KONSTRUK ASPEK FEMINITAS DALAM SPIRIT HERMENEUTIKA TEOLOGI SUFISTIK

Monday, May 07, 2018

KONSTRUK ASPEK FEMINITAS DALAM SPIRIT HERMENEUTIKA TEOLOGI SUFISTIK

Oleh. Mustofa*
Tuduhan miring bahwa paham teologi sufistik tidak berpihak pada kaum perempuan, sangat penting diluruskan. Agama Islam, pada dasarnya, sangat menghormati kehormatan kaum perempuan. Bahkan jika dipahami ulang, ekspresi tajalli-Nya Allah sangat cenderung bersifat feminim ketimbang maskulin sebagaimana banyak diurai dalam Firman-Nya. Ekpresi feminisme Tuhan, dapat dibaca, misalnya, dalam sifat-Nya yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Pemaaf. Dengan demikian, karakter spirit teologi sufistik sangatlah dekat dengan unsur feminitas. Karena itu, menurut penulis, dalam dunia spiritualitas, perempuan berpeluang lebih besar dalam mencapai tahapan tertinggi pada puncak asketis dan ketenangan batin. Hal itu karena jiwa, pada dasarnya, bersumber dari unsur feminitas ketuhanan yang abadi.

Kata Kunci: Aspek Feminitas, Sifat Ketuhanan & Teologi Sufistik.
I. Pendahuluan

Pernyataan negatif, bahwa agama menghalangi gerak kaum perempuan, bisa terjadi terutama disebabkan masih kuatnya adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai sosial budaya yang bersifat patriarkhis.[1] Budaya patriarki adalah sistem tata nilai dan cara pandang hidup yang menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda. Itulah mengapa, ajakan untuk memahami relasi gender, pada dasarnya bukanlah satu refleksi dari gugatan, apalagi pemberontakan kaum perempuan terhadap laki-laki.

Karena itu, tuduhan miring bahwa paham sufistik tidak berpihak pada kaum perempuan sangat penting untuk diluruskan. Islam, pada dasarnya, sangat menghormati kemartabatan serta kehormatan kaum perempuan.[2] Segala bentuk pencitraan dan perlakuan negatif terhadap kaum perempuan pasti merupakan penyimpangan dari pesan dasar Islam, termasuk penafsiran yang menyatakan bahwa Hawa dicipta dari tulang rusuk Adam.[3]

Islam justru menawarkan prinsip-prinsip ajaran dasar yang sangat potensial untuk meningkatkan kualitas keadilan dan kesetaraan gender.[4] Keadilan dan kesetaraan di depan Allah merupakan ajaran dasar Islam dan menjadi dambaan setiap orang. Apalagi dewasa ini, banyak yang tidak mengira bahwa ajaran ketuhanan yang diimplementasikan ke arah ritual tarekat teologi sufistik, pada dasarnya menyimpan rahasia besar atas kedalaman sifat kelembutan kaum perempuan (feminitas) dengan karakter Tuhan yang Maha Kasih.

Pasalnya, ritual penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, diakui telah mencerminkan sifat-sifat feminim. Misalkan sifat halus, sabar, menyayangi, mengampuni, dan memaafkan, dipastikan akan kita bawa, akan kita ingat, kita haturkan kepada Tuhan saat di mana kita berdo'a. Jika demikian halnya, karakter feminitas yang dimiliki oleh kaum perempuan, ternyata menjadi karakter mayor yang ada pada sifat-sifat ketuhanan sebagai sang Pencipta.[5]

Tentunya, fenomena yang demikian, menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji ulang terkait dengan banyaknya kaum laki-laki yang jarang memikirkan sifat kefeminisan (baca; kehalusan) yang dimiliki kaum perempuan. Bahkan sebaliknya, dengan sifat kefeminisan tersebut, malah membuat kaum perempuan sering ditindas, dimarginalkan, dianggap lemah tidak kuat, tidak pantas untuk hidup, atau dengan bahasa lainnya sering diremehkan kaum laki-laki. Karena itulah, tulisan ini hadir di depan pembaca untuk mengungkap aspek feminitas dalam teologi sufistik.[6]

II. Tasawuf, Feminitas & Tuhan
Tasawuf (mistik, sufi atau olah spiritual) berperan besar dalam menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya, meski sering menimbulkan kontroversi,[7] pada kenyataannya menunjukkan bahwa ia memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem kehidupan sosial yang senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya. Karena itu, tentu saja sufisme atau faham tasawuf dalam sejarah perkembangannya di Indonesia memiliki arti sangat penting.[8]

"Islam pertama" yang diperkenalkan di Jawa, sebagaimana terdata, adalah Islam dalam corak sufi.[9] Islam dalam corak yang demikian itu terkesan "dilihat" paling mampu memikat lapisan masyarakat bawah, menengah dan bahkan bangsawan. Masyarakat terkesan lebih merespon paham sufi yang mayoritasnya mengedepankan pemahaman hati, perasaan, dan kehalusan pemahaman serta karakter (baca: moral). Indonesia dalam hal ini, tentunya, diakui telah menjadi salah satu Negara yang menyaksikan bahkan merasakan pentingnya moralitas sebagai bagian dari paham sufistik ketuhanan.[10]

Kemudian, konsep hubungan antara sufi dengan Tuhannya, pada dasarnya tidak memberikan ruang perbedaan antara laki-laki dan perempuan.[11] Kehidupan spiritual tidak mempedulikan atau memberikan ruang batasan bagi laki-laki dan perempuan. Gelar kesufian tentunya akan dapat dicapai dengan mengikuti jalur Tuhan, untuk menyatu denganNya dan bagi mereka yang dapat mencapainya akan mendapat derajat tinggi dalam kehidupan spiritualnya di dunia baik laki-laki maupun perempuan.

Bahkan kedudukan kesufian atau tingginya kedudukan yang dapat diraih oleh para sufi perempuan dibuktikan oleh adanya kenyataan, bahwa kaum sufi ternyata memberikan kedudukan utama bagi kaum perempuan pada masa-masa awal dan menjadikannya sebagai wakil yang representatif dari perkembangan pertama sufisme dalam Islam.

Hal itu dapat ditunjukkan oleh adanya sederetan nama-nama kaum perempuan sufi pada masa-masa awal seperti Aminah dan Fatimah. Ibunda dan putri Rasulullah ini diakui sebagai perempuan sufi pada masa sebelum bangkitnya sufisme dalam Islam.[12] Demikian juga Ummu Haram, yang selalu disebut-sebut oleh para penulis Arab awal, diakui sebagai perempuan sufi, yang meninggal bersama suaminya pada saat ikut berperang bersama para Sahabat di masa khalifah Utsman tahun 28 H sehingga disebut syahidah.[13]

Ajaran tasawuf, pada dasarnya, memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada wanita untuk berkiprah dalam kehidupan agama dan kemasyarakatan. Pada masa Dinasti Mamluk di Mesir, ada Khanqah (semacam pesantren) yang dipimpin oleh seorang syaikhah (wanita syaikh) yang memimpin jemaah dalam ritual keagamaan dan shalat. Bahkan, tarekat Bektasyi di Turki pada masa Kerajaan Usmani memberikan keleluasaan bagi wanita untuk ikut serta dalam kegaitan-kegiatan dan pertemuan bersama.[14] Mereka sepenuhnya diakui dan sejajar dengan laki-laki.

Karena itu, dalam Islam, banyak ditemukan nama-nama perempuan sufi. Mereka bisa ditemukan di seluruh dunia Islam meskipun hanya sedikit di antara mereka yang dicantumkan dalam catatan-catatan resmi. Kalau Fatima Mernissi menunjukkan banyaknya "ratu Islam yang terlupakan", dalam tasawuf pun banyak "wanita sufi yang terlupakan" atau sengaja dilupakan oleh sejarah akibat dominannya peran laki-laki dengan sistem patriakhalnya.

Namun, sejarah tidak dapat dikelabui. Ia akan berbicara bahwa di sebuah Negara tertentu, Anatolia –misalkan- banyak ditemukan makam kecil tempat dikuburkannya para wanita yang tercatat dalam sejarah "gadis-gadis sederhana dan perawan-perawan muslim" yang namanya sering mengilhami cerita-cerita romantis dan memilukan.

Di Iran dan Afrika Utara, juga kaya makam perempuan sufi. Tetapi, daerah yang paling kaya makam perempuan sufi, diakui terletak di India Islam (Dinasti Mughal).[15] Jihanara, putri tertua Syah Jihan (yang memerintah Mughal 1628-1658 M) dan saudaranya yang kurang beruntung, Dara Shikoh, masuk tarekat Qadiriyah dan mendapat pujian tinggi dari sang pemuka, Mullah Syah. Tulisan-tulisan mengenai perempuan sufi, tentu saja membuktikan bahwa ia mendalami masalah-masalah mistik.[16] Bibi Khatun (wafat 1639 M), pembimbing mistik Jihanara dan Dara Shikoh adalah salah seorang sufi wanita terkemuka dalam tarekat Qadiriyah.

Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa dalam upaya merasakan kehadiran Tuhan, feminim atau maskulin tidaklah menjadi kendala yang berarti. Bahkan sifat kefeminiman yang dimiliki kaum perempuan, bisa "bersanding" dengan dzat pemberi sifat itu. Meskipun demikian, manusia baik pria maupun perempuan, sebagaimana dasar ajaran al-Qur'an mengatakan, memiliki peluang yang sama dalam kesempatan memperoleh -misalkan- maqamat (jenjang menuju tingkatan yang lebih tinggi bagi seorang sufi) dan ahwal (pencapaian yang diperoleh sufi tanpa jenjang maqamat) sebagai titian menuju sufi sejati.

Selanjutnya, dalam diskursus tasawuf, ternyata gagasan tentang tubuh manusia menjadi amat menarik. Ini karena peran spritual terbesar dari tubuh manusia dan hubungannya dengan fakta bahwa manusia merupakan wujud teomorfik[17] yang memantulkan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, sangat bisa diapresiasi. Karena baik laki-laki maupun perempuan adalah manusia, mereka menyimbolkan kebenaran yang sama tentang Tuhan.[18]

Akan tetapi, karena ada polarisasi bentuk manusia menjadi laki-laki dan perempuan, mereka pasti menyimbolkan efek ketuhanan yang berbeda. Kenyataan gramatikal menunjukkan bahwa kata Arab untuk esensi Ilahi (zat) adalah feminim. Laki-laki (maskulin), di pihak lain dikatakan menyimbolkan Tuhan sebagai Rabb dan Khaliq.

Berdasarkan itulah, unsur feminism, pada dasarnya juga melekat pada sifat ke-Tuhan-an.[19] Menurut Ibnu 'Arabi, kegiatan kreatif Tuhan terungkap paling jelas pada perempuan dan bahkan boleh dikatakan bahwa sebenarnya "perempuan tidak diciptakan oleh Sang Pencipta". Artinya, melihat Tuhan dalam diri seorang perempuan, berarti sama saja melihat-Nya dalam diri-Nya sendiri.[20]

Pendapat bahwa perempuan dikaruniai kelembutan, kasih sayang, sehingga ia bisa mengurus anak dengan kesabaran lebih dari pada laki-laki, sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Penyiksaan terhadap anak juga bisa dilakukan secara bersama-sama baik laki-laki maupun perempuan.

Para feminis psikoanalis percaya bahwa kelembutan dan kasih sayang, telah dimiliki baik perempuan maupun laki- laki sejak dalam kandungan. Pada perempuan, kemampuan tersebut lebih terasah karena sejak kecil mereka dibiasakan untuk berpartisipasi pada hal-hal tersebut oleh lingkungannya, sementara anak laki-laki pada usia yang sama sedang asyik bermain bola. Jadi, laki-laki tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga bukan karena tidak bisa, melainkan karena tidak mau.

Jika dikontekskan pada dunia spiritual dan kesetaraan jender, persoalannya bukanlah bagaimana perempuan dapat mengungguli kaum pria atau sebaliknya, melainkan bagaimana sebuah kualitas spiritual yang berada di wilayah spiritual, dapat diperoleh baik pada laki-laki maupun perempuan. Seorang Rabi’ah dengan konsep cintanya,[21] misalkan, sangat sarat dengan kualitas feminim, sehingga ia dikatakan bersifat feminim. Namun, seorang Rumi,[22] sufi laki-laki, yang juga menggunakan kata-kata cinta untuk mendekatiNya, dapat pula disebut feminim.

Demikian halnya dengan sebutan "perempuan" dan "laki-laki", menurut Schimmel[23] tidak menunjuk pada sesuatu yang bersifat fisis-biologis, melainkan menunjuk pada kualitas non-fisis yang dalam hal ini adalah kualitas spiritual. Beberapa ungkapan sufi, di bawah ini, akan memperkuat pernyataan Schimmel dalam rangka menunjukkan pentingnya kualitas.

Mislkan ungkapan penyair filosof Isma’iliyah, Nashir Khusrau, mengatakan bahwa Nabi adalah laki-laki sejati, sementara yang lainnya adalah "perempuan". Ada pula ungkapan Aththar yang mengatakan bahwa laki-laki yang tidak sarat dengan derita cintaNya adalah seorang "perempuan". Begitu juga di kalangan sufi, terdapat ungkapan masyhur "seorang perempuan yang berjalan di jalan Tuhan bukan seorang perempuan, melainkan seorang "laki-laki"".

Karena luasnya wilayah dunia spiritual, maka tidak ada istilah "laki-laki" atau "perempuan", kecuali sebutan "sang pencinta", "yang bertakwa", "yang beriman", "yang merindukanNya" dan seterusnya. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sepanjang menyangkut cinta kepadaNya.

Seorang sufi, Nizamuddin Auliya,[24] misalkan, berkata: "Ketika seekor singa liar meninggalkan hutan dan memasuki wilayah penduduk, tak seorang pun bertanya, apakah ia jantan atau betina, (oleh karena itu) semua putra Adam baik laki-laki maupun perempuan diperintahkan untuk bertakwa dan berbakti kepada Tuhan". Di dalamnya tidak dibedakan, hanya karena unsur taqwalah yang natinya bakal membedakannya.[25]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa laki-laki atau perempuan adalah "sebuah konsep" semata yang sangat sarat dengan berbagai bias, karena produk dan bentukan tradisi duniawi. Sementara itu, untuk menjelajahi dunia spiritual, konsep-konsep tersebut tidak diperlukan, karena setiap ukuran-ukuran sangat berbeda dan bertolak belakang.

Siapa pun yang "menyapaNya" secara sempurna, tidak akan mengidentifikasi siapa dirinya, sebab ia tidak lagi memiliki eksistensi individual. Eksistensi individu telah hancur berkeping-keping, hingga yang tersisa adalah jiwa. Sebuah syair berbunyi: "Tuhan akan menahannya untuk tidak melihat adanya perbedaan sedikit pun antara laki-laki dan perempuan".

Dalam Islam, termasuk di kajian teologi sufistik, dikenal bahkan dipercayai bahwa Allah Maha indah, Maha dekat, Maha pengasih, Maha penyayang, Maha kasih, Maha lembut dan Maha pengampun, Maha pemaaf, Maha pemberi hidup, Maha pemberi kekayaan, dan Maha pemberi segalanya, semuanya itu dikenal sebagai keindahan (Jamaliyah). Semuanya itu adalah nama-nama yang menekankan pada kepasrahan kepada kehendak yang diinginkan pada pihak lain yang di dalamnya bersatu karakter feminitas.

Tentu saja dengan demikian, spiritualitas tidak mengenal jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Menurut penulis, jenis atau status kelamin dalam dunia spiritual adalah profan karena ia merupakan simbol duniawi. Dalam dunia spiritual, tidak dikenal apa yang disebut sebagai eksistensi individu. Karena ia bertentangan dengan sifat keabadian, sedangkan spiritualitas adalah dunia jiwa abadi yang bersifat feminim.

Itulah mengapa, banyak kaum atau pemerhati teologi sufistik menyadari dengan mengatakan bahwa keintiman spiritualitas dan feminitas pada akhirnya sangat mampu melahirkan apa yang disebut sebagai sifat kenabian.[26] Oleh karena itu, perempuan mempunyai potensi besar untuk menduduki puncak profetik dengan kesahajaan feminitasnya untuk mewujudkan perdamaian dunia dan keselamatan umat manusia, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Tuhan kepada nabi-nabiNya.

Al-Quran, karena itu, berulangkali menegaskan bahwa segala sesuatu adalah tanda-tanda (Ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu apapun menggambarkan hakikat dan realitas Allah, di mana segala alam semesta sebagai refleksi nama-nama dan sifat-sifat Allah, di mana nama-nama itu melukiskan berbagai kualitas, semisal Keagungan, Keindahan, dan Kehidupan serta pengetahuan.

III. Hermeneutika Sufistik; Upaya Merasakan Aspek Feminitas

Dominasi maskulinitas dalam spirit teologi memang cenderung sangat hegemonik, sehingga segala sisi hidup manusia yang bernuansa laki-laki dengan mengedepankan nilai-nilai kekuasaan, kekuatan, kekerasan, telah menjadikan harmoni dunia lenyap karena terpenjaranya nilai-nilai feminitas yang berwujud cinta, kasih sayang, dan perdamaian. Bahkan, hegemoni maskulinitas itu sejak lama memasuki wacana agama, sehingga tafsir teks agama[27] yang berkembang dan dijalankan sebagian besar merupakan tafsir yang cenderung patriarkhal.[28]

Akan tetapi, jika diteliti dan direnungkan lebih jauh, sebetulnya Allah Swt dalam FirmaNya, lebih banyak menggambarkan diriNya dengan menggunakan sifat feminin (jamaliah) dari pada sifat maskulin (jalaliah). Allah Swt yang mengekpresikan tajallinya lewat sifat jamaliah atau feminisme dapat dibaca antara lain dalam sifat Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Pemaaf. Sedangkan maskulin (jalaliah) antara lain terdapat dalam sifat Maha Pembalas, Maha Berbuat Apa Saja. Dengan demikian, perempuan sebenarnya mempunyai potensi jauh lebih besar dibandingkan kaum laki-laki untuk lebih memahami Allah Swt.

Dalam sejarah teologi sufistik, dicatat betapa banyak laki-laki sufi yang berguru kepada perempuan sufi. Seperti Imam Syafi'i yang berguru pada perempuan bernama Saidah Nafisah. Sufi Ibn Arabi pun, mengatakan, bahwa untuk bisa menjadi sufi maka harus "menjadi perempuan" terlebih dahulu. Maksudnya, untuk menjadi sufi harus mengadopsi sifat feminism terlebih dahulu yang hal itu tercermin pada setiap kaum perempuan.[29]

Dulu, para sufi pada dasarnya telah menyadari atas segi-segi positif atas karakter sifat feminin. Beberapa kisah perempuan dalam al-Quran[30] dijadikan simbol dalam lambang kehidupan sufi. Berlatar mahabbah Rabi’ah,[31] kisah Zulaikha yang kasmaran terhadap pemuda tampan Yusuf, merupakan lambang bagi kekuatan cinta yang memabukkan (sukr), yang diungkapkan oleh para sufi dalam renungannya tentang keindahan Ilahi yang terwujud dalam bentuk (postur tubuh dan perawakan) manusia.

Melambungnya rasa cinta menyebabkan setiap orang yang mengalaminya seperti perempuan yang diundang Zulaikha, mengiris tangan mereka sendiri tanpa sadar karena terpesona oleh keindahan yang tak terkira dari Yusuf.[32] Dalam ajaran teologi sufistik, Zulaikha telah menjelma menjadi lambang jiwa yang dimurnikan oleh kerinduan yang tak ada batasnya di jalan cinta. Maryam (Maria), ibu suci yang melahirkan Isa, anak rohani, bukan hanya diagungkan umat Kristiani melainkan juga oleh para pecinta teologi sufistik. Maryam sering dipergunakan sebagai lambang ruh yang menerima ilham (wahyu)[33] Ilahi dan mengandung cahaya Ilahi.

Tokoh penting yang sangat apresiatif dalam memandang wanita adalah Ibnu ‘Arabi (tokoh yang dikenal sebagai pencetus paham wahdat al-wujud). Menurut Schimmel,[34] kecenderungan Ibnu Arabi dalam melihat yang Ilahi lewat medium kecantikan wanita dan melihat wanita sebagai perwujudan daya cipta dan ampunan Allah, pada awalnya dilatarbelakangi pertemuannya dan keterpesonaannya terhadap seorang wanita yang memancarkan keindahan Ilahi sehingga tampak transparan baginya.

Ibnu ‘Arabi menulis lirik-lirik cintanya di Mekkah karena pengaruh seorang wanita Parsi. Dengan demikian, Ibnu ‘Arabi dapat mempertahankan bahwa "cinta wanita adalah milik kesempurnaan ma'rifat sebab itu merupakan warisan dari Rasul yang bersifat Ilahi".[35]

Dalam Islam, al-Quran juga mengajarkan bahwa nilai-nilai feminin tak dapat diingkari, karena merupakan bagian dari sifat dunia yang polar, seperti halnya; maskulin-feminin, male-female, yin-yang, dzakar-untsa. Keberagaman dunia merupakan sistem yang sengaja diciptakan Tuhan agar antar makhluk saling berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, mengingkari nilai feminin atau menafikan satu unsur kemajemukan dunia, berarti melanggar sunnatullah atau hukum alam (QS 49:13), yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan dunia.

Nilai feminin ini tercermin dari jiwa atau nafs, bentuk kata benda feminin yang berarti spirit kedamaian atau nafs muthmainnah (QS 88:27-28), bukan seperti stereotip yang selalu menganggap nilai feminin sebagai nafs penghasut, yang dicitrakan dalam diri perempuan sebagai Hawa atau Zulaikha. Meskipun nafs juga mengandung unsur lawwamah (menuduh atau menghasut), namun hal itu bisa dikalahkan oleh unsur muthmainnah melalui proses pendekatan diri pada Tuhan. Oleh karena itu, dalam dunia spiritualitas, perempuan bisa mencapai tahapan tertinggi pada puncak asketis dan ketenangan batin karena jiwa tadi memang bersumber dari unsur feminitas.

Bahkan Dzatullah -kata ganti Tuhan dalam bahasa Arab- merupakan bentuk kata benda feminim yang menunjukkan dalam Tuhan terkandung unsur feminism. Selain kata ganti huwa atau dlomir hu dari kata ganti laki-laki yang biasa digunakan untuk menggantikan kata Tuhan, Dzat Tuhan yang feminism tersebut berwujud dalam sifat-sifatnya, seperti sifat kasih sayang (Ar-Rahiim), kelembutan (Lathif), damai (Salam), dan lain-lain, di samping sifat maskulin Tuhan seperti pemaksa (Al-Qohhar), yang kuat (Al-Qowiy), yang menjaga (Al-Muhaimin), dan lain-lain.

Dzat Tuhan merupakan hakikat yang dituju, didambakan, dan diharapkan setiap hamba yang mendalami spiritualitas keagamaan.[36] Fenomena spiritualitas yang lebih dekat dengan unsur feminitas tersebut, ditunjukkan oleh sejarah mistisisme berupa pola pendekatan kepada Yang Tertinggi dengan mengedepankan jiwa yang feminin dalam diri para tokoh mistis.

Dalam sejarah mistisisme agama Islam, juga agama lain,[37] dapat ditemukan perempuan dengan keunggulan spiritual, seperti Rabi'ah al-Adawiyah yang menyerahkan hidup untuk mencintai Tuhan-nya, sehingga tidak bisa menemukan cinta lain karena kesempurnaan cinta telah ditemukannya dalam Tuhan.[38]

Nama sufi lainnya adalah Maryam, Fatimah, Khadijah, Aisyah, dan lain-lain, sebagai sosok yang konsisten dengan cintanya kepada Tuhan.[39] Mereka selalu berjuang mencintai Tuhan-nya sehingga mereka mendapat julukan kembang peradaban sebagaimana yang diberikan Annemarie Schimmel dalam buku Jiwaku adalah Wanita.[40]

Bahkan, Zulaikha -perempuan yang kontroversial- sebagai seorang hamba dan avonturir dalam perjalanannya untuk mencari keindahan Tuhan, telah menemukan kesempurnaan dan keindahan-Nya dalam diri Yusuf. Akhir dari pencariannya adalah bisa bersatu dengan keindahan tersebut. Di sanalah puncak spiritualitas, yakni pertemuan dengan Yang Maha atas segala keindahan.

Dengan demikian, tidak bisa dihindari bahwa sejarah tokoh spiritual laki-laki seperti Rumi, Ibnu Arabi, dan lain-lainnya, dalam perilaku dan amaliah mistisnya, cenderung mengedepankan unsur feminitas untuk menampakkan kasih Tuhan kepada manusia. Jalaluddin Rumi, misalnya, dikenal sensitif dengan syair-syairnya yang lembut dan syahdu menyentuh nurani. Demikian juga Ibnu Arabi, tokoh sufi, penyair, dan filsuf yang cenderung menampilkan feminitas dalam karya-karya sufinya.

IV. Kesimpulan

Dari pemaparan tulisan ini, selain menyatakan bahwa nilai-nilai feminin tak dapat diingkari, mahluk Tuhan baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya mempunyai tanggung jawab sama di hadapan Allah, sama-sama berpotensi mewujudkan "rupa Allah" dalam perbuatan yang akan mencerminkan sifat Ilahiah. Karena itu, ada dua kesimpulan penting dari uraian kajian di atas.

Pertama, dalam ajaran teologi sufistik, diakui bahwa ekspresi tajalli-Nya Allah sangat cenderung bersifat feminim ketimbang maskulin sebagaimana hal itu banyak diurai dalam Firman-Nya. Ekpresi feminisme Tuhan itu, dapat dibaca misalnya dalam aspek sifat-Nya yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Pemaaf. Dengan demikian, karakter spirit teologi sufistik sangatlah dekat dengan unsur-unsur feminitas. Karena itu, dalam dunia spiritualitas, perempuan berpeluang lebih besar dalam mencapai tahapan tertinggi pada puncak asketis dan ketenangan batin, karena jiwa tadi memang pada dasarnya bersumber dari unsur feminitas ketuhanan yang abadi.

Kedua, mengingkari nilai feminitas pada unsur spiritual ketuhanan, sama saja menafikan unsur kemajemukan dunia. Begitu juga, memarjinalkan nilai feminitas berarti melanggar spiritualitas hukum alam yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan dunia seisinya. Itulah mengapa, karakter teologi sufistik yang tersirat pada jiwa-jiwa sang 'sufi', sangat mencerminkan naluri feminitas dzat ketuhanan. Tentu saja, keyakinan bahwa keintiman spiritualitas dan feminitas mampu melahirkan sifat kenabian sebagai pantulan cahaya ilahi yang memenuhi jiwa-jiwa suci abadi, tidak bisa diingkari bahkan sangat nyata hasilnya.
***

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hawash., Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlash, 1980.

Afifi, Abu Ala., Fi al-Tasawuf al-Islami Wa Tarikhihi, Kairo: al-Qahirah, 1969.

Arberry, A.J., Sufism; An Account of The Mystics of Islam, terj. Bambang Herawan, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung: Mizan, 1985.

Chittick, William C., Tuhan Sejati dan tuhan-tuhan Palsu, trj. A. Nidzam dkk., Yogyakarta: Qalam, 2001.

Faqih, Mansour., "Posisi Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender" dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Pespektif Islam, Surabaya; Risalah Gusti, 1996.

Fudhaili, Ahmad., Perempuan Di Lembaran Kitab Suci: Kritik Atas Hadis-Hadis Sahih, Yogyakarta: Pilar Religia, 2005.

Hamka, Tasawuf: Perkembangan & Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islami, 1981.

Hassan, Riffat., Equal Before Allah Woman-Man Equality in Islamic Tradition, The Commite on South Asian Womens Bulletin, Vol. 4.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984.

Madkour, Ibrahim., Filsafat Islam, Bagian I, terj. Yudian W Asmin, Jakarta: Rajawali Pers, 1991.

Mufidah, Paradigma Gender, Malang: Bayumedia, 2004.

Murata, Sachiko., The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan, 2002.

Nurbakhsh, Javad., Sufi Women, London: Yale University Press, 1983.

Salim, Peter., The Contemporary English Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English Press, 1997.

Schimmel, Annemarie., Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminim dalam Spiritualitas Islam, Bandung: Mizan, 1998.

_______, Mistik Islam, terj. Sapardi Djoko Darmono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1975.

Shihab, Alwi., Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, Mizan: Bandung, 2001.

Smith, Margaret., Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Terj. Jamilah Baraja Surabaya; Risalah Gusti, 1997.

Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Syaraf, Muhammad Jalal., Al-Tashawwuf al-Islami wa Madarisuhu, Iskandariyah: Dar al-Matbu'at al-Jamiyah, 1974.

Wadud, Amina., "Qur'an and Woman" dalam Liberal Islam, Charles Kurzman (ed)., New York: Oxford University, 1998.

Zuhri, Musthafa., Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.



*Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir & Hadis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, E-mail: kangmus@yahoo.com.

[1]Adat, tradisi dan budaya patriakhi adalah, sebuah sistem budaya yang lebih memihak kaum laki-laki dan biasanya hal itu dikonstruk dengan laki-laki sebagai kepala keluarga, suku atau masyarakat. Atau dengan kata lain, ia merupakan sistem tata nilai dan cara pandang hidup yang menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda. Peter Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary (Jakarta: Modern English Press, 1997), 1366. Lihat juga, Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam (Bandung: Mizan, 2002), 15-20.

[2] Hal ini tercermin pada sejarah Islam awal, atau hal ini bisa dibaca di beberapa buku sejarah Islam. Itu semua tercermin dalam firman Allah Swt pada QS. Az-Zumar, (39):6, QS, An-Nisa', (4):1; Al-A’raf, (7):189; Maryam, (19):19-22.

[3]Penafsiran yang seperti ini, pada gilirannya, akan memperkuat pemikiran tentang perempuan sebagai mahluk kedua (the second sex). Penafsiran tersebut berasal dari surat an-Nisa' ayat 1 yang dipahami bahwa nafs adalah Adam dan zaujaha adalah Hawa, sehingga muncul pandangan bahwa perempuan merupakan bagian dari laki- laki. Lihat, Mufidah, Paradigma Gender (Malang: Bayumedia, 2004), 29. Berbeda dengan Riffat, ia mempelajari bahwa konsep penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam berasal dari Injil tepatnya Genesis 1: 26-27; Genesis 2:7, 18-24 dan 5: 1-2. Tradisi Injil masuk lewat kepustakaan hadis yang kata Riffat penuh kontroversial. Jadi menurut Riffat, Adam dan Hawa diciptakan secara serempak dan sama substansinya, sama pula caranya. Dengan beberapa variasinya, pendapat Riffat ini sepertinya searah dengan Amina Wadud Muhsin. Meskipun yang terakhir ini tidak begitu gamblang menolak pemikiran klasik, Amina tidak menekankan kepada penciptaan Hawa. Baginya yang terpenting adalah bahwa Hawa adalah pasangan (zauj) dari Adam. Pasangan, kata Amina, dibuat dari dua bentuk yang saling melengkapi dari realitas Tunggal, dengan sejumlah perbedaan sifat, karakteristik dan fungsi, tetapi kedua bagian yang selaras ini pas, cocok, dan saling melengkapi sebagai kebutuhan satu keseluruhan. Amina Wadud, "Qur'an and Woman" dalam Liberal Islam, Charles Kurzman (ed.) (New York: Oxford University, 1998), 120-128. Riffat Hassan, Equal Before Allah Woman-Man Equality in Islamic Tradition (The Commite on South Asian Womens Bulletin, Vol. 4), 10-16.

[4] Salah satu wacana teologis-filosofis di dalam ajaran Islam adalah, persamaan antara manusia tanpa bias gender atau membedakan jenis kelamin, antara bangsa, suku atau etnis maupun keturunan. Di dalam pandangan normatif-tekstual, Islam seperti yang disitir al-Qurán, tinggi rendahnya kualitas seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah Swt. Selanjutnya Allah memberikan penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang dikerjakannya. Baca, QS, An-Nisa', (4):1; QS, Maryam, (19):19-22, Al-A’raf, (7):189; Az-Zumar, (39): 6.

[5]Penting disadari, bahwa dalam al-Qur'an, Tuhan disimbolkan menjadi dua; Ismul Jalal (nama-nama keagungan Tuhan) dan Ismul Jamal (nama-nama keindahan Tuhan). Yang pertama menampakkan dengan cirri-ciri maskulinisasi Tuhan; al-Qahhar (pemaksa), al-Qadir (yang berkuasa) dan lain-lain. Sementara nama-nama yang indah itu, seperti; al-ghaffar (pengampun), ar-rahim (pengasih), as-shobur (sabar), al-latif (halus), dan lain-lain yang itu semua bisa dilihat didaftar asmaul husna. Akan tetapi, yang perlu dingat bahwa nama-nama Tuhan yang lembut itu, di mana ke-feminim-an sangat terasa sekali, jauh lebih banyak ketimbang nama-nama yang tidak mencerminkan ke-feminim-an. Baca, AsmaulHusna.

[6] Maksud dari Teologi Sufistik adalah, sebuah pemahaman tentang ketuhanan yang diekspresikan lewat ritual-ritual ajaran tasawuf. Ekspresi-ekspresi ini, menuntut pemahaman dan kejelian dalam membaca, mengerti, dan merasakan atas sifat-sifat tauhidillah yang tercermin dalam ayat-ayat kauniyah dan non-kauniyah, yang dari kesemuanya bisa terlihat di alam mikro dan makro kosmos. Tentu dalam hal ini, dibutuhkan penafsiran (hermeneutika) yang tepat, agar karakter ketuhanan bisa terbaca jelas.

[7]Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 170-176.

[8]Ibid., Bandingkan dengan, Alwi Shihab, Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia (Mizan: Bandung, 2001), 27-39.

[9] Para ahli memberikan indikasi, bahwa Islam yang tersebar untuk pertama kalinya di Indonesia, adalah bercorak sufistik. Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh A.H. Johns, ahli filologi Australi, bahwa agama ini menyebar berkat usaha para penyiar ajaran tasawuf yang telah menjadi anggota suatu ordo tarekat tertentu, yang mayoritas dari mereka berasal dari Baghdad setelah kota itu diserang oleh tentara Mongol pada tahun 1258. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984), 53. Bandingkan dengan, Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam…,160.

[10]Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam…, Lihat juga, Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984), 42-49. Baca, Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara (Surabaya: Al-Ikhlash, 1980), 47-56. Bandingkan dengan, Hamka, Tasawuf: Perkembangan & Pemurniannya (Jakarta: Yayasan Nurul Islami, 1981), 38-39. Musthafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), cet I, 43-49.

[11]Hal itu karena ajaran tasawuf, pada dasarnya, juga bersumber dari memahami al-Qur'an yang penuh akan ajaran keadilan, kesamaan, tasamuh, demokrasi dan kesetaraan. Salah sedikit saja memahami al-Qur'an, tentunya memberikan efek yang jauh luar biasa bahayanya, apalagi dalam wilayah keterekatan-kesufian yang di dalamnya penuh akan simbol-simbol suci.

[12]Annemarie Schiemel, Mistik Islam, terj. Sapardi Djoko Darmono (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1975), 25-39. Abu Ala Afifi, Fi al-Tasawuf al-Islami Wa Tarikhihi (Kairo: al-Qahirah, 1969), 26-37. Lihat juga, A.J. Arberry, Sufism; An Account of The Mystics of Islam, terj. Bambang Herawan, Pasang Surut Aliran Tasawuf (Bandung: Mizan, 1985), 39-48.

[13] Margaret Smith, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Terj. Jamilah Baraja (Surabaya; Risalah Gusti, 1997), 160-168.

[14]  Abu Ala Afifi, Fi al-Tasawuf al-Islami Wa Tarikhihi (Kairo: al-Qahirah, 1969), 43-47. Muhammad Jalal Syaraf, Al-Tashawwuf al-Islami wa Madarisuhu (Iskandariyah: Dar al-Matbu'at al-Jamiyah, 1974), 23-27.

[15] Abu Ala Afifi, Fi al-Tasawuf al-Islami…, 49-52.

[16] A.J. Arberry, Sufism; An Account of The Mystics…, 56. Lihat, Javad Nurbakhsh, Sufi Women (London: Yale University Press, 1983), 35-38.

[17] Manusia, merupakan sebuah entitas theomorfik, diciptakan, dalam bentuk seluruh nama-nama Tuhan, namun dia memiliki kecenderungan ke arah kebenaran dan ketersesatan dalamkaitan dengan penerapan sifat-sifat Tuhan. Manakala manusia dilimpahi dengan kasih Tuhan dan dipenuhi dengan cahaya-Nya, maka sifat-sifat keagungan akan mengejawantah di dalam dirinya sebagaimana adanya.

[18] Ketika kesetaraan antara Tuhan dengan makhluk "ternyatakan", muncullah cahaya yang berbeda. Dalam kaitan dengan "kesetaraan" yang diterapkan pada-Nya, Tuhan dipandang immanen dan dekat. Dia menyatakan diri melalui luthf, kasih, ampunan, berkah dan kepemurahan. Karena Dia memiliki sifat-sifat tersebut, eksistensi setiap makhluk menjadi pusat perhatian-Nya, tak terkecuali mahluk yang berstatus perempuan.

[19] Dari sudut pandang manusia, terdapat sebuah perbedaan nyata antara sifat kasih dan sifat murka. Akan tetapi jika ditinjau dari pandangan ke-Tuhan-an, murka beasal dari dan senantiasa kembali pada kasih. Jelasnya, kasih melekat pada hakikat Wujud itu sendiri, sehingga ia meliputi "segala sesuatu", sebagaimana hal itu dijelaskan oleh al-Qur'an, QS. (7):156, (40):7.

[20] Ketika berbicara tentang Esensi, Ibnu al 'Arabi menyatakan, bahwa Tuhan tidak dapat disetarakan dengan sesuatu apapun. Dalam hal ini hanya sedikit yang dapat kita katakana tentang Tuhan, kecuali untuk menegasikan sifat-sifat dari segala ciptaan sesuatu yang berasal dari-Nya. Namun, Esensi adalah Tuhan sebagai Dia dalam Dirinya sendiri, dan Tuhan mewujud dia dalam DiriNya sendiri sebelum Dia menyatakan Diri kepada yangselain Dirinya Sendiri.  William C. Chittick, Tuhan Sejati dan tuhan-tuhan Palsu, trj. A. Nidzam dkk. (Yogyakarta: Qalam, 2001), 176-214.

[21]AJ. Arberry, Sufism; An Account of The Mystics…, Op. Cit.,

[22] Abu Ala Afifi, Fi al-Tasawuf al-Islami Wa…, Op. Cit.,

[23] Annemarie Schiemel, Mistik Islam…, Op. Cit.,

[24] Annemarie Schiemel, Mistik Islam…,

[25] Baca al-Qur'an, QS. Al-Hujurat (49):13

[26] Misi kenabian adalah, misi kejuangan, misi pembebasan dan peneguhan kemanusiaan. Seorang nabi selain cerdas dan terpercaya, ia juga memiliki komitmen dan keberpihakan yang jelas bagi tegaknya humanitas. Menurut al-Farabi, sebagaimana dikutip Ibrahim Madkour, Nabi adalah pribadi yang memiliki imajinasi yang kuat, sehingga ia dapat berhubungan dengan akal "fa'al" yaitu akal kesepuluh yang mengatur alam dunia. Tentu saja untuk mengatur dunia, sifat kasih sayang sangatlah penting selain sifat kelembutan, memaafkan dan, sifat-sifat Tuhan yang lain. Mengenai persoalan kenabian ini, bisa dibaca dalam bukunya, Ibrahim Madkour, Filsafat Islam, Bagian I, terj. Yudian W Asmin (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), 82-98.

[27]Amina Wadud, "Qur'an and Woman" dalam Liberal Islam, Charles Kurzman (ed.) (New York: Oxford University, 1998), 120-128. Riffat Hassan, Equal Before Allah Woman-Man Equality in Islamic Tradition (The Commite on South Asian Womens Bulletin, Vol. 4), 10-16.

[28]  Mansour Faqih, "Posisi Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender" dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Pespektif Islam (Surabaya; Risalah Gusti, 1996). Baca juga, Ahmad Fudhaili, Perempuan Di Lembaran Kitab Suci: Kritik Atas Hadis-Hadis Sahih (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), 46-52.

[29] William C. Chittick, Tuhan Sejati…,

[30] Abu Ala Afifi, Fi al-Tasawuf al-Islami Wa…,

[31]  Margaret Smith, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan,

[32] AJ. Arberry, Sufism; An Account of The Mystics…, Op. Cit.,

[33] AJ. Arberry, Sufism; An Account of The Mystics…,

[34] Annemarie Schiemel, Mistik Islam…,

[35] William C. Chittick, Tuhan Sejati…,

[36] William C. Chittick, Tuhan Sejati…,

[37]Selain di agama Islam, juga ternyata banyak ditemukan perempuan-perempuan sufi atau zuhud yang senantiasa mengedepankan hari depan, akhirat, ketuhanan dan moralitas. Annemarie Schiemel, Mistik Islam…,

[38] Margaret Smith, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan...

[39] Margaret Smith, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan…

[40]Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminim dalam Spiritualitas Islam (Bandung: Mizan, 1998), 32-38.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar