SYARAT DAN ADAB MUFASSIR

Admin Tuesday, December 21, 2010
I.                   PENDAHULUAN
Studi terhadap al-Qur’an dan metodologi tafsir sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup signifikan, produk-produk tafsir dari suatu generasi kepada generasi berikutnya memiliki corak dan karakteristik yang berbeda seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunnya al-Qur’an hingga sekarang. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (waqa’i) yang terus berkembang. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an itu salih li kulli zaman wa makan. Karenanya, sebagaimana dikatakan Shahrur, “al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia.
Peranan tafsir snagat besar dalm menjelaskan makna kandungan al-Qur’an yang sebagian besar masih bersifat global dan punya makna yang samar, sehingga muncul kesulitan untuk menerapkanya. Tafsir tidak akan terlepas dari kreasi mufassir itu sendiri, setiap mufassir memiliki style  tersendiri dalam menafsirkan suatu ayat, oleh karena itu dalam penafsiran juga diperlukan syarat-syarat dan adab yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir agar ayat al-Qur’an yang ditafsirkannya tidak hanya berdasarkan pada pemikiran individu, tapi berdasarkan ilmu yang telah dikompilasikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan tafsir yang berkualitas dan bermanfaat.
Dalam makalah ini penulis mencoba sedikit membahas mengenai syarat dan adab mufassir. Penulis juga mencoba memberikan analisis terhadap pendapat-pendapat para ulama klasik mengenai problem tersebut, sehingga akan ditemukan titik terang dalam pembahasan yang sederhana namun rumit ini.




II. PEMBAHASAN
A.       Pengertian Tafsir dan Mufassir
Dalam bahasa Arab, kata tafsir berarti الإيضاح dan التبيين yang berarti “menjelaskan”.[1] Lafal dengan makna ini disebutkan di dalam QS. Al-Furqan: 33 :
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ  
“ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.
Ahmad Syirbashi memaparkan ada dua makna tafsir dikalngan ulama. Pertama yaitu keterangan atau penjelasan sesuatu yang tidak jelas dalam al-Qur’an yang dapt menyampaikan pengertian yang dikehendaki. Kedua yaitu tafsir merupakan bagian dari ilmu Badi’, yaitu salah satu cabang ilmu sastra arab yang mengutamakan keindahan makna dalam menyusun kalimat. Sebagaian ulama menurut as-Syatiby lebih memerinci lagi pengertian mengenai tafsir dengan rumusan ilmu tentang asbab Nuzul, situasi pada saat al-Qur’an diturunkan, sejarah penyusunan ayat Makkiyah dan Madaniyah, ayat nasikh mansukh dan lain-lain. Ibnu Manzur mengartikan tafsir secara ringkas yaitu Kasf al-Mughatha yang berarti penjelasan dari hal yang tertutup.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam suatu ayat al-Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagai dasar utama penetapan hukum.[2]
Demikian definisi tafsir yang dikemukakan oleh para ulama. Tafsir adalah aktifitasnya sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain Bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan defenisi mufassir, yaitu orang yang memiliki kapabilitas sempurna denganya, ia mengetahui maksud Allah ta’ala dalam al-Qur’an sesuai dengan kemampuanya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir tersebut baik  dengan mengajarkanya maupun menuliskanya.[3]

B. Syarat Mufassir
Sebelum menyajikan syarat-syarat Mufassir, terlebih dahulu kami paparkan makna dasar dari kata al-syarth itu sendiri. Selanjutnya, disajikan beberapa pendapat mengenai syarat mufassir sesuai dengan perspektif mereka masing-masing.
Dari beberapa referensi, ditemukan makna yang tidak begitu beragam untuk kata al-syarthu. Makna dasar kata ini adalah tanda, atau mewajibkan sesuatu, atau syarat[4] (sebagaimana makna yang kita pahami dalam bahasa Indonesia). Kata ini sangat lazim digunakan, seperti syarat jual beli dan sebagainya. Sementara dalam Kamus Bahasa Indonesia, syarat ialah ketentuan yang harus ada, tuntutan terhadap sesuatu yang harus diadakan.[5] Dalam pembahasan ushul fiqh mengenai hukum wadh’i disebutkan bahwa syarat adalah : ma yalzamu ‘adamuhu ‘adam al-hukm. Menurut Abu Zahrah, syarat adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Artinya, ketika syarat itu tidak ada, maka secara otomatis hukum juga tidak ada.[6]
Manna’ al-Qathan menjelaskan beberapa syarat yang harus dimiliki seorang mufassir, yaitu:
1.         Akidah yang benar. Akidah mempunyai peranan yang sangat besar terhadap jiwa pemiliknya. Ketika ia mempunyai  akidah yang melenceng, tentu saja ia akan menafsirkan Al-Quran dengan berbagai penyimpangan, yang nantinya merusak pemahaman akan Al-Quran itu sendiri.
2.         Bisa menguasai hawa nafsu. Tidak jarang hawa nafsu menjadi pemicu pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya.
3.         Menafsirkan lebih dahulu Al-Quran dengan Al-Quran.
4.         Menafsirkan Al-Quran dengan Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya.
5.         Menafsirkan Al-Quran dengan pandangan para sahabat jika tidak didapatkan penafsiran dalam Al-Quran dan sunnah.
6.         Menafsirkan Al-Quran dengan pandangan tabi’in (apabila tidak menemukan penafsiran dalam Al-Quran, Sunnah maupun dalam panadangan para sahabat)
7.         Mempunyai pengetahuan bahasa Arab.
8.         Memliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran, seperti qiraat, ushul al-tafsir, asbab nuzul, nasikh mansukh ayat, dsb.
9.         Pemahaman yang cermat. [7]

Di samping itu, al-Suyuti juga menyebutkan lima belas ilmu yang mesti dikuasai seorang mufassir yang nantinya akan menuntunnya dalam penafsiran:
1.         Ilmu Bahasa  karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
2.         Ilmu Nahwu. Dengan ilmu ini dapat diketahui perubahan-perubahan makna sesuai dengan perbedaan i’rab.
3.         Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui struktur dan bentuk suatu kata.  
4.         Ilmu tentang Isytiqâq( karena suatu nama apabila isytiqâq-nya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda.
5.         Al-Ma‘âni yang dengannya dapat diketahui ciri-ciri khas susunan  suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6.         Al-Bayân untuk mengetahui ciri-cirinya dari sisi perbedaan-perbedaannya ditinjau dari sisi kekuatan dan kesamaran petunjuknya.
7.         Al-Badî‘ untuk memperindah suatu pembicaraan. (Ketiga ilmu di atas, nomor lima, enam, dan tujuh, disebut ilmu Balaghah)
8.         Ilmu qirâ’ah dengan ilmu ini dapat diketahui cara membaca Al-Quran dan makna yang paling kuat yang mungkin dikandung oleh suatu ayat.
9.         Ilmu tentang Ushûluddîn.
10.     Ushul Fiqih karena dengannya dapat diketahui metode pengambilan dalil dan ijtihad terhadap suatu hukum.
11.     Ilmu tentang Asbâbun Nuzûl dan kisah-kisah, agar diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12.     Ilmu tentang An-Nâsikh wa al-Mansûkh, untuk mengetahui ayat yang muhkam (yang tidak dinasakh) dan yang lainnya.  
13.     IlmuFiqih.
14.     Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
15.     Ilmu mauhibah (bakat), yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan apa yang dia ketahui.[8]

        Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy[9], maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan lainnya selain lima belas di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:
1.      Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
2.      Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu menjawab setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran terhadap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
3.      Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.
C.    Adab Mufassir
Dalam kamus al-Munawir, adab  mempunyai arti aturan, tata krama atau kesopanan.[10] Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia adab sendiri mempunyai arti budi pekerti yang halus dan akhlak yang baik.[11] Dengan demikian dapat diartikan bahwa adab yaitu tingkah laku yang baik. Sedangkan adab mufassir diartikan dengan tingkah laku seseorang yang hendak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain seorang mufassir boleh menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an apabila memiliki adab yang telah ditentukan oleh para ulama’.
Adab merupakan salah satu syarat bagi mufassir dalam aspek kepribadian. Yang dimaksud aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar menjadi layak dalam menjelaskan suatu hakikat dari al-Qur’an terhadap orang yang kurang mengetahui. Menurut mana’ al-Qatthan diantara adab mufassir adalah sebagai berikut:[12]
1.      Berniat baik dan bertujuan benar.
Seorang mufassir harus memiliki niat dan tujuan yang baik, karena segala sesuatu itu bergantung pada niat, maka dari itu selayaknya mufassir telah menata niatnya sebelum mulai menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini juga di arahkan supaya mufassir menjauhkan diri dari tujuan-tujuan duniawi yang akan mendatangkan madlorot bagi dirinya sendiri.
2.      Berakhlak baik
Diumpamakan seorang mufassir adalah seorang pendidik atau guru yang dipanuti, karena itu sebagai seorang yang dianut, maka orang tersebut harus mempunyai perangauiyang baik dan sopan, agar para penganutnya merasa benar telah mempercayai apa yang telah diajarkan oleh guru mereka.  Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkahlaku yang berlawanan dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kuwaliti individu dan masyarakat.  lndividu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkahlaku yang buruk, akan porak peranda dan kacau balau.
3.      Taat dan beramal
Karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalah-masalah agama yang ditetapkannya.
4.      Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan.
Karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalahmasalah agama yang ditetapkannya.
5.      Tawadlu’ dan lemah lembut.
Karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6.      Berjiwa mulia.
Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari halhal yang remeh serta tidak mendekati dan memintaminta kepada penguasa.
7.      Vokal dalam menyampaikan kebenaran
Karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim.
8.      Berpenampilan baik sehingga dapat memberikan kesan wibawa yang dapat menjadikan mufasir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan.
9.      Tenang dan mantap
Mufassir hendaknya tidak tergesagesa dalam bicara, tapi henndaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas kata demi kata.
10.  Mendahulukan orang yang lebih utama dari pada dirinya.
Seorang mufassir harus hatihati menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai, menghargainya dan belajar darinya.
11.  Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, arti perkataan, menerangkan susunan perkataan, memberi penerangan kepada aspek-aspek balaghah dan i`rab yang mana penentuan makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu serta membuat kesimpulan dan menentukan hukum.

Sementara itu Imam suyuti mengatakan ,”Ketahuilah bahwa seseorang yang tidak dapat memahami wahyu Allah dan tidak akan terlihat rahasia olehnya rahasia-rahasianya  sementara didalam hatinya terdapat bid’ah, kesombongan dan hawa nafsu, cinta dunia, gemar melakukan dosa, lemah iman, bersandar pada mufassrir yang tidak memiliki ilmu atau merujuk pada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat dari pada sebagian yang lain.  Inilah makna firman Allah ta’ala:
ß$ÎŽñÀr'y ô`tã zÓÉL»tƒ#uä tûïÏ%©!$# šcr㍬6s3tGtƒ Îû ÇÚöF{$# ÎŽötóÎ/ Èd,ysø9$# bÎ)ur (#÷rttƒ ¨@à2 7ptƒ#uä žw (#qãZÏB÷sム$pkÍ5 bÎ)ur (#÷rttƒ Ÿ@Î6y Ïô©9$# Ÿw çnräÏ­Gtƒ WxÎ6y bÎ)ur (#÷rttƒ Ÿ@Î6y ÄcÓxöø9$# çnräÏ­Gtƒ WxÎ6y 4 y7Ï9ºsŒ öNåk¨Xr'Î/ (#qç/¤x. $uZÏG»tƒ$t«Î/ (#qçR%x.ur $pk÷]tã tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÍÏÈ  
146. aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.(QS. Al-A’raf: 146)
Maksud ayat diatas adalah pemahaman mereka mengenai akal yaitu penafsiran akan diambil oleh allah karena sifat sombong mereka yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang mufassir.
Berdasarkan keterangan Imam Suyuti diatas, Ahmad Bazawy Adh-Dawhi  meringkas sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu :[13]
1.      Akidah yang lurus
2.      Terbebas dari hawa nafsu
3.      Niat yang baik
4.      Akhlak yang baik
5.      Tawadhu’ dan lemah lembut
6.      Zuhud terhadap dunia
7.      Taubat dan taat terhadap perkara yang syari’
8.      Tidak bersandar pada ahli bid’ah dan kesehatan dalam menafsirkan
9.      Tidak tunduk pada akalnya sehingga menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman.

















III. PENUTUP
Setelah membahas syarat dan adab mufassir yang diajukan oleh para ulama di atas, kami menemukan adanya kejanggalan dalam pengelompokan syarat dan adab mufassir itu sendiri. Kejanggalan tersebut seperti penempatan “akidah yang lurus” dalam syarat (menurut al-Qatthan) dan adab (menurut as-Suyuti). Selanjutnya penempatan kategori yang seharusnya berada di wilayah adab terdapat di wilayah syarat, seperti menafsirkan Alquran terlebih dahulu dengan Alquran, selanjutnya dengan sunnah, dan seterusnya.
Menyikapi hal ini, kami berusaha untuk memberikan tawaran tersendiri mengenai syarat dan adab mufassir. Akan tetapi, tawaran ini bukanlah hal yang baru dan belum terpikirkan oleh ulama-ulama sebelumnya, seperti Suyuti dan al-Qattan, hanya saja, kami merujuk kembali kepada makna dari syarat dan adab itu sendiri.
Syarat-syarat mufassir menurut kami adalah:
1.        Aqidah yang benar.
2.        Niat yang benar. Hal ini masih berkaitan dengan yang pertama, bahwa ketika seseorang menafsirkan Alquran dengan niat yang salah, maka yang dihasilkan justru bukanlah makna dari Alquran, melainkan penyimpangan dari makna tersebut.
3.        Memiliki ilmu yang memadai untuk menafsirkan. Akan tetapi, ilmu-ilmu yang disampaikan di atas lebih didominasi oleh mabahis al-alfaz. Maka, mengiringi perkembangan paradigma tafsir hingga saat ini, sepertinya tawaran dari al-Dhahawy layak untuk diikut sertakan
Kesimpulannya, syarat mufassir adalah beberapa sifat dan kriteria yang harus dimiliki seseorang sehingga ia layak menjadi mufassir dan mampu mengungkapkan makna Alquran.
Sementara adab mufassir, menurut kami dapat dibagi menjadi beberapa poin:
1.        Menafsirkan Alquran sesuai dengan prosedur yang benar, yaitu menafsirkan Alquran dengan Alquran, dengan Sunnah, dan seterusnya sebagaimana yang telah dirumuskan para Ulama sebelumnya.
2.        Menggunakan metodologi penafsiran yang dapat dipertanggung jawabkan.
3.        Melepaskan diri dari segala kepentingan, ideologi, dan fanatisme mazhab, baik bersifat pribadi maupun kolektif, karena hal-hal tersebut ini tidak jarang membawa kepada penyelewengan penafsiran.
4.        Bersikap jujur dalam penafsiran.
5.        Berusaha mengungkap makna Alquran, bukan membawa pemaknaannya sesuai dengan anggapan maupun keyakinan sebelumnya, karena belum tentu keyakinan tersebut benar.
6.        Tidak menafsirkan ayat secara sepihak. Karena tidak jarang ayat dalam Alquran yang terlihat kontradiktif. Maka, jangan sampai seorang mufassir hanya mengutip ayat yang mendukung pendapatnya, dan mengabaikan ayat lainnya yang secara sekilas berkontradiksi. Yang seharusnya dilakukan adalah memahami ayat tersebut secara komprehensif dengan mengumpulkan semua ayat terkait, baik yang pro maupun kontra, lalu berusaha menemukan pesan sesungguhnya dari ayat-ayat tersebut, dengan memecahkan teka-teki kontradiksinya.
Akhirnya, demikianlah sekelumit usaha yang kami jalani dalam merumuskan syarat dan adab mufassir. Semua itu berangkat dari kejanggalan yang menurut pribadi kami ditemukan dari syarat dan adab mufassir yang telah disuguhkan para ulama jika ditilik kembali makna dari kata syarat dan adab itu sendiri. Akan tetapi, ini bukanlah suatu hasil yang final dan masih sangat mungkin untuk ditelaah kembali.
Wallahu A’lamu bi al-Shawab!




[1] Az-Zarqani, Manahil Al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran juz 2 hlm.3 CD ROM Al-Maktabah As-Syamilah
[2] M. Alfatih Suryadilaga dkk, metodologi ilmu tafsir , (Yogyakarat:teras,2010), hlm. 27.
[3] Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawa’id at-Tarjih ‘inda al mufassirin;  dirasah nahzariyyah tathbiqiyyah. Riyadh : Darul Qasim. juz 1. Hlm. 29. Dalam artikel study tentang syarat-ayarat mufassir al-qur’an oleh Muhammad Isa Anshari.
[4] Al-Jauhari, al-Shahah fi al-Lughah Juz 1 hlm 352 (CD ROM Al-Maktabah As-Syamilah)
[5] JS Badudu dan Sutan Moh Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 1390.
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh cetakan ke-12 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 75, lihat juga Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, hlm. 7.
[7] Mana’ Khalil al-Qatthan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (terj.) Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), hlm. 463-465
[8] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an (terj) Tim Editor Indiva (Surakarta:Indiva Pustaka , 2009), juz 2, hlm. 911-912.
[9] Lihat : Syuruth al-Mufassir wa Adabuhu dalam: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 diakses pada tanggal 11 Desember 2010.

[10] Ahmad Warson Munawir, al-Munawir: Kamus Bahasa Arab (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm. 13.
[11] Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Bahasa Indonesia(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 9.
[12] Mana’ Khalil al-Qatthan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (terj.) Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), hlm. 465.
[13]Ahmad Badhawy, Adh-Dhawy. Syuruth al-Mufassir  wa Adabuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 diakses pada tanggal 11 Desember 2010.

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar