TASHARRUFUL IMAM ‘ALA AL- RA’IYYAH MANUTUN BI AL- MASLAHAH

Admin Monday, November 29, 2010

TASHARRUFUL IMAM ‘ALA AL- RA’IYYAH MANUTUN BI AL- MASLAHAH

(Telaah Konseptual)
BAB I
PENDAHULUAN
Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan al-qawaid a- fiqihiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Beberapa kaidah yang bersifat individu diantaranya kaidah tentang niat (al umuuru biaqashidiha), al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu pihak individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak pihak, karena dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqih siyasah.
Seperti yang diketahui bahwa fiqih siyasah adalah hukum Islam yang obyek bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan tesebut. Apabila disederhanakan, fiqih siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional.[1] Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.[2]
Dalam analisis mengenai kaidah ini, terdapat dua kata yang saling terkait, yang pertama yaitu tasharrul imam (kebijakan pemimpimn) dan yang kedua adalah al maslahat (maslahat). Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan arah dari konsep kebijakan yersebut, yaitu maslahat..Oleh karena itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan kepada sebuah munculnya kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin. Ketika kita memperhatikan kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat yang berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu kebijakan


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al maslahah

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kaidah ini merupakan kaidah (fikih) yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
Lebih jauh dari sekedar pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme musyawarah. Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah QS. As Syura ayat 38 yang berbunyi;
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38)
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
Sebuah contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi berlakunya asas tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in bin Mansur; “sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.[3]
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Kaidah ini juga diperkuat dengan QS. An-nisa ayat 58 yang berbunyi;
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ......
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.[4]
Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al asybah wa al-nadhair. Syeh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As suyuti mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu Negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran program kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu diperbolehkan, tetapi kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaan hal tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan dharurat maka peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain adalah soal pembagian zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam keadaan mampu tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada rakyat yang notabene lebih memutuhkan.[5]
Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak boleh terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat maka itulah yang direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebojakan yang mendatangkan mudharat dan mafsadah bagi rakyat, itlah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pemabangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka laangan kerja yang padat karya, melindungi huta lindung, menjaga ligkungan, mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan professional dan lain sebagainya.
Dalam mendukung kaidah tersebut, tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang diperkukan untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi; ikhtiyarul amstal fal alstal (memilih yang representative dan lebih representative lgi).[6]. Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu harus dilakukan dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu. Artinya memang kebutuhan masyarakat yang sedemikian banyak, mana yang lebih representative untuk dilaksanakan dan diprioritaskan lebih dulu.
Pada intinya dalam kaidah inti yang tertulis dalam judul makalh ini adalah bahwa segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, maka harus dicarikan solusi terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat ditawarkan bisa meliputi substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan mekanisme dalam pelaksanaannya. Ibarata dalam sebuah system hukum maka ada hukum formil dan hukum materiil yang tidak boleh lepas salah satunya. Lalu kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa yang mengikat seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan utama atau prioritas utama dalam mengambil setiap kebijakan?

B.     Analisis konsep maslahah
Maslahah berasal dari kata shalaha (صلح) dengan penambahan alif diawalnya yang secara arti kata berarti baik lawan dari kata buruk atau rusak. Maslahah dalah masdar dengan arti shalah yaitu manfaat atau terlepas darinya kerusakan. Adapun maslahah secara definitive antara lain dikemukakan oleh ai-Ghazali sebagai berikut:
المحافضة على مقصود  الشرع
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)
Adapun al-Khawarizmi mendefinisikan:
المحافضة على مقصود  الشرع بدفع المفاسد عن الخلق
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hokum) dengan cara menghindari kerusakan dari manusia.[7]
 Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari kata salah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[8]
Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang daruri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat, lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki. Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.[9]
At-Tufi menurut yang dinukil Yusuf Hamid al-Alim dalam karyanya al-maqasid al-ammah li asy-syari’atil islamiyah mendefinisikan maslahah dengan
عبارة عن السبب المؤدي الى مقصود الشارع عبادة او عادة
Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atu adat.[10]
At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka.
Kami tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat manusia karena dalil-dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya.
Kami menetapkan bahwa maslahat adalah termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih mendahulukan maslahat. Bahkan dalam kaidah alternative muncul kaidah:
الابرة بالمقاصد لا بالالفاظ.
Kaidah ini berartibahea yang mestimenjadi perhatian seorang mujahid didalam meng-istinbat-kan huku dari al-Qur’an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqasid yang dikandungnya.[11]

C.                Kriteria dan batasan maslahat
Kemaslahatan membawa manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudharatan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut dengan maslahat perlu mendapat criteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat lindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’, untuk criteria maslahat apabila dilihat akan muncul sebagai beikut.
1. kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah, dalil-dalil kulli, (general dari Al Qur’an dan As Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2. kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hinga tidak meragukan lagi.
3. kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan sebagian masyarakat kecil.
4. kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan.[12]

Para ahli ushul fiqih membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti maslahat pada

hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh surat Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang ditimbulkan oleh qishash ialah meles-tarikan hidup manusia. Begitu juga maslahat yang terdapat pada hukum potong tangan pencuri dan maslahat yang ada pada hukum Had al-qadzaf (hukuman seseorang yang menuduh berzina).
Semua maslahat ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat mu'tabarah karena maslahat itu bersumber dari syariah.
Sedangkan maslahah mulghah adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada. Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
Adapun maslahah mursalah ialah maslahat yang keberadaanya secara langsung tidak ditetapkan oleh nash tetapi sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas membatalkannya. Seperti keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan yang melakukan akad nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak menerima gugatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah dalam hal ini disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-Qur'an oleh Abu Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman.
Di antara ketiga maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah saja yang disepakati ulama sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum.
Sedangkan dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil (argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan dalil suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa suatu maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti) dan kulliyah (menyeluruh).[13]
Dilihat dari segi kandungannya maslahah ternagi menjadi dua, pertama, maslahah ammah dan yang kedua, maslahah khashshah. `maslahah amah adalah maslahah yang menyangkut kepentingan orang banyak, kemaslahatan ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetappi bias berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Contohnya, para ulama’ memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
Sedangkan maslahah khashshah adalah kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang atau mauquf.[14]

Kita sering mendengar kesimpulan para ahli ushul fiqih yang mengatakan bahwa setiap hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat. Hukum memang tidak pernah lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara implisit berada dibalik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak akan ada tanpa melalui proses istinbath.
Sedangkan yang dimaksud dengan istinbath ialah proses pengambilan hukum dari dalil-dalil syar'i. Maka, secara simpel bisa dikatakan bahwa maslahat merupakan ekspresi dari hukum dan hukum merupakan ekspresi dari nash (dalil syara'). Karenanya, wujud dan keberadaan maslahat sangat tergantung pada dalil-dalil syara'. Untuk itu maslahat tidak bisa menjadi dasar hukum yang berdiri sendiri sebagaimana halnya dalil syara lainnya. Lebih dari itu, keberadaan maslahat dalam hukum-hukum syari'at itu ditemukan lewat istiqra' terhadap semua hukum far'iyah. Dari istiqra' tersebut, para ulama mendapatkan suatu kesimpulan bahwa semua hukum syariat pasti akan kembali kepada satu tujuan yaitu menjaga kemaslahatan umat manusia di dunia dan akherat.


BAB III
ANALISIS

Kepentingan publik merupakan persoalan mendasar yang harus diperhatikan dalam menggali hukum Islam. Sebab tujuan pokok sang pembuat hukum (syar’i) tidaklah dimaksudkan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan untuk orang banyak, yaitu mendatangkan keuntungan bagi manusia dan menolak mudharat, atau menghilangkan keberatan. Untuk tujuan di atas, para ahli ushul sendiri telah memperkenalkan beberapa metode istinbat hukum setelah al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber rujukan. Metode ini memberikan porsi akal secara lebih longgar. Metode-metode seperti istihsan, maslahat al-mursalah, qiyas, dan sad al-dzara’i, atau metode lainnya sudah cukup populer di kalangan ushuluyin yang semuanya dibangun atas pertimbangan maslahat.
Dalam makalah ini saya menjelaskan tentang kebijakan pemimpin dalam menjalankan roda kepemimpinannya harus sesuai dengan kepentingan publik, karena kemaslahatan itu termasuk bagian dari Ratio legis/maqashid as-syari’ah (tujuan hukum).[15]
BAB IV
KESIMPULAN

Maslahat Menjadi syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantara syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh jumhur ulama’ sendiri. Diantara konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari najmuddin At tufi. Dalam pemikirannya, At-Tufi berpendirian bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan, maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara', karena maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Ketiga, dalam perspektif pembaruan  hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Al-quran dan hadis serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.


























DAFTAR PUSTAKA
·         As sutuyi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr. Al asybah wa al nadhair. Surabaya: Al Hidayah
·         At tufi, Najamuddin. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi
·         Jazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group
·         Al Jazuli. 2003. Fiqih siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media
·         http://www.kmnu.org. Chariri Makmun, Lc. Standart Maslahat Menurut Islam.
·         sjadzali. Munawir, Islam negara dan civil society. Jakarta: paramadina
·         Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta: amzah



[1]  Hukum-hukum yang ada dalam ruang lingkup siyasah adalah melupti permasalahan publik, sehingga pelaksanaanya mengenai pengaturan antara pemerintah dengan masyarakat secara umum. Misalnya Hukum Adminstrasi Negara, ruang lingkup kajan hukum ini adalah mengenai administrasi yang langsung bersinggungan antara pemerintah dengan masyarakat, misalnya membahas mengenai masalah perijinan, masalah lingkungan dan lain-lain. Sedangkan untuk Hukum Tata Negara sendiri mengatur bagaimana dalam menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan konstitusi yang berlaku, misalnya bagaimana pengeturan mekanisme mengenai pelaksanaan pemilu. 
[2] H.A. jazuli. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group, hal; 147 
[3] H.A. jazuli. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis......
[4] Ayat tersebut berbicara mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang layak untuk menerima amanat tersebut dan juga ayat tersebut memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam satu kalangan masyarakat. Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat. Mengenai keadilan ini, filsafat Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama adalah keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum. Tapi keadilan commutative memberikan keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan menajdi satu teori yang dianut oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum Islam. 
[5] Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As sutuyi. 1965. Al asybah wa al nadhair. Surabaya: Al Hidayah, hal; 83 
[6] Ibnu Taimiyyah. 1967. Al siyasah al sar’iyyah fi islahi wa al ra’yah. Saudi Arabia: Dar Al kutub Al arabi, hal; 14 
[7] Drs. Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta: amzah, hal.200-201 
[8] Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hal; 243 
[9] Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal 01 Januari 2010.
[10] Drs. Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta: amzah, hal. 201
[11] Munawir sjadzali. Islam negara dan civil society. Jakarta: paramadina, 2005. Hal. 358

[12] Al Jazuli.. Fiqih siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media, 2003, hal; 53 
[13] Al Jazuli.. Fiqih siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media, 2003…………..
[14] Drs. Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta: amzah, hal.202
[15] Munawir sjadzali. Islam negara dan civil society. Jakarta: paramadina, 2005. Hal. 358
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar