersamaan dengan terjadinya peristiwa dosa asal (original sin). Seperti diceritakan dalam Injil bahwa akibat rayuan Hawa/ Eva, Adam lengah dan memakan buah terlarang. Akibatnya keduanya menerima kutukan.

Dalam Injil jelas ditegaskan bahwa:

“manusia itu menjawab: ‘Perempuan yang kamu tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan” 3


Dalam Kitab Talmud (Eruvin 100b) disebutkan, akibat pelanggaran Hawa/Eva di Surga, maka kaum wanita secara keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan:

1). Wanita akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh Hawa/Eva. 2). Wanita yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit. 3). Wanita akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya yang membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan hingga dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti yang diharapkan. 4). Wanita akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri. 5). Wanita akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya akan berumur tua. 6). Wanita akan merasa sakit pada waktu melahirkan. 7). Wanita tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki. 8). Wanita masih akan merasa hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi. 9). Wanita sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya. 10). Wanita lebih suka tinggal di rumah.4 

Oleh orang-orang yang mempercayai kitab itu, menstruasi diyakini sebagai bagian dari “kutukan” Tuhan terhadap kesalahan Hawa/Eva. Karena itu, wanita yangsedang menjalani masa haid mendapat perlakuan khusus, termasuk dikucilkan masyarakat, bahkan dari lingkungan keluarganya sendiri. Karena wanita haid dikelilingi oleh daerah terlarang dan sebagian hidupnya harus dihabiskan dipengasingan, dengan sendirinya ini akan mengurangi peran sosial wanita.

Kaum pria sebenarnya juga mendapatkan kutukan. Tetapi tidak seberat yang dialami kaum wanita. Kutukan tersebut adalah; 1). Sebelum terjadi kasus pelanggaran (spiritual decline) postur tubuh laki-laki lebih tinggi dari pada bentuk normal sesudahnya. 2). Laki-laki akan merasa lemah ketika ejakulasi. 3). Bumi akan ditumbuhi banyak pohon berduri. 4). Laki-laki akan merasa susah dalam memperoleh mata pencaharian. 5). Laki-laki pernah makan rumput di lapangan rumput bersama binatang ternak, tetapi Adam memohon kepada Tuhan agar kutukan yang satu ini dihilangkan. 6). Laki-laki akan makan makanan dengan mengeluarkan keringat di alisnya. 7). Adam kehilangan ketampanannya yang menakjubkan yang telah diberikan Tuhan kepadanya. 8). Ditingalkan oleh ular yang sebelumnya telah menjadi pembantu setia laki-laki. 9). Adam dibuang dari taman Surga dan kehilangan status sebagai penguasa alam jagad raya. 10). Laki-laki diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk mati dan dikubur.5   

Kutukan yang ditimpakan kepada kaum pria, selain lebih lunak, langsung atau tidak langsung, juga menimpa kepada kaum wanita. Sebaliknya, kutukan terhadap wanita selain lebih berat dan monumental, juga hanya dialaminya sendiri.

Dalam Injil Kitab Kejadian juga disebutkan (3:16),

“Firma-Nya kepada perempuan itu: ‘susah payahmu waktu mengandung, akan kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu;…dan suamimu akan berkuasa atasmu”.6   

Berbeda dengan kitab-kitab lain, al-Qur’an mempunyai pandangan optimistik terhadap kedudukan dan keberadaan wanita. Semua ayat yang membicarakan Adam dan pasangannya (zauj/pair) selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dhamir mutsanna), seperti kata huma>, misalnya; keduanya memanfaatkan fasilitas surga (QS. Al-Baqara; 35), mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (QS. Al-A’raf; 20), sama-sama memakan buah terlarang dan menerima akibat terbuang ke bumi (7;22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (7;23). Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling melengkapi, mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka (QS. Al-baqarah; 187).

Beberapa Contoh Menstrual Creation

1.      Kosmetik.

Sepanjang sejarahnya, menstruasi sangat mempengaruhi perilaku dan etos kerja wanita. Mulai perilaku seksual, masak memasak, sampai kepada perilaku sehari-hari seperti merias diri, memilih warna pakaian, berjalan, tidur, makan, memilih posisi tempat duduk, dan lain sebagainya. Semua harus mengikuti aturan, bukan saja agar darah itu tidak tercemar tetapi juga agar tidak terjadi pelanggaran terhadap yang tabu itu.

Hampir semua agama, kepercayaan dan adat istiadat di berbagai belahan bumi tidak mentolelir hubungan seksual pada saat menstruasi. Kalangan Yahudi dan Kristen mempercayai beberapa jenis makanan tidak boleh disentuh saat menstruasi, terutama makanan atau minuman yang mengandung alkohol. Dikhawatirkan makanan itu akan tercemari.

Kata “kosmetik” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, cosmetikos yang arti dan konotasinya erat dengan kata cosmos. Selain itu, juga berhubungan dengan cosmology, yang menunjuk pada kajian astronomi tentang keserasian antara ruang dan waktu yang juga menjadi sasaran kajian metafisika. Istilah lain yang erat hubungannya dengan kata itu adalah kata cosmogony yang berarti deskripsi tentang asal usul alam semesta. Juga dengan kata cosmography berarti deskripsi tentang keserasian lingkungan alam. Istilah “kosmetik” yang sekarang menjadi alat kecantikan lebih dekat dengan kata cosmetikos tadi, yang berarti sesuatu yang harus diletakkan pada anggita badan wanita guna menjada terpeliharanya keutuhan lingkungan alam.7 

Kepercayaan terhadap menstrual taboo menuntut kaum wanita untuk menggunakan berbagai tanda dan isyarat pada anggota badan tertentu agar segenap anggota masyarakat terhindar dari pelanggaran terhadap menstrual taboo. Pada mulanya tidak sembarang orang dapat menggunakan kosmetik, kecuali wanita yang sedang menstruasi. Anak-anak yang belum mengalami menstruasi, orang yang sudah menopause, apalagi kaum laki-laki, tidak boleh menggunakan kosmetik. Perkembangan berikutnya memberikan makna tersendiri terhadap penggunaan kosmetik. Seperti sekarang, wanita seolah-olah tidak sah menjadi wanita tanpa kosmetik.8

Cara orang mengenakan kosmetik juga mempunyai corak dan tata cara tersendiri di setiap daerah. Penduduk asli Australia mengoleskan darah haidh atau zat-zat yang berwarna merah ke bibir dan pipinya seraya melakukan berbagai upacara ritual. Hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa suku di Brazil dan Afrika. Wanita suku Cheyenne yang mengalami menstruasi pertama sekujur tubuhnya diolesi cat warna merah, kemudian diasingkan selama 7 hari di gubuk kecil yang tertutup rapat, yang lebih dikenal dengan menstrual hut. Di Cina dan India, wanita yang sedang menstruasi memberikan cat merah di antara dua keningnya. Wanita yang mengalami menstruasi pertama di Nigeria menggunakan kosmetik ke-merah-merahan di mukanya sebagai pertanda bahwa dirinya sudah dewasa. Di Scotlandia dan Kanada, wanita menstruasi membubuhi tatto di sekujur badannya dari kepala sampai kaki. Di Amerika selatan dan beberapa suku di Afrika, wanita semacam itu mengenakan pita atau dasi kupu-kupu warna ke merah-merahan di rambutnya. Di Asia Tenggara, Daerah Pasifik Selatan, dan sebagian Amerika Selatan, wanita menstruasi memakai gigi logam berwarna ke merah-merahan. Di India, Asia bagian Tengah pada umumnya, Eropa pada umumnya, dan Afrika bagian Utara, mencelup rambutnya dengan zat warna-warni, memberi warna jari-jari tangan dan jari-jari kakinya dengan daun pacar.9  

Selanjutnya, model perhiasan menstruasi semakin bervariasi. Tetapi pada umumnya masih tetap berfungsi sebagai isyarat agar tidak terjadi pelangaran terhadap menstrual taboo.

Pada kelompok masyarakat yang sudah mulai mengenal teknologi sederhana, bahan-bahan kosmetik itu sudah mulai diperjualbelikan. Seperti zat pewarna merah (lipstik) yang unsurnya terbuat dari kulit kayu, ada juga yang membuat semacam stiker berwarna merah yang dapat ditempelkan pada anggota badan tertentu.

Pada masyarakat Jiperu, Peru, kaum wanita membuat lubang di bagian bibirnya guna memudahkan pemasangan “kosmetik”. Wanita Afrika memberikan cat merah dari kulit kayu tertentu yang berbentuk segi empat melingkar di bibirnya. Beberapa suku di belahan bumi, seperti di Afrika, membuat alat penutup dari bahan tertentu terhadap organ tubuh yang berlubang, seperti mulut, hidung. Telinga, dan vagina. Perhiasan yang dipasang dengan cara memberi lubang di bagian telinga, kemudian memasang benda-benda keramat tertentu, semuanya itu dimaksudkan untuk mencegah masuknya “roh jahat” (evil spiritas) ke dalam tubuh, yang dapat, membawa penyakit, khususnya, pada masa menstruasi.

Pengunaan cincin dan permata digunakan belakangan, tetapi masih tetap dianggap sebagai menstrual creation. Masyarakat India mengenakan permata di bagian hidung untuk “mengamankan” diri dari bahaya melalui lubang hidung. Penggunaan kosmetik dari barang-barang yang bertuah, diyakini dapat mencegah pemakainya dari berbagai musibah dan kejahatan.10

Dalam berbagai agama dan kepercayaan, sesudah menstruasi kaum wanita melakukan upacara ritual. Agama Hindu memberikan tuntunan kepada kaum wanita bahwa tiga hari pertama menstruasi adalah hari yang sangat taboo dan harus betul-betul waspada; sesudah itu dapat dianggap bersih dan bergaul kembali dengan keluarganya.11 Agama Islam menetapkannya seminggu masa haid dan sesudahnya kaum wanita kaum wanita sudah dianggap bersih jika sudah mandi. Darah yang keluar sesudah hari ketujuh (di Indonesia umumnya hari ke lima belas-red) dianggap darah penyakit biasa.

Setelah melalui masa menstruasi kaum wanita dituntut untuk membersihkan dirinya dengan tata cara tertentu. Harus mandi dan merapikan rambut dengan menggunakan sisir yang juga berasal dari benda-benda tertentu, seperti dari kerangka tulang ikan tertentu dan tulang belulang atau tanduk rusa. Sisir (comb) dan wanita adalah bagian yang tak terpisahkan. Kata comb itu sendiri berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang selain berarti sisir juga berarti vulva, alat kelamin wanita, karena menurut sejarahnya sisir juga termasuk menstrual creations.

Di pedalaman Eropa, Asia Tengah, dan Afrika Utara, sampai sekarang masih dipercaya bahwa tatapan mata wanita yang sedang menstruasi (menstruant gaze) mempunyai kemampuan untuk menimbulkan berbagai bencana. Tatapan mata itu, yang biasa disebut mata “iblis” (the evil eye), dapat menyebabkan masakan menjadi busuk (basi), menggagalkan panen, bayi-bayi menjadi sakit, dan sebagainya.12 Di Maroko masih populer apa yang disebut dengan tseuheur,13 semacam santet, suatu upaya supernatural guna membinasakan seseorang. Salah satu unsur penting dari tseuheur ini diambil dari darah haidh.

Mengingat tatapan mata menstruasi sangat berpotensi membawa malapetaka, maka wanita yang sedang menstruasi tidak cukup hanya mengenakan “kosmetik” tetapi ia harus mengasingkan diri ke suatu gubuk pengasingan (menstrual hut), seperti yang dilakukan penduduk asli Amerika dan beberapa daerah di Timur-Tengah pada zaman dulu. Bahkan ada kelompok masyarakat yang mengasingakan dan menyembunyikan wanita yang haid ke dalam goa, terpisah jauh dari keluarga dan masyarakat umum, seperti penduduk pegunungan Kaucasus, di pegunungan sekitar Rusia.

Cara lain untuk mengatasi “si mata Iblis” ialah dengan memberikan makeup dan bayangan-bayangan mata (eye shadows) di sekitar mata. Di Asia bagian tengah dan Afrika Utara sejak lama dikenal zat-zat khusus lebih praktis yang dapat digunakan manakala wanita sedang menstruasi. Di Cina dan Mesir juga sudah sejak dahulu kala dikenal celak mata, berupa cat warna ke sekitar mata.

Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, celak mata sudah populer sejak dahulu. Wilayah Indonesia yang berada di cekung Pasifik, sudah dikenal sebagai daerah transit sejak abad ke empat Masehi. Para saudagar Arab yang pergi ke Cina, demikian pula sebaliknya, pedagang Cina ke Arab, menjadikan Indonesia sebagai tempat persinggahan untuk mengambil air minum. Boleh jadi semenjak itu alat-alat kosmetik sakral diperkenalkan di wilayah Indonesia, karena salah satu komoditas perdagangan antara Cina dan Arab ketika itu adalah industri rumah tangga, seperti parfum dan alat-alat kosmetik.

2.      Slop, Sandal dan Sepatu.   

Salah satu menstrual creations yang patut di sini ialah slop, sandal dan sepatu. Dahulu kala orang-orang tidak mengenal sandal dan sepatu. Mereka pergi ke mana-mana tanpa menggunakan alas kaki. Akan tetapi setelah kepercayaan terhadap menstrual taboo berkembang, maka masyarakat berusaha menolak malapetaka dengan memperhatikan faktor-faktor yang dianggapo tabu. Bila terjadi bencana dan malapetaka di dalam keluarga, masyarakat, atau lingkungan alam, maka hal itu diyakini sebagai akibat adanya pelanggaran terhadap yang tabu.

Beberapa kelompok masyarakat sama sekali mencegah wanita haid menginjakkan kakinya di tanah, karenanya harus memakai alas kaki kalau mau berjalan di atas tanah. Belakangan munculah istilah sandal, slop, dan sepatu dengan berbagai macam model dan bahan yang bermacam-macam.

Di Mesir, selain menggunakan sandal, slop, atau sepatu, wanita haid juga harus menggunakan gelang di kaki yang berasal dari benda-benda tertentu yang dianggap bertuah untuk mencegah polusi (menstrual polutions). Tradisi gelang kaki, sandal dan sepatu bagi wanita haid juga di kenal di Cina, Zaire, dan pedalaman Eropa.14 Di beberapa daerah tertentu, wanita haid harus menggunakan sepatu besi, selain berat juga berukuran lebih kecil dan runcing di bagian depan. Hal itu dimaksudkan agar wanita haid tidak bisa berjalan jauh ke mana-mana.]

3.      Pondok Haid, Kerudung, Cadar.  

Pondok haid (menstrual hut) adalah suatu pondok khusus yang dibangun jauh dari perkampungan, diperuntukan bagi wanita yang sedang menjalani menstruasi. Upaya lain dalam mengamankan pancaran dan tatapan mata “si mata Iblis” adalah dengan menggunakan kerudung/cadar (hoods/veils) yang dapat membatasi tatapan mata. Kalangan antropologi berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal-usul penggunaan kerudung atau cadar. Kerudung atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Islam dengan mengutip ayat “ayat-ayat jilbab”15 dalam al-Qur’an dan hadis-hadis tentang aurat.

Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung / cadar (veil) yang diperkenalkan dalam Kitab Taurat16 dan Injil.17 Dalam kamus Arab Islam juga dikenal beberapa istilah, seperti pakaian penutup anggota badan secara keseluruhan yaitu; jilbab, lihaf, milhafah, idzr, dir, dan pakaian yang khusus menutup bagian leher ke atas dikenal; khimar, niqab, burqu’, qina’a..

Menurut Epstein cadar sudah dikenal di beberapa suku bangsa jauh sebelum Kitab Taurat diturunkan. Dalam Hukum Kekeluargaan Asyiria (Assyri’an Code) sudah ditemukan peraturan mengenai kerudung/ cadar bagi wanita:

Tradisi penggunaan kerudung ke tempat-tempat umum sudah berlangsung sejak dahulu kala di Timur. Kemungkinan referensi paling pertama ditemukan ialah di dalam hukum Asyiria, yang mengatur bahwa: istri, anak perempuan, janda, bilamana pergi ke tempat-tempat umum harus menggunakan kerudung.18 

Pengggunaan cadar (hood)19 pertama kali dikenal sebagai pakaian yang digunakan bagi kaum wanita yang mengalami menstruasi guna menutupi pancaran mata terhadap cahaya matahari dan sinar bulan. Pancaran mata tersebut diyakini sangat berbahaya, karena dapat menimbulkan bencana  di dalam lingkungan alam dan masyarakat.

Semula penggunaan cadar dimaksudkan sebagai pengganti “gubuk pengasingan”, bagi keluarga raja atau bangsawan. Mereka tidak harus lagi mengasingkan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badan yang dianggap sensitif. Modifikasi menstrual hut menjadi cadar (menstrual hood) juga dilakukan di Papua Nuegini, Kolumbia, Asia, Afrika bagian Tengah, dan Amerika bagian Tengah.

Bentuk dan bahan cadarnya juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Bentuk cadar di Asia agak lonjong menutupi kepala sampai pinggang, bahannya pun bermacam-macam; ada yang dari serat kayu yang ditenun khusus dan ada dari wol yang berasal dari bulu domba.20

Selain mengenakan cadar, wanita haid juga menggunakan zat pewarna hitam (celak) di daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan mata. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dari bahan-bahan tertentu seperti logam, manik-manik, dan bahkan tengkorak manusia.

Wacana Jilbab dan Menstrual Creation

Diskursus mengenai cadar, jilbab, dan kerudung sesungguhnya bukan persoalan baru. Bahkan dalam masyarakat tradisional pun sudah menjadi perdebatan seru. Pokok masalahnya adalah: apakah boleh wanita yang bukan bangsawan menggunakan cadar/kerudung sebagai pengganti pengasingan di gubuk menstruasi. Yahudi dan Kridten, dua agama besar sebelum Islam, juga telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum wanitanya. Pendeknya, tradisi penggunaan kerudung, jilbab, dan cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan.

Meskipun demikian, diskursus jilbab daalam Islam berbeda dengan agama dan kepercayaan sebelumnya. Sebagaimana halnya ayat-ayat haidl, ayat-ayat mengenai jilbab atau hijab dalam al-Quran (Q.S. Al-Ahdzab; 33:59 dan al-Nur; 24:31) tidak berbicara dalam konteks teologis. Maksudnya tidak dikaitkan dengan asal-usul darah asal menstrual taboo, sebagaimana dalam kepercayaan Yahudi, Kristen, dan kepercayaan-kepercayaan tradisional lain.

Ayat-ayat hijab dan jilbab berbicara dalam konteks budaya masyarakat setempat. Penekanannya adalah pada persoalan etika, hukum, dan keamanan masyarakat dimanaayat itu diturunkan. Seperti diketahui, ayat-ayat hijab, jilbab, dan umumnya yang berbicara tentang kekhususan wanita, turun antara tahun ketiga dan ketujuh Hijriyah. Tahun-tahun ini adalah tahun kritis dalam komunitas masyarakat muslim di Madinah. Baru saja terjadi Perang Uhud dimana kaum Muslim menderita kekalahan berarti, disusul dengan berbagai peperangan sporadis lainnya. Pendeknya, situasi situasi masyarakat Madinah nerada dalam suasana tidak aman karena perang yang berkepanjangan.21 Meskipun demikian, tidak berarti bahwa penggunaan cadar, jilbab, atau semacamnya sudah dapat ditinggalkan manakala situasi sudah aman. Jilbab dan semacamnya tetap merupakan ajaran Islam yang diindahkan, setidaknya jilbab menjadi doktrin etila dan estetika (tahsiniyyah). Doktrin Islam sebenarnya bukan pada jilbabnya, tetapi pada sebagai fungsinya sebagai penutup aurat-yaitu mentutup anggota badan tertentu yang dianggap rawan dan dapat menimbulkan fitnah. Pada masa Nabi, aurat itu didefinisikan sebagai seluruh anggota badan kecuali muka dan telapak tangan untuk wanita dewasa. Sedangkan untuk pria antar lutut dan pusar. Baik dalam hadits maupun kitab-kitab fiqih, pembahasan mengenai aurat muncul dalam bab shalat. Semua ulama sepakat bahwa menutup aurat pada waktu shalat berdasarkan sunnah fi’liyah hukumnya wajib. Sedangkan diluar shalat masih terdapat perbedaan pendapat. Ditemukan juga riwayat beberapa wanita dalam kondisi tertentu tidak menggunakan “kostum shalat” (jilbab), seperti wanita-wanita di medan perang, sahabat Nabi yang miskin-mereka meminjam kostum shalat orang lain karena tidak mempunyai kain yang lebar.

Dalam soal tradisi hijab, menarik untuk diperhatikan komentar Navabaskhsh, seorang penulis Iran, sebagaimana dikutip Mustafa Hashem Syarif bahwa:

Semula al-Quran sendiri tidak menetapkan kapan wanita harus dihijab dari lingkungan laki-laki. Kata hijab-dalam arti pengucilan wanita-tidak dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada masa Rasulullah. Hijab pada waktu itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya wanita kelas atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan bagian dari tradisi pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.22

Lebih lanjut Navabaskhsh menjelaskan bahwa wanita-wanita bangsawan sudah mulai menggunakan cadar (chador dalam bahasa Persi berarti tenda di tempat-temapet umum) sejak Dinasti Hakhamanesh, kemudian diikuti tradisi beberapa kerajaan di bawah Kerajaan Persia pada 500 SM. Pada masa ini, wanita bangsawan dikucilkan dari kaum laki-laki-selain sanak keluarganya-dan jika bepergian diangkut dengan kereta yang tertutup.23 Al-Zarkasyi (W.794/1344) juga telah mengemukakan bukti bahwa beberapa kota penting di jaman Romawi dan Yunani sudah menggunakan kostum yang menutupi seluruh anggota badan, kecuali satu bola mata untuk melihat.24 Uraian lebih detil mengenai kedudukan jilbab dibahas secara mendalam oleh Fatimah Mernissi dalam bukunya yang terkenal Beyond The Veil: Male-Female Dynamics in s Modern Society.

Haidl dalam Islam
Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haidl.25Dalam al-Quran hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat, sekali dalam benruk fi’il mudlari’/present and future: yahidl dan tiga kali dalam bentuk isism mashdar/gerand: al-mahidl.26 Dari segi penamaan saja, kata haidl sudah lepas dari konotasi teologis seperti pada agama dan kepercayaan sebelumnya. Masalah haidl dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah 222.

“Artinya: Mereka bertanya kepadamu (Muhamad) tentang haidl. Katakanlah:”Haid itu adalah “kotoran” oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang telah diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”

Sebab turunnnya ayat itu dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Ahmad dari Anas. Dalam hadits tersebut diceritakan bahwa jika perempuan Yahudi sedang haidl, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi. Kemudian Nabi berdiam sementara, maka turunlah ayat tersebut diatas. Setelah ayat tersebut turun, Nabi bersabda “lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri yang sedang haidl) kecuali bersetubuh”. Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi. Selanjutnya, mereka seperti kaget mendengar pernyataan tersebut. Apa yang selama ini dianggap tabu selama ini tiba-tiba dianggap sebagai “hal  yang alami” (adzan). Mereka bereaksi dengan mengatakan, “apa yang disampaikan laki-laki itu (Nabi) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita”. Usaid Ibn Hudhair dan Ubbad Ibn Basyr melaporkan reaksi tersebut kepada Nabi. Wajah Nabi berubah karena merasa kurang enak terhadap reaksi tersebut.27

Dalam banyak kesempatan, Nabi memang menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita yang sedang haidl. Nabi menegaskan bahwa: ”Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj)”, “Segala sesuatu bolrh untuknya kecuali bersetubuh (al-jima’)”. Bahkn Nabi sering menunjukkan kebolehan itu dalam bentuk praktek. Riwayat lain secara demonstratif disampaikan ‘Aisyah-ketika haidl-perbah minum dalam satu bejana dengan Nabi. Selain itu, ‘Aisyah juga pernah menceritakan bahwa Nabi melakukan segala sesuat selain bersetubuh (jima’) sementara dirinya dalam keadaan haidl. Diceritakan pula bahwa Nabi sama sekali tidak memperlihatkan perlakuan tabu terhadap darah haidl ‘Aisyah dan bekasnya.28

Jika diteliti lebih cermat, inti ayat diatas sesungguhnya bukan lagi haidlnya itu sendiri tetapi pada al-mahidl-nya atau “tempat” keluarnya darah itu (maudhi’ al-haidl). Karena, Tuhan menggunakan kata al-mahidl, bukan al-haidl. Walaupun kedua kata itu sama-sama dalam bentuk masdhar/gerund tetapi yang pertama menekankan “tempat” haidl (maudhi’ al-haidl) sedangkan yang kedua menekankan “waktu” dan “zat” haidl (‘ain al-haidl) itu sendiri.

Banyak mufassir menyamakan atau tidak menegaskan perbedaan pengertian kedua istilah itu. Padahal menyamakan atau membedakan pengertian tersebut masing-masing mempunyai makna yang berbeda, bahkan lebih jauh akan berimplementasi pada persoalan hukum. Kalau al-mahidl diartikan sama dengan al-haidl maka ayat tersebut berarti “jauhilah perempuan itu pada waktu haidl”; artinya dilarang bergaul dan bersenang-senang, dan ini jelas menyalahi struktur makna yang dikehendaki. Tetapi kalau yang dimaksud ayat itu adalah al-mahidl dalam arti maudhi al-haidl maka ayat itu berarti “jauhilah tempat haidl dari perempuan itu”. Penggunaan logika menjadi jelas tanpa harus lagi ada “penghapusan” (nasakh) atau pengkhususan (takhshish). Kalau yang dimaksud al-mahidl adalah al-haidl, maka pengertiannya akan janggal karena yang bermasalah (adzan)29 dalam lanjutan ayat itu adalah waktu haidl (zaman al-haidl) bukan tempat haidl (maudhi al-haidl). Ini jelas tidak logis. Sebab sesungguhnya yang bermasalah adalah maudhi-nya. Haidl itu sendiri bukan adzan karena haidl hanya diibaratkan dengan darah yang khusus.

Al-Razy dalam tafsirnya memberikan alternatif lain dengan mengatakan bahwa kalimat al-mahidl yang pertama berarti ­al-haidl sedangkan yang kedua berarti tempat haidl.30 Implikasi dari pengertian ini adalah persoalan haidl sebagaimana yang ditanyakan sahabat Nabi sekaligus menjadi sabab nuzul ayat itu hanyalah persoalan fisik-biologis, tempat keluarnya darah haidl itu, bukan persoalan tabunya darah haidl seperti yang dipersepsikan oleh masyarakat terdahulu.

Perintah untuk “menjauhi“ (fa’tazilu) dalam ayat diatas bukan berarti menjauhi secara fisik (li al-tab’id) tetapi memisahkan atau menghindarkan diri untuk tidak berhubungan langsung (i’tizal). Sedangkan darah haidl disebut al-adzan karena darah tersebut adalah darah tidak sehat tidak diperlukan lagi oleh tubuh wanita. Bahkan jika darah tersebut tinggal dalam perut akan menimbulkan masalah karena itulah disebut adzan.

Mengenai pembersihan diri (thaharah)31 dari haidl, dalam Islam tidak dikenal adanya upacara ritual khusus seperti dalam kepercayaan-kepercayaan sebelumnya. Mayoritas agama berpendapat bahwa sesudah hari ketujuh32 ia sudah dapat dianggap bersih setelah mandi. Hanya Abu Hanifah yang berpendapat bahwa membersihkan diri yang dimaksud tidak harus mandi, tetapi cukup dengan membersihkan tempat keluarnya darah haidl dan tidak perlu menunggu sampai tujuh hari. Sekalipun kurang dari tujuh hari kalau sudah merasa bersih sudah dapat melakukan ibadah secara rutin.33 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Auza’iy dan Ibn Hazni.34

Dari gambaran tersebut diatas dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak menganut paham menstrual taboo, sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap kaum wanita.

Penutup
Meskipun menstrual taboo tidak lagi populer, tetapi akibat yang ditimbulkan masih tetap berakar dalam masyarakat. Jika Daniel Bell benar bahwa agama tidak akan terasing dari pemeluknya, maka konsep menstruasi yang mendapat pengakuan dari beberapa kitab suci akan sulit dihilangkan.

Kalau konsep menstruasi –yang umumnya dinilai kaum feminis banyak merugikan kaum wanita- sulit dihilangkan, maka alternatifnya adalah mengeliminasi dampak negatif yang ditimbulkannya dengan melakukan reinterpretasi terhadap teks. Perlu dilakukan reidentifikasi, apakah teks itu mengungkapkan simbol, atau makna, atau kedua-duanya.

***

Daftar Pustaka

Aiken, Lisa., To be Jewish Women, Nortvale, New Jersey, London; Janson Aronson INC., 1992.

Al-Zarkasyi, Al-Ija>bah lima> Istadrakathu ‘Aisyah ‘Ala al-Shahabah, Beirut, 1970.

Epstein, Rabbi DR I., (Editorship), Hewbrew-English Edition of the Babilonia Talmud, Vol. II (Erubin).

Grahn, Judi., Blood, Bread, and Roses, How Menstruation Created the World, Boston; Beacon Press, 1993.

Hashem Sherif, Mustafa., What is Hijab, dalam Journal The Muslim World, Volume LXXVIII, No. 2.

Injil, edisi bahasa Indonesia.

Lisa>n al-‘Arab al-Muhith, Beirut: Da>r Lisan al-‘Arab, Juz 1, t.t.,

M. Epstein, Louis., Sex Laws and Customs in Judaisme, New York: Ktav Publishing House, INC., 1967.

Ma’luf, Louis., Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Da>r al-Masyriq, 1987.

Owen, Lara Her Blods is Gold, Celebrating the Power of  Menstruation, San Francisco: Harper San Francisco, 1993.

Red, Evelyn., Woman’s Evolution, New York, London, Montreal, Sydney; Pathfinder, 1993.

Steiner, Franz., Taboo, London; Penguin, 1956.

Tafsir al-Quran al-‘Adhzim, Juz I.

Wilkinson, J. Gardener., The Ancient Egyptions, Their Life and Customs, Vol. II, London; 1994.



* Penulis adalah staf pengajar di UIN Syarif Hidayatullah. Pernah melakukan berbagai penelitian kepustakaan baik yang ada di Jepang, Kanada, USA, Eropa dan Timur Tengah.

[1] Istilah tabu atau taboo pada darah haid menurut penelitian Steiner, berasal dari rumpun bahasa Polynesia. Kata ta berarti tanda, simbol (mark) dan kata pu adalah keterangan tambahan yang menggambarkan kehebatan (intensif), lalu diartikan sebagai tanda yang sangat ampuh (marked thoroughly). Lihat Franz Steiner, Taboo, London; Penguin, 1956, hlm. 32. Taboo juga sering diartikan dengan “tidak bersih” (unclean, impure), tetapi juga diidentikan dengan kata “suci” (holy) dan “pemali” (forbidden). Lihat. Evelyn Red, Woman’s Evolution, New York, London, Montreal, Sydney; Pathfinder, 1993. Menmstrual taboo sudah menjadi istilah yang umum digunakan dalam buku-buku antropologi yang berbicara tentang persoalan menstruasi.

2 Lihat. Lara Owen, Her Blods is Gold, Celebrating the Power of  Menstruation, San Francisco: Harper San Francisco, 1993, hlm. 29

3 Injil, edisi bahasa Indonesia, hlm. 2.

4 Rabbi DR I.Epstein (Editorship), Hewbrew-English Edition of the Babilonia Talmud, Vol. II (Erubin), hlm. 100.b.

5 Lisa Aiken, To be Jewish Women, Nortvale, New Jersey, London; Janson Aronson INC., 1992. hlm. 21, yang mengutipnya Me’am Loez on Genesis 3:17-19.

6 Injil. Loc. Cit.,

7 Judi Grahn, Blood, Bread, and Roses, How Menstruation Created the World, Boston; Beacon Press, 1993, hlm. 72.

8 Ibid, hlm. 73.

9 Ibid, hlm. 79.

10 Ibid.

11 Ibid, hlm. 27.

12 Ibid.,

13 Tseuheur adalah suatu paket benda-benda bertuah yang sering digunakan tukang sihir Maroko untuk membinasakan seseorang. Paket “kiriman” itu berisi ramuan dari darah menstruasi, helai rambut, air mata, logam putih, sejenis tinta, dan tujuh butir pasir. Paket ini diyakini dapat membunuh sasaran yang diinginkan dengan cara mengirimkan paket tersebut. Ibid., hlm. 130.

14  Judy Grahn, Op. Cit., hlm. 89-90. Lihat pula J. Gardener Wilkinson, The Ancient Egyptions, Their Life and Customs, Vol. II, London; 1994, hlm. 331-332.  Dalam buku ini diilustrikan model-model sandal, sepatu, pakaian-pakaian wanita, dan berbagai jenis alat-alat perhiasan wanita pada masa Mesir Kuno. 

15 Misalnya dalam al-Qur’an surat al-Ahzab; 57 dan 59.

16  Ada beberapa istilah yang semakna dengan jilbab (veil) dalam Kitab Taurat, antara lain tif’eret (Isaiah: 3:18). Diskursus mengenai jilbab dalam agama Yahudi pernah lebih seru dari pada yang belum lama ini diributkan di beberapa negara Muslim. Dalam peraturan agama Yahudi, pernah dititipkan bahwa membuka jilbab dianggap sebagai suatu pelanggaran yang dapat berakibat terjadinya suatu perceraian karena hal tersebut dianggap sebagai suatu ketidak setiaan terhadap suami. ”….the women going out in public pleaces with uncovered constituted legitimate cause for diforce, as though it were synonimous with unfaithfulness….”. Lihat Louis M.Epstein, Sex Laws and Customs in Judaisme, New York: Ktav Publishing House, INC., 1967, hl. 41. 

17 Istilah yang sepadan dengan cadar atau kerudung dalam Bible ialah: redid, zammah, re’alah, zaif, mitpahat. Lihat. Ibid., hlm. 37.

18 Ibid, hlm. 36.

19 Penggunaan kata “hut”dalam bahasa Inggris yang berarti “kerudung/cadar yang menutup bagian kepala sampai ke leher” dan kata hat yang berarti topi mempunyai kedekatan makna dan boleh jadi berasal dari satu akar kata dengan kata hut yang berarti “bangunan sementara” (temporary wooden house) bagi wanita yang sedang menstruasi. Secara etimologis kata hut maknanya berkonotasi negatif, karena juga bisa berarti bangunan yang jelek (the house of rude construction). Sama dengan kata “hood, selain berarti kerudung/ cadar, juga berarti “penjahat” dan “buaya darat”. Karena itu penggunaan dua kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks yang negatif pula.

20 Judy Grahn, Op. cit., hlm. 91-92.

21 Pembahasan mengenai ayat-ayat hijab diuraikan dengan kritis oleh Mernissi dalam suatu bab khusus. (Lihat Mernissi, loc. cit). Mernissi tidak pernah mencegah penggunaan kerudung atau jilbab tetapi ia menghendaki praktek jilbab sebagai tolak ukur dalam menilai kafir tidaknya seseorang.

22 Lihat Mustafa Hashem Sherif, What is Hijab, dalam Journal The Muslim World, Volume LXXVIII, No. 2, h. 157.

23 Ibid.,

24 Al-Zarkasyi, Al-Ijabah lima Istadrakathu ‘Aisyah ‘Ala al-Shahabah, Beirut, 1970, h. 49

25 Kata haidl adalah istilah khusus digunakan dalam al-Quran. Istilah ini tidak ditemukan dalam teks Taurat dan Injil. Dalam Al-Munjid fi al-Lughah kata haidl, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata hadla-hadlanyang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu. Lihat Louis Ma’luf,  Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1987, h. 164. Hanya dalam Lisan al-‘Arab dikemukakan pendapat lain tentang asal-usul kata tersebut. Menurut al-Lihyani, Abu Sa’d, dan Abu Sukait, kata hadla dan hasha memnpunyai arti yang sama yaitu “mengalir, menempel”. Lihat Lisan al-‘Arab al-Muhith, Beirut: Dar Lisan al-‘Arab, Juz 1, t.t., h. 770. Hanya ada kesulitan kalau kedua kata itu diartikan sama karena keduanya masing-masing mempunyai konteks penggunaan dalam al-Quran. Walaupun keduanya hanya disebutkan empat dan lima kali dalam bentuk mashdar dalam al-Quran tetapi kata mahish lebih banyak berarti “jalan keluar” terhadap berbagai masalah, sedangkan mahidl dipakai dalam konteks darah haidl.

26  Al-Quran, S. al-Thalaq: 65:4 dan S. al-Baqarah: 2:222.

27 Lihat Tafsir al-Quran al-‘Adzim, Juz 1, h. 258.

28 Banyak lagi riwayat yang serupa disampaikan oleh istri-istri Nabi yang lain. Lihat ibid., h. 259-260.

29 Kata adzan menurut bahasa berarti sesuatu yang keji dan tidak diinginkan (ma yukrihu min kulli syai’) karena itu kata adzan dalam tafsir yang berbahasa Indonesia sering diartikan sebagai penyakit dan juga sering pula dengan kotoran. Bahkan menurut Thabathaba’i darah haidl itu sendiri bukan zat (‘ain)-nya yang darurat melainkan sesuatu yang dari luar (dharurah lighairih), kemudian memberi nilai tersendiri, seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Ahdzab/33:57:

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maksudnya bukan menyakiti Allah dan Rasul-Nya secara fisik melainkan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya.

Demikian pula dalam ayat haidl tadi, bukan haidlnya ansich yang adzan tetapi karena kedatangan haidl itu setiap bulan dan membawa masalah bagi wanita. Lihat Thabathaba’I, Tafsir al-Midzan, Juz 2, h. 207.

30 Al-Razy, Tafsir al-Kabir, Juz h. 64.

31 Kata thaharah termasuk kata yang sering muncul dalam kitab suci terdahulu, seperti dalam kitab Taurat sering dihubungkan dengan mukveh/family purity yaitu melakukan mandi secara ritual dengan air yang telah diberkahi, biasanya pada petang hari ketujuh masa menstruasi. Lihat Lisa Aiken, Ibid, h. 164-165. Makna thaharah tersebut mempunyai kemiripan fungsi dalam Islam, yaitu melakukan pembersihan sesudah melakukan persetubuham atau seusai menjalani menstruasi. Hanya dalam Tafsit al-Alusty memberikan komentar bahwa yang dimaksud bersih dari ayat tersebut adalah pembersihan secara hakiki, yakni melakukan pembersihan diri secara sempurna (thaharah al-kamilah) dengan mandi, maksudnya berhentinya haidl tidak bisa dijadikan ukuran tetapi mandi wajib sesudah haidl itulah yang dijadikan ibarat. Al-Alusy cenderung sependapat dengan ‘Ashim yang membaca yaththahharna (dengan pembenaran) yangmemfaedahkan upaya intensif untuk membersihkan diri. Lihat Tafsit al-Alusiy, Juz 2, h. 123. Imam Syafi’i cukup dengan mandi seperti mandi janabah, yakni membasahi seluruh anggota badan, sebagian ulama lain seperti ‘Atha’ dan Thawus berpendapat bahwa wanita paska haidl ,esti mandi dan berwudhu. (Lihat Al-Razy dalam op cit, h. 69).

32 Angka tujuh disini semata-mata berdasar pada kebiasaan wanita pada umumnya mereka menjalani masa haidl selama tujuh hari, tidak ada hubungannya sama sekali dengan angka tujuh yang seperti yang dianut dalam agama Yahudi. Ini bisa dilihat dalam diskursus empat imam mahdzab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, sama sekali tidak pernah ada yang menyinggung hubungan antara angka tujuh hari dengan penciptaan dan perilaku mikrokosmis

33 Lihat Tafsir al-Quran al-‘Adhzim, Juz I, h. 258.

34 Lihat Tafsir al-Nahr al-Mad, Juz 1, h. 216
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar