Tafsir periode Afirmasi

Admin Friday, December 17, 2010

 (Studi terhadap Tafsir Mazhab Kalam dan Fikih)
Oleh Akhmad Supriadi
A.    Pendahuluan
Upaya untuk menghasilkan pemahaman dan penjelasan terhadap Al-Quran dengan menggunakan metode tertentu atau yang dikenal dengan tafsir merupakan sesuatu yang selalu terbuka untuk dikembangkan, karena ilmu tafsir sendiri termasuk rumpun ilmu yang belum matang (ghair an-nadlji) [1]. Fakta historis juga menunjukkan bahwa tafsir selalu berkembang seiring dengan derap langkah perkembangan peradaban dan budaya manusia, walaupun ada sebagian kalangan yang menganggap tafsir sebagai ilmu yang telah matang dan gosong (nadhija wahtaraqa) [2].
Para ahli tafsir mengklasifikasi tafsir dari berbagai sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan klasifikasi yang berbeda pula. Jika dilihat dari sudut pandang aktifitas atau kegiatan yang dilakukan, tafsir dapat dibagi menjadi 3 (tiga) periode, yaitu periode formasi, afirmasi serta reformasi.
Periode tafsir pada masa Nabi, sahabat tabi’in serta para imam mazhab disebut sebagai periode formasi yakni fase awal lahir dan terbentuknya tafsir. Pada  peride ini, corak dan metode penafsiran yang digunakan lebih dominan dengan metode bi al-ma’tsur atau bi-al-riwayah dimana posisi dan peranan riwayat sangatlah sentral dan dominan.
Pada periode yang disebut periode afirmasi yakni periode pasca-lahirnya mazhab atau skolatik dalam Islam di sekitar abad pertengahan, corak dan metode  penafsiran tidak lagi bertumpu pada riwayat Nabi yang jumlahnya sangat terbatas  akan tetapi para mufasir sudah berani melahirkan corak tafsir yang beragam sesuai dengan spesialiasi dan kecendrungan masing-masing. Hanya saja Tafsir pada periode ini cenderung dilakukan dengan tujuan melakukan pembelaan terhadap kelompoknya atau bahkan menyerang mazhab lainnya yang dianggap tidak sealiran.  Lahirnya   tafsir bercorak fiqih, falsafi, kalam dan sebagainya di satu sisi menjadi indokator akan kayanya ragam tafsir, akan tetapi di sisi lain produk tafsir tersebut cenderung hanya melakukan pembenaran dan pembelaan terhadap alirannya, bahkan tidak jarang menyerang dan menyalahkan mazhab lain.
B.     Tafsir Periode Afirmasi
Secara sederhana, periode afirmasi dapat didefinisikan sebagai periode  pembelaan dan penguatan terhadap mazhab terutama mazhab kalam dan fikih.
Tafsir pada periode afirmasi yang muncul pasca periode imam mazhab dimulai sekitar  abad pertengahan. Secara umum, nuansa tafsir yang lahir pada periode ini didominasi oleh kepentingan mazhab baik yang bersifat pembelaan maupun serangn dn celaan terhadap kelompok lain. Periode ini dimulai dengan munculnya produk penafisiran yang sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang dalam bentuk buku.[3] Beberapa karaktersitik tafsir pada periode afirmasi antara lain:
1.      Pemaksaaan gagasan asing (non-Quran) ke dalam tafsir.
Maksud dari istilah ini adalah bahwa kebanyakan tafsir pada masa ini seringkali terjerumus ke dalam sektarianisme dimana kepentingan mazhab atau golongan lebih ditonjolkan. Akibatnya kepentingan sebagai penafsir menjadi terabaikan.[4]
2.      Banyaknya pengulangan (tikrar) dan terlalu bertele-tele (tathwil)
Pada umumnya tafsir periode ini menganut sistem mushafi atau tahlili dimana penafsiran dilakukan dengan mengikuti tata urutan ayat dan surat seperti apa dalam mushaf Al-Quran. Konsekuensinya, mufassir seringkali dihadapkan pada kenyataan adanya ayat-ayat yang redaksinya atau semangatnya memiliki kemiripan dengan ayat-ayat lain yang kebetulan terdapat dalam beberapa surat. Dalam kaitan ini, mau tidak mau, para mufassir tentu akan menyinggung kembali pernyataan-pernyataan yang sudah dikemukakannya pada ayat sebelumnya yang redaksinya sama atau ada kemiripan pesan  walau redaksinya berbeda. Bahkan, tidak cukup dengan repetisi, mufassir bahkan kadang masih memberikan ulasan yang cukup panjang dalam setiap penafsiran atas masing-masing ayat di atas, sehingga tampak berlebihan jika dibandingkan dengan ukuran ayat yang ditafsirkannya. Akibatnya, tafsir model di atas juga sering dituduh sebagai tafsir yang bertele-tele (al-Tafsir Al-thula).[5]
3.      Bersifat atomistik (parsial)
Dengan metode tahlili atau pola mushafi yang dominan digunakan pada masa ini, dimana Al-Quran ditafsirkan secara berurutan ayat demi ayat atau surat demi surat seperti urutannya dalam mushaf, maka hal ini berakibat pada lahirnya pemahaman yang parsial atau sepotong-sepotong. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan Al-Quran ditafsirkan tanpa pemahaman yang holistik dari seluruh ayat yang berbicara dengan tema yang sama.[6]
Oleh karena tafsir pada periode afirmasi hadir dalam kerangka pembelaan dan penguatan terhadap ideologi atau mazhab yang dianut oleh para imam mazhab, baik mazhab fikih maupun mazhab kalam (teologi),maka pemikiran tafsir baik yang bercorak kalam maupun fikih pada periode ini telah terjebak pada taklid dan sektarian dimana masing-masing pengikut imam mazhab menerima pendapat para imam-imam mazhab dan menganggapnya sebagai sesuatu yang harus dipegangi sebagai kebenaran mutlak.[7]
Pada awal tahun 300-an H misalnya, mulai terjadi pemasungan berpendapat termasuk dalam teologi. Khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq yang merupakan pemimpin Dinasti Abbasiah, berusaha keras memaksakan ideologi Mu’tazilah kepada para ulama.[8]
Dalam kaitan ini, tafsir dengan corak fiqih dan kalam (teologi) merupakan mainstream yang banyak mewarani genre tafsir abad pertengahan. Tentu saja, subyektifitas dan justifikasi dalam penafsiran sektarian menjadi unsur yang sangat dominan baik karena adanya kepentingan ideologi, politik bahkan kekuasaan.
  1. Tafsir Mazhab Kalam (al-tafsir al-i’tiqodi)
Tafsir mazhab kalam atau corak teologis[9] adalah salah satu bentuk penafsiran Al-Quran yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibandingkan mengedepankan pesan pokok Al-Quran.  Kategorisasi ayat yang dipakai Al-Quran menjadi muhkam dan mutasyabih [10] adalah sumber teoritis perbedaan penafsiran teologis yang dibangun diatas keyakinan mazhab kalam tertentu.
Munculnya tafsir bercorak kalam atau teologi, paling tidak dipengaruhi oleh 2 (dua) hal. Pertama, adanya persentuhan Islam dengan filsafat Yunani. Kedua, masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi pemahaman dalam penafsiran.[11]
Dalam kaitan ini, tafsir kelompok Mu’tazilah dan kelompok Asy’ariyah merupakan 2 (dua) mazhab teologis yang secara diametral akan dibahas karena dua corak pemikiran inilah yang banyak bersinggungan dan berseberangan dalam tafsir bercorak kalam.
1.      Tafsir Mu’tazilah.
Seperti telah dikenal luas, Mu’tazilah merupakan kelompok yang menggunakan akal secara dominan dalam menafsirkan Al-Quran, sehingga mereka dijuluki “kaum rasionalis Islam.”[12] Tesis-tesis Mu’tazilah yang terpenting dan merupakan pokok ajaran yang mempengaruhi sekaligus mendominasi para penafsiran para pendukungnya adalah yang tersimpul dalam “Pancasila’nya Mu’tazilah, yakni Ushul Al-Khamsah yang mencakup tauhid, al-adl, al-wa’d wal wa’id, al-amr’      bil ma’ruf wa al-nahyi an al-munkar, serta manzilah bayna manziltain.[13]
Beberapa karakteristik yang menonjol dalam tafsir mazhab Mu’tazilah adalah: Pertama, mengingkari hadis-hadis sahih yang bertentangan dengan mazhab mereka. Kedua, klaim bahwa setiap hasil penafsiran atau ijithad seorang mujtahid maupun penafsir  adalah apa yang dimaksud oleh Allah ta’wil. Keyakinan ini bertentangan dengan  Ahlussunnah yang meyakini bahwasanya setiap ayat memiliki satu makna yang dikehendaki oleh Allah, sedangkan makna-makna lain yang terkandung merupakan usaha dan ijtihad yang dimaksudkan untuk sampai kepada apa yang dikehendaki oleh Allah tanpa dipastikan kebenarannya;[14] Ketiga, bertumpu pada aspek linguistik atau bahasa. Mereka menerapkan metode ini dalam menafsirkan teks-teks yang merangkum setiap sifat-sifat ketuhanan antropomorphistik (uluhiyah jasmaniyyah), seperti melihat, mendengar, naik, turun, tangan, mata, kursi dan lain-lain.[15] Dalam memahami ungkapan-ungkapan yang bersifat tasybih atau hal yang tidak pantas dengan kedudukan Tuhan, kelompok Mu’tazilah melakukan pena’wilan-pena’wilan yang lebih layak dan jauh dari tasybih disertai bukti-bukti linguistik dari syair-syair klasik.[16]  Penggunaan akal tersebut di sisi Mu’tazilah bertujuan untuk menjauhkan seluruh mitos-mitos dari wilayah keagamaan, disertai dengan upaya menghubungkan hal tersebut dengan apa mereka sebut dengan tauhid, yakni keyakinan pada “keesaan” Allah.[17] Keempat, berpaling dari qiraat mutawatir yang tidak sejalan dengan mazhab Mu’tazilah; [18] dan yang kelima, mengingkari kebenaran-kebenaran yang sudah dakui secara umum, misalnya saja tentang eksistensi sihir, jin, serta adanya karamah bagi para wali.[19]
Kelompok Mu’tazilah sebenarnya kaya dengan kitab tafsir hasil pikiran ulama mereka, akan tetapi menurut Adz-Zahabi hanya ada 3 (tiga) kitab tafsir yang sampai ke tangan umat Islam hingga saat ini yaitu Amaly Syarif Al-Murtadhy karya Aly bin Thahir bin Ahmad al-Husein (populer dengan nama tafsir Murtadhy), ,Tanzih Al-Quran ‘an Al-Mathain[20] karya al-Qadhi Abdul Jabbar (Dikenal dengan nama Abu Hasan Al-Bagdadi), serta Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidl Al-Tanzil karya Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyary (populer dengan nama tafsir Zamakhsyari).[21]
Diantara  kitab-kitab tafsir bermazhab Mu’tazilah, tafsir Al-Kasyyaf karya Zamakhsyari tampaknya merupakan kitab yang paling populer yang dapat merepresentasikan pemikiran tafsir mereka dimana nuansa pembelaan terhadap teologi Mu’tzilah sangatlah kental di dalamnya. Tafsir ini sendiri konon ditulis berdasarkan permintaan suatu kelompok Mu’tazilah yang menamakan dirinya        Al-Fi’ah  Al-Naji’ah al-Adliyah[22], sehingga dari sini dapat dipahami betapa kentalnya nuansa teologis I’tizali di dalamnya.
 Penafsiran Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasysyaf  dimulai dengan mengemukakan pemikiran yang rasional yang didukung dengan dalil-dalil dari riwayat (Al-Quran dan hadis).  Karena keahliannya dalam bahasa Arab dan balaghah, ia sering menggunakan keahliannya tersebut untuk membela dan menguatkan alirannya. Jika ia menemukan suaru lafaz yang secara lahiriah tidak sesuai dengan pendapat Mu’tazilah, ia berusaha dengan untuk membatalkan makna lahiriah dan menetapkan makna lain yang terdapat dalam bahasa. [23] sebagai contoh, ketika menafsirkan Al-Quran surat Al-Qiyamah: 22-23 yang berbunyi:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.”

Zamakhsyari mengesampingkan makna lahir kata “nazhiroh” (melihat) dan menafsirkannya dengan “al-raja’”(menunggu, mengharapkan), sebab dalam paham Mu’tazilah Allah SWT tidak dapat dilihat, sehingga ungkapan “nazhiroh” dianggap sebagai ungkapan metaforis.[24] Oleh karena itu, ketika ia menemukan suatu ayat yang secara lahiriah bertentangan dengan paham Mu’tazilah, ia mencari jalan keluar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat lalu menklasifikasikannya pada ayat muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam ayat muhkamat, sedangkan ayat yang tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ked alam ayat mutasyabihat, kemudian dita’wilkan agar sesuai dengan paham Mu’tazilah. Misalnya, ketika ia menafsirkan  QS. Al-An’am: 103:
žw çmà2Íôè? ã»|Áö/F{$# uqèdur à8Íôムt»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# çŽÎ6sƒø:$# ÇÊÉÌÈ
 “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.”

Ayat tersebut dikelompokkan dalam ayat muhkamat karena maknanya sesuai dengan paham Mu’tazilah, sedang QS Al-Qiyamah ayat 22-23 di atas dikelompokkan dalam  ayat mutasyabihat, karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah.
2.      Tafsir Asy’ariyah
Istilah Asy’ariyah atau yang sering didentikkkan dengan Ahlussunnah wal Jamaah[25] menurut Harun Nasution muncul sebagai reaksi terhadap paham golongan Mu’tazilah yang dianggap telah keluar dari frame Al-Quran dan Sunnah. Sementara, istilah Asy’ariah sendiri diambil dari nama pendiri paham Asy’ariyah yaitu Abu Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari yang pada awalnya adalah pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun (dilahirkan di Basrah tahun 873 M dan wafat di Bagdad tahun 935 M). [26]
Jika tafsir mazhab Mu’tazilah lebih bercorak rasional yakni dengan memberikan banyak kebebasan kepada kemauan manusia serta menyangkal adanya sifat-sifat kemanusiaan ilahi, maka tafsir mazhab Asy’ariyyah merupakan antitesis dari Mu’tazilah.[27] Diantara tafsir golongan Asy’ariyah yang kental nuansa teologisnya dalam membela paham Asy’ariyah adalah Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil karya Al-Baidhawi, Mafatih Al-Ghaib karya Abu Bakar Ar-Razi dan  Madarik At-Tanzil wa Haqaiq at-Ta’wil karya Abdullah Ibn Muhammad Al-Nasafi.[28]
Tafsir al-Baidhawi secara metodologis mencoba memadukan penafsiran bil ma’tsur dan bi al-ra’yi Sekaligus.  Tafsir Al-Baidhawi sendiri sebenarnya banyak merujuk kepada kitab-kitab tafsir sebelumnya seperti Mafatih al-Ghaib, Al-Kasysyaf dan tafsir karya Ragib Al-Asfahani. Hanya saja ia melakukan seleksi secara ketat, sehingga paham yang bertentangan dengan Asy’ariah ia tinggalkan, bahkan terkadang ia sendiri mengkritik paham Mu’tazilah.[29] Tafsir al-Baidhawi sendiri mencakup berbgai corak baik kebahasaan, akidah, filsafat, fikih bahkan tasawuf. Hanya saja sebagai seorang Sunni, penafsiran Baidhawi memng cenderung kepada mazhabnya serta sangat kental nuansa teologisnya.[30] Misalnya saja ketika menafsirkan QS Al-Baqarah ayat 2-3:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$#
$®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ
“Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.”

Setelah memberikan penjelasan secukupnya terhadap ayat tersebut, Al-Baidhawi mencoba untuk mengemukakan makna “iman” dan “Munafik”  menurut pandangan Ahlusunnah, Mu’tazilah dan Khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan Ahlussunnah.[31]
3.      Tafsir Syi’ah

  1. Tafsir mazhab Fikih
Perkembangan fikih yang melahirkan imam-imam mazhab, pada periode berikutnya melahirkan mazhab-mazhab fikih dimana masing-masing golongan dan pengikut mazhab berusaha membuktikan dan membela pendapat mazhabnya. Bahkan tidak sedikit di antara pengikut mazhab tersebut yang mencela mazhab lain, satu sikap yang sangat ditentang oleh para imam mazhab itu sendiri.[32]  Periode afirmasi atau periode dimana setiap pengikut imam mazhab berupaya taklid dan memperkuat paham imam mazhabnya, dimulai sekitar abd IV H.[33] Para ulama tidak lagi berupaya melakukan ijtihad untuk menemukan sebuah metode baru, namun masing-masing mereka hanya memegang pendapat imam mazhab (khususnya Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) secara ketat serta membela dan menyiarkannya kepada orang lain, padahal sikap taklid seperti ini tidak pernah diajarkan oleh para imam mazhab tersebut.[34]
Tafsir dengan corak fikih Pada  periode ini sikap ta’ashub kepada mazhab sangat kental. Akibatnya tidak tumbuh sikap saling toleransi antar mazhab. Penafsiran terhadap suatu ayat dilakukan bukan untuk mencari kebenaran, akan tetapi lebih kepada upaya memperkuat mazhab dan melemahkan kelompok lain.[35]
   Khuderi Beik dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya sikap taklid tersebut. Pertama, sikap para pengikut imam mazhab yang terlalu mentakdiskan pemikiran para imam mazhab. Kedua, Para penguasa terjebak kepada sektarianisme dengan menetapkan suatu mazhab tertentu sebagai mazhab resmi serta memaksakannya kepada para penduduk. Ketiga, Adanya pembukuan pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab serta menyiarkannya kepada orang banyak, sehingga kompilasi pendapat para imam mazhab tersebut dianggap telah cukup menampung aneka permasalahan yang ada dalam lapangan fikih.[36]
  Pada periode taklid ini, muncul juga para mufassir yang membela mazhab fikih para imam mazhab masing-masing, terutama imam mazhab yang 4 (empat) yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
1.      Tafsir Hanafiyah
Tokoh tafsir Hanafiyah yang terkenal adalah Abubakar al-Razi atau yang lebih dikenal dengan Al-Jashshash (305-370 H), dengan kitab tafsirnya Ahkam al-Quran. Kitab tafsir ini terkenal dengan nama tafsir Al-Jashshash dan merupakan tafsir fikih terpenting dalam Mazhab Hanafi, karena pembelaan dan penguatannya yang kental terhadap mazhab Hanafi. Dalam penafsirannya, tafsir ini juga memfokuskan bahasannya dalam konteks hukum saja.[37] Selain itu, Jashshash juga membandingkan seluruh pendapat imam mazhab tentang suatu hukum, sehingga kitab tafsir ini menurut Azh-Zahabi seperti Kitab fikih perbandingan. Masih, menurut Azh-Zahabi, Al-Jashshash seringkali mengaitkan persoalan suatu ayat dengan hukum fikih, padahal hal tersebut tidak ada hubungannya dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran, misalnya saja ketika berbicara tentang QS Yusuf ayat 26:
tA$s% }Ïd ÓÍ_ø?yŠurºu `tã ÓŤøÿ¯R 4 yÎgx©ur ÓÏd$x© ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) šc%x. ¼çmÝÁŠÏJs% £è% `ÏB 9@ç6è% ôMs%y|Ásù u
qèdur z`ÏB tûüÎ/É»s3ø9$# ÇËÏÈ

“Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)", dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika baju gamisnya koyak di muka, Maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta.”

Al-Jashshash menghubungkan cerita di atas dengan pendapat para imam mazhab  tentang dakwaan Luqathah (barang temuan) dalam fikih, padahal kisah di atas sama sekali tidak memiliki relevansi dengan masalah Luqathah.[38]
Pembelaannya terhadap mazhab Hanafi dapat dilihat ketika ia menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 232:
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/
3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4s1ør& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw
 tbqßJn=÷ès? ÇËÌËÈ
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.”

Ayat di atas oleh Al-Jashshsash dijadikan dalil yang ‘amm untuk membolehkan seorang wanita menikah tanpa adanya wali dan izin darinya.[39]
 Tokoh tafsir lain di kalangan Hanafiah adalah Ahmad bin Abi Sa’id (abad 11 H) yang mengarang kitab tafsir Al-Ahmadiyyah fi Bayan Al-Ayat Al-Syar’iyyah. Kitab ini dicetak di India dan saat ini tersimpan di universitas Kairo.[40]
2.      Tafsir Syafi’iyyah
Beberapa mufassir di kalangan Syafi’iyah antara lain Syihabuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Yusuf bin Muhammad al-Halaby (wafat  756H) dengan tafsirnya Al-Qaul Al-Wajiz fi Ahkam Al-Kitab Al-‘Aziz, Ali bin Abdullah Mahmud Asy-Syanfaki (abad 9 H) dengan tafsirnya Ahkam Al-Kitab Al-Mubin, serta Jalaluddin Al-Shuyuti (wafat 911 H) dengan tafsirnya Al-Iklil fi Istinbath Al-Tanzil. Kitab-kitab tersebut saat ini tersimpan di Kairo Mesir. [41]
Selain tafsir di atas, tafsir yang paling penting dan populer dalam mazhab Syafi’iyyah adalah  Ahkam Al-Quran karya Lukya Al-Harosy (450 H-504 H). Mufassir yang populer dengan panggilan Lukya ini berasal dari Khurasan kemudian pindah ke Naisabur. Ia berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini dan terakhir di Madrasah Nizhamiyyah di Bagdad. [42] Fanatisme yang berlebihan seorang Al-Harosy terhadap Mazhab Syafi’i dapat dilihat dari mukaddimah tafsirnya:
“..Sesungguhnya mazhab Syafi’i ra adalah mazhab yang paling benar, paling kuat, paling lurus dan paling kuat pemahaman hukumnya dan pandangan-pandangan Syafi’i adalah pendapat yang mencapai haqqul yakin..”[43]

Hanya saja,  pembelaan Al-Harosy terhadap Syafi’i dan  terhadap mazhab lain terbatas ayat-ayat tentang hukum saja.[44]
4.      Tafsir Malikiyah
Di kalangan mazhab Malikiyah, tafsir bercorak fikih yang populer adalah Ahkam Al-Quran karya Ibnu Araby [45] dan Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran karya Al-Qurthubi.[46]
Ibnu Araby, disamping dikenal sebagai pakar fikih dan  ahli tafsir, juga seorang pensyarah hadis antara lain kitab al-Muwatha’ dan Kitab Tirmidzi. Tafsir Ibnu Arabi, yakni Ahkam Al-Quran memuat seluruh ayat Al-Quran. Namun demikian, penjelasan yang dikemukakan dalam tafsirnya  hanyalah yang terkait dengan hukum.
Nuansa sektarian dalam tafsir ini sangatlah kental. Ibnu Arabi menunjukkan sikap fanatisme terhadap mazhab Maliki dan melakukkan penolakan terhadap pendapat yang tidak sesuai dengannya.[47] Namun demikian, dalam beberapa permasalahan, Ibnu Arabi tampaknya bersikap obyektif dan moderat. Misalnya saja, ketika memahami QS Al-Baqarah ayat 187:
 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ムª
!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcqà)­Gtƒ ÇÊÑÐÈ 

“..Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

Ketika membahas persoalan tersebut, Ibnu Arabi justru melemahkan pendapat Imam Hanafi dan Maliki yang mensyaratkan i’tikaf di mesjid paling sedikit sehari semalam. Ia justru sepakat dengan pendapat imam Syafi’i yang menyatakan bahwa i’tikaf minimal dilakukan sesaat dan maksimal sebanyak-banyaknya karena tidak ada dalil yang menyatakan batas minimal itu sendiri. Contoh lain misalnya, ketika membahas tentang QS Al-maidah ayat 6 tentang membasuh kepala, Ibnu Arabi menganggap semua pendapat imam mazhab adalah benar.[48]
Pakar tafsir yang juga populer dalam mazhab Malikiyyah adalah Abdullah     Al-Qurthubi dengan tafsirnya Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran. Al-Qurthubi, dalam pandangan Adz-Zahabi, adalah sosok ulama yang zahid, arif, qana’ah serta banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah. Dengan integritas spiritual dan intelektualnya yang demikian tidak mengherankan jika Al-Qurthubi cukup objektif dalam mengemukakan pandangannya dalam berbagai persoalan hukum. Dengan kata lain meskipun ia seorang penganut Malikiyyah, namun jika suatu pendapat dianggapnya lebih sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah maka ia pun mengikutinya tanpa terpengaruh dengan pendapat Imam Malik. Dalam tafsirnya, Al-Qurthubi konon banyak menukil pendapat para pakar tafsir seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu ‘Athiyyah, Ibnu Arabi, Al-Harosy dan Al-Jashshash.  [49]
 Walaupun seorang pengikut mazhab Maliki, Al-Qurthubi adalah sosok yang objektif, moderat, independen dan adil dalam tafsirannya. Dengan kata lain, Qurthubi sama sekali bukan sosok yang fanatik (ta’ashub) terhadap mazhabnya sendiri. Hal ini menurut Az-Zahabi dapat dibuktikan dengan penafsiran Al-Qhurtubi tentang beberapa ayat, diantara QS. Al-Baqarah 43, 173, 183, 187, 236, An-Nisa 3, dan An-nahl 67.[50]
  Misalnya saja, ketika berbicara tentang QS Al-Baqarah ayat 236:
žw yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$#
 ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Al-Qurthubi dalam hal ini tidak mengikuti pendapat Imam Malik yang menganggap mut’ah dalam ayat di atas sebagai pemberian yang bersifat mandub, ia justru mengikuti pendapat para imam yang lain yang mewajibkan mut’ah bagi seorang perempuan karena baginya perintah atau amr dalam ayat di atas merupakan suatu kewajiban.[51]
Dalam permasalahan yang berbeda misalnya, tatkala membahas suatu hadis tentang seseorang yang makan dan minum dalam keadaan lupa ketika sedang berpuasa, Al-Qurthubi tidak sependapat dengan Imam Malik yang menganggap bahwa puasa orang tersebut batal dan wajib qadla’. Menurutnya, pendapat para jumhur lah yang lebih tepat sesuai dengan hadis abu Hurairah ra: “jika seseorang yang sedang berpuasa makan dan minum dalam keadaan lupa, maka itu adalah rezki dari Allah kepadanya dan tidak ada qadla’ atasnya..” berdasarkan hadis tersebut, menurut Al-Qurthubi, puasa orang tersebut tetap sah dan tidak wajib qadla’.[52]
5.      Tafsir Hanabilah
Berbeda dengan ketiga imam mazhab di atas, mazhab Hanbali tidak memiliki produk tafsir yang banyak khususnya yang bernunasa fikih. Berbagai buku yang terkait dengan sejarah tafsir dan fikih sejauh ini tidak mencantumkan tokoh mazhab Hanbali yang mengarang kitab tafsir. Di sini, penulis hanya dapat mencantumkan 2 (dua) orang tokoh yan memiliki produk tafsir, yakni Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauzi.
Ibnu Taimiyah, yang memiliki nama lengkap Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad bin Abdussalam Bin Taimiyah, lahir di Harran, Turki awal 661 H/1263M dan wafat pada tahun 728H/1328 M.[53] Pendapat lain mengatakan bahwa Harran merupakan sebuah daerah dekat Damaskus, Syiria.[54] Ibnu Taimiyah yang kemudian menetap di Damaskus, memiliki sangat banyak karya ilmiah meliputi hampir setiap aspek Islam. Dalam bidang studi Al-Quran, karya-karyanya antara lain Tafsir Ibnu Taimiyah (Bombay, 1954), Tafsir Surat Al-Ikhlas, serta Muqadimah fi Ushul         Al-Tafsir. Ibnu Taimiyah berusaha menyelaraskan akal dan Al-Quran dan berupaya menghilangkan pertentangan antara keduanya.Fungsi akal menurut Ibnu Taimiyah adalah untuk memahami dan mencari bukti-bukti kebenaran Al-Quran. Penafsiran Ibnu Taimiyah sendiri tampaknya bertumpu pada metode tafsir bil ma’tsur           (Al-Quran, Hadis Nabi, riwayat sahabat dan tabi’in).[55]
Adapun tafsirnya secara keseluruhan dihimpun oleh Ibnu Qasim Al-Ashimi Al-Hanbali dalam Majmu’ Fatawa Syaikh Islam Ahmad Ibn Taimiyyah. Ibnu Taimiyah sendiri tidak menafsirkan seluruh ayat Al-Quran karena menurutnya sebagian ayat sudah jelas dan sebagaiannya telah ditafsirkan oleh para ulama, sehingga penafsirannya hanya terbatas pada ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Tafsir Ibnu Taimiyah sendiri dalam pandangan beberapa pakar termasuk dalam kelompok tafsir tematik (tafsir al-maudhu’i) yang bercorak sastra budaya kemasyarakatan dengan ciri menjelaskan petunjuk ayat Al-Quran  yang berkaitan langsung dengan kehidupanaktual kontemporer di masanya[56]
Tokoh lain penganut Hanabilah adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tokoh fikih, hadis, sastra Arab dan ilmu kalam penganut mazhab Hanbali ini dilahirkan di Damaskus pada 6 Safar 691 H/ 29 Januari 1292 M- 23 Raajab 751 H/26 September 1350 M. Ibnu Qayyim sendiri merupakan murid dari Ibnu Taymiyyah, seorang pengikut mazhab Hanbali yang juga pakar berbagai cabang ilmu.[57]
Karya-karya Ibnu Qayyim sendiri sangatlah banyak diantaranya               I’lam Al-Muwaqi’iin an rabb al-Alamin (ushul fikih), Zaad Al-Ma’ad (Ushul Fikih), Madarij Al-Salikin (tasawuf), dan lain-lain. Satu-satunya kitab tafsir karya Ibnu Qayyim adalah Al-Tafsir Al-Qayyim. Hanya saja, tafsir ini bukanlah hasil tulisan sistematik seorang Qayyim, melainkan hasil kompilasi berbagai tulisan dan pemikirannya yang diolah dari berbagai kitab karya Qayyim sendiri oleh seseorang yang bernama Muhammad Uwais An-Nadwi, seorang ulama India. Hasil kumpulan dan penyusunan (al-Jam’u wa al-tartib) tersebut kemudian dinisbahkan kepada Qayyim dan diberi nama dengan Al-Tafsir Al-Qayyim.[58] Tafsir ini sendiri hampir tidak berbicara tentang persoalan fikih, melainkan banyak mengupas tentang persoalan tasawuf, tauhid dan akhlak. Disamping itu, tafsir Al-Qayyim tidak memuat seluruh ayat dan surat dalam Al-Quran, melainkan hanya topik-topik tertentu. Sebagai seorang pengikut Hanabilah, penggunaan hadis terutama hadis-hadis dari  Imam Ahmad (bin Hanbal) serta riwayat dari sahabat maupun tabi’in agaknya sangat dominan dalam penafsirannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tafsir ini dapat digolongkan ke dalam tafsir bil ma’tsur.[59]
Menarik untuk dicermati, kendatipun Qayyim adalah pengikut madzhab Hanbali dalam bidang fikih, namun beliau sering keluar dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian tentang perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur. Sebagaimana gurunya Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qayyim secara lantang  menyerukan agar ijtihad kembali diaktifkan karena ia menganggap hukum yang ada pada saat itu tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Ia bahkan mengecam dengan keras sikap taklid ulama di zamannya, sekaligus memotivasi mereka untuk melakukan ijtihad. Di kalangan pakar ushul fikih, Ibnu Qayyim dikenal dengan rumusan kaidah ushul fikih: [60]
  تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة والاحوال
“hukum berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat dan lingkungan
Berpijak dari ulasan di atas, agaknya tidak semua tafsir yang lahir dalam periode afrimasi melakukan pembelaan secara membabi buta. Beberapa diantaranya bahkan mampu bersikap objektif dan moderat dalam mengemukakan pendapatnya, walaupun pendapat tersebut masih dalam kerangka pikir mazhab.

C.     Ikhtisar
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tafsir pada periode afirmasi sangat kental dengan sikap sektarian dimana produk tafsir digunakan untuk membela pandangan para imam mazhab yang ada. Meskipun demikian, pada periode ini lahirnya banyak produk tafsir dengan beragam corak dan episteme menjadi sesuatu yang positif dan kontribusi yang signifikan bagi dunia tafsir.
Munculnya produk tafsir bercorak kalam pada periode ini melahirkan dikotomi Mu’tazilah-Asyariyah dimana masing-masing mazhab berupaya membela sekaligus menyerang lawannya.
Begitu juga dalam dunia fikih, munculnya sikap taklid kepada imam mazhab juga melahirkan tafsir dengan corak fikih yang tentu saja secara dominan banyak membela kepentingan mazhabnya.












Bibliografi

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-jami’ Li Ahkam Al-Qurthubi, Maktabah Misykat Al-Islamiyyah, tk, tt.

Abul Qasim Mahmud Bin Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidl Al-Tanzil wauyun al-Aqawil  fi Wujuh at-ta’wil, (Libanon: darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1995)

Al-Jashshash, Ahkam Al-Quran, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1993)

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2004)

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986)

Ibnu Qayyim,  Al-tafsir Al-Qayyim, Maktabah Misykat Al-Islamiyyah, tk.tt.(didownload pada tanggal 17 Nopember 2007)
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, terjemah oleh M. Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006)

Khudori Bik, Tarikh al-Tasyri’ Al-Islamy (Beirut: Darul Fikr: 1995)

M. Ali Ash-Shabuni, Pengantar Studi Al-Quran, terjemah oleh M. Hudhori Umar (Bandung: PT Al-Ma’arif).

Muhammad Husein Az-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (tk, tt, 1976)

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1999)

Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam: sebuah Pengantar (Surabaya, Risalah Gusti, 1995)

Tim Dosen TH UIN, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004).

W.Montgomery Watt, Introduction to The Quran, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994)

Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Quran: Sejarah tafsir dan Metode Para mufassir, terjemah oleh Qodirun Nur (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)












[1] Hamim Ilyas dalam kata pengantar Studi kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004)
[2] Amin Abdullah dalam  Kata Pengantar Aliran-Aliran Tafsir oleh Abdul Mustaqim (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005)
[3] Ibid, hal. 58-59.
[4] Ibid, hal. 60
[5] Ibid, hal.63-64.
[6] Ibid, hal. 66
[7] Khudori Bik, Tarikh al-Tasyri’ Al-Islamy (Beirut: Darul Fikr: 1995) hal.182
[8] Mun’im A. Sirry, Sejarah fikih Islam: sebuah Pengantar (Surabaya, Risalah Gusti, 1995) hal.128
[9] Abdul Mustaqim, Mazhab…,. hal. 71
[10] Konsep muhkam dan mutasyabih sendiri tampaknya bersumber dari QS. Ali Imran ayat 7 yang berbunyi:u
qèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( ÇÐÈ 
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat Itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat..”
[11] M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 72
[12] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, terjemah oleh M. Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006) hal. 129.
[13] Muhammad Husein Adz-Zahabi, Al-Tafsir Wal-Mufassirun, (tk, tt, 1976 ) hal.372
[14] Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Quran: sejarah tafsir dan Metode Para Mufassir, terjemah oleh Qodirun Nur (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) hal. 139-140
[15] Ignaz Goldziher, Mazhab…hal. 142
[16] Ibid, hal. 147.
[17] Ibid, hal. 179.
[18] Yunus Hasan Abidu, Tafsir…, hal. 141.
[19] Ibid, hal. 143.
[20] M. Ali Ash-Shabuni, Pengantar Studi Al-Quran, terjemah oleh M. Hudhori Umar (Bandung: PT Al-Ma’arif). Hal. 267)
[21] Muhammad Husein Adz-Zahabi, Al-Tafsir…, hal.387-391
[22] Fauzan Naif , “Al-Kasysyaf karya Zamakhsari” dalam A. Rofiq, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004). Hal.48
[23]Ibid. hal. 56
[24] Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidl Al-Tanzil wa  UYUN al-Aqawil  fi Wujuh at-ta’wil , (Libanon: darul Kutub Al_ilmiyyah, 1995, jilid IV) 649-650
[25] Istilah ahlusunnah wal jamaah dalam lapangan telogi merupakan term yang diidentikkan kepada kelompok Asy’ariyah dan Maturidiyyah. Lihat Harun Nasution dalam Teologi Islam hal, 65. Lebih jauh tentang asal muasal istilah ini dapat dibaca dalam buku Quraish Shihab: Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan: Mungkinkah? (Jakarta, Lentera, 2007) hal. 57-60
[26] Harun Nasution, Teologi…, hal.61.
[27] W.M. Watt, Introduction to The Quran,(Edinburgh:Edinburgh University Press,1994)hal. 169
[28] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Quran (Bandung, Pustaka setia, 2004) hal. 133.
[29] Muhammad Husein Az-Zahabi, Al-Tafsir…,hal 296-297. 
[30] Ibid, hal. 301.
[31] Ahmad Baidhowi , “Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil karya Baidhowi” dalam A. Rofiq, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004). Hal.125
[32] M.Qurasih Shihab, Membumikan…hal. 72.
[33] Khudori Bik, Tarikh…hal 180.
[34] Ibid, hal. 182.
[35] M.Husein Az-Zahabi, Al-Tafsir…jilid 2, hal 434.
[36] Khudari Beik, Tarikh.. hal. 184-188
[37] M.Husein Az-Zahabi, Al-Tafsir.., hal. 435-439
[38] Ibid hal. 349
[39] Al-Jashshash, Ahkam Al-Quran, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1993) Hal. 545
[40] M. Husien Az-Zahabi, Al-Tafsir…, hal.436
[41] Ibid,  hal. 436
[42] M.Ali Ash-Shabuni, Pengantar…, hal.266
[43] M. Husein Azh-Zahabi, Al-Tafsir…hal. 446
[44] Ibid. hal. 446.
[45] Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bian Ahmad al-Mu’afiry Al-Andalusy (468-543 H). Tafsir ini juga dikenal dengan nama Tafsir Ibnul Araby. Lihat Az-Zahabi, Al-Tafsir.., hal. 448.
[46] Ibid, hal. 457. Nama lengkapnya adalah Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Farh al-Anshari al-Andalusi ( wafat 681 H). Tafsir ini juga populer dengan nama tafsir Al-Qurthuby.
[47] Ibid, hal. 449
[48] Ibid, hal. 450-451
[49] Ibid, hal. 457-459.
[50] Ibid, 459-464
[51] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-jami’ Li Ahkam Al-Qurthubi, Maktabah Misykat Al-Islamiyyah, tk, tt.
[52] Adz-Zahabi, Al-Tafsir.., hal. 462
[53] M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2002) hal. 282
[54] Muhammad Chirzin, “Tafsir Ibnu Taimiyah” dalam A. Rofiq, Studi Kitab Tafsir,(Yogyakarta: Teras, 2004).hal. 80
[55] Ibid, hal. 84
[56] Ibid, hal. 87
[57] M.Ali Hasan, Perbandingan.., hal. 291. Nama lengkapnya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah tonggak (qayyim) bagi madrasah itu. Selanjutnya hanya akan disebut dengan Qayyim.
[58] Lihat Ibnu Qayyim,  Al-tafsir Al-Qayyim, Maktabah Misykat Al-Islamiiyah, tk.tt. (download tanggal 17 Nopember 2007)
[59] Ibid, Al-Tafsir
[60] M.Ali Hasan, Perbandingan…., hal. 294-295
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar