Tentang “Filsafat Sains”

Admin Monday, December 20, 2010

Kuliah Pertama: Tentang “Filsafat Sains”
1. Tentang batas-batas “filsafat sains”
Dalam kuliah pertama (11/2/08), saya mengajak berdiskusi tentang apa sesungguhnya wilayah kajian “filsafat ilmu kealaman” (selanjutnya saya akan mengganti istilah ini dengan “filsafat sains”). Ringkasnya ada beberapa hal yang saya sampaikan:
-          Sebagaimana halnya disiplin-disiplin ilmu atau kajian-kajian kontemporer, batas-batas dan agenda-agenda suatu wilayah disiplin/kajian selalu bisa dinegosiasikan. Batas-batas itu tidaklah tetap, tapi cair. Karena itu, seperti apapun bentuk dan isi matakuliah ini, ini adalah hasil seleksi dan tak bisa dianggap sebagai berpretensi menggambarkan “filsafat sains” apa adanya secara komprehensif.
-          Secara umum, banyak filosof sains kontemporer memahami wilayah filsafat sains sebagai terdiri dari dua sub-wilayah utama: epistemologi sains dan metafisika sains. Yang pertama terutama terkait dengan persoalan cara bekerja sains, objektifitasnya, dan kaitan teori dengan realitas (mislanya, apakah sains [mampu] berbicara tentang realitas, atau hanya instrumen prediksi dan kontrol?). Yang kedua terutama terkait dengan apa yang dikatakan pengetahuan ilmiah kita saat ini mengenai alam? Dunia seperti apakah yang digambarkan oleh sains mutakhir kita? (Pertanyaan ini tentu terkait dengan anggapan bahwa sains memang benar berbicara tentang realitas.)
-          Belakangan ini ada pula yang disebut “philosophy of special sciences” (misalnya, yang paling berkembang, filsafat biologi dan filsafat fisika), yang memiliki himpitan cukup luas dengan cabang-cabang sains tersebut, dan mengandaikan pemahaman yang baik mengenai teori-teori utamanya. Pertanyaan utamanya adalah pertanyaan yang terkait dengan metafisika/ontologi, kurang lebih seperti ini: mengandaikan bahwa teori relativitas (atau mekanika kuantum, atau biologi molekuler) memang berbicara mengenai realitas, maka realitas seperti apakah yang digambarkannya? Namun ada juga yang terkait dengan epistemologi: apa yang dikatakan teori relatifitas atau teori ketidakpastian Heisennberg dalam fisika kuantum mengenai objektifitas (dalam arti kebebasan teori dari subjektifitas peneliti).
-          Dalam kuliah ini, yang terutama akan saya bahas adalah epistemologi sains, dengan penekanan utama pada kaitan teori dengan realitas—apakah sains (mampu) berbicara tentang realitas? Sejauh mana? Ini bisa dipahami sebagai pertanyaan jembatan antara epistemologi dengan metafisika sains: Jawaban atas pertanyaan epistemologis ini akan mempengaruhi diskusi mengenai metafisika sains.
-          Apa manfaat, atau apa yang dituju oleh matakuliah ini? Filsafat sains saat ini adalah salah satu bagian filsafat yang amat penting, dan karena itu mahasiswa filsafat selayaknya memahaminya dengan baik. Di luar itu, filsafat sains memiliki implikasi yang amat luas bagi bidang-bidang ilmu umumnya. Khususnya karena sains dianggap sebagai salah satu penciri—atau bahkan ikon—utama dunia modern maupun post-modern, pembahasan ini akan amat membantu memahami perkembangan intelektual kontemporer.
o   Salah satu isu utama, misalnya, adalah soal rasionalitas dan objektifitas, dua nilai utama yang dipertahankan sejak zaman pencerahan hingga zaman modern, tapi kemudian dipertanyakan secara serius hingga muncul relativisme dan pluralisme, yang dianggap sebagian orang sebagai bagian dari pemikiran post-modern.
o   Dalam pembahasan mengenai kritik atas objektifitas dan universalitas sains, kita juga akan bertemu dengan konstruktifisme dan, khususnya, keprihatinan feminis mengenai sains. Wacana feminisme—dan secara umum konstruktifisme—kini sudah tak lagi terbatas pada filsafat, tapi sudah masuk ke dalam disiplin-disiplin ilmu tertentu secara signifikan. Karenanya, pembahasan kita nantinya juga akan membantu memahami arah perkembangan mutakhir beberapa disiplin ilmu.

2. Latar belakang sejarah
Sampai tingkat tertentu, belajar filsafat adalah belajar sejarah filsafat: Belajar bagaimana problem dirumuskan, dan para filosof berusaha memecahkannya, lalu melampaui sejarah itu dengan mengusulkan pemecahan baru untuk memperbaiki kelemahan sebelumnya. Tak tertutup pula kemungkinan mempertanyakan secara radikal apakah permasalahan itu sendiri genuine; apakah penting? Bisa jadi, kemudian pertanyaan-pertanyaan tertentu ditinggalkan untuk diganti dengan serangkaian pertanyaan lain yang dianggap lebih relevan. Tapi mau tak mau sejarah—melihat bagaimana filosof di masa lalu menyelesaikan problemnya—menjadi bagian penting dari aktifitas berfilsafat.
Yang akan menjadi fokus kita dalam kuliah ini adalah perkembangan mutakhir dalam filsafat sains. Dengan “mutakhir”, yang saya maksudkan adalah kira-kira 50 tahun terakhir, yaitu sejak kematian positivisme logis, kemunculan Karl Popper, dan khususnya Thomas Kuhn. Penerbitan buku Thomas Kuhn The Structure of Scientific Revolutions pada 1963 bisa dianggap sebagai tonggak terpenting dari periode ini. Banyak dari isu-isu utama dalam filsafat sains sejak itu merupakan konsekuensi dari pandangan-pandangan Kuhn dalam buku tersebut. Kiranya mesti diakui buku ini merupakan buku paling berpengaruh dalam filsafat sains selama setengah abad terakhir ini.
Sebagaimana halnya sejarah filsafat umumnya, munculnya kecenderungan atau aliran baru dalam filsafat, biasanya berarti munculnya agenda baru yang dianggap penting dan menarik untuk didiskusikan. Masalah lama yang tak terselesaikan pelan-pelan surut ke belakang dan tak diperhatikan lagi. Ini tak berarti masalah tersebut telah berhasil dipecahkan dan lalu filosof mencari masalah baru. Tapi masalah lama tersebut dianggap tak terlalu menarik atau atak penting lagi: Apa yang dianggap penting sudah berubah. Tentu sejarah tak hanya berarti kumpulan diskontinuitas antara satu periode dengan periode lain; tak sulit mengatakan bahwa perjalanan sejarah juga selalu mengandung kontinuitas. Tapi sulit juga mengingkari bahwa momen-momen terpenting dalam sejarah biasanya ditandai dengan diskontinuitas. Dalam sejarah filsafat sains abad ke-20, apa yang dilakukan Kuhn terasa sekali sebagai diskontinuitas—kalau bukan revolusi, yang dampaknya masih terasa hingga kini.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang Kuhn, kita perlu melihat apakah yang direspon oleh Kuhn dengan karyanya? Secara singkat, bisa dikatakan bahwa Kuhn merespon filsafat sains yang berjaya pada masanya, yaitu positivisme logis. Disiplin filsafat sains, sebagaimana akan dibahas di bawah, sesungguhnya dilahirkan oleh positivisme logis di awal abad ke-20. Karena itu, seratus tahun usia filsafat sains biasanya kini dibagi jadi dua: era positivis dan era pasca-positivis, yang dimulai Kuhn.
Mengatakan bahwa filsafat sains, sebagai suatu cabang filsafat tersendiri, baru muncul pada awal abad ke-20, tidak berarti mengingkari adanya beragam pemikiran mengenai ilmu pengetahuan pada ratusan tahun sebelumnya, atau bahkan hingga masa awal kelahiran filsafat. Secara sederhana, pada zaman filsafat klasik, yang merupakan akar filsafat Barat, pemikiran mengenai ilmu biasa didikotomikan pada dua aliran utama: rasionalisme Plato dan empirisisme Aristoteles. Tarik menarik empirisisme-rasionalisme ini masih terus terasa hingga setelah Revolusi Sains, abad ke-17, sampai abad ke-18. Sejarah filsafat Barat setelah Renesans biasa juga dibagi menjadi rasionalisme (Descartes, dan sebagainya) dan empirisisme (Hume, dan sebagainya). Kant sendiri dianggap sebagai semacam sintesis dari keduanya, dan filsafatnya merespon perkembangan ilmiah di masanya.
Dalam sejarah sains modern awal, kita juga menjumpai Francis Bacon (1561-1626), yang dianggap sebagai filosof peletak dasar sains modern. Beberapa nama besar ilmuwan modern, seperti Galileo dan Newton, telah muncul di Abad ke-16, 17, dan 18 awal. Selain berkarya dalam bidang sains mereka juga memiliki pemikiran-pemikiran filosofis mengenai sains.
Meski demikian, penting dicatat bahwa kata “sains” baru diajukan sebagai kata yang dipakai untuk mengacu bangunan ilmu pengetahuan modern yang dikembangkan Galileo, Newton, Boyle, Laplace, Darwin, dan sebagainya pada abad ke-19 oleh Wlliam Whewell. Penamaan ini menandai adanya kesadaran baru mengenai “sains” tersebut, yang berbeda dari bangunan ilmu pengetahuan di masa-masa sebelumnya.[1]
Jadi, yang ada pada awal abad ke-20 (yaitu di tahun-tahun sekitar terjadinya revolusi lain dalam sains, ketika Einstein merumuskan teori relativitas khususnya pada 1905), adalah menguatnya kesadaran baru mengenai sains itu. Kesadaran baru ini diperkuat dengan sikap anti-metafisika (sekaligus anti-agama) kaum positifis.[2] Jadi, bisa dipahami bahwa sikap kaum positivis ini merupakan upaya peneguhan identitas sains. Seperti biasanya, upaya peneguhan identitas ditandai dengan penarikan batas-batas dan eksklusi. Bidang yang jelas dieksklusi adalah metafisika.
Bagaimana dengan sains sendiri? Bagaimana mendefiniskan batas-batasnya? Apa sih yang khas pada sains yang menjadikannya luar biasa, maju pesat, memunculkan terobosan demi terobosan (yang terakhir di masa itu: Einstein)—apa yang membedakannya dari cabang-cabang ilmu lain? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang ingin dijawab oleh PL. Dan dengan itu, lahirlah filsafat sains.
Seperti apa jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, akan kita bahas belakangan. Untuk saat ini, cukuplah kita tegaskan ciri utama positivisme logis (PL): mengkonsepsikan sains sebagai model rasionalitas ilmu, aktifitas yang objektif, dan bersifat universal. Sains, khususnya fisika, adalah mahkota rasionalitas, objektifitas dan universalitas ini dan karenanya, melalui gagasan kesatuan ilmu, semua cabang ilmu lain akhirnya akan dapat direduksikan ke fisika. Satu ciri penting dari gagasan mengenai sains ini adalah sifatnya yang ahistoris. Bagi kaum positifis, tak penting melihat sejarah sains; yang terpenting adalah melihat aspek formal sains yang melampaui ruang maupun waktu.
Di sisi lain, ciri utama Thomas Kuhn adalah persis perhatiannya pada sejarah—dari sisi inilah Kuhn bisa dikatakan menciptakan revolusi dalam gagasan mengenai sains. Kalimat pertama di bab pertama Structure menegaskan ini: “Sejarah, jika dipandang lebih dari sekedar gudang cerita sepotong-sepotong atau kronologi, dapat menghasilkan transformasi penting menyangkut citra tentang sains yang sekarang menguasai pemahaman kita.” Citra lama sains itu muncul dari pengkajian atas pencapaian sains yang sudah selesai, yang terekam dalam buku-buku teks, yang menjadi sumber utama para calon ilmuwan mempelajari ketrampilan yang dibutuhkan bidang ini. Bagaimana kalau yang dilihat bukan produk akhir sains itu, tapi prosesnya? “Tujuan essai ini [Structure of Scientific Revolutions] adalah memberikan gambaran yang amat berbeda mengenai konsep sains, yang muncul dari rekaman sejarah aktifitas riset ilmiah itu sendiri.” Karena itulah mazhab filsafat sains yang diajukan Kuhn kemudian sering disebut sebagai historisisme. Membawa sejarah berarti membawa konteks sosial (dan terkadang personal ilmuwan) ke pusat konsepsi sains—dan secara langsung ini berarti meruntuhkan tembok yang memisahkan sains dari nilai-nilai. Sekali nilai, yang sifatnya relatif-subjektif masuk, menjadi sulit membendung beragam sistem nilai dan mempertahankan klaim objektifitas sains. Persis inilah yang dikhawatirkan kaum positifis, sehingga sejarah tak pernah menjadi bagian penting filsafat mereka.
Kuhn sendiri awalnya adalah mahasiswa doktoral bidang fisika teoretis; perubahan minatnya pada sejarah sains terjadi ketika ia sedang menyelesaikan disertasinya. Dari sejarah, ia bergerak lebih jauh ke filsafat sains, yang sebelumnya sebetulnya sudah menarik minatnya. Tapi ia melihat gagasan-gagasan abstrak dan idealisasi yang dipelajarinya dalam filsafat sains sama sekali tak cocok dengan proses aktifitas riset ilmiah para ilmuwan yang terekam dalam sejarah. Demikianlah, dengan menjadikan sejarah sains—bukan produk akhir sains dalam bentuk teori-teori ilmiah—sebagai data utama bagi filsafat sainsnya, ia merevolusi bidang ini.
Di luar Kuhn, secara umum isu-isu filsafat sains pada periode ini benar-benar berbeda dari isu-isu yang muncul pada 50 tahun pertama abad ke-20, yang didominasi filsafat ilmu. Jika pada PL persoalan metode formal sains menjadi isu utama—karena keinginan menegaskan keunggulan sains sebagai model ilmu terbaik, yaitu terbaik karena metodenya yang handal—maka pada Kuhn ini terpinggirkan. Muncullah isu-isu baru, seperti apa yang terjadi ketika teori berubah, ketika revolusi ilmiah terjadi; atau, bagaimana peran komunitas ilmiah dalam perumusan teori. Dengan menggunakan perspektif yang berbeda ini, isu-isu lama seperti objektifitas dan netralitas sains pun mendapatkan jawaban yang berbeda, jauh berbeda dari jawaban PL.
Pada Paul Feyerabend, filosof yang sezaman dengan Kuhn, metode bahkan dicampakkan.  Feyerabend pun dikenal sebagai filosof anti-metode yang anarkis. Satu-satunya metode adalah “anything goes”—apapun jadi.
Jadi, jika di awal abad 20 ada optimisme luar biasa mengenai sains—sebagai model ilmu terbaik, dengan metode yang dirumuskan secara formal dan eksak, yang “seharusnya” diikuti oleh cabang-cabang ilmu lain—maka  di ujung abad 20, optimisme ini bisa dikatakan telah runtuh, “ideologi” LP akan objektifitas dan universalitas sains tercerai-berai berantakan. Di satu sisi, optimisme ini digantikan oleh pesimisme, skeptisisme, bahkan relativisme, yang meneruskan tradisi anarkis Feyerabend. Disebut “pesimis” karena harapan akan kepastian yang dijanjikan sains mulai lenyap; dan karena metode ilmiah dianggap tak istimewa, sains pun, dibanding model-model pengetahuan lain, termasuk model pengetahuan tradisional, tak bisa dikatakan lebih unggul. Di sisi lain, pemerosotan posisi sains ini dapat juga membuka ruang bagi pluralisme, bagi sistem-sistem pengetahuan lain, yang tak dianggap lebih rendah atau primitif dibanding sains modern. Tak keliru kiranya jika banyak orang khawatir akan pluralisme, karena penghargaan pada yang lain bisa dengan mudah tergelincir (“tergelincir”? atau ini memang disengaja dan diinginkan?) pada relativisme yang menghilangkan basis bagi rasionalitas bersama sebagai tolok ukur universal.
Jika di atas disebut bahwa Kuhn adalah pengerak perkembangan mutakhir filsafat sains, penting juga disampaikan bahwa di ujung sejarah mutakhir ini, perkembangannya sudah melampaui apa yang pada awalnya diniatkan Kuhn sendiri. Beberapa tulisan Kuhn yang belakangan justru tampak ingin melawan kecenderungan ekstrem relativisme yang jalannya dibukakan oleh Kuhn sendiri.
Sosok mutakhir filsafat sains dimeriahkan oleh filsafat sains feminis yang kini sudah cukup matang; pertarungan dalam apa yang dia AS dan Eropa disebut “peperangan sains” (science war) yang sebagiannya mirip perang lama “cultural wars” (antara budaya ilmiah dan budaya humaniora yang dibahas C. P. Snow dalam Two Cultures); bahkan ada juga sains lokal semacam sains Vedik yang didengungkan kaum nasionals Hindu India dan dilawan Meera Nanda, bersisian dengan gagasan “sains dunia ketiga”, “Islamic science” dalam banyak versinya, dan “sains multikultural”.
Namun di samping kecenderungan yang bergerak makin menjauh dari ideal awal kaum positivis, ada pula upaya untuk bersikap moderat yang dicirikan oleh
-          Kritik atas kenaifan kaum positivis dan neo-positivis
-          Memperhatikan keberatan-keberatan Kuhnian atas ideal objektifitas, kebebasnilaian dan universalitas sains,
-          Tapi pada saat yang sama tak menyerah pada relativisme.
Yang dicari di sini adalah semacam jalan tengah, yang bisa disebut “realisme yang rendah hati”, atau realisme kritis”, dan sebagainya. Kurang lebih begitulah gambaran besar filsafat sains mutakhir yang akan dibahas dalam kuliah kita.

Pokok-pokok bahasan dalam kuliah ini adalah sebagai berikut:
PENDAHULUAN: (2 pertemuan)
  1. Kuliah ini akan dibuka dengan pengantar mengenai ideal PL,
  2. dilanjutkan sedikit dengan gagasan Popper, yang sudah mulai mencoba mengubah kecenderungan kaum positifis.

BAGIAN PERTAMA: (5 pertemuan)
  1. Titik penting pertama dalam babakan filsafat sains yang dibahas di kelas ini adalah Thomas Kuhn,
  2. dan lalu sedikit mengenai beberapa gagasan yang diajukan figur-figur lain, termasuk Feyerabend.
  3. Berikutnya adalah salah satu kelanjutan filsafat Kuhnian dalam bentuk berkembangnya konstruktivisme sosial; filsafat sains feminis; dan beberapa contoh gagasan baru mengenai filsafat-filsafat sains.

BAGIAN KEDUA: (5 pertemuan)
  1. Pada bagian kedua matakuliah ini (yang boleh dijuduli “Realisme yang rendah hati dan kritis?”) kita akan melihat bagaimana kecenderungan konstruktifisme sosial yang agak ekstrem dicoba dinetralkan, dan objektifitas kembali diperjuangkan, tanpa melupakan kesadaran historis yang sudah dibukakan jalannya oleh Kuhn. Isunya biasa disebut realisme versus antirealisme. Posisi yang ingin ditunjukkan di kuliah ini adalah posisi yang menolak realisme naif filsafat sains awal, tapi menolak konstruktifisme yang mengarah pada relatifisme. Inilah salah satu debat terpenting dalam tahun-tahun terakhir ini dalam filsafat sains, yaitu upaya menemukan suatu “jalan tengah” antara realisme naif dan anti-realisme. Kita akan membahas Ernan McMullin, Bas van Fraassen, juga tentang penafsiran dalam sains, mungkin juga gagasan hermenetika sains.
3. Tugas Pertama: konteks perkembangan filsafat ilmu di Indonesia
Jika ditanya buku apakah kiranya yang paling populer mengenai filsafat ilmu di Indonesia, kemungkinan besar, jawaban banayk orang adalah Ilmu dalam Perspektif-nya Jujun Suriasumantri. Buku ini pertama kali terbit pada 1977 dan cetakan keenambelasnya (!) terbit pada 2003. Buku ini masih dapat dengan mudah ditemukan di toko buku hari ini. Saya tidak tahu apakah ada buku lain dalam bahasa Indonesia yang bisa bertahan sedemikian lama: 30 tahun! Bahwa hingga hari ini buku ini masih bisa didapatkan dengan mudah menunjukkan bahwa buku ini amat mungkin masih dipakai di banyak universitas.
Gagasan mengenai ilmu yang disajikan dalam buku tersebut pada umumnya masuk dalam genre yang di atas dicirikan kurang lebih sebagai pandangan optimis kaum positivis. Dalam buku itu bahkan ada tulisan tokoh positivis Rudolf Carnap, juga tulisan Bertrand Russell yang menggambarkan optimisme tersebut.
Pertanyaannya: apakah tak ada perkembangan dalam “perspektif mengenai ilmu” dalam 30 tahun terakhir ini? Pendahuluan di atas justru menunjukkan sebaliknya.  Penting dicatat: dalam bibliografi karya yang dianjurkan dalam tulisan pendahuluan Jujun, sebagian besar adalah karya yang berada pada tradisi lama itu; sebagian besar berhenti pada tahun 1960an. Misalnya, yang cukup baru adalah Carl Hempel (yang terbit beberapa tahun setelah karya Kuhn, sebelum karya itu menjadi bagian arus utama filsafat sains), dan Ernest Nagel, yang mewakili nafas-nafas terakhir positivisme. Buku Kuhn disebut hanya dalam beberapa kata dalam tulisan Jujun itu, dan masuk dalam kategori sejarah, bukan filsafat, sains. Tak perlu kita mengkritik buku ini, karena memang ia pada awalnya jelas diterbitkan dalam konteks tertentu, untuk pembaca umum—bukan peminat filsafat sains—dan dalam waktu tertentu. Sesungguhnya dalam banyak hal buku itu patut dipuji karena memang cukup enak dibaca, tak terlalu sulit untuk publik non-filosof, dan reflektif.
Yang penting kita lihat adalah karya-karya lain apa yang berbicara mengenai filsafat ilmu yang telah terbit sejak itu. Meskipun tampaknya belum ada yang bisa menandingi kepopuleran buku Jujun, telah ada banyak buku lain tentang disiplin ini yang diterbitkan setelah itu. Bagi kita, akan menarik mengetahui hal tersebut, karena ia akan memberitahu kita mengenai perkembangan filsafat ilmu di Indonesia. Itu akan bermanfaat sebagai konteks matakuliah ini. Karena itu, tugas pertama matakuliah ini adalah menyusun bibliografi, yang dirinci di bawah, agar kita mendapat gambaran berada di manakah filsafat ilmu di Indonesia:


[1] Kesadaran baru ini bisa jadi tidak ada pada Newton sendiri—sebagian sejarawan masih berdebat: apakah Newton adalah alkemis terakhir atau ilmuwan modern pertama? Dalam filsafat, pembabakan klasik, modern, dan sebagainya, tentu juga tidak dilakukan oleh para filosof sendiri, tapi oleh filosof yang datang belakangan. Termasuk juga pembedaan sains dari filsafat: Newton sendiri menyebut ilmu pengetahuan yang dikembangkannya sebagai “filsafat alam: (natural philosophy), bukan sains.
[2] Sikap anti-metafisika ini sebagiannya merupakan  respon atas neo-Kantianisme yang diwakili Hegel. Sampai tingkat tertentu, kaum positifis itu sesungguhnya melihat filsafat mereka sebagai kelanjutan, atau semacam update, dari Kant. Penting diingat bahwa filsafat Kant merupakan respon filosofis atas mekanika Newton, dan di awal Critique of Pure Reason ia mengontraskan Newton yang berada pada jalan kepastian dengan filsafat yang hanya bisa meraba-raba. Beberapa filosof Lingkaran Wina, yang menjadi cikal bakal positivisme logis, melihat bahwa tantangan mereka adalah merumuskan sistem filsafat yang mengakomodasi sains Einstein. (Contoh jelas tentang ini bisa dilihat pada Moritz Schlick.)
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar