PENDAHULUAN
Hadis yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadis diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadis juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayt al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadis tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadis sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadis itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadis tidaklah serta merta asal comot suatu hadis sebagai sumber ajaran.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadis adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadis. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadis sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama.
Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadis semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadis itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.[1]
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadis tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadis di sela-sela mata rantai sanad tersebut.
Tulisan ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadis ditinjau dari berbagai aspek Disamping itu, sedikit mengungkap fenomena al-idraj, al-ittirab dan al-qalb yang masih layak didiskusikan dan diperdebatkan keberadaanya.
PEMBAGIAN HADIS
Pembagian hadis di klasifikasikan berdasarkan
A.Pembagian hadis dari segi diterima dan ditolaknya
Secara otomatis, kajian ulama dalam bidang pengetahuan hadis-hadis yang kuat dari yang lemah dan tentang hal ihwal para perawi yang diterima hadisnya atau ditolak menghasilkan kesimpulan-kesimpulan ilmiah dan istilah–istilah khusus yang mengindikasikan kesahihan atau kedaifan suatu hadis. Dengan secara otomatis pula, hadis terbagi menjadi yang maqbul dan yang mardud. Maqbul adalah memenuhi syarat-syarat diterimanya riwayat. Sedang mardud adalah yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat yang diterimanya riwayat itu. Dan secara otomatis pula masing-masing bagian itu memiliki jenis-jenis yang berbeda-beda dari segi kuat ataupun lemahnya karena perbedaan kondisi para perawi dan riwayatnya. Pembagian ini terdiri dari 3 bagian;
a) Sahih: Hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dabit[2] dari rawi lain yang adil dan dabit sampai akhir sanad, dah hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung illat (cacat).[3]
b) Hasan: Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat.[4]
c) Daif:: Hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadis maqbul.[5]
B..Pembagian hadis berdasarkan jumlah rawi[6]
a) Mutawatir: Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara tradisi tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dari sejumlah perawi yang sepadan dari awal sanad sampai ahirnya, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya.
b) Masyhur :Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi dari golongan mencapai jumlah sahabat yang tidak mencapai batas mutawatir, kemudian setelah sahabat dan sesudahnya lagi jumlah perawi mutawatir.
c) Ahad :Khabar yang diriwayatkan oleh satu atau dua perawi ataupun lebih, yang tidak memenuhi syarat-syarat masyhur ataupun mutawatir, dan tidak diperhitungkan lagi jumlah perawinya setelah itu
C. Pembagian hadis berdasarkan bentuk dan penisbahan matan
a) Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadis dapat dibagi lima macam;[7]
1. Qauli :Hadis yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan
2. Fi’li :Hadis yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis terhadap peraturan syariat
3. Taqriri :Hadis yang matannya berupa tarir, sikap atau keadaan mendiamkan, tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan
4. Qawni :Hadis yang matannya berupa keadaan hal ihlwal dan sifat tertentu
5. Hammi :Hadis yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum dikerjakan, sebetulnya berupa ucapan
b) Dari penyandaran terhadap matan, hadis dapat dibagi pada;[8]
1. Marfu’: Hadis yang matannya dinisbahkan pada Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad
2. Mauquf:Hadis yang matannya dinisbahkan pada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir
3. Maqtu’:Hadis yang matannya dinisbahkan kepada tabiin, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
4. Qudsi: Hadis yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad pada Allah dalam makna
5. Maudu’i:Hadis yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi Muhammad, sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa
D. Pembagian hadis berdasarkan persambungan dan keadaan sanad
Pembagian hadis berdasarkan sanad, yang ditinjau dari segi persambungan sanad, dan dari segi sifat-sifat yang ada pada sanad dan secara periwayatannya, dapat dikemukan di bawah ini. Hadis ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada jenis-jenis.[9]
a) Hadis Muttasil; Hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW
b) Hadis Munfasil: Bila sanadnya tidak bersambung terdapat inqitaha’ (gugur rawi) dalam sanad.
1. Muallaq: Hadis yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad (mudawin)
2. Mursal: Hadis yang gugur rawi pertama atau ahir sanadnya
3. Munqathi’:Hadis yang gugur rawi di satu tabaqat atau gugur dua orang pada dua ttabaqat dalam keadaan tidak berturut-turut
4. Mu’dhal: Hadis yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih secara berturut-turut dalam tabaqat sanad, baik sahabat bersama tabiin, tabiin bersama tabin tabiin, namun dua orang sebelum sahabat dan tabiin
5. Mudallas: Hadis yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda
HADIS MUDRAJ
Idraj menurut bahasa adalah memasukkan sesuatu dalam lipatan sesuatu yang lain. Menurut istilah muhaddisin, yaitu segala sesuatu yang tersebut dalam kandungan suatu hadis dan bersambung dengannya tanpa ada pemisah, padahal ia bukan bagian dari hadis itu.gampangnya adalah hadis yang disisipkan ke dalam matannya sesuatu perkataan orang lain, baik orang itu sahabat ataupun tabiin untuk menerangkan maksud makna.[10]
Para ulama membagi idraj sesuai dengan tempatnya menjadi dua bagian[11]. Pertama, Mudraj matan adalah ucapan sebagian rawi dari kalangan sahabat atau dari generasi setelahnya yang tercatat dalam matan hadis dan bersambung dengannya. Idraj dalam matan adakalanya terjadi di akhir matan dan ini yang terbanyak, di tengah-tengah atau di awalnya. Kebanyakan idraj dalam matan dilakukan dalam menafsirkan maksud suatu ungkapan hadis., tidak jarang merupakan hasil kesimpulan hukum yang darinya pendengar menganggap sebagai bagian dari hadis sehingga deisertakan dengannya.
Kedua Mudraj isnad. Dalam hal ini, para ulama menyebutkan beberapa bentuk yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut; 1) Seorang rawi mendengar suatu hadis dari banyak guru dengan beraneka ragam jalur sanadnya, kemudian ia meriwayatkannya dengan satu jalur sanad tanpa menjelaskan perbedaannya. 2) Seorang rawi memiliki sebagian matan, namun ia juga memiliki sebagian matan lainnya dari sanad lain, kemudian matan tersebut diriwayatkan oleh salah seorang muridnya secara sempurna dengan satu sanad. Jelasnya adalah bila ia memiliki dua hadis dengan dua sanad berbeda, lalu keduanya digabungkan dalam satu sanad. 3) Seorang muhaddis membacakan suatu sanad hadis, kemudian terjadilah sesuatu sehingga ia mengeluarkan kata-katanya sendiri, kemudian kata-katanya itu dianggap oleh sebagai orang yang mendengarnya sebagai matan, sehingga mereka meriwayatkan kata-kata tersebut dengan sanad yang dibaca muhaddis.
Idraj dalam hadis memiliki dampak yang sangat bahaya, lantaran kadang-kadang berakibat menjadikan sesuatu yang bukan hadis sebagai hadis, maka para ulama sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta menanganinya dengan sangat hati-hati. Sehubungan dengan itu mereka menetapkan beberapa pedoman untuk mengetahui dan menyingkapnya dengan pasti.
Pedoman itu adalah sebagai berikut; 1) Adanya riwayat yang memisahkan lafad yang mudraj dari pokok hadis, hal ini sangat jelas. 2) Adanya penegasan tentang kejadian itu dari rawi yang bersangkuta, atau dari salah seorang imam yang luas wawasannya. 3) Idraj dapat diketahui dari lahiriyah susunan hadis. Seperti hadis yang menyatakan bahwa Hilal melakukan adcan di waktu malam.
Sesuatu hadis yang dapat diketahui mana kata-kata yang disisipkan ke dalamnya, dapat dipandang sahih dengan mengeluarkan kata-kata kata itu. Tetapi jika tidak lagi, maka fenomena hadis mudraj oleh para ulama digolongkan hadis daif. Karena tercampur dengan sesuatu yang bukan hadis. Disamping itu, seandainya kata-kata yang di idrajkan itu sahih atau hasan karena dimungkinkan datang melalui sanad lain yang sahih, namun hal ini tidak mengubah kedhoifannya karena dinilai sebagai sesuatu bercampur dalam sebuah hadis yang terjadi idraj. Padahal jelas bahwa ia bukan bagian dari hadis itu.
Namun, al-Suyuthi mengecualikan kesengajaan dalam idraj apabila dalam rangka menafsirkan suatu kata yang asing, maka hal ini tidak haram. Pendapat ini didukung oleh tindakan para imam hadis yang dapat dipegangi, seperti al-Zuhri. Akan tetapi yang lebih utama memastikan mana kata-kata asing yang di idrajkan itu sebagai upaya penafsiran; sementara orang yang mengetahuinya hendaklah menjelaskan.[12]
HADIS MUDLTARIB
Kata mudtarib adalah isim fail dari fiil madi idtaraba yaitu perbedaan perkara dan rusaknya aturan. Kata dasarnya daraba. Secara istilah, bermakna sesuatu yang diriwayatkan dalam bentuk yang berbeda dalam satu tema sebagai penguat.[13] Jelasnya, hadis mudltarib adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dengan beberapa redaksi yang berbeda dengan kualitas yang sama, sehingga tidak ada yang dapat diunggulkan dan tidak dapat dikompromikan. Perbedaan tersebut periwayatnya atau matannya, baik dilakukan oleh seorang perawi atau oleh banyak perawi, dengan mendahulukan, mengemudiankan, menambah, mengurangi, ataupun mengganti, serta tidak dapat dikuatkan salah satu riwayatnya atau salah satu matannya.[14]
Singkatnya, hadis mudltarib adalah hadis yang memiliki perbedaan dari berbagai riwayatnya dengan dua catatan. Pertama, antara hadis tersebut seimbang kualitasnya sehingga tidak dapat diunggulkan salah satunya. Karena bila ada yang dapat diunggulkan, maka hukumnya pada hadis yang unggul tersebut disebut dengan mahfuz, atau ma’ruf lawan dari syadz atau munkar. Kedua, antara hadis tersebut tidak dapat dikompromikan. Karena bila perbedaannya dapat dihilangkan dengan cara benar, maka status ke-mudltaribannya hilang.[15]
Diantara contoh hadis mudltarib adalah hadis Zaid bin Arqam dari Rasululllah. Bersabda:
“Sesungguhnya taman ini terkena bencana. Apabila salah seorang di antara kamu memasuki kakus, berdoalah: Aku berlindung kepada Allah dari Mahluk jahat laki-laki dan mahluk jahat perempuan”[16]
Menurut Turmudzi, hadis Zaid bin Arqam sanadnya mengandung ke mudltariban. Sebab kemudltariban hadis ini adalah adanya perselisihan yang cukup banyak tentang dari siapa Qatadah menerima hadis tersebut. Said bin Abi ‘Arubah meriwayatkan bahwa Qatadah menerimanya dari Qasim bin ‘Auf al-Syaibani, dari Zaid bin Arqam. Hisyam Dastuwa’i berkata: dari Qatadah dari Zaid bin Arqam. Syu’bah meriwayatkan dari Qatadah dari al-Nadhr bin Anas dari Zid bin Arqam. Mu’amar meriwayatkannya dari Qatadah dari al-Nahar dari ayahnya dari Rasululllah.
Ditinjau dari segi hukum, maka hadis mudltarib adalah daif, karena ke-mudltariban itu mengesankan tidak adanya ke-dhabitan seorang periwayat terhadap hadis yang bersangkutan. Karena apabila suatu saat meriwayatkan hadis demikian, lalu pada kesempatan lain meriwayatkanya dalam bentuk lain, maka hal yang demikian menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak terekam kuat dalam hafalannya. Demikian pula bila terjadi pertentangan di antara beberapa riwayat, maka tidak dapat memastikan perawi mana yang paling dhabit terhadap hadis yang diriwayatkan.[17]
HADIS MAQLUB
Menurut etimologi, berubahnya sesuatu dari bentuknya. Kata maqlub adalah isim maf’l dari akar kata qalaba,. Secara terminologi adalah mengganti lafad dengan lafad yang lain pada sanad atau matan hadis.[18] Jelasnya hadis maqlub adalah sesuatu hadis yang telah terjadi kesilapan pada seeorang perawi dengan mendahulukan yang semestinya diahir, atau mengemudiankan yang semestinya lebih dulu baik berupa matan atau sanad[19]
Nuruddin memberikan definisi hadis maqlub adalah hadis yang rawinya menggantikan suatu bagian darinya dengan yang lain, baik dalam sanad atau matan, dan bila karena lupa atau sengaja. Menurutnya, definisi ini yang paling tepat. Berdasarkan definisi ini dapat membagi hadis maqlub menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang dapat mempersatukan berbagia keterangan yang beranekaragam dalam berbagai sumber pembahasan bidang ini. Yakni, maqlubnya suatu hadis bila ditinjau dari posisinya dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, maqlub sanad, yakni pergantian pada sanad. Kedua, maqlub matan yakni pergantian pada matan
Masing-masing dari keduanya adalakanya terjadi karena kelalaian rawinya atau karena kesengajaanya.[20] Para muhaddisin menaruh perhatian besar terhadap kedua klasisfikasi hadis maqlub terahir. Karena dugaannya dapat diketahui mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, serta dapat dijadikan dalil dalam al-jarh wa at ta’dil[21]. Pertama, hadis maqlub yang terjadi karena kelupaan rawinya. Seperti matan suatu hadis yang diriwayatkan dengan sanad tertentu oleh rawinya sehingga meriwayatkannya dengan menggunakan sanad lain.
Diantara contoh hadis maqlub jenis ini hadis yang diriwayatkan dari Ishaq bin Isa al-Thabab’
“Meriwayatkan hadis kepada kami Jarir bin Hazxim dari Sabit dari Anas r.a katanya, Rasululullah bersabda: Apabila sholat telah siap didirikan, maka janganlah kamu berdiri sehingga kamu melihatku”
Ishaq bin Isa berkata: Kemudian saya dating kepada Hammad dan bertanya kepadanya perihal hadis ini. Ia menjawab; Abu al-Nadhar salah duga. Sesungguhnya kami berada di majelis Sabit al-Banni dan Hajjaj bin Abu Usman ada bersama kami. Hajjaj al-Shawwaf meriwayatkan hadis kepada kami dari Yahya bin Abu Bakar dari Abdullah bin Abu Qatradah dari bapaknya bahwa Rasulullah berkata “Apabila sholat telah siap didirikan, maka janganlah kamu berdiri sehingga kamu melihatku”. Abu Nadhar menduga bahwa hadis tersebut termasuk hadis yang diriwayatkan kepada kami oleh Sabit dari Anas.
Jelaslah bagimana tertukarnya suatu sanad oleh rawinya, dimana dia telah menempatkan matan pada selain sanad yang sebenarnya.[22]
Hukum hadis maqlub jenis ini adalah daif, karena hal demikian timbul akibat kacaunya hafalan rawi, sehingga ia memalingkannya dari yang sebenarnya. Apabila terjadi berulang kali, maka akan mengurangi ke-dhabitannya dan semua hadisnya akan di daifkan[23]
Kedua, hadis maqlub yang terjadi karena kesengajaannya rawinya. Hadis maqlub jenis ini adalah yang paling bahaya, sehingga para ulama sangat besar perhatiannya untuk mengkaji dan membongkar rahasianya serta menjelaskan latar belakang dan motif para rawi yang melakukan hal itu. Diantara latar belakang dan motif tersebut adalah;[24]
a. Keinginan perawi untuk mengemukakan hal-hal yang aneh kepada orang lain, sehingga diduga meriwayatkan hadis yang tidak pernah diriwayatkan oleh rawi lain. Dengan itu orang-orang akan menerima dan menghafalkanya.
b. Keinginan seorang rawi untuk menguji ahli hadis yang lain, ia hafal atau tidak dan apakah hafalannya masih baik atau sudah kacau. Di samping dimaksudkan untuk menguji kecerdasan rawi lain, apakah ia menerima indoktrinasi atau tidak. Sebab untuk mengetahui hadis maqlub dibutuhkan hafalan yang luas dan ketekunan yang tinggi guna menguasai sejumlah riwayat dan sanad.
PENUTUP
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan umum sebagai berikut; Pertama, dalam perkembangan masa hadis dikelompakkan sesuai kriteria masing-masing. Secara garis besar hadis dapat dibagi dengan melihat sanad dan matan. Sehingga dapat dirumuskan, berdasarkan diterima dan ditolaknya, jumlah rawi, bentuk dan penisbahan matan dan berdasarkan persambungan dan keadaan sanad.
Kedua, munculnya fenomena penambahan, perbedaan redaksi, penukaran urutan kalimat terdapat uncur positive dan lebih banyak negatifnya. Positif bila dilihat dari penambah penjelas dari kalimat yang masih perlu ditafsirkan. Negatifnya membuat keraguan sang pengkaji, disebabkan berbagai hal, diantaranya kemungkinan sang perawi memang tidak dabit, dan kemungkinan rawi menafsirkan secara obyektif, sehingga tidak sesuai makna dan maksud sebenarnya.
Dengan munculnya fenomena diatas memiliki dampak yang sangat bahaya, lantaran kadang-kadang berakibat menjadikan sesuatu yang bukan hadis sebagai hadis, maka para ulama sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta menanganinya dengan sangat hati-hati. Dan ahirnya para pecinta hadis agar tergugah untuk lebih berhati-hati dalam menelaah dan mengamalkan isi hadis sehingga dapat membedakan mana yang termasuk bagian hadis dan yang bukan
DAFTAR PUSTAKA
Endang Soetari AD, Ilmu Hadis, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadis
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadis: Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
-------------, Ushul al-Hadis: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin 1977
-------------, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadis, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997
------------, Manhaj fi Ulum al-Hadis, Damaskus: Dar al-Fikr 1998
Subhi al-Salih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Beirut: Darul Ilmi lil Malayin 1977
Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra 1999
[1]Muhammad A’jaj al-Khatib, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr 1981), hal. 92-92
[2]Dabit adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik bersangkutan hafalanya yang kuat ataupun dengan kitabnya kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkanya.
[3]Nuruddin Itr, Manhaj fi Ulum al-Hadis, (Damaskus: Dar al-Fikr 1998), hal. 242
[4]Pendapat ini dari Zarqani dalam syarah Baiquniyah dan dikutip oleh Nuruddin Itr. Lihat Nuruddin Itr, Manhaj fi Ulum al-Hadis………...Hal. 263
[5]Syarat hadis maqbul ada enam; 1) Rawinya adil 2)Rawi dabit 3)Sanadnya bersambung 4) Hadis tersebut tidak dapat kerancuan 5)Hadis tersebut tidak terdapat illat yang merusak 6)Pada saat dibutuhkan, hadis tersebut menguntungkan (tidak mencelakakan)
[6]Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadis: Pokok-Pokok Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama 1998), hal. 271-273 dan Endang Soetari AD, Ilmu Hadis, (Bandung: Amal Bakti Press 1997), hal.119
[7]Endang Soetari AD, Ilmu Hadis………hal. 132
[8]Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin 1977)
[9]Endang Soetari AD, Ilmu Hadis………hal. 136-137
[10]Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra 1999), hal. 199
[11]Nuruddin Itr, Manhaj fi Ulum al-Hadis…….hal.440-442
[12]Pendapat ini dikutip oleh Mahmud Tohan dalam Taisir Musthalah Hadis, hal.88
[13]Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadis…hal. 93
[14]Subhi al-Salih, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, (Beirut: Darul Ilmi lil Malayin 1977), hal. 187
[15]Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya 1997), hal.235
[16]Terjemahan dari hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud pada pendahuluan kitab Sunan-nya dan oleh Ibnu Majjah.
[17]Nuruddin Itr, Manhaj fi Ulum al-Hadis…….hal. 434-435
[18]Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadis…hal.89
[19]Subhi al-Salih, Ulum al-Hadis wa … 191 dan Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar …… hal. 199
[20]Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadis……Hal.237
[21]Jarh wa at ta’dil adalah hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat
[22]Hadis yang benar diriwayatkan oleh Bukhori pada bab Mata Yaqumu an Nasu Idza Ra’u al-Imam, 1:125 dan Muslim 2:101. Hadis yang diriwayatkan oleh Ishaq dengan sanad yang tidak sebenarnya itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab al-‘Ilal wa Ma’rifat al-Rijal, 1:243 dan diriwayatkan oleh Turmudzi dari Bukhori dalam kitab al-Jum’ah bab al-Kalam ba’da Nuzul al-Imam min al-Minbar, 2:395
[23]Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadis…hal. 240
[24]Nuruddin Itr, Manhaj fi Ulum al-Hadis…….hal.437-439
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar