Munasabah dalam Al-Quran

Admin Monday, November 29, 2010

A.      Pengertian munasabah
Munasabah (korelasi) dalam arti bahasa adalah cocok, sesuai, klop, patut, atau mendekati[1]. Jika dikatakan A munasabah B, maka dapat dikatakan A cocok, menyerupai, atau mendekati B. Sedangkan terminologinya, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Manna’ Khalil al-Qaththan berpendapat bahwa munasabah adalah korelasi kata per kata dalam satu ayat, antara ayat satu dengan ayat lainnya, atau antara surat dengan surat lainnya.
Lain halnya dengan TM Hasbi ash-Shiddieqy yang mengatakan bahwa munasabah adalah korelasi antar ayat saja. Al-Baghawy menyamakan munsabah dengan ta’wil. Beberapa definisi tersebut diformulasikan menjadi ilmu yang membahas tentang hikmah korelasi urutan ayat al-Qur’an atau usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal[2].
Formulasi lain mengatakan bahwa munasabah adalah ilmu yang menjelaskan persesuaian  antara ayat dengan ayat dan atau surat dengan surat sehingga dapat diketahui alasan-alasan penertiban dari ayat-ayat dan atau surat-surat dalam al-Qur’an[3]. Munasabah tidak hanya menerangkan tentang hal-hal yang berkorelasi positif saja, namun korelasi negatif pun dibahas dalam munasabah.
Sepintas jika diamati ayat-ayat al-qur’an seakan-akan terputus dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya. Namun jika diteliti lebih jauh akan nampak korelasi atau munasabah antar ayat-ayat tersebut.

B.       Sejarah Perkembangan Pengetahuan Munasabah
Munasabah adalah ilmu yang menggunakan rasio. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Subhi Shalih:
المناسبة أمرمعقول إذا أعرض علي العقول تلقته بالقبول[4]
Menilik atas apa yang dikemukakan Shubhi al-Shalih, maka perkembangan munasabah dapat digolongkan menjadi dua golongan, yakni ‘ulama yang memberikan pengertian dan mengembangkan munasabah serta ‘ulama yang menganggap munasabah adalah hal yang tidak penting dan tidak mengembangkannya[5].
Golongan pertama yang memberikan perhatian kepada munasabah dipelopori oleh Imam Abu Bakar al-Naisabury (w.324) berawal dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul dibenak beliau ketika ia mendengar ayat-ayat atau surat-surat al-qur’an mengapa penyusunan ayat ini atau surat ini berada di depan atau dibelakang ayat atau surat ini. Selain al-Naisabury, Fakhruddin al-Razy juga memiliki perhatian yang sangat besar terhadap munasabah. Sedangkan Nidhamuddin al-Naisabury, Abu Hayyan al-Andalusy serta al-Suyuthi hanya menaruh sedikit perhatian pada munasabah yakni pada korelasi antara ayat dengan ayat.
Penggunaan istilah munasabah pun berbeda-beda. Ar-raziy dalam kitab tafsirnya mengatakan munasabah dengan istilah ta’alluq. Al-Alusiy dalam kitab tafsirnya Ruhul Ma’ani menggunakan istilah tartib. Sedangkan Rasyid Ridla dengan dua istilah, al-iththishal dan at-ta’lil.  Sayyid Qutub mengganti munasabah denga istilah irthibat[6].
Golongan pertama yang memandang akan urgensi pengungkapan munasabah bersandar pada suatu pemikiran yang menyatakan bahwa tartib al-qur’an adalah tauqifi bukan ijtihadi. Ini menunjukkan bahwa urutan ayat dan surat adalah petunjuk Rasul SAW[7].
Golongan kedua yang menganggap tidak perlu melakukan munasabah mengatakan bahwa hubungan yang dicari adalah satu ayat dengan beberapa prinsip. Termasuk juga bahwa al-qur’an hanya menampilkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabda’) dan norma atau kaidah umum. Maka bukan hal yang tepat jika orang bersikeras untuk mencari korelasi antar ayat atau surat yang sifatnya tafshil[8]. Demikian halnya Mahmud Syaltuth yang kurang setuju akan mufassir yang menggunakan munasabah.

C.       Macam-Macam Munasabah
Munasabah terbagi menjadi dua macam, munasabah dari aspek sifat-sifat dan munasabah dari aspek materi. Aspek sifat-sifat meliputi[9]:
1.         Dhahir al-Irtibath (korelasi transparan)
Korelasi yang terjadi pada pembahasan ini adalah persesuaian antara ayat atau surat al-qur’an yang tampak jelas dan kuat sehingga apabila salah satu kata tersebut dipisahkan maka maknanya tidak akan sempurna. Contohnya adalah korelasi antara surat al-Isra ayat 1 dan 2 yang menjelaskan tentang korelasi Nabi Muhammad dan Nabi Musa sebagai Nabi dan Rasulullah.  
2.         Khafiyyu al-Irtibath (korelasi terselubung)
Korelasi yang terjadi antara ayat atau bagian al-qur’an yang tidak tampak secara jelas, seakan-akan berdiri sendiri baik karena di’athafkan pada ayat lain atau seakan bertentangan dengan ayat yang lain. Contohnya surat al-Ghasiyah ayat 17-20.

Munasabah dari aspek materi terbagi menjadi dua; munasabah antar ayat dan munasabah antar surat.
1.         Munasabah antar ayat adalah hubungan atau persesuaian antara ayat satu dengan ayat lainnya. Hal ini kadang terlihat jelas atau tidak jelas. Dapat dikatan jelas karena pembahasan suatu masalah tidak cukup pada satu ayat saja. Terkadang berlanjut pada ayat berikutnya. Untuk meniliti korelasi yang tidak jelas digunakan ‘athaf (penghubung) secara langsung maupun tidak. Korelasi secara langsung (dengan huruf ‘athaf) adalah korelasi antara dua makna yang memiliki satu aspek yang tersinkronisasi walaupun tidak sama persis. Contohnya adalah korelasi surat al-baqarah ayat 102 dengan ali imran ayat 103. Adapun munasabah tidak langsung adalah munasabah tanpa huruf athaf. Munasabah secara tidak langsung harus mempunyai sandaran tersendiri untuk mengindikasikan akan adanya hubungan yang disebut dengan al-qarinah al-maknawiyah yang terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
a.         Tandhir (komparasi) yakni korelasi antara dua ayat yang serupa atau setara. Contohnya surat al-anfal ayat 4-5.
b.        Mudladdah (kontradiksi) yakni korelasi ayat yang mencerminkan pertentangan. Contoh surat al-baqarah ayat 5-6
c.         Istithrad, korelasi yang menunjukkan adanya korelasi antara satu persoalan dengan persoalan lain. Contoh surat shad 54-55
d.        Takhallush, korelasi yang berisi pengalihan suatu pembicaraan ke pembicaraan lain. Contoh shad 49
e.         Takhallush dalam bentuk berbeda, yakni korelasi perpindahan suatu topik pada maksdu tertentu. Contoh al-‘araf 156.
2.         Korelasi antar surat adalah hubungan persesuaian antara satu surat dengan surat lainnya. Korelasi antar surat yang digunakan ulama adalah menggunakan pendapat yang menyatakan urutan surat dalam al-qur’an adalah tauqifi. Namun tidak semuaya berisi korelasi yang jelas. Namun umumnya satu surat berisi satu topik yang menonjol.

Dalam penelitiannya, mufassir mencukupkan dengan mengetengahkan korelasi antara awal suatu surat dengan akhir suatu surat, bukan dengan kumpulan ayat-ayat suatu surat. Korelasi surat-surat terbagi menjadi lima bagian:
a.          Korelasi antar nama surat
Korelasi yang terjadi adalah antara nama surah dengan nama surat berikutnya atau terdapat hubungan makna. Contohnya adalah almukminun (23) al-nur (24) dan al-furqan (25).
b.         Korelasi subtansi secara global suatu surat dengan surat lainnya.
Maksudnya adalah materi atau kandungan surat berkaitan dengan kandungan surat berikutnya. Contoh al-baqarah dengan al-fatihah dan surat Ibrahim dengan al-hijr
c.          Korelasi antara awal dengan akhir surat
Substansi dari awal sebuah surat biasanya terkait dengan substansi dari akhir surat tersebut. Contoh awal dan akhir surat al-baqarah serta awal dan akhir surat al-nisa’.
d.         Korelasi antara akhir surat dengan awal surat berikutnya
Secara umum penelitian ulama mengatakan bahwa akhir suatu surat erat kaitannya dengan awal surat meskipun sudah dipisah basmalah. Bagian ini dibagi menjadi dua, yaitu dari aspek huruf-hurufnya dimana huruf akhir suatu surat sama dengan awal suatu surat berikutnya. Contoh akhir surat al-fil dengan awal surat al-qurays. Kedua, dari aspek makna sebagaimana contoh akhir surat al-maidah dengan awal surat al-an’am.
e.          Korelasi awal surat yang terdiri dari huruf-huruf terpisah (al-ahruf al-muqaththa’ah) dengan huruf-huruf dalam surat yang sama. Contohnya adalah surat al-baqarah ali imran, al-‘araf, yunus dst.

D.      Urgensi Munasabah dalam Penafsiran al-Qur’an
Meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa munasabah adalah hal yang tidak perlu dijabarkan, keberadaannya sangat penting dalam proses penafsiran atau penta’wilan al-qur’an secara cermat.
Dalam kitab-kitab tafsir tersirat akan sikap para mufassir yang mengemukakan asbab al-nuzul terlebih dahulu. Sebagian lainnya mengalami pertanyaan akan apa yang akan mereka urai terlebih dahulu antara asbab al-nuzul atau munasabah. Inilah yang mengindikasikan akan adanya korelasi dalam perangkaian al-qur’an yang serasi[10].
Mengingat munasabah adalah hal yang tauqifi, maka setiap ayat tidak harus memiliki korelasi dengan ayat lainnya disebabakan turunnya al-qur’an berangsur-angsur. Metode munasabah memberikan dua arti penting, pertama dari aspek balaghah. Kedua dari aspek memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat.
Urgensi munasabah lainnya adalah sebagai metode untuk memahami ayat al-qur’an secara utuh, keindahan, kehalusan bahasa serta dalam pemahaman makna.  

E.       Kesimpulan
Meski pembahasannya tidak setajam bab-bab lainnya dalam pembahasan ulumul qur’an, kedudukan munasabah tidak dapat dipandang sebelah mata. Terbukti dengan diaplikasikannya metode ini oleh beberapa mufassir dalam karangan-karangan mereka. Dengan beberapa metode munasabah yang telah dipaparkan, tidak tertutup kemungkinan akan berkembangnya munasabah kedepan. Mengingat munasabah adalah sesuatu yang ta’aqquli/tauqifi.


Daftar Pustaka
Usman, M.Ag, Dr. Ulumu Quran. Yogyakarta: Teras, 2009
Chirzin, M.Ag, Drs. Muhammad, al-quran dan ulumul qur’an. Yogyakarta: Dana bakthi prima yasa, 1998
Izzan, M.Ag, Drs. Ahmad, ulumul qur’an. Bandung: Tafakur, 2005
Djalal, Abdul. Ulumul quran. Surabaya: Dunia Islam, 1998
Al-shiddieqi, T.M. Hasbi. Ilmu-ilmu al-qur’an. Jakarta: Bulan Bintag, 1988
Al-qaththan, manna’ khalil. Mabahits fi ulum al-quran. Beirut: al-syirkah al-muttahidah li al-tauzi, 1993
al-Dualibi, Ma’ruf, Ta’rif bi al-Kitab al-Karim, al-muslimun Edisi September 1952
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Dhilal al-Qur’an, j.i, (Beirut: Dar Ihya’ al-Tijarat al-“arabiyah, 1386 H.)


[1] Muhammad Chirzin, al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1998), h. 50
[2] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h.162. Lihat juga Muhammad Chirzin, al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1998), h. 50
[3] Ibid; h. 163. Lihat Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Islam, 1998), h. 54
[4] Shubhi al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Daral-‘Ilmi al-Milayin, 1972), h.152
[5] Ahmad Izzan, Ulumul Quran.(Bandung: Tafakur, 2005), h.191
[6] Usman, h. 166-168
[7] Sayyid Quthb, Tafsir fi Dhilal al-Qur’an, j.i, (Beirut: Dar Ihya’ al-Tijarat al-“arabiyah, 1386 H.), h.99
[8] Ma’ruf al-Dualibi, Ta’rif bi al-Kitab al-Karim, al-muslimun Edisi September 1952, h.27. Ma’ruf al-Dualibi adalah orang yang palingg keras menentang penggunaan munasabah. Lihat juga Ajmad Izzan, Ulumul Quran,(Bandung: Tafakur, 2005), h. 191
[9] Usman, h.177
[10] Muhammad Chirzin, h. 56
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar