RE-INTERPRETASI MENSTRUAL TABOO DALAM AL-QUR’AN: MENGGAGAS FIQIH EGALITAS-HUMANIS

Monday, May 07, 2018

RE-INTERPRETASI MENSTRUAL TABOO DALAM AL-QUR’AN: MENGGAGAS FIQIH EGALITAS-HUMANIS

Oleh. Mustofa.*
Abstrak: This article is intended to reanalyze and reinterpretate the verse of menstrual taboo in the koran. One of the great problems in the koran is the fact that the koran is basic maraji’ and mashadir (reference) in some of which relate to the Islamic law and in some of advice on religious matters. But, the Islamic law as the product of idea’s scholar of Islam which is interpretate the koran has a patriarchy and male domination tendency. Beside it has a patriarchy tendency, a social changing –speedly- have consequence on the understanding in status quo of islamic law (fikih) to be changed as period changing. Caused of the changing, an understanding of menstrual taboo in the koran -willy nilly- have to be responsed by the appropriate of islamic law application. So, beside the article tries to reinterpretate the verse of menstrual taboo in koran, it also to know and understand the indication of patriarchy or male domination culture in islamic law. In other way, using this effort, is also to concept the humanism-egality of islamic law (fikih).
Kata Kunci: Menstruasi, Teks & Konteks, Kesetaraan & Kemanusiaan.

A. Pendahuluan

Mengingat bahasa selalu terikat pada konteks sejarah dan kebudayaan tertentu, maka pemahaman akan bahasa perlu disertai pemahaman mengenai sejarah dan budaya.[1] Keterikatan itu terbukti –di antaranya- adalah adanya ayat al-Qur’an yang terlihat berdialog kepada masyarakat lokal setempat lewat diri Muhammad dengan model dialog yang berbeda-beda. Karena itu, langkah penafsiran terhadap teks, tidaklah sekedar menguraikan bahasa-bahasa yang ada untuk diterjemahkan an sich, namun lebih dari itu adalah bagaimana mengungkap dan memahami postulat-postulat yang ada di sekitar teks.[2]

Jika demikian, wajar jika teks yang ada pada kitab suci al-Qur’an seakan terikat oleh konteks dan sistem yang berjalan di sekitarnya.[3] Artinya, bahwa sebuah teks dipastikan akan terus berhubungan langsung secara sistematis (al-alaqat al-murakkabat) dengan kebudayan (sistem yang berjalan) yang mempengaruhi pembentukan redaksi teks.[4] Itulah mengapa, dalam nuansa redaksi yang ada dalam al-Qur’an, terlihat unsur komunikatif-dialogis dengan masyarakat sekitarnya, yaitu masyarakat lokalitas penduduk Arab.

Konteks budaya Arab yang “terwakili” oleh ekesistensi diri Muhammad, menjadikan apa yang diuraikannya (termasuk al-Qur’an dan al-hadis), terikat oleh sistem kultur masyarakat setempat meskipun tidak kesemuanya berdialog atau terfokus pada lokalitas masyarakat Arab an sich. Meskipun al-Qur’an seakan berdialog dengan masyarakat luas secara umumnya, namun masyarakat muslim awal-lah yang disoroti pada mulanya. Norma atau kaidah lokalitas yang terbangun di dalam masyarakat Arab, terbawa pada rekaman redaksi al-Qur’an sebagai kitab penjelas dan pemberi hidayah pada masyarakat sekitar (hudan linna¬s).

Masyarakat Arab -sebagai masyarakat yang di dalamnya pertama kali al-Qur’an diturunkan- merupakan masyarakat yang mempunyai sistem kehidupan beragram. Ada sebagian ahli mengatakan bahwa lokalitas peradaban Arab sangat terkenal dengan kuatnya –salah satunya- sistem budaya patriarkhi. Yaitu sistem budaya masyarakat yang lebih memihak kaum laki-laki dan biasanya hal itu dikonstruk dengan laki-laki sebagai kepala keluarga, suku atau masyarakat.[5] Sistem budaya androsentris-patriarkhi yang ada di peradaban Arab, sangat kental terlihat dan mudah untuk bisa “dibaca”. Salah satunya adalah eksistensi perempuan yang berada pada posisi marginal dan subordinat.[6]

Di lokal masyarakat Arab, terkesan adanya ketimpangan sosial pada struktur wilayah eksistensi laki-laki dan perempuan. Kaum hawa atau perempuan sangat terkungkung oleh chardewari (empat dinding) rumah tangga.[7] Kondisi sistem masyarakat saat itu, sungguh terlihat bernuansa -menganut sistem masyarakat- patriarkhi dan male domination. Ada seting sosial historis yang terekem dalam al-Qur’an. Maka sangat wajar jika nuansa kultur Arab, banyak terlihat pada beberapa ayat al-Qur’an meskipun al-Qur’an sendiri berangan-angan untuk melepaskan budaya patriarkhi yang ada di masyarakat kultur Arab.

Logika berfikir bahwa al-Qur’an sarat dengan sistem logosentris budaya, harus dimaklumi karena teks al-Qur’an (ayat al-Qur’an) yang ada merupakan teks yang meminjam sebuah bahasa, yaitu bahasa Arab. Sistem bahasa Arab -di situ- dipinjam sebagai perantara untuk mengantarkan dan menjelaskan maksud dan keinginan Tuhan lewat diri Muhammad sebagai rasul-Nya.[8] Jika demikian, maka wajar jika al-Qur’an -pada satu sisi- bernuansa atau bercirikan sebagaimana apa yang dicirikan kultur peradaban Arab, seperti; adanya kultur patriarkhi atau male domination. Budaya patriarkhi dan male domination, terlihat kental di dalam al-Qur’an.[9]

Kondisi yang demikian, menjadi wajar pula jika hukum-hukum yang ada di masyarakat saat ini terlihat bias jender atau bernuansa patriarkhi (ada male domination di dalamnya). Kondisi demikian pada gilirannya mempengaruhi hukum Islam sebagai produk pemikiran ulama’ yang seakan juga terlihat bias jender. Terbukti dalam kutubul fiqh atau deretan tafsir al-Qur’an yang seakan juga bias jender atau bernuansa patriarkhi. Maka menjadi lumrah jika pada gilirannya banyak beberapa hukum Islam yang terasa menindas posisi perempuan. Kaum hawa (perempuan) menjadi termarginalkan, terpinggirkan dan selalu terlihat ketidakadilan terhadapnya.[10]

 Fenomena itu menjadi susah atu bahkan rumit untuk dicerna ketika melihat agama Islam satu sisi selain menghendaki kesamaan antara perempuan dan laki-laki (egaliter) dan kondisi masyarakat yang saling menghormati antara laki-laki dan perempuan (humanisme), namun di sisi lain, Islam dengan hukum fikihnya seakan mengenyampingkan perempuan sehingga telihat “nuansa” ketidakadilan. Realita itu terasa dalam isi hukum Islam seperti; persoalan warisan, kondisi sholat, eksistensi wanita ketika sedang haid (menstrual taboo), akad pernikahan, dan lain sebagainya yang terlihat wanita menjadi sosok yang kedua setelah laki-laki dan karena itu wanita seakan disubordinat atau termarginalkan.[11]

Melihat yang demikian, maka penting jika cara pandang melihat al-Qur’an –sebagai sumber hukum yang dijadikan acuan fiqih (produk pemikiran ulama’)- direnovasi, dibaca ulang, diinterpretasikan untuk menemukan hukum yang lebih mencerminkan keadilan, kesetaraan (egalitas), dan kemanusiaan (humanis). Islam hadir bukan untuk mensubordinat, memarginalkan, atau bahkan mengkebiri kaum wanita dengan beberapa hukum yang dipunyainya, akan tetapi untuk mengangkat derajat wanita dan menjadikannya setara dengan laki-laki. Hal itu dijelaskan dengan tegas dalam al-Qur’an bahwa antara kaum wanita dan laki-laki setara dihadapan Allah. Hanya moral (akhlak) yang membedakan di antara mereka.[12]

Pada satu sisi al-Qur’an seakan memalingkan kaum wanita, mengkebiri, bahkan memarginalkan sehingga akhirnya terbentuk fikih yang terlihat patriarkhi, namun di sisi lain al-Qur’an sangat berangan-angan akan adanya kesetaraan dan kemanusiaan. Tentu persoalan itu menjadi penting jika ayat-ayat hukum yang ada di kitab suci al-Qur’an dipahami ulang, ditafsirkan ulang (reinterpretasi), untuk menampilkan wajah hukum Islam yang lebih egalitas, egaliterian, dan bernuansa humanis.[13] Karena itu, tulisan ini hadir untuk menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur’an terkait dengan larangan kepada wanita yang sedang menstruasi (menstrual taboo). Dengan tulisan ini, diharapkan mampu memberikan tawaran kepada para ahli hukum khususnya untuk berupaya menggagas konsep fiqih egalitas-humanis.[14]

B. Menstrual Taboo dalam al-Quran; Teks, Konteks & Kontekstualisasi.

Untuk memahami makna dan artikulasi ayat al-Qur’an mengenai perintah larangan kepada wanita ketika sedang menstruasi (menstual taboo), maka perlu kiranya untuk melihat uraian-uraian al-Qur’an yang menerangkan hal itu. Dalam redaksi al-Qur’an, keterangan mengenai menstruasi dapat dibaca pada QS. Al-Baqarah; 222, yang artinya:

“mereka bertanya kepada kamu tentang haidl. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran. (Oleh sebab itu), hendaklah kamu menjauhkan (diri) dari wanita (di waktu) haidl, dan janganlah kamu menghendaki mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.

Ayat ini, banyak dijadikan landasan para ahli fiqih dalam menetapkan hukum dan fatwa larangannya kepada kaum wanita yang sedang menstruasi. Wanita menjadi terlarang untuk melakukan pekerjaans ini dan itu ketika dirinya sedang menstruasi. Berbagai larangan menimpa diri kaum wanita ketika mereka sedang menstruasi. Kondisi demikian disebabkan karena kaum wanita ketika haid (menstruasi) dianggap sebagai mahluk yang kotor. Ada darah kotor yang mengenainya (qul huwa adza). Haid adalah adza. Haid adalah kotoran (adza). Lafad adza di sini sering diterjemahkan sebagai kotoran.[15]

Karena itu, wanita seakan mahluk kotor ketika sedang haid. Menjadi seperti kotoran sehingga mereka harus dijauhi, harus dihindari, dan tidak boleh untuk dihinggapi (dihendaki untuk berhubungan). Wanita seakan kotor seketika. Wanita yang dalam kondisi demikian, seakan menjadi terhinakan. Mereka harus dijauhi sampai mereka kembali lagi menjadi tidak kotor. Kaum wanita harus dijauhkan dari tidur bersama sang suami ketika mereka sedang haid (menstruasi). Ada kotoran di dalam diri wanita ketika sedang haid (menstruasi). Asumsi inilah yang banyak mengkonstruk hukum Islam.
Darah haid (menstruasi) yang datang bulanan secara alami ini, seakan menjadi penghalang bagi wanita untuk melakukan berbagai kegiatan seperti; membaca al-Qur’an[16], melewati masjid, “bercanda” dengan suami, dan kerjaan-kerjaan lainnya menjadi terbatasi dengan hadirnya darah haid yang rutin datangnya pada setiap bulan (Ibnu Abi Syaibah: 118, al-Mahalli: 1/78, al-Majmu’; 1/17, 2/372). Menstruasi seakan menjadi “garis batas” kehidupan bagi kaum wanita di dunia Islam. Keyakinan masyarakat dunia terhadap sosok wanita dalam agama Islam menjadi lemah dan terlemahkan oleh hukum Islam berikutnya yang menguatkan posisi tersebut.[17]
Jika teks al-Qur’an berbunyi seperti itu, tentu konteks yang ada pada QS. Al-Baqarah; 222, sangat unik jika diuraikan. Dalam sebuah riwayat menerangkan bahwa ayat 222 dari QS al-Baqarah turun diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah disebabkan oleh perilaku umat Yahudi yang tidak bersedia makan dan bergaul (mencampuri) bersama istri-istrinya yang sedang haid (menstruasi). Kaum laki-laki sengaja mengasingkan istri-istrinya yang sedang haid dari rumah dan tidak menemani baik ketika minum atau makan.[18]

Fenomena yang ada waktu itu, selain al-Qur’an kemudian meresponnya dengan diturunkannya ayat al-Baqarah; 222, Nabi Muhammad juga kemudian bersabda ketika ada shahabatnya yang menyakan persoalan mengenai perlakuan seorang laki-laki (suami) kepada istrinya terkait dengan datangnya darah haid (menstruasi). Nabi kemudian bersabda sebagai berikut ;
“berbuatlah apa yang pantas dilakukan dalam pergaulan suami istri, kecuali jimak.”(Hadis diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, yang bersumberkan dari Anas). (Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Barudi yang bersumberkan dari Ibnu Ishak, dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari ‘Ikrimah atau Said, yang bersumber dari Ibnu Abbas, dikatakan bahwa yang bertanya itu ialah Tsabit bin ad-Dahdah. Dan Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis seperti itu, yang bersumber dari as-Suddi).[19]

Konteks yang demikian, tentunya bisa dipahami bahwa QS. Al-Baqarah; ayat 222 turun bukanlah untuk membuat kaum wanita menjadi lemah atau membuatnya menjadi terpinggirkan, termarginalkan dan disubordinatkan. Namun sebaliknya, QS al-Baqarah ayat 222 turun diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah untuk mengangkat derajat wanita dari asumsi-asumsi mensubordinat dan memarjinalkan wanita sebagaimana kaum Yahudi melakukan hal itu. Ayat tersebut turun adalah untuk mendobrak budaya patriarkhi kaum Yahudi yang hampir menyusup ke pikiran umat Islam.[20]
Tentu nuansa yang ada pada redaksi al-Qur’an, adalah terasa mensubordinat dan memarjinalkan kaum wanita. Akan tetapi jika ditelusuri dari semangat awal turunnya ayat 222 dari surat al-Baqoroh tersebut, (sejatinya) adalah untuk menghilangkan perilaku mengenyampingkan keberadaan kaum wanita dari kaum laki-laki. Ada budaya patriarkhi yang terjadi pada kaum Yahudi yang hampir masuk secara leluasa menghampiri masyarakat Arab. Karena itulah, Islam hadir untuk mendobrak perilaku tersebut. Tentu saja nuansa kental ke-patriarkhi-an terlihat pada redaksi ayat al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an sejatinya berupaya menghilangkan budaya yang merugikan itu.[21]

Nuansa analisa yang demikian, jarang atau bahkan sengaja tidak ditampilkan oleh beberapa ulama’ yang membuat fiqih. Maka wajar jika fikih terasa malah memperbesar usaha mensubordinat wanita. Fiqih malah seakan berakhir dengan memperluas karakter patriarkhis. Fiqih seakan lupa semangat Islam yang sejatinya berkeinginan mendobrak, menghilangkan, dan menghabisi budaya patriarkhi yang terjadi pada perilaku masyarakat saat itu. Islam yang dari semangat awalnya ingin menghilangkan budaya subordinat dan patriarkhi, menjadi seakan gagal dan tertutup dengan hadirnya fiqih yang seakan terlihat melangsungkan dan mengibarkan budaya patriarkhi sebagaimana yang terasa dalam hasil istinbat al-hukmi.[22]

Itulah konteks QS. Al-Baqarah ayat 222 yang berusaha merespon budaya patriarkhi yang terjadi pada kaum Yahudi. Islam hadir di muka bumi ini adalah untuk memberikan keadilan bagi seluruh umat manusia. Keadilan bagi seluruh umat Islam secara rata, diperjuangkan oleh Islam baik bagi perempuan maupun laki-laki. Semangat menciptakan kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan, menjadikan Islam hadir dan turut berbicara di muka bumi.[23] Keadilan yang diusung oleh al-Qur’an sangat universal. Termasuk juga persoalan kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan.
Teks yang tertulis dalam al-Qur’an kadang tidak dieksplorasi lebih jauh ketika berupaya memahaminya. Jarang yang mengeksplor relasi teks al-Qur’an yang sejatinya juga merupakan bentukan realitas yang ada pada budaya realita sekitar ketika al-Qur’an diturunkan. Tidak banyak para ulama’ yang mengkaji lebih jauh relasi teks al-Qur’an dengan konteks budaya, psikologi masyarakat, sistem sosial, dan berbagai hubungan sistem atau simbol masyarakat yang sifatnya tak terbaca.[24] Maka wajar jika produk penafsirannya tidak sedikit yang bersifat seakan tidak adil. Terasa ada yang diunggulkan dan ada yang tidak diunggulkan.
***
Adapun kontekstualisasi yang ada pada larangan QS. Al-Baqarah ayat 222 adalah bahwa ayat tersebut tidak harus dipahami sebagaimana apa yang diuraikan. Jika ayat tersebut menguraikan wanita harus diasingkan atau dijauhi (i’tazilu) ketika sedang haid, maka tidak seharusnya ayat tersebut diaplikasikan untuk mengasingkan wanita atau menjauhinya ketika mereka dalam kondisi haid (menstruasi). Konteks menjauhi (i’tazilu) tersebut –sebagaimana dalam ayat 222- sangat ditekankan pada (hanya) persoalan hubungan intim suami istri. Konteks menjauhi yang dimaksud adalah menjauh untuk tidak berhubungan intim (bersenggama), atau dengan bahasa Nabi adalah tetap berhubungan akan tetapi bukan untuk berjimak (ishna’u kulla syai’in illa al-nikaha, gaulilah istrimu sebagaimana mestinya kecuali bersenggama, illa al-nikaha).[25]

Konteks i’tazilu yang dimaksudkan adalah i’tazilu untuk tidak bersenggama. Konteks bersenggama dalam ayat ini didukung dengan makna yang dihubungkan (athaf) pada lafal fa’tuhunna ( maka datangilah, maksudnya maka senggamailah, atau maka campurilah atau dengan kata lain bercandalah sekalipun nantinya sampai melakukan hubungan intim). Makna fa’tuhunna itu akan menggugurkan makna fa’tazilu dengan syarat sang istri sudah menjadi bersih atau suci dari adza dengan redaksi al-Qur’an yang berbunyi faidza tathahharna (apa bila mereka telah suci). Menemukan relasi lafal yang satu dengan yang lain dalam satu ayat (internalitas ayat), akan menemukan makna yang utuh.[26]
Ada lafal fa’tazilu, tathahharna, dan ada fa’tuhunna, menjadikan maksud ayat ini bertambah jelas bahwa hukum universal yang ada padanya adalah untuk persoalan ranjang (hubungan antara suami istri / bersenggama, red) dan bukan untuk yang lain seperti sosial, politik, beragama, ataupun lainnya. Artinya adalah bahwa hukum ayat ini khusus untuk persoalan domestik murni (rumah tangga). Bukan untuk persoalan lainnya seperti; dilarangnya seorang wanita dari hanya sekedar berjalan di depan masjid, membaca al-Qur’an, beri’tikaf dan larangan lainnya[27] sebagaimana diuraikan oleh kitab fikih yang “patriarkhi”. Ada makna universal yang tidak tertangkap dalam persoalan ini oleh ahli fiqih.

Yang menjadi persoalan hukum Islam saat ini adalah kajian isi hukum fiqih yang seakan mengkebiri wanita, mensubordinat dan menciptakan ritual patriarkhi-patriarkhi baru untuk melembagakan hukum laki-laki. Ada cara pandang atau penafsiran yang tidak urut pada QS. Al-Baqoroh ayat 222. Hal itu terlihat adanya kesimpang siuran atau ketidak jelasan ketika mereka memahami faidza tathahharna. Banyak para ulama’ yang memahami faidza tathahharna diartikan dengan ketika mereka telah suci. Jelas arti itu menambah persoalan ketika harus dihubungkan dengan maksud hatta yathhurna.

Konsep suci dalam ayat tersebut tentu berbeda dengan konsep suci ketika seseorang akan melaksanakan sholat, membaca al-Qur’an, atau suci untuk diam diri (i’tikaf) di masjid. Tidak ada maksud sama ketika Tuhan membisikan maksud “suci” dari ayat yang satu dengan ayat yang lain. Makna suci yang ada di ayat A belum tentu sama dengan makna suci yang ada di ayat B. Ketidak samaan maksud dan tujuan yang satu dengan lainnya merupakan wujud internalitas teks yang dipengaruhi oleh masing-masing sistem di sekitarnya. Hal itu disebabkan berbedanya sistem bahasa yang ada dan saling mempengaruhi antara relasi internal ayat satu dengan internal ayat lainnya sebagai wujud respon atas persoalan tertentu di masayarakat Islam awal.

Tentu kontekstualisasi dari ayat ini bukannya membuang atau menjauhkan kaum wanita dari pandangan suami atau meninggalkan wanita begitu saja ketika mereka sedang menstruasi.[28] Bukan pula kontekstualisasi dari ayat tersebut adalah melarang kaum wanita untuk mengerjakan ini dan itu seperti melarang membaca al-Qur’an, melarang melewati masjid sebagaimana kutubul fiqh menuliskannya, dan atau melarangnya berdzikir, bertahlil atau bertasbih. Simbol larangan yang ada pada ayat tersebut hanya cukup untuk persoalan hubungan keluarga (bersenggama). Yaitu larangan untuk berhubungan intim bersama istri yang sedang menstruasi. Larangan berhubungan pun tidak bermaksud melarang suami untuk tidak boleh mencium atau bersenang-senang (istimta’).
Suami tetap boleh berhubungan seperti mencium sang istri, dan bersenang –senang (istimta’) dengan istri yang menstruasi seperti biasa sebagaimana ketika tidak menstruasi. Namun, bolehnya itu adalah hanya di wilayah pusar ke atas dan lutut ke bawah. Nabi Muhammad dalam hal ini[29] memberikan kejelasan bersenggama (jima’) sebagai batas menggauli sang istri meskipun dalam kondisi menstruasi (ishna’u kulla syai’in illa al-nikaha, gaulilah istrimu sebagaimana mestinya (meskipun menstruasi) kecuali bersenggama).

Akan tetapi kontekstualisasi menjadi terhalang ketika hukum-hukum yang ada sudah mengkarat menempatkan fenomena posisi perempuan yang disubordinatkan atau dimarginalkan. Hal itu terlihat di beberapa hukum fiqih dan tafsiran-tafsiran ulama’ fiqih yang seakan masih saja kental budaya patriarkhi. Wanita menjadi dilarang untuk melakukan kerjaan ini dan itu hanya gara-gara fithrah alamiah yang dimiliki kaum wanita berbeda dengan laki-laki. Wanita pada akhirnya bukanlah tambah merdeka sebagaimana cita-cita semangat Islam, akan tetapi dengan model penafsiran yang tidak urut, tidak memperhatikan sejarah, kondisi atau konteks dan tidak memperlihatkan relasi sistem yang terbangun pada teks al-Qur’an, wanita malah menjadi terpenjarakan oleh redaksi atau teks hukum yang seakan mengekang dan merantainya.[30]

Hukum Islam menjadi terasa mensubordinat, melangsungkan budaya patriarkhi dan melakukan penindasan kepada kaum wanita. Islam terasa hilang semangatnya ketika hukum Islam masih saja terasa mensubordinat atau ada nuansa-nuansa memperkecil gerak kaum wanita. Karena itu, memahami kembali redaksi al-Qur’an dan menghubungkan uraian redaksi fiqih ke pusat sumbernya, menjadi hal penting untuk menemukan titik persoalan. Karena itu, selain memahami konteks dari redaksi al-Qur’an, menggali simbolitas yang ada pada lafal-lafal al-Qur’an juga merupakan hal yang sama pentingnya untuk menemukan berbagai makna guna menjadikan hukum lebih humanis.[31]

C. Mencari Makna Adza ; Membaca Simbol Eksplorasi Tuhan.
Hukum apa pun di dunia ini, sesungguhnya merupakan bentuk respon atas persoalan zamannya yang sedang dihadapi. Ia adalah hasil renungan panjang dari seorang pakar-pakar pemberi solusi. Apa pun persoalan yang ada, direnungkan, diracik dan dicari solusinya untuk memberikan kemashlahatan bagi persoalan zamannya. Karena itu, hukum yang ada baik di al-Qur’an, fiqih, fatwa-fatwa MUI, atau yang ada di UU hukum khususnya di Indonesia, sesungguhnya merupakan sebuah respon yang berbentuk solusi untuk kemashlahatan bersama.

Akan tetapi menjadi persoalan bersama ketika hukum yang tertulis baik yang ada di fiqih, fatwa MUI atau di UU hukum yang lain tidak lagi memberikan kemashlahatan bagi kemanusiaan. Persoalan kemashlahatan yang menjadi tujuan utama dibuatnya fiqih atau UU lainnya merupakan hal penting. Karena demi kemashlahatan inilah, hukum baik berupa fikih, fatwa, atau yang lainnya menjadi ada dan diadakan. Jika demikian, ketika hukum yang ada sudah tidak lagi mencerminkan kemashlahatan bersama bahkan menumbuhkan permasalahan, maka perlu kiranya untuk menata ulang atas hukum yang ada.

Begitu juga Islam hadir dengan seperangkat hukumnya adalah untuk kemashlahatan bukan untuk menumbuhkan persoalan. Agama Islam datang di muka bumi adalah untuk memberikan solusi atas berbagai permasalahan yang ada termasuk permasalahan ke tidak adilan yang menimpa kaum wanita.[32] Tuhan menciptkan menstruasi pun kepada wanita (bukan laki-laki) tidaklah untuk dijadikannya sebagai justifikasi kelemahan bagi kaum wanita. Menstruasi adalah sebuah keadaan alamiyah yang diberikan Tuhan kepada seluruh kaum wanita. Bukan karena menstruasi lantas membuat wanita menjadi tidak setara. Menstruasi ada karena struktur biologis kewanitaan secara alamiyah mengharuskan hal itu.

Kaum wanita tetap setara dengan laki-laki. Persoalan menstruasi yang menimpa kaum wanita yang kemudian mengakibatkan beberapa hukum menjadi seakan tidak menyetarakan kaum wanita dengan laki-laki, perlu dicari titik temu permasalahannya. Cara pandang yang salah atau model penafsiran atas teks al-Qur’an yang berbeda, dapat mengakibatkan semangat Islam menjadi hilang. Gara-gara persoalan penafsiran yang berbeda itulah, Islam menjadi seakan tidak adil, seakan mensubordinat wanita, mengkebiri wanita, dan tentu saja Islam seakan mencerminkan ketidak adilan bagi keseluruhan kaum wanita.

Jika dilihat dari asal muasal mengapa wanita menjadi seakan disubordinatkan atau dibuat tidak adil sebagaimana terlihat di beberapa hukum fiqih terkait menstruasi yang mengenainya adalah karena bacaan atas redaksi teks yang bersangkutan dengan persoalan menstruasi tidak mengalami kejelasan. Banyak para fuqoha’ yang mengartikan darah haid sebagai darah kotor yang pada akhirnya menjadikan eksistensi kaum wanita terpinggirkan karena darah kotornya. Wanita menjadi terlihat hina ketika dalam keadaan kotor

Mayoritas para fuqoha’ mengartikan term adza sebagai kotoran. Definisi kotoran yang diberikan kepada lafal adza tersebut pada gilirannya mengartikan wanita sebagai mahluk kotor ketika mereka sedang haid.[33] Definisi itulah yang menjadikan pantas dan wajar jika pada gilirannya wanita dilarang membaca al-Qur’an, di larang melewati masjid, di larang makan bersama dan dilarang untuk diajak bercanda oleh suami ketika mereka (kaum wanita) mengalami menstruasi (mendapatkan darah kotor). Karena kotor, kaum wanita pada setiap bulannya harus merasa terasingkan, terpinggirkan, merasa tersubordinatkan.

Kondisi demikian menjadi bertambah rumit jika terlihat kutubul fiqh bahkan kutubut tafsir dari yang klasik sampai kontemporer mengartikan adza sebagai kotoran. Praktis sudah bahwa wanita menjadi kotor (terhinakan, red) ketika mereka mengalami menstruasi baik di hadapan suami maupun di hadapan tempat-tempat yang di sucikan seperti masjid dan lainnya. Semua redaksi hukum secara serentak mengatakan kotor ketika kaum wanita mengalami menstruasi. Ada adza, ada kotoran, yang menempel pada diri wanita. Kondisi demikianlah yang pada dasarnya membuat wanita disepelekan, dikebiri, dan disubordinatkan karena kehidupannya dianggap kotor.

Banyak para fuqoha’ tidak menyadari bahwa diberikannya definisi adza kepada lafal haidl yang ada dalam al-Qur’an adalah simbol. Simbol pertama, bahwa redaksi “qul huwa adza” yang ada pada ayat al-Qur’an adalah mempunyai kemiripan dengan maksud bahwa haidl tidaklah bersih. Karena tidak bersih inilah, kaum wanita diberhentikan dari tugas atau kewajiban sebagai hamba Tuhan. Ada makna yang “agung” di dalam kata adza. Makna tersebut adalah kebersihan. Maksud kebersihan ini, yang jarang ditangkap para fuqoha’. Kebersihan menjadi penting bagi siapapun tak hanya bagi wanita namun juga laki-laki. Akan tetapi, makna “agung” yang ada dalam lafal adza tersebut, jarang dicermati secara detail. Padahal dari lafal adza itu, kemungkinan besar mampu memunculkan teori-teori kesehatan dan teori aura kecantikan yang sangat berguna.

Berbeda dengan lafal adza lainnya yang disebutkan 8 kali dalam al-Qur’an selain yang ada pada QS al-Baqarah ayat 222.[34] Mereka (lafal adza) mempunyai makna yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Berbedanya makna adza yang ada dalam al-Qur’an kemungkinan besar karena relasi makna yang mengitarinya sangat berbeda dengan QS al-Baqarah ayat 222. Karena relasi makna yang berbeda inilah, Tuhan menempatkan lafal adza pula untuk menerangkan kondisi konteks yang berbeda. Karena itu, makna adza yang ada pada QS al-Baqarah ayat 222, mempunyai perberbedaan dengan yang ada di 8 ayat yang lain.[35]

Dari 9 kali lafal adza yang ada di redaksi ayat al-Qur’an, hanya sekali yang mempunyai makna kotoran sebagaimana yang diinginkan para mufassir dan diamini oleh fuqoha’. Selebihnya, yaitu 8 ayat yang lain, lebih bermakna tidak kotoran, akan tetapi lebih cenderung ke arah gangguan perasaan. Hanya satu ayat yang menerangkan bahwa adza cenderung bermakna kotoran, yaitu yang terdapat pada QS. al-Baqarah ayat 222. Selebihnya bermakna tidak kotoran, namun makna lain yang tidak berhubungan dengan kotoran. Satu banding delapan (1:8) dari lafal adza yang menerangkan kecenderungan makna kotoran.

Jadi jelas bahwa lafal adza mempunyai maksud yang agung di balik kecenderungan makna kotoran yang mengenai lafal adza khususnya pada QS al-Baqoroh ayat 222. Ada makna universal yang ingin dibisikkan Tuhan kepada umat manusia, yaitu mengenai pentingnya kebersihan. Dengan menggunakan maksud simbol adza yang ada pada QS. al-Baqarah ayat 222, Tuhan berkeinginan kepada mahluknya untuk senantiasa memperhatikan kebersihan. Lafal adza jika demikian mempunyai makna –meminjam Fazlurrahman-[36] ideal moral yang lebih penting (yaitu pentingnya kebersihan, red) ketimbang bermakna kotor yang pada gilirannya malah diasumsikan sebagai bentuk mensubordinat kaum wanita sebagaimana eksplorasi fuqoha’ ketika melakukan istinbat al-hukmi.
Kalaulah persoalan dilarangnya kaum wanita untuk lewat atau masuk ke masjid adalah ditakutkannya darah menstruasi menjadi tercecer di lantai masjid, sebagaimana yang pernah dianggap kalangan fuqoha’, maka anggapan itu sangatlah tidak tepat. Saat ini sudah banyak kaum perempuan yang memanfaatkan beberapa pembalut wanita untuk mengatasi tercecernya darah menstruasi. Banyak bermacam label (mark) pembalut yang sangat mudah untuk bisa diperoleh para kaum wanita, misalkan; kotex, laurier, nina, charm, softex, honey soft, dll. Beberapa mark pembalut tersebut, zaman sekarang tentu sudah sangat mudah diperoleh di beberapa toko terdekat.

Tentu jika demikian, konteks historis ayat QS. al-Baqarah ayat 222 yang lebih mengarah pada pengangkatan status wanita ke arah yang lebih tepat, yaitu setara dengan laki-laki, menjadi jarang diperhatikan oleh para fuqoha’ apalagi dengan melihat makna-makna alternatif yang lebih universal (yaitu pentingnya kebersihan) terkait dengan lafal adza dengan membandingkannya pada redaksi ayat yang lain sebagaimana yang ada pada QS. An-Nisa’; 101, QS. Al-Ahzab; 48, QS. Ali Imron; 111, 186, dan QS. Al-Baqarah; 196, 262, 263, 264.

D. Dari Fiqih Patriarkhi Ke Fiqih Egalitas-Humanis

Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa larangan yang dikenakan (ditujukan) kepada wanita ketika sedang haid seperti; tidak boleh lewat di depan masjid, tidak boleh membaca al-Qur’an, tidak boleh bercanda dengan suami, terlihat sangat mengekang dan membatasi gerak kaum wanita. Larangan itupun tidak berdasar dan tidak mempunyai alasan yang kuat.[37] Persoalan “suci” untuk sholat, membaca al-Qur’an ataupun yang lain, sesungguhnya berbeda dengan “suci” dari menstruasi. Dengan dalih haid, kaum wanita dilarang untuk melakukan sesuatu. Hal itu merupakan argumen yang tidak berdasar dan jelas melawan hukum Tuhan. Haid atau menstruasi bila dipikir secara logik sejatinya merupakan hukum Tuhan yang diberikan kepada kaum wanita setiap bulannya.
Hal itu karena fithrah seorang wanita yang jika dilihat secara biologis atau medis, memang akan mengalami menstruasi.[38] Menstruasi adalah hukum Tuhan sebagaimana turunnya air dari atas ke bawah. Karena adanya grafitasi bumi, maka sesuatu yang akan dilemparkan ke atas, dipastikan akan kembali ke bawah sebagai hukum Tuhan atas adanya grafitasi bumi. Begitu juga kondisi menstruasi yang terjadi pada setiap kaum wanita dari masa Adam sampai masa sekarang. Kondisi menstruasi akan selalu dialami oleh setiap kaum wanita di dunia. Namun karena fithrah alam inilah, wanita seakan dipenjara oleh fatwa-fatwa hukum Islam.

Dengan demikian, argumentasi fiqih ‘patriarkhi’ yang tidak lagi berdasar -saat ini- perlu dirubah bahkan perlu juga untuk ditinggalkan demi menciptakan fiqih egalitas-humanis. Fiqih sebagai hukum yang sering dijadikan masyarakat untuk mengatasi persoalan agama dan lainnya, penting untuk diinterpretasi ketika sudah terasa tidak layak untuk dipakai.[39] Fikih yang seakan mensubordinat bahkan mengebiri peran wanita atau menutup-nutupi kesetaraan yang ada di antara mereka dengan dalih konsep agama, sudah saatnya untuk dibuang. Fiqih yang demikian, perlu untuk dirubah dan diganti dengan fiqih egalitas humanis.

Fiqih egalitas-humanis menjadi penting saat ini ketika keberadaan hukum yang terlihat sudah terjadi ketimpangan. Kondisi ketimpangan sosial yang terjadi pada gilirannya mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum wanita dan hal itu sangat perlu untuk dirombak dan direnofasi untuk menampilkan fiqih yang memberikan porsi sama antara kaum wanita dan laki-laki. Apa lagi ketimpangan yang ada tanpa ada alasan yang kuat. Dengan demikian, perlu sekali saat ini hukum fiqih bersedia mensejajarkan sama antara wanita dengan laki-laki. Mayoritas yang ada, fiqih selalu mensubordinat dan melangsungkan budaya patriarkhi.[40]

Fiqih harus dipahami bukan berawal dari dogma-dogma yang kering dari realitas dan kemudian dipakai untuk menjustifikasi realitas itu sendiri. Akan tetapi fikih harus dipahami berawal dari sebuah realitas kemudian didialogkan dengan pemahaman yang ada. Karena itu, dengan berkaca pada realitas dan mendialogkannya kepada pemahaman agama yang ada, maka siapapun berhak menentukan norma-norma fikih dengan mendasarkan pada realitasnya sendiri. Sehingga dengan adagium shalih likulli zamanin wa makanin, fikih (syariat Islam) menjadi benar baik secara konseptual ataupun praktikal.

Tentu jika demikian, realitas menstrual taboo yang ada pada buku-buku fiqih (kutubul fiqh) dengan realitas yang seharusnya, tidak lagi tersambung. Atau bahkan mengingkari realita yang ada. Wanita yang seharusnya mempunyai kesamaan atau setara dengan laki-laki sebagaimana cita-cita Islam, menjadi kabur ketika fatwa hukum fiqih menjadikan wanita seakan tidak setara (subordinate). Terbukti dengan beberapa hukum fiqih yang seakan menafikan kesetaraan kaum wanita dengan kaum laki-laki. Pada hal Islam hadir pada mulanya adalah untuk membuang sikap patriarkhi yang terjadi pada masyarakat Arab.

Melihat hal itu, maka larangan yang ada pada kaum wanita ketika sedang menstruasi menjadi gejala awal akan dibuatkannya fikih-fikih yang patriarkhi subordinat. Tentu jika demikian, kondisi itu melawan cita-cita Islam yang berupaya membuang sikap patriarkhi-subordinat sebagaimana contoh di atas.[41] Karena itu, fikih yang lebih memanusiakan manusia dan menyetarakan sesama serta menjadikan kaum wanita dan laki-laki setara, mempunyai poin lebih besar untuk diaplikasikan saat ini. Dengan demikian, meninggalkan fikih patriarkhi yang penuh ketidak adilan dan sangat bias jender menuju fikih egalitas-humanis yang mampu memberikan kesetaraan dan mengemban misi kemanusiaan bagi laki dan perempuan, merupakan langkah tepat dan perlu untuk segera diterapkan.

E. Kesimpulan.

Setelah melihat realita empirik-historis, maka ayat al-Qur’an terkait larangan yang ditujukan kepada kaum wanita yang sedang menstruasi (menstrual taboo), sangat perlu untuk diinterpretasi ulang. Kesimpulan pertama dari interpretasi tersebut adalah, lafal adza yang kebanyakan kecenderungannya dimaknai sebagai “kotoran” (adza), sejatinya merupakan lafal yang maknanya bersifat tunggal. Berbeda dengan lafal adza ke-8 lainnya yang sama sekali tidak bermaksud atau tidak berkecenderungan ke arah makna kotoran. Artinya, Tuhan mensimbolkan lafal haid dengan adza adalah bukan semata-mata bermakna kotoran, melainkan secara ideal moralnya adalah (bermakna) pentingnya sebuah kebersihan.
Kedua, lafal fa’tazilu (QS. Al-Baqarah;222) yang pada akhirnya diterjemahkan dengan makna maka jauhilah, bukan bermaksud untuk menjauhi, mengasingkan, atau mengkebiri wanita yang sedang menstruasi dalam segala bidang kegiatan. Namun, maknanya hanya dikhususkan pada wilayah domistik semata. Yaitu menjauhi untuk tidak disenggamai atau untuk tidak diajak berhubungan badan (jimak, red). Sekalipun demikian (menstruasi), mereka masih bisa diajak (diperbolehkan untuk) berhubungan seperti; makan dan minum bersama, bercanda dengan suami, tidur bersama dan sangat boleh untuk masuk maupun lewat di masjid. Hanya hubungan intim (senggama) yang tidak boleh dilakukan (kata Rasulullah; “Silahkan berhubungan (bergaul) dengan wanita menstruasi, kecuali bersenggama”, illa al-nikaha).

Ketiga, dengan adanya larangan-larangan yang ada pada kutubul fiqhi atas wanita yang sedang haid (menstruasi), terlihat peran perempuan seakan disubordinat oleh Islam dengan perangkat hukumnya yang seakan melestariakan budaya patriarkhi-patriarkhi baru. Kondisi demikian, pada gilirannya akan membuat wanita menjadi tidak setara dan tidak dianggap sama atau tidak dimanusiakan karena penuh larangan-larangan yang tidak berdasar. Karenanya, fikih yang masih bernuansa seperti itu, harus dibuang dan diganti dengan fikih egalitas-humanis. Yaitu fikih yang mengedepankan sikap kesetaraan (egalitas) antara perempuan dan laki-laki serta mampu menjadikan manusia satu dengan lainnya bisa saling menghormati dan menciptakan keadilan bersama (humanistik), sebagaimana khittah cita-cita dan ajaran inti agama Islam.
***
Daftar Pustaka
‘Abdul Baqi, Fuad., Al-Mu’jam al-Mufahrah li al-fazil Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr ; Beirut, 1991.
Abu Zaid, Nasr Hamid, “Musykilat al-Bahts fi al-Turast: al-Imam al-Syafi’i baina al-Qadlasat wa al-Basyariyat”, dalam al-Takfir fi Zamani: Dhid al-Jahl wa al-Jaif wa al-Khurafat, Kairo: Sina li al-Nasyr, 1995.
---------------------------, Mafhum al-Nash: Dirasat Fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut; Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1994.
Ahmad, Attabik Ali., dan Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1999.
Al-Asfihan, Al-Raghib., Mu’jam Mufrodat al-Fazil Qur’an, Beirut; Libanon, tth.
Al-Asqalani, Hajar., Mishbah al-Anam fi Tarjamah Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, terj Ahmad Syubki Masyhadi, bab haid, hadis ke VI, tth.
Ali Engineer, Asghar., Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid wajdi & Farcha Assegaf, Yogyakarta; Bentang Budaya, 1994.
Ali, Amer., Api Islam: Sejarah Evolusi dan Cita-Cita Islam dengan Riwayat Hidup Muhammad, Jakarta; Bulan Bintang, 1978.
Anwar, Ghazala, “Wacana Teologis Feminis Muslim”, dalam Wacana Teologi Feminis, Zakiyuddin Baidhawy, (ed), Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 1996.
As-Sya’rawi, Syaikh Mutawalli., Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, terj. Yessi H. M. Basyaruddin. LC., Penerbit Amzah, 2003.
Burhanuddin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Syahrur dalam Pengembangan Epistemologi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Sahiron Syamsuddin dkk., Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta; Islamika, 2003.
Eliade, Mircea (ed), The Encyplopaedia of Religion, artikel Van A. Harvey, “Hermeneutics”, New York; Macmillan Publishing Company, 1987, vol. VI.
Fathurrahman Lithalibi Ayat al-Qur’an, Maktabah Dahlan Indonesia, tth.
Fazlurrahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, Bandung; Pustaka, 1987.
----------------, Metode Alternatif Neomodernisme Islam, Bandung; Mizan, 1987.
Gatze, Helmut., The Qur’an and Its Exegesis: Selected Text With Classical and Modern Interpretation, terj. Alford T. Welch, California; California University Press, 1976.
Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam; Pengantar Untuk Ushul Fiqih Madzhab Sunni, Kusnadiningrat (terj), E. dan Abdul Haris bin Wahid, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2000.
Hanafi, Hasan, Dirasah Islamiyah, Kairo: Maktab al-Anglo Misriyah, tth.
Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricour; Transparasi sebagai Proses”, Majalah Basis, No. 05 – 06, Tahun ke–49, Mei – Juni 2000.
Hesselgrave., David J., & Edward Rommen, Kontekstualisasi; Makna, Metode dan Model, terj. Stephen Suleeman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, tth.
Izutsu, Toshiko., God and Man in The Koran: a Semantical Analysis of The Koranic Weltanschaung, Tokyo: Keio University, 1964.
Lammadhah, Athif., Menstruasi Tanpa Rasa Sakit, Ahmad Rivai Usman (terj), Jakarta; Pusataka al-Kautsar, 2006.
Mahfudz, A. Sahal dan HA. Mustofa Bisri (terj), Ensiklopedi Ijma’; Persepakatan Ulama’ dalam Hukum Islam, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987.
Mas’ud, Masdar., Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Bandung; Mizan, 1997.
Mernisi, Fatima. dan Riffat Hassan, Setara di hadapan Allah; Relasi laki-laki dan Perempuan dalam tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Yogyakarta, Yayasan Prakarsa, 1995.
Mernisi, Fatima., dan Riffat Hassan, Setara di hadapan Allah; Relasi laki-laki dan Perempuan dalam tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Yogyakarta, Yayasan Prakarsa, 1995.
Nur Kholis Setiawan, Mohammad., “Pesan Tuhan Yang Tertulis: Wahyu dalam Bingkai Teori Komunikasi”, Pangantar I dalam buku, Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, Yogyakarta; Safiria Insania Press, 2004.
-------------------------------------------., Amin al-Khuli and Qur’anic Studies; An Analysis of Literature Exegesis in Modern Egypt, (Thesis), Netherlands; Leiden University, 1996.
Palmer, Richard E., Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2003.
Rawwas Qalahji’, Muhammad., Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab RA, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Salim, Peter., The Contemporary English Indonesian Dictionary, Jakarta; Modern English Press, 1997.
Sanjaya, V. Indra., “Hermeneutik”, Makalah, Rabu, 22 Mei, 2002. (tidak diterbitkan).
Shaleh, KH. Q., & H.A.A. Dahlan, dkk., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, Bandung; CV Diponegoro, tth.,
Siradj, Said Aqiel., Islam Kebangsaan; Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta; Pustaka Ciganjur, 1999.
Sumaryono, E., Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta; Kanisius, 1999.
Syahrur, Muhammad., Al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashirah, al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, Damaskus 1990.
Umar, Nasaruddin., “Metode Penelitian Berperspektif Jender Tentang Literatur Islam”, dalam Al-Jami’ah; Journal of Islamic Studies, No. 64 / xii / 1999.
Wadud Muhsin, Amina., Wanita di dalam al-Qur’an, Yaziar Radianti (terj), Bandung; Pustaka, 1994.
Zaki Mubarok, Ahmad., Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur, Editor; M.Yusuf & M. Alfatih Suryadilaga,Yogyakarta; El-Saq Press, 2007.
***
________________________________________
* Penulis adalah alumni Fak. Ushuluddin Jurusan TH Tahun 2005, tinggal di lereng Gunung Merapi, Kaliurang. Selain pernah menjadi sekretaris FKMTHI (forum komunikasi mahasiswa tafsir-hadis se-Indonesia) kepengurusan tahun 2003-2004 wilayah Jawa Bali Madura, ia merupakan salah satu pendiri LPM Humaniush dan sekaligus mantan pimpinan umum LPM Humaniush, BOM-F Fakultas Ushuluddin pada tahun & edisi pertama 2003. Lihat lebih lanjut di Website; http://masmusindonesia.tripod.com. Email: kangmus@yahoo.com.
[1] V. Indra Sanjaya, pr., SSL., “Hermeneutik”, Makalah, disampaikan pada kuliah alternatif di Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu, 22 Mei, 2002. (tidak diterbitkan), hlm. 4-6. Lihat juga, E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta; Kanisius, 1999., Bandingkan dengan Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2003. Nasr Hamid Abu Zaid, “Musykilat al-Bahts fi al-Turast: al-Imam al-Syafi’I baina al-Qadlasat wa al-Basyariyat”, dalam al-Takfir fi Zamani: Dhlid al-Jahl wa al-Jaif wa al-Khurafat, Kairo: Sina li al-Nasyr, 1995.
[2] Mircea Eliade (ed), The Encyplopaedia of Religion, artikel Van A. Harvey, “Hermeneutics”, New York; Macmillan Publishing Company, 1987, vol. VI, hlm. 281.
[3] Peristiwa pewahyuan sebagai titik awal lahirnya al-Qur’an, merupakan kata kunci untuk menyatakan bahwa ketika inspirasi Ilahi disampaikan kepada manusia dengan bahasa kaum tertentu, bahasa Arab, maka hal itu menandakan bahwa al-Qur’an sudah termanusiakan (ta’ansanat). Hasan Hanafi, Dirasah Islamiyah, Kairo: Maktab al-Anglo Mishriyah, tth, hlm. 401
[4] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasat Fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut; Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1994, hlm. 28. Bandingkan dengan Mohammad Nur Kholis Setiawan, Amin al-Khuli and Qur’anic Studies; An Analysis of Literature Exegesis in Modern Egypt, (Thesis), Netherlands; Leiden University, 1996.
[5] Peter Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Jakarta; Modern English Press, 1997. hlm. 1366.
[6] Di sepanjang sejarah peradaban manusia, perempuan terlihat hanya memainkan peran sosial ekonomi yang kecil jika dibandingkan dengan peran laki-laki. Dalam kasus-kasus individual tertentu, tetap ada pengecualian, seperti; Corry Aquino yang pernah menjadi presiden Filipina, Margaret Thatcher merupakan mantan perdana menteri Inggris. Dalam dunia Islam, ada Benazhir Butho dari Pakistan, Beghum Khalida Zia dari Bangladesh dan Tensu Ciller dari Turki yang kesemuanya pernah menjadi perdana menteri di masing-masing negaranya. Begitu juga di Indonesia, presiden ke-V dan menteri ekonomi kabinet SBY, keduanya adalah perempuan.
[7] Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Setara di hadapan Allah; Relasi laki-laki dan Perempuan dalam tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Yogyakarta, Yayasan Prakarsa, 1995, hlm. 4-5.
[8] Nur Kholis Setiawan, “Pesan Tuhan Yang Tertulis: Wahyu dalam Bingkai Teori Komunikasi”, Pangantar I dalam buku, Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, Yogyakarta; Safiria Insania Press, 2004. hlm. x-xi.
[9] Superioritas dan dominasi laki-laki dicontohkan dalam sejarah, misalnya terjadinya poligami yang melibatkan penguasaan di berbagai negara, seperti; Parsi, Eropa, Asia Barat, Athena, Yunani, Romawi, bahkan juga di negara Islam seperti Madinah dan masa kerajaan Islam di Indonesia. Amer Ali, Api Islam: Sejarah Evolusi dan Cita-Cita Islam dengan Riwayat Hidup Muhammad, Jakarta; Bulan Bintang, 1978, hlm. 375.
[10] Itulah mengapa, keberagamaan dalam situasi yang demikian, tentu akan memiliki makna yang positif jika khazanah fiqih dikembangkan dalam wacana yang lebih kritis, humanis, terbuka serta bisa bersifat dialogis sebagai bentuk konstruksi keislaman untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Artinya, usaha untuk memformulasikan kembali suatu model penafsiran al-Qur’an sangat perlu diperdalam dan ditingkatkan sebagai bentuk tindakan praksis dalam menawarkan solusi atas problematika umat dewasa ini.
[11] Dalam al-Qur’an memang terdapat ayat-ayat yang secara qath’iy menempatkan laki-laki di atas wanita, misalnya ayat-ayat mawaris. Akan tetapi jumlah yang menempatkan laki-laki di atas wanita sangatlah minim, sekitar 5%. Perbedaan ini lebih disebabkan karena faktor kodrati. Yaitu bahwa faktor kodrati seperti; melahirkan, menyusui, kondisi menstruasi dan sebagainya, sangat tidak mungkin disejajarkan dengan laki-laki. Wanita dan laki-laki dalam Islam didudukkan setara. QS. Al-Baqarah; 228, al-Nisa’; 1, al-Dzariyat; 56, al-Baqarah; 30, al-Isra’; 70, al-Nisa’; 34.
[12] Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dihadapan Allah adalah masalah kualitas kerja, amal, iman, dan ketaqwaan, bukan karena faktor jenis kelamin. Lihat. QS. Al-Hujurat: 13.
[13] Dalam masyarakat damai, format hukum –termasuk fikih- tidak lagi harus didasarkan pada kecurigaan atau ketakutan satu dari yang lain akan tetapi pada moralitas tanggung jawab. Dengan demikian, fikih yang layak untuk diterapkan adalah fikih yang dibangun atas dasar prinsip-prinsip kemashlahatan bersama, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan untuk semua sebagaimana yang dinyatakan Ibnu al-Qayyim al-Jawzi (w. 751 H). Dalam Islam, semua keburukan dan kerusakan harus disingkirkan dan dilenyapkan (la dharara wa la dhirar).
[14] Yaitu fiqih yang lebih mencerminkan karakter kesetaraan dan menampilkan sisi-sisi kemanusiaan. Tidak seperti fikih-fikih lain yang masih mengekor atau berinduk pada fikih klasik yang sarat akan bias jender dan patriarkhi. Membuang pemahaman mensubordinat kaum wanita atau memarginalkannya, merupakan inti dari hadirnya fiqih egalitas-humanis. Eksistensi fiqih egalitas-humanis ini penting untuk disadari karena semangat awal Islam hadir di muka bumi ini adalah untuk menampillkan kesetaraan di antara kaum wanita dan laki-laki. Karena itu, gagasan fiqih egalitas-humanis, sebagaimana dijelaskan, menjadi penting bahkan perlu untuk disadari melihat kondisi perilaku keberagamaan di Islam masih terlihat kental akan budaya patriarkhi.
[15] Attabik Ali Ahmad dan Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1999, hlm. 69, mengartikannya lebih kearah definisi “sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang merugikan atau bisa juga yang lain, sesuatu yang menyusahkan”. Adapun Mu’jam Mufrodat al-Fadzil Qur’an, lebih melonggarkan maknanya dengan menyerahkan hal itu kepada ahlinya baik mereka yang berkompeten di kesehatan atau syari’ah. Al-Raghib al-Asfihan, Mu’jam Mufrodat al-Fazil Qur’an, Beirut; Libanon, tth. Hlm. 11-12.
[16] Syaikh Mutawalli as-Sya’rawi, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, terj. Yessi H. M. Basyaruddin. LC., Penerbit Amzah, 2003.
[17] Keyakinan sangat berbeda dengan apa yang diuraikan dalam, KH. A. Sahal Mahfudz dan HA. Mustofa Bisri (terj), Ensiklopedi Ijma’; Persepakatan Ulama’ dalam Hukum Islam, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987. Dalam ensiklopedi ini, ada pembacaan lain yang lebih ke arah melonggarkan gerak wanita untuk melakukan kegiatan apapun meskipun sedang menstruasi. Membaca tasbih dan dzikir-dzikiran diperbolehkan. Pendapat tersebut bersumberkan al-Majmu’, Jilid II, hlm. 372, Jilid IV hlm. 430. dan juga bersumberkan dari al-Mughny, jilid I, hlm. 141.
[18] KH. Q. Shaleh, & H.A.A. Dahlan, dkk., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, Bandung; CV Diponegoro, Hlm. 74. Kondisi itu berbeda dengan KH. A. Sahal Mahfudz dan H.A. Mustofa Bisri (terj), Ensiklopedi Ijma’; yang agak melonggarkan berbagai kegiatan asalkan tidak melanggar ketentuan yang dijelaskan al-Qur’an. Ibid.,
[19] Bandingkan dengan Hajar al-Asqalani, Misbah al-Anam fi Tarjamah Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, terj Ahmad Syubki Masyhadi, bab haid, hadis ke VI, tth, hlm. 119-120.
[20] Hal itu sebagaimana cita-cita dasar Islam adalah untuk memberikan kemashlahat bersama termasuk mensetarakan gerak dan peran wanita dengan laki-laki. Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid wajdi & Farcha Assegaf, Yogyakarta; Bentang Budaya, 1994. hlm. 1-2.
[21] Lihat prinsip-prinsip kesetaraan yang diperjuangkan al-Qur’an ketika awal –awalnya Islam diturunkan di muka bumi. QS. Al-Baqarah; 228, al-Nisa’; 1, al-Dzariyat; 56, al-Baqarah; 30, al-Isra’; 70, al-Nisa’; 34. Adapun perbedaan secara kodrati itu diciptakan oleh Allah adalah bukan dalam rangka membeda-bedakan dalam perlakuan sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. QS al-Nisa’:1., al-A’raf: 188, al-Zumar; 6, al-Nahl; 72, al-An’am; 8.
[22] Cara pandang patriarkhi masih mempengaruhi mayoritas fuqoha’ dalam proses istinbatul hukmi dan hal itu sangat terlihat ketara dalam produk pemikiran mereka yang tertuang dalam kitab-kitab fiqih. Banyak dari isinya yang cenderung kearah male domination.
[23] Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid wajdi & Farcha Assegaf, Yogyakarta; Bentang Budaya, 1994. Banding dengan Amer Ali, Api Islam: Sejarah Evolusi dan Cita-Cita Islam dengan Riwayat Hidup Muhammad, Jakarta; Bulan Bintang, 1978. Lihat, Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Setara di hadapan Allah; Relasi laki-laki dan Perempuan dalam tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Yogyakarta, Yayasan Prakarsa, 1995, hlm. 6-9.
[24] Tidak ada sebuah pemahaman tanpa di antarai oleh tanda, simbol, dan teks. Lihat. Haryatmoko, “Hermeneutika Paul Ricour; Transparasi sebagai Proses”, Majalah Basis, No. 05 – 06, Tahun ke –49, Mei – Juni 2000, hlm. 28-29. Baca juga Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur, Yogyakarta, El-Saq Press., 2007. hlm. 90-93. Bandingkan David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi; Makna, Metode dan Model, terj. Stephen Suleeman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, hlm. 205.
[25] Bandingkan dengan Hajar al-Asqalani, Mishbahu al-Anam fi Tarjamah Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, terj Ahmad Syubki Masyhadi, bab haid, hadis ke VI, tth, hlm. 119-120.
[26] Interpretasi al-Qur’an kontemporer tidak lagi terbatas hanya pada analisis status ontologis teks dan relasi antar konteks melalui interpretasi kebudayaan, akan tetapi juga sudah mengarah pada bentuk interpretasi yang lebih dalam menekankan pada pencarian makna dari segi narasi. Helmut Gatze, The Qur’an and Its Exegesis: Selected Text With Classical and Modern Interpretation, terj. Alford T. Welch, California; California University Press, 1976, hlm. 28-35. Lihat juga, Toshiko Izutsu, God and Man in The Koran: a Semantical Analysis of The Koranic Weltanschaung, Tokyo: Keio University, 1964. hlm. 154-157.
[27] Coba lihat larangan-larangan yang telah diklasifikasi, Muhammad Rawwas Qalahji’, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab RA, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 1999. hlm. 106-108. Kebanyakan dalam ensiklopedi ini bersumberkan dari Ibnu Abi Syaibah; 1 / 18, 1/ 159. al-Mahalli: 1 / 78, 2 / 372. al-Mughni; 9 / 45.
[28] Ada contoh unik dalam uraian penjelasan Umar bin Khattab, yaitu; diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahili ra, bahwa Umar berkata; “ Kami selalu tidur bersama dengan istri-istri kami pada waktu menstruasi dan kami dalam satu tempat tidur dengan selimut yang sangat sempit. Akan tetapi jika Allah melapangkan ranjang dan selimut kita, maka kita harus menjauhinya sebagaimana diperintahkan Allah”. (bersumber dari al-Muwatha’ jilid II, hlm. 746, al-Mughni; IV, hlm. 496. Sunan al-Baihaqi; VI, hlm. 157).
[29] Bandingkan dengan Hajar al-Asqalani, Misbah al-Anam fi Tarjamah Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, terj Ahmad Syubki Masyhadi, bab haid, hadis ke VI, tth, hlm. 119-120. Lihat juga misalkan kitab Syarah Muslim, Jilid II, hlm. 335-338, yang bersumberkan dari at-Tirmidzi. Atau baca al-Majmu’, jilid II, hlm. 378 dan 549 (bersumberkan dari at-Thabary dan lainnya).
[30] Sebagaimana wanita harus dijauhi ketika mereka sedang menstruasi, wanita tidak boleh lewat masjid ketika menstruasi, wanita tidak boleh membaca al-Qur’an dan larangan-larangan lainnya yang wajib dipatuhi ketika mereka sedang kondisi menstruasi. Hukum yang ada di beberapa kitab fikih seakan menjadi penjara bagi kaum wanita dan dengan demikian kaum wanita tidak bisa bergerak leluasa. Coba lihat keterangan larangan yang diberikan kepada kaum wanita ketika mereka sedang menstruasi. Muhammad Rawwas Qalahji’, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab RA, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 1999. hlm. 106-108. Kebanyakan dalam ensiklopedi ini bersumberkan dari Ibnu Abi Syaibah; 1 / 18, 1/ 159. al-Mahalli: 1 / 78, 2 / 372. al-Mughni; 9 / 45.
[31] Pendekatan tekstual yang dilakukan para fuqoha’ selama ini belum mencerminkan lahirian teks yang sebenarnya, karena perspektif mereka masih terbatas pada perspektif bahwa ayat-ayat hukum adalah ayat’ayniyyah, sehingga hanya menghasilkan pemahaman teks hukum yang cenderung tidak relevan dengan perkembangan zaman. Burhanuddin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Syahrur dalam Pengembangan Epistemologi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Sahiron Syamsuddin dkk., Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta; Islamika, 2003. hlm. 170-173. Bandingkan dengan konsep semangat teori batas M. Syahrur.., Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’asirah, al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, Damaskus 1990., atau coba lihat, Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam; Pengantar Untuk Ushul Fiqih Madzhab Sunni, Kusnadiningrat (terj), E. dan Abdul Haris bin Wahid, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2000,hlm. 363-365.
[32] Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, Yaziar Radianti (terj), Bandung; Pustaka, 1994. Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Tim LSPPA, Yogyakarta, LSPPA, 1994. Bandingkan dengan Amer Ali, Api Islam: Op. Cit., Lihat. Ghazala Anwar, “Wacana Teologis Feminis Muslim”, dalam Wacana Teologi Feminis, Zakiyuddin Baidhawy, (ed)., Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 1996.
[33] Berbeda dengan Attabik Ali Ahmad dan Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, yang mengartikannya lebih kearah definisi “sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang merugikan atau bisa juga yang lain, sesuatu yang menyusahkan”. Op. Cit., Adapun Mu’jam Mufrodat al-Fazil Qur’an, lebih melonggarkan maknanya dengan menyerahkan hal itu kepada ahlinya baik mereka yang berkompeten di kesehatan atau syari’ah. Al-Raghib al-Asfihan, Mu’jam Mufrodat al-Fazil Qur’an, Beirut; Libanon, tth. Hlm. 11-12.
[34] Fathurrahman Lithalibi Ayat al-Qur’an, Maktabah Dahlan Indonesia, tth, hlm. 21.
[35] Lihat lafal adza yang ada di QS. An-Nisa’; 101, QS. Al-Ahzab; 48, QS. Ali Imron; 111 dan 186, QS. Al-Baqarah; 196, 262, 263, 264. Semua mempunyai maksud yang berbeda. Lihat, Fathurrahman Lithalibi Ayat al-Qur’an, Maktabah Dahlan Indonesia, tth, hlm. 21.
[36] Islam adalah norma dari norma-norma ideal tertentu yang harus direalisasikan secara progresif dalam aneka ragam fenomena dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, Islam senantiasa harus mencari bentuk-bentuk baru. Terkait dengan al-Qur’an, maka menurut Fazlurrahman, yang terpenting adalah bagaimana memahami al-Qur’an dengan metode yang tepat untuk mengungkap kandungan al-Qur’an. Fazlurrahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, Bandung; Pustaka, 1987, lihat. Fazlurrahman, Metode Alternatif Neomodernisme Islam, Bandung; Mizan, 1987. hlm 56, 65.
[37] Larangan seperti; dilarangnya wanita berdiri di masjid, membaca al-Qur’an, membaca puji-pujian kepada Tuhan dan larangan-larangan lain yang dikarenakan karena tubuh wanita tekah haid atau kotor, merupakan argumen yang tidak berdasar dan jelas sangat bertentangan dengan fithrah semangat Islam. Selain larangan-larangan tersebut sudah bertentangan dengan fithrah semangat Islam, ia juga bertentangan dengan sunah Nabi. Dalam sabdanya, Nabi hanya mengatakan bahwa wanita yang menstruasi boleh diajak ngobrol, minum, bercanda atau diajak kegiatan apapun kecuali bersenggama (illa al-nikaha). Nabi Muhammad hanya memberikan batasan senggama (jima’) sebagai batas maksimal bagi wanita yang sedang menstruasi jika sang suami berkeinginan untuk bergaul kepadanya. Selain bersenggama, wanita yang menstrusi boleh melakukan apapun. Nabi bersabda; “Ishna’u kulla syai’in illa al-nikaha”, gaulilah istrimu sebagaimana mestinya (meskipun menstruasi) kecuali bersenggama. (Hadis diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi, yang bersumberkan dari Anas). (Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Barudi yang bersumberkan dari Ibnu Ishak, dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari ‘Ikrimah atau Said, yang bersumber dari Ibnu Abbas, dikatakan bahwa yang bertanya itu ialah Tsabit bin ad-Dahdah. Dan Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis seperti itu, yang bersumber dari as-Suddi). Bandingkan dengan Hajar al-Asqalani, Misbah al-Anam fi Tarjamah Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, terj Ahmad Syubki Masyhadi, bab haid, hadis ke VI, tth, hlm. 119-120.
[38] Setiap kaum wanita ditakdirkan oleh Tuhan akan mengalami menstruasi. Di setiap bulannya ketika menstruasi, selaput pelindung rahim telah dilepaskan secara sempurna. Akibatnya rahim menjadi licin dan bersih; dimana selaput yang meliputinya telah dihilangkan seluruhnya. Oleh karena itu, rahim akan mudah terserang mikrobat. Dan realitanya, bahwa daya tahan yang dimiliki oleh segenap perangkat reproduksi wanita secara menyeluruh tidak stabil dan menyerupai kondisi sakit (adza). Athif Lammadhah, Menstruasi Tanpa Rasa Sakit, Ahmad Rivai Usman (terj), Jakarta; Pusataka al-Kautsar, 2006. hlm. 58-60.
[39] Misalkan fiqih-fiqih yang masih terlihat subordinat dan patriarkhi. Fiqih yang seperti itu, sangat jelas melanggar atau mengingkari ajaran Islam yang sesungguhnya. Islam hadir bukan untuk menciptakan subordinasi atau melangsungkan budaya patriarkhi, namun Islam datang adalah untuk membasmi dan menyapu bersih budaya patriarkhi dan subordinasi. Karena itu, diskursus posisi wanita dalam Islam mendapat perhatian cukup serius. Term wanita (an-nisa’) dalam al-Qur’an dipergunakan sebanyak 57 kali, sama dengan kata al-rajul/al-rijal (laki-laki) atau al-untsa yang berpasangan dengan al-dzakar. Term yang terakhir itu digunakan dalam al-Qur’an lebih dari 10 kali. Lihat. Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahrah li al-fazil Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr ; Beirut, 1991, hlm. 118-119, 871 dan 384-385.
[40] Literatur-literatur klasik Islam, jika diukur dalam ukuran modern, banyak di antanya dapat dinilai sangat bias jender. Kitab-kitab tafsir klasik yang mu’tabar tidak ada yang tidak bias jender, apa lagi kitab-kitab fiqih. Para penulisnya tentu tidak bisa disalahkan karena ukuran keadilan jender (gender equality) mengacu kepada persepsi relasi jender menurut kultur masyarakatnya. Karena itulah, wawasan historisme dan historiografi tidak bisa dikesampingkan dalam pembacaan teks-teks klasik. Lihat. Nasaruddin Umar, “Metode Penelitian Berperspektif Jender Tentang Literatur Islam”, dalam Al-Jami’ah; Journal of Islamic Studies, No. 64 / xii / 1999. hlm. 176-189. Baca juga, Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan; Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta; Pustaka Ciganjur, 1999. Atau lihat juga, Masdar Mas’ud, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Bandung; Mizan, 1997. 51-55.
[41] Sebagai sumber pertama dan paling utama, al-Qur’an harus tetap dijadikan sebagai sumber nash yang paling utama. Fenomena dewasa ini menjadi aneh bahkan lucu untuk diperhatikan karena banyak masyarakat yang masih saja menghultuskan fikih sebagai acuan untuk beragama, padahal ia (fikih) hanyalah merupakan produk pemikiran ulama’. Bahkan posisi fikih meskipun bias jender dan bernuansa patriarkhi, seakan berada di atas posisi al-Qur’an. Maka wajar jika pada gilirannya banyak fenomena taqdisul afkar, yaitu perilaku mensucikan pemikiran ulama’ yang marak di sekitar masyarakat Islam. Anehnya, meskipun produk pemikiran tersebut terlihat mensubordinat atau bahkan mengkebiri kaum wanita, masyarakat tidak ada yang protes. Mereka, bahkan kaum wanitanya, rela untuk melakukan apapun yang diperintahkan fikih. Fenomena itu terjadi karena anggapan bahwa fikih merupakan sumber utama di dalam mempelajari Islam. Seperti memahami persoalan sholat, zakat, thoharoh, dan sub-sub persoalan lainnya yang memang telah dibentuk dan dijelaskan di dalam kutubul fiqhi.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar