Oleh:
Akhmad Supriadi, Abdullah Affandi dan Erwin Notanubun
A. Pendahuluan
Berkembangnya ilmu pengetahuan dewasa ini, terutama ilmu-ilmu sosial termasuk yang bercorak keagamaan, tidak terlepas dari sebuah proses panjang dari berbagai penelitian. Munculnya beragam persoalan dicari solusi dan jawabannya dalam sebuah penelitian ilmiah yang diharapkan bermanfaat bagi peradaban umat manusia.
Dalam beberapa dekade terakhir, studi Islam (Islamic studies) dan penelitian sosial keagamaan pada umumnya, memasuki babak baru seiring dengan berkembangnya beragama problem sosial kemasyarakatan. Kompleksitas persoalan tersebut mendorong hadirnya beragam pendekatan bahkan tawaran paradigma. Hampir mustahil jika pemecahan terhadap kompleksitas persoalan hanya mencukupkan dengan perspektif tunggal, misalnya dengan pendeklatan normatif tekstual semata atau paradigma lama.
Dalam konteks kekinian, kajian Islam dengan pendekatan normatif-tekstual tidak lagi memadai untuk memecahkan persoalan yang semakin kompleks. Beragam pendekatan pun ditawarkan seperti pendekatan fenomenologis, feminis, antropologis dan sosiologis. Disinilah, tampaknya kajian Islam dan sosial keagamaan yang kontekstual sosiologis merupakan suatu keniscayaan dalam melengkapi pendekatan konvensional.
Dengan pendekatan sosiologis-kontekstual, agama diharapkan tidak lagi dilihat secara “hitam-putih.” Pendekatan dalam studi agama dengan pendekatan ini akan melahirkan Islam dalam perspektif pelangi yang berwarna-warni, bukan lagi Islam yang hanya dilihat dengan satu warna.
B. Pengertian Sosiologi dan Pendekatannya
1. Pengertian Sosiologi
Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Dalam perkembangannya, banyak pakar yang mencoba mengemukakan pengertian sosiologi. Misalnya adalah Pitirim Sorokin, menurutnya sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
Max Weber mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial. Adapun menurut Allan Jhonson, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa : Sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum
2. Pendekatan dalam Sosilogi
Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.
Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan. Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Pitirim Sorokin, Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, George Simmel, dan Max Weber (semuanya berasal dari Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi.
Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain. Sementara Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat. Di sisi lain, Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia.
C. Pendekatan Sosiologis dalam Penelitian Agama
Praanggapan perspektif sosiologis adalah concern-nya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk agama. Objek-objek, pengetahuan, praktik-praktik dan institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai produk interaksi manusia dan konstruksi agama. Agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinan-keyakinan, dan perilaku religius, menurut sosiolog adalah untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menajdai subjek dari kekuatan lain yang lebih hebat dalam dunia sosial.
Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Selanjutnya, sosiologi agama dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang interrelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Anggapan para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan, dan kelembagaan agama mempengaruhi, dan sebaliknya juga dipengaruhi, oleh kekuatan-kekuatan sosial adalah tepat. Jadi, seorang sosiolog agama bertugas menyelidiki bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi mereka.
1. Objek pendekatan sosilogis
Kajian agama dengan pendekatan sosiolgis bertugas menyelidiki bagaimana tatacara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, fungsi-fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung dan tidak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat dan sebagainya.
Teorisasi sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis yang meliputi:
1. Startifikasi sosial, seperti kelas dan enisitas.
2. kategori biososial seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak dan usia.
3. Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem pertukaran dan birokrasi.
4. Proses sosial seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi persoanal, penyimpangan dan globalisasi.
Menurut Keith A. Robert, sebagaimana dikutip oleh Imam Suprayogo dan Tobroni, penelitian agama dengan pendekatan sosilogis memfokuskan kajiannya pada :
1) Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan (meliputi pembentukannya kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaanya dan pembubarannya). Yang dimaksud kelompok-kelompok dan lembaga kegamaan dalam konteks ini adalah pranata-pranata sosial yang menjadi infrastruktur tegaknya agama dalam masyarakat yang meliputi organisasi keagamaan (sekte, cult, gereja/ ormas keagamaan), pemimpin keagamaan (ulama, kyai, pendeta), pengikut suatu agama (jamaah, warga), upacara keagamaan (ritus, ibadah, kebaktian, doa) sarana peribadatan (masjid, gereja, pura) dan prodes sosialisasi doktrin-doktrin agama (sekolah, pesantren, mesjid, gereja).
2) Perilaku individu dalam kelompok-keompok tersebut (proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual). Kajian tentang hal ini meliputi a) Perilaku individu dalam hubungannya dengan keyakinan yang dianut seperti pengalaman keagamaan; b) Perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok; c) Perilaku individu dalam hubungannya dengan pemimpin; d) Perilaku kelompok/jamaah dalam hubungannya dengan sistem simbol/doktrin keagamaan tertentu; e) Perilaku kelompok/jamaah dalam hubungannya dengan pemimpin; f) stratifikasi sosial; g) Perilaku pemimpin/elit agama dalam hubungannya dengan sistem/simbol keagamaan; dan h) Perilaku elit agama dalam hubunganya dengan startifikasi sosial.
3) Konflik antar kelompok yang meliputi: a) konflik intern kelompok umat beragama; b) konflik antarkelompok umat beragama, hubungan (konflik, kerjasama dan kompetisi) masyarakat agama dengan penguasa (agama negara versus agama sipil).
Tidak berbeda jauh dengan pendapat di atas, Atho Mudzhar menjelaskan bahwa studi Islam dengan pendekatan sosilogis dapat mengambil beberapa tema, yakni:
1) Studi tentang pengaruh agama terhadap masyarakat atau tepatnya pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Dalam bentuk ini, studi Islam mencoba memahami seberapa jauh pola-pola budaya masyarakat ( seperti menilai sesuatu sebagai baik atau buruk ) berpangkal pada nilai agama, atau seberapa jauh struktur masyarakat (seperti supremasi laki-laki) berpangkal pada ajaran tertentu agama, atau seberapa jauh perilaku masyarakat (seperti pola konsumsi atau berpakaian masyarakat) berpangkal pada ajaran tertentu suatu agama.
2) Studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan. Studi ini dalam pandangan Muzhar memiliki relasi dengan teori pilihan rasional agama yang pada dasarnya bersandar pada pengamatan masyarakat Kristen di Barat. Dalam konteks sejarah Islam klasik, pertentangan politik Ahli Sunnah Wal jamaah dengan kaum Khawarij telah melahirkan konsep teologi Islam yang berbeda tentang konsep immah, dosa besar dan sebagainya.
3) Studi tentang tingkat pengamalan beragama masyarakat. Studi Islam dengan pendekatan sosiologis juga dapat mengevaluasi pola penyebaran agama dan seberapa jauh ajaran agama itu dipraktikkan oleh masyarakat. Dengan observasi atau survey, masyarakat dipelajari seberapa jauh mengamalkan ajaran agama yang dipeluknya. Jelasnya, tema ini bertujuan melihat dan mengevalusi tingkat religiusitas suatu komunitas beragama.
4) Studi pola interaksi sosial masyarakat muslim. Penelitian dengan tema ini dapat mempelajari pola-pola perilaku masyarakat muslim desa dan kota, pola hubungan antar agama dalam suatu masyarakat, perilaku muslim dalam organisasi-organisasi ekonomi di wilayah tertentu, perlikau beragama masyarakat muslim terdidik dan kurang terdidik, hubungan perilaku keagamaan dan perilaku birokrasi dan lain-lain.
5) Studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau menjunjung kehidupan beragama. Kajian tentang tema ini misalnya gerakan-gerakan kelompok Islam yang mendukung paha kolonialisme, kapitalisme, sekularisme, komunisme, ateisme. Demikian juga pula munculnya kelompok-kelompok masyarakat Islam yang mendukung spiritualisme, sufisme dan lain-lain yang pada tingkat tertentu dapat menunjang atau melemahkan kehidupan beragama. Gerakan paham-paham tersebut adakalanya mengancam agama sebagai ajaran atau agama sebagai komunitas seperti gerakan-gerakan sempalan dan fundamentalisme dalam Islam.
2. Teori-teori Sosiologi Agama
Salah satu aliran sosiologi yang berbicara mengenai prospek agama-agama adalah sosiologi fungsional. Aliran ini memandang agama sebagai realitas sosial, yaitu suatu unsur penting yang menciptakan stabilitas serta perubahan sosial. Sebagai “realitas intra-sosial”, agama itu terpengaruh oleh proses sosial itu sendiri.
Aliran sosiologi modern sebagaimana dipelopori oleh E. Durkheim dan Max Weber, menjadikan agama sebagai suatu yang sentral dalam teori sosial. Durkheim memusatkan telaahnya pada pertanyaan dasar: bagaimana masyarakat dapat menghasilkan dan mempertahankan kohesi sosialnya? Bagi Durkheim, agama menjadi faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. Agama merupakan suatu sistem interpretasi-diri kolektif; agama adalah cara khas berpikir tentang eksistensi kolektif.” Dengan kata lain, agama adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran manusiawi para anggotanya. Sejauh masyarakat masih ada dan berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Setiap masyarakat dalam proses menghayati cita-citanya yang tertinggi akan menumbuhkan ”kebaktian” pada representasi-diri simboliknya, menegaskan dan meneguhkan perasaan dan gagasan kolektifnya yang menciptakan kesatuan dan kepribadiannya.”
Pandangan Durkheim tersebut tercermin pula dalam teori R. Bellah mengenai agama sipil (civil religion). Menurut pengamatan Bellah, di Amerika ada gejala yang disebutnya civilreligion, suatu konsep yang berasal dari Rousseau, yang tampak dalam dokumen-dokumen berdirinya Negara Amerika Serikat, seperti upacara-upacara dalam pengukuhan jabatan-jabatan kenegaraan dan hari-hari pesta yang memperingati peristiwa-peristiwa penting yang memupuk America’s national self understanding. Bagi Bellah, civil religion adalah subordinasi bangsa pada prinsip-prinsip etis yang mengatasi bangsa itu sendiri dan atas dasar prinsip itu martabat bangsa dinilai.
Max Weber memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana masyarakat berubah dan mengalami kemajuan. Ia justeru menemukan bahwa agama merupakan faktor penggerak perubahan sosial. Menurut T. Parsons, ”Perhatian utama Weber adalah agama sebagai sumber dinamika perubahan social dan bukan sebagai instrumen peneguhan struktur masyarakat.” Kendatipun Weber tidak memberikan definisi eksplisit mengenai agama, tetapi dari tulisannya dapat dibaca bahwa baginya agama memberikan ”kerangka makna” pada dunia dan perilaku manusia, suatu perspektif dengan mana manusia memahami dunia, kegiatannya, ruang di mana ia ada, waktu yang mengatur hidupnya dan masa depannya, termasuk kematiannya. Ia menelaah agama dari segi dampaknya terhadap masyarakat. Agama juga berpautan dengan penciptaan budaya. Bukunya The Protestan Ethics and the Spirit of Capitalism merupakan rintisan penelitian dan pendekatan baru dalam abad XX mengenai peranan kreatif agama dalam pembentukan kebudayaan.
Selanjutnya bagi Peter Berger, agama merupakan langit-langit sakral (the Sacred Canopy) yang terbentang di atas kerapuhan (vulnerabilitas) eksistensi manusia, yang berpuncak pada kematian. Seperti Heidegger, Berger melihat kecemasan manusia ketika menghadapi maut yang merupakan ciri ”eksistensialis”-nya. Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. Agama tidak hanya penting dalam proses konstruksi dunia manusiawi, tetapi juga dalam proses melestarikannya. Agama secara historis merupakan alat legitimasi institusí sosial paling efektif dengan memberikan status ontologis padanya, dengan menempatkannya dalam suatu kerangka sacral dan kosmis. Ritus keagamaan pun berfungsi meningkatkan terus menerus, lewat pengingatan kembali (perayaan) dan legitimasi religius sehingga dapat berinteraksi dengan perbuatan manusia sehari-hari. Untuk tujuan itu, setiap tradisi religius membutuhkan komunitas religius untuk dapat mempertahankan kredibilitasnya: jemaah, ummat, sangha dan lain-lain. Pada kesimpulannya Berger mengingatkan pengertian agama dalam uraiannya sebagai: “the establishment through human activity, of an all embracing sacred order, that is, of a sacred that will be capable of maintaining itself in the ever present face of chaos”.
D. Kesimpulan
Dari beberapa point yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya yang dimaksud dengan sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum.
Dalam hubungannya dengan agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya sosilogi bertumpu pada konsep sosiologi agama yang dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang interrelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka
Kajian agama dengan pendekatan sosiolgis bertugas menyelidiki bagaimana tatacara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, fungsi-fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung dan tidak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat dan sebagainya.
Bibliografi
Durkheim, E., Suicide (New York: Free Press, 1950)
http://id.wikipedia.org, diakses 10 Nop. 2007
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Muzdhar, Atho, “Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosilogi” dalam Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Mullti-Disipliner ( Jogjakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006, cet- I)
Northcott, Michael S. "Pendekatan Sosiologis" dalam Peter Conolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2002)
Sodik, Mohammad, “Pendekatan Sosiologi” dalam Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Mullti-Disipliner ( Jogjakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006, cet- I)
Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2003)
Tule, Philipus, "Nuansa Dasariah Buku Islamku Islam Anda Islam Kita: Sebuah Tinjauan Teologis, Sosiologis dan Antropologis" dalam http://www.gusdur.net, diakses 10 Nop. 2007
loading...
5 komentar
Write komentarnice post gan
Replymenarik nih dan sangat bermanfaat sekali info nya
di tunggu info selanjutnya, thanks ya
terimakasih ats infonya
Replyterimakasih info nya
Replybermanfaat bgt
informsi yang menarik dan bermanfaat sekali nih gan...
Replydi tunggu info selanjutnya, thanks
Pelajaran Sosiologi ini sangat penting karena kita mempelajari tentang permasalahan yang ada di Masyarakat.
ReplyBiografi Tokoh Dunia
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar