Otentisitas Hadis Di Mata Orientalist

Admin Sunday, December 12, 2010

Otentisitas Hadis Di Mata Orientalist

As- Sunnah adalah sumber kedua – setelah al qur’an- dalam penetapan hukum fiqh maupun syari’at. Karena itu pembahasan tentang as sunnah sebagai dasar serta dalil bagi hukum-hukum syari’at dilakukan secara luas dalam semua kitab ushul fiqh dan oleh semua mazhab . Sedemikian pentingnya sampai-sampai al Auza’iy (w. 157 H) menyatakan bahwa al qur’an lebih membutuhkan as sunnah dibandingkan dengan kebutuhan as sunnah terhadap al qur’an. Dalam artian bahwa makna-makan ayang terkandung dalam al qur’an tidak akan bisa difahami dengan baik tanpa mengkaitkannya dengan sunnah nabi SAW tersebut.

A. Pendahuluan
Oleh karena itu setiap mazhab fiqh ketika mengistinbathkan hukum mereka akan mendasarkan dalil-dalilnya dengan menggunakan as sunnah sebagai dsar argumentasi baik yang berupa ucapan , tindakan atau taqrir nabi SAW. Sama saja dalam hal ini, apakah pengarangnya dikenal –dalam sejarah ilmu fiqh- sebagai tokoh atau pengikut madrasah ahlul hadis ataupun madrasah ahlur ra’y.
Demikian pula para ulama sepakat bahwa as sunnah memiliki tiga fungsi utama dalam rangka hubungannya dengan al qur’an, yakni kadangkala ia berfungsi sebagai bayan ta’qid terhdap ketentuan hukum yang ada dalam al qur’an, atau bayan tafsir terhadap kemujmalan al qur’an dan fungsi bayan tasyri’ terhadap segala sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam al qur’an. Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan sunnah nabi itu, banyak musuh-musuh islam berupaya meruntuhkan ajaran islamd engan cara mengkaji dan meneliti as sunnah dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dsar validitas as sunnah sebagai dalil / dsar argumentasi. Penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan oleh musuh-musuh islam itu (diantaranya sebagaian dilakukan oleh oreintalis) itu sebenarnya mengajak umat islam untuk meragukan kebenran as sunnah. Dengan diragukannya hadis –hadis yang ada dalam kitab-kitab hadis karya ulama masa lalu, maka robohlah sudah satu pilar agama islam . Sehingga umat islam tidak memiliki kesatuan atau keseragaman dalam memahami al qur’an dan lebih jauh dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran syari’at islam tentunya. Inilah tujuan utama kegiatan orientalis dalam mengkaji as sunnah. Yusuf Qardlawiy telah menengarai kelompok (musuh-musuh islam) itu terdiri dari para missionaris dan orientalis dan sebagian lagi murid-murid termasuk orang-orang yang terpesona dengan “metode ilmiah” yang mereka peragakan itu.
Di antara sekian banyak orientalis yang mengkaji, ada 3 nama besar yang berpengaruh dalam kegiatan penelitian hadis. Mereka itu adalah Goldziher , Schahct dan jyunboll. Berikut ini akan dibahas pola pemikiran mereka terhadap kesahihan hadis-hadis nabi saw.

B. Biografi Ketiga Orientalis
Ignaz Goldziher adalah orientalis hungaria yang dilahirkan dari keluarga yahudi pada tahun 1850 Masehi. Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajr pada Syaikh Thahir al Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama al Azhar. Sepulangnya dari al Azhar ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budapest. Karya-karya tulisnya yang membahas masalah keislaman banyak dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis. Bahkan sebgaian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan yang paling berpengaruh dari karya-karya tulisnya adalah buku yag berjudul: Muhammadanische Studien, di mana ia menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadis di Barat. Di samping karyanya yang lain seperti: Le Dogme et Les Lois de L’Islam (The Principle of Law is Islam), Introduction to Islamic Theology and Law, Etudes Sur La Tradition Islamique. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.
Sementara Josepht Schahct adalah seorang profesor kelahiran Silisie Jerman pad atanggal 15-3-1902. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, teologi dan bahsa-bahasa timur di universitas Berslaw dan universitas Leipzig. Ia meraih gelar doktor dari universitas Berslaw pada tahun 1923 ketika berumur 21 tahun. Pada tahun 1925 ia diangkat jadi dosen di Universitas Fribourg dan pad atahun 1929 ia dikukuhkan sebagi guru besar. Pada thaun 1932 ia pindah ke universitas Kingsbourgh dan 2 tahun kemudian ia meninggalkan negrinya jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (universitas Cairo) di Mesir. Ia tinggal di Mesir samapai tahun 1939 sebagai guru besar. Karena meletus perang dunia II Schacht pindah ke Inggris dan belajar lagi di Pasca Sarjana Universitas Oxford. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1952. Pada tahun 1954 ia pindah ke Belanda sebagai guru besar di universitas Leiden sampai tahun 1959.Ia pindah lagi ke universitas Columbia New York sebagai guru besar samapai ia meninggal pada tahun 1969.
Adapun G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua orientalis di atas. Karya-karyanya antara lain : The Authenticity of The Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt, juga tentang On The Origin of Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna.
C. Pemikiran Ketiga Orientalis tentang Otentisitas Hadis Nabi
Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadis adalah ignaz goldziher dalam bukunya : Muhammadanische Studien sebagaiman ayang dikutip oleh Dr. Ali Hassan Abdul Qadir (1965 : 127) dia mengatakan:”bagian terbesar dari hadis tak lain adalah hasil perkembnaan islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembnagan islam pada masa kematangan”
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabt ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat nabi yang didaarkan pada fenomene-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis nabi adalah berdasarkan pad sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab azZuhri. Menurut Goldziher , al Zuhri mengatakan :
ان هؤلاء الأمرا اكرهنا على كتابة احاديس
(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis” )Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang berasal dari Nabi SAW.( as Sibai’I, 1978:12) Jadi pengertian ucapan al Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu suda ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku . semnetara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher radalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadis yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena par aulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian ,menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan ( Azhami, 1982:127). Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti ppolitik, sains, sosio kultural dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi SAW (Gibb, 1983:56-57). Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawu dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria adan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya./ Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi SAW dimana isinya umat islam tidak diperintahkan pegi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawu dan Masjid al Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al Zuhri dan bukan sabda Nabi SAW, meskipun hadis tersebut tercantum dalam kitabshahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalul sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.
Pemikiran Barat yang “ilmiah” ini ternyata berdampak sangat luas terhadap sleuruh kajian-kajian tentnag islam. Pengaruhnya bukan saja di kalnagan orientalis saja melainkan juga di kalanagan pemikir muslim, misalnya Ahmad Amin, dalam bukunya “Fajrul Ilsam” juga terkecoh dengan meragukan bebrapa hadis akibat teorinya Ignaz tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya “Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” ia juga banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi goldziher. Demikian juga Dr. Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda.
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini :
Pertama, Teori Projecting Back, maksudnya dalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H) Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan denagn hukum islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum islam baru eksis ketika ad akebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim. Para Qadli ini pada akhirnya menjadi kelompok aliran fiqh klasik. Keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh mereka tentunya memmerlukan legitimasi dari “orang-orang yang memiliki otoritas” lebih tinggi. Karena itu keputusan itu mereka nisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya, yang otoritatif dan kharismatik, tidak saja pada ulama yang jarak wafatnya dengan mereka dekat, melainkan juga dinisbahkan kepada tokoh yang jauh di be;lakangnya. Langkah selanjutnya untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat pendapat /keputusan hukum itu dinisbahkan kepada kepada tokoh yang lebih tinggi mislanya abdullah bin Mas’ud dll. Dan pada akhirnya keputusan itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW . Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadis menurut prof. Josepht Schahct yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pemdapat itu kepada tokoh-tokoh sejarah masa lalu .
Gerakan penisbahan hadis yang dilakukan oleh aliran fiqh klasik ini diimbangi oleh gerakan oposisi dari kalangan ahli hadis (madrasah hadis) Merka mulai enafsirkan hadis-hadis nabi untuk mengiumbnagi dan memngalahkan aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok aliran fiqh klasik. Caranya dengan membuat sanad yang diakui kevalidannya bersambung dari seorang perawi samapi kepada Nabii SAW (Ya’qub,1995:22). Kesimpulan dari teori Josepht Schahct ini adalah baik kelompok ahli fiqh maupun kelompok madraah hadis, keduanya sama-sama memalsu hadis! Karena itu Josepht Schahct mengatakan : We shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic (Schacht, 1975:149) (kita tidak akan dapat menemukan satupun hadis nabi yang berkaitan dengan hukum yang dapat dipertimbangkan sebagai hadis shahih)
Kedua, Teori E Silentio, sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/ jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertam kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi (Schacht,1975:40)
Ketiga, Teori Common Link, yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat (Schacht,1975:167) Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu (Schacht,1975:169). Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat (Schacht,1975:170). Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
Sembari mengutip karya imam syafi’I dalam kitab :ikhtilaful hadis, halaman 294 Josepht Schahct memberi contoh :
Nabi Nabi

Laki-laki dari Banu Salama Jabir bin Abdullah

‘Amr bin Abi ‘Amr

Sulaiman bin Bilal Ibrahim bin Muhammad Abdul Aziz

Imam Syafii

Amr bin abi Amr inilah yang disebut sebagai tokoh penghubung yang tanpa rgu-ragu diletakkan untuk menghubungkan anatra kelompok perawi satu dengan perawi lainnya (Schacht,1975:172). Dengan alasan bahwa biar isnadnya bersambung antara Muthalib dengan Sulaiman, Ibrahim dan Abdul Aziz, Muthalib menggunkan amr (bekas budaknya/berarti hubungan wala’) sebagai penghubuhng dirinya dengan ketiga perawi lain yang tak sezaman dengan dirinya.
Inilah dasar-daar pemikiran yang disusun Josepht Schahct untuk membuktikan bahwa kebanyakan hadis nabi adalah hasil rekayasa para ulama abad 2 hijriya.
Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam bebrpa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadsi yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secra cermat setelah terjadiny a”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dnegan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperngan antara abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hdis palsu. Seperti hadis “man Kazaba…” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat abu hanifah adalah merupakan tokoh yang serig mengenyampingkan hadis (Jyunboll, 1960:121). Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakn namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai ahsil dari suatu usaha dari par pendukung mazhab hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah ahl al ra’y dengan madrasah ahl al hadis (Jyunboll, 1960:123).
Jyunboll mendukung teori e silentionya schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadis itu (Jyunboll, 1960:98).
Demikian juga dengan teori Common Linknya schacht dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant (Jyunboll, 1960:207) sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis (Jyunboll, 1960:205).

B. Bantahan Para Ulama terhadap Kritik Orientalis
Pendapat Goldziher bahwa hadis belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan islam disanggah oleh bebrapa pakar hadis. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Karena ketidaktahuan mereka (kekurangpercayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain yakni Nabia Abbot, justru mengajukan buktii-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencattan hadis pada awal-awal periode islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri. Abbot menyimpulakn bahwa penulisan hadis bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadis kedalam buku-buku fiqh (Abbot, : 289) Sisi metodologi yang dikritik Azhami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakn perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebgai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan (Azhami, :118)
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab az Zuhri , Azhami menyatakan bahwa tiadak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al Ahadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz ahadis saja. Demikian juga ternyata tuduhan Goldziher bahwa al Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan abdul malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri . Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah (Jyunboll,1999:51). Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaiman atermaktub dalam kitab shahih Bukhari hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wjar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertma bagi ummat islam.
Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan ( Shalih, 1988:284-287). Hanya saja secara teori memnag kurang mendapat porsi publikasi yang berimbang dibanding kritik sanad. Bahkan ternyata tawaran metodologis Goldziher itu dalam praktiknya justru mengundang kelemahan, karena alat analisa yang digunakan adalah bukku-buku sejarah (sirah Nabi) atau kitab-kitab maghazi dan kitab-kitab fiqh yang tidak terjaga ketelitian periwayatan sanadnya (Ismail, 1995:76-82)
Berikutnya adalah sanggahan terhadap kritikan Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azhami kesalahan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /sumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’I tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis (Azhami, 1978: ) . Azhami dalam rangka meruntuhkan teorinya schacht telah melakukan penelitian terhdap beberapa naskah hadis –dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst- yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja (Azhami, :199).
Sementara teori e Silentio-nya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari salam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azhami dalam On Schacht …Keduanya berkesimpulan bahwa schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya the origin ..schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’I ( Schacht, :57) , kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya- yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang oleh Ignaz Goldziher dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum , kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabatdan tabi’in (Ismai’,1995:115). Di samping itu Azhami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut. Sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru karena tidak mendukung teori hukum yang mereka anut (Azhami, : 119-121). Ketidakkonsistenan schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi (Azhami, :118)
Teori ketiga Schacht “ Common Link” juga tak lepas dari kritik Azhami . Menurut beliau schacht tidak cermat atau bisa jadi tidak memahami sanad yang dipakai syafi’I dalam bab Ihktilaf al Hadis halaman: 249 tersebut. Seharusnya ,menurut Azhami skema sanad yang beanr adalah :
Nabi Nabi

Jabin bin Abdullah Jabir bin Abdullah

Muthalib

‘Amr bin Abi ‘Amr

Sulaiman bin Bilal Ibrahim bin Muhammad Abdul Aziz

Imam Syafii

Sebab Imam Syafii telah menjelaskan bahwa abdul ‘aziz salah menyebut ‘Amr dengan sebutan “laki-laki dari banu salama” . Ibrahim bin Yahya lebih Siqah dari Abdul ‘Aziz dan pernyataannya didukung oleh sulaiman sehingga ‘Amr adalah satu-satunya perawi yang dijadikan sandaran oleh ketiga perawi tersebut (Azhami, : 199).
Terhadap kritik Jyunboll bahwa hadis palsu mulai muncul semenjak terjadi fitnah , yakni kasus permusuhan antara ‘abdullah bin Zubair dengan Muawiyah adalah lemah. Ulama ahli sejarah hendak memerinci dengan detil istilah-istilah keagamaan yang berbau politik sehingga bisa dibedakan suatu istilah tertentu pastilah merujuk pada peristiwa tertentu. Dan Ucapan Ibn Sirin bahwa sanad mulai digunakan ketika terjadi fitnah, maka yang beliau maksud dengan fitnah di sini adalah peristiwa terbunuhnya Utsman.
Selebihnya karena pemikiran Jyunboll lebih banyak mendompleng pemikiran schacht /Goldziher , maka ulama hadis kontemporer tidak banyak memberikan eaksi terhadap ide-ide Jyunboll.
Demikian makalah ini disusun kesimpulannya adalah bahwa ketekunan dan minat/gairah intelektual para orientalis untuk mempelajari hadis patut untuk direspon dengan baik. Hanya saja niat dan tujuan mereka yang jahat itulah yang patut diwaspadai . Keseluruhan ulama pendukung hadis, yakin bahwa kajian-kajian islam (terutama al hadis) yang dilakukan oleh orientalis tidak dimaksudkan kecuali dengan tujuan meragukan dan menyanggah kebenaran dasar-dasar syari’at islam.
Oleh karena itu ummat islam dituntut untuk terus mengkaji dan mengembangkan studi yang lebih intensif dan metodologis dalam rangka mempertahankan serangan-serangan dari fihak di luar Islam dan sekaligus mengembangkan pemahamna-pemahaman baru yang bisa lebih diterima oleh pemikiran yang rasional dan bertanggung jawab. Akhir al kalam Wallahu a’lam bi al Shawab.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar