Kaidah Syarat dalam al-Quran| Syarat-Jawab

Admin Monday, November 29, 2010

I. Pendahuluan

Al-Quran sebagai kitab suci terakhir yang diturunkan Allah S.W.T kepada seluruh makhluknya agar menjadi pegangan hidup sekaligus jalan untuk meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, sebagai rambu dan patokan bagaimana seharusnya menjalani hidup di dunia.
Untuk mengaplikasikan kandungan ayat-ayat al-Quran, tidaklah semudah mengaplikasikan Undang-Undang yang telah dibukukan oleh Negara, atau memetik hikmah dari sebuah perjalanan hidup. Ayat-ayatnya ada yang berbentuk muhkam dan mutasyabih, berbentuk muthlaq dan muqayyad. Variasi kata-katanyapun sangatlah banyak. Tidak heran jika ulama menganalogikan al-Quran sebagai intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat. Demikian perkataan Abdullah Darraz yang dikutip oleh Quraish Shihab.
Oleh karena itu, di dalam menafsirkan al-Quran sangat dibutuhkan kaidah penafsiran yang mempunyai korelasi dengan ayat yang akan ditafsirkan. Pada makalah ini penulis mencoba untuk mengulas salah satu kaidah tafsir, Kaidah Jawab Dan Hadzfu Jawabusy-Syarth. Penulis mencoba memaparkan yang terbaik menurut hemat maupun pengetahuan penulis. Tapi sarat akan kekurangan dan kesalahan tetaplah ada dikarenakan keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa.
A. Ta’rif Uslub Syarth
Sebelum memfokuskan pembahasan pada penafsiran dengan kaidah Syarth, baiknya kita mengenal apa itu Syarth dan segala yang berhubungan dengannya.
Uslub syarth adalah gaya bahasa yang tersusun atas adat(huruf) syarth yang mengikat dua kalimat. Kalimat pertama sebagai syarth kalimat kedua. Kalimat pertama diistilahkan dengan Jumlah Syarth dan kalimat kedua disebut Jawab Syarth. Bila di dalam jumlah kalimat terdapat huruf syarth, maka jumlah setelah huruf tersebut adalah fi’ilnya dan kalimat kedua adalah jawabnya. Sebagai contoh:
  
Adawat syarth terbagi atas 2:
1. Kata yang menjazamkan kalimat. Yaitu: In, Man, Mahma, Mataa, Ayyaana, Aina, Ainama, Annaa, Haitsuma, Kaifama, dan Ayyun.
2. Kata yang tidak menjazamkan kalimat.
a. Huruf: lau, Laula, Lauma, dan Amma.
b. Zhuruf: Idza, Lamma, dan Kullama.
Adawat tersebut menjazamkan Fi’il maupun jawabnya. Baik itu langsung kepada fi’ilnya secara zhahir maupun hanya menjazam pada mahal-nya. Kedua kalimat tersebut— fi’il dan jawab— hendaklah berbentuk fi’il mudhori’, atau fi’il madhi. Ataupun yang pertama fi’il mudhari dan yang kedua fi’il madhi begitupun sebaliknya.
Dalam ayat-ayat al-Quran sering dijumpai pada permulaan jawab syarth didahului dengan fa. Hal itu dikarenakan beberapa sebab yang mengharuskannya didahului dengan fa. Jika jawabnya berbentuk salah satu dari tujuh macam ini maka harus disertai fa, karena ketujuh macam ini tidak bisa dibuat fi’il syarth. Yaitu: Jumlah Ismiyyah, jumlah thalabiyyah, fi’il jamid, dimulai oleh huruf nafy selain laa dan lam, dimulai oleh qad, dimulai oleh lan, dan dimulai oleh huruf tanfis.

II. Fi’il Syarth

Sangat banyak contoh pemakaian kaidah syarth dalam Al-Quran yang menunjukkan keeksistensian kaidah ini dalam penafsiran. Pada kaidah ini terdapat beberapa fungsi penggunaannya. Tapi sebelumnya marilah kita memperhatikan beberapa contoh pemakaiaan kaidah syarth dalam Al-Quran.
1. In
     •          
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Idza
     •      •    •   
apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.
3. Man
                  Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
4. Mahma
            
mereka berkata: "Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada Kami untuk menyihir Kami dengan keterangan itu, Maka Kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu".
5. Aina
         
di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh.
6. Ayyun
        •                
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu".
7. Lau
      •                •  
kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu Amat jauh terasa oleh mereka. mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau Kami sanggup tentulah Kami berangkat bersama-samamu." mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
8. Laula
          
kalau Sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia dicampakkan ke tanah tandus dalam Keadaan tercela.
9. Amma
•          
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"
10. Kullama
     •                          •       
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

III. Hadzfu Jawab al-Syart

Dalam al-quran terdapat banyak ayat yang mengandung kata kerja bersyarat. Namun tidak semua dari kata kerja bersyarat tersebut disebutkan jawab syaratnya. Keadaan ini mengindikasikan adanya hal yang penting ingin disampaikan atau menunjukkan begitu penting masalah yang akan dibicarakan. Dalam kitab al-qowa’idil-hasan fi tafsiril quran disebutkan dalam kaidahnya yang ke 16 yaitu dihapusnya jawabnya syarat menunjukkan akan besarnya perkara tersebut dan kerasnya dalam kedudukan ancamannya.
Seperti ketika ayat tersebut berbicara tentang azab menunjukkan dahsyatnya keadaan yang disebutkan. Atau menunjukkan bahwa azab itu sungguh sangat pedih. Seperti dalam firman Allah dalam surah al-Takatsur ayat 5:
     
”Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin”
Jawab syarat dari kataلو تعلمون  diatas tidak disebutkan (mahzuf). Dalam kitab i’rabul quran wa sharfih wa bayanih disebutkan bahwa jawab syarat dari kata لو pada ayat di atas tidak disebutkan (mahzuf) dan di-taqdir-kan dengan kalimat ما اشتغلتم بالتفاخر (kamu tidak akan disibukkan oleh kemegahan) . Jadi maksud ayat ini ialah sekiranya kamu melihat dengan langsung betapa berat dan pedih siksaan di neraka itu, pasti kamu tidak akan tetap dalam keadaan berlalai-lalai, bermegah-megah, dan lengah terhadap perintah dan larangan Allah.Contoh yang lain:
a- Q.S al-Sajdah ayat 12 menunjukkan hal tersebut:
             •   
“Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami Telah melihat dan mendengar, Maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin."
Jawab al-syarat dari kata “لو ترى”tidaklah disebutkan, dan yang disebutkan hanyalah reaksi orang-orang yang melihat siksaan neraka. Adapun jawab syaratnya ditaqdirkan degan kata لرايت امرا عجبا . Peniadaan jawab al- syarat adalah untuk menggambarkan betapa dahsyat siksaan di akhirat kelak.
- Q.S. Saba’:51
        •  
“ Dan (alangkah hebatnya) Jikalau kamu melihat ketika mereka (orang-orang kafir) terperanjat ketakutan (pada hari kiamat); Maka mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (untuk dibawa ke neraka)”
- Q.S.al- an’am: 27
     •           
“ Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman", (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan).”
- Q.S.al-baqarah: 165
 ••                        •    •    
”Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
Jawab al-syarat dari beberapa ayat di atas tidak disebutkan dan itu lebih baik karena sangat menakutkan serta sangat buruk dan keji yang tidak dapat diungkapkan kata-kata, serta tak pula dapat disebutkan ciri-cirinya.
Dalam kitab al-durrul musun fi al-kitabi al-maknun dijelaskan contoh dari Q.S al-baqarah:
قوله تعالى: {وَلَئِنْ أَتَيْتَ….
Dalam kallimat tersebut terdapat dua pendapat
Pendapat Sibawaih yaitu bahwa lam disitu adalah lam muwathiah yang berguna sebagai sumpah yang dihapus walaupun itu syarat dan termasuk dalam huruf syartiyah, jadi karena dengan terkumpulnya syarat dan sumpah dan letak sumpah terlebih dahulu daripada syarat maka jawab baginya adalah kalimat pemberitaan. Oleh karena itu adanya jawab untuk sumpah tersebut yaitu dengan tidak tampaknya sesuatu atau dihapusnya jawab syarat untuk menyesuaikan jawabnya sumpah. Oleh karena itu fi’il syarat berbentuk madli karena ketika jawab dibuang maka fi’il syaratnya wajib berbentuk madly kecuali dalam keadaan darurat.
Lafaz "تَبِعوا", karena ia secara lafzi termasuk madly akan tetapi bermakna pada sesuatu yang akan datang, maksudnya “apa yang akan mereka ikuti” karena syaratnya adalah batasan pada kalimat terjadi dimasa datang karena darurat bahwa sesuatu yang akan datang tidak dapat menjadi syarat pada fi’il madly ( masa lampau).

IV. Analisa

Dari pemaparan contoh di atas dapat ditarik sebuah kaidah bahwa pada penggunaan syarth terdapat hukum kausalitas atau sebab-akibat. Adanya sebuah proses yang bila pelaku mengaplikasikan fi’il syarth maka jawab syarth menjadi implikasi dari fi’il tersebut. Jika A maka B. jika seseorang makan maka ia akan kenyang. Bila syarth ditarik ke dalam bahasa Indonesia maka seperti itulah syarth tersebut.
Selanjutnya terdapat perbedaan pemakaian adawat syarth tersebut, perbedaannya adalah apakah jawab syarth pasti terjadi atau hanya sebuah wacana yang mungkin terjadi dan mungkin tidak. Sebagai tolok ukur dapat dilihat pada perbedaan in dan idza. Menurut ketentuan asal, orang pertama (mutakallim) tidak bisa memastikan terjadinya apa yang disyaratkan di waktu mendatang. Untuk itu digunakan kata syarth in. Ia dipakai dalam kondisi yang jarang terjadi dan harus berdampingan dengan lafadz mudhori’ sebab terdapat sisi keraguan tentang terjadinya.
Adapun kata syarth idza, menurut asalnya dipakai dalam keadaaan mutakallim optimis akan terjadinya apa yang disyaratkan di masa akan datang. Oleh karena itu, idza tidak dipakai kecuali dalam beberapa keadaan yang banyak terjadi dan berdampingan dengan bentuk madhi karena bentuk ini menunjukkan hal yang pasti terjadi.
Selanjutnya kesimpulan yang lain bahwa pada pembahasan syarth, tidak bisa dinafikan tentang keberadaan bentuk fi’il, apakah dalam bentuk madhi ataupun mudhari. Bentuk madhi lebih kepada kepastian terjadinya sesuatu sedang mudhari bila hal tersebut belum tentu terjadi. Pada makalah ini tidak akan dijelaskan secara gambling tentang bentuk terseebut karena makalah ini hanya focus terhadap syarth.
Dan kadang pula pada kaidah syarth tidak disertai dengan jawab syarthnya dikarenakan akibat yang ditimbulkan sangatlah besar yang tidak bisa dipaparkan dengan sebuah istilah saking besarnya. Biasanya ayat beredaksi seperti ini adalah akibat dari perbuatan buruk seseorang, baik ia masuk dalam kategori kafir ataupun kesyirikan.

V. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas tentang penggunaan kaidah syarth dalam al-Quran dapat disimpulkan bahwa kaidah syarth sama halnya dengan kausalitas, adanya akibat karena sebelumnya ada akibat. Akibat tersebut timbul setelah syarat telah dilaksanakan. Seperti contoh yang telah lalu, bila A maka B.
Bila pada sebuah ayat tidak ditemukan adanya jawab dari fi’il syarth maka ayat tersebut menandakan betapa beratnya akibat yang ditimbulkan oleh fi’il syarth, dan biasanya ayat yang beredaksi seperti itu adalah ayat yang membicarakan tentang azab bagi orang-orang yang ingkar terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Sang Khalik.
Dan akhirnya, pemakalah menyadari pemaparan ini tidaklah mesti sebagai sesuatu yang mutlak kebenarannya. Sangat banyaklah kesalahan dan kekurangan yang ada. Pemakalah sangat mengharapkan adanya kritik yang membangun sehingga pembahasan ini semakin sempurna dan dapat bermanfaat untuk kemajuan penafsiran pada khususnya dan islam secara umum.



loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 komentar

Write komentar
April 8, 2015 at 7:47 PM delete

syukron katsiron. semoga ilmunya bermanfaat.

Reply
avatar
November 8, 2018 at 7:14 PM delete

Seputar syarat dan jawab syarat dalam al-qur'an, referensinya dari mana yah?

Reply
avatar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar