Mukhtashar ‘Ilmul USHUL FIQH
Oleh : Saif Ayatullah Ba’Abduh
Ta’rif Ushul Fiqh
Ushul Fiqh tersusun dari 2 kata yaitu ushul dan Fiqh, menurut bahasa Ushul adalah bentuk jamak dari kata Ashl, yang berarti Maa yubta ‘alaihi ghairuhu ’sesuatu yang menjadi landasan bagi yang lain’. Arti ini sama dengan arti Ushul secara istilah. sedangkan Fiqh menurut bahasa bebrarti Fahm atau mengerti, seperti yang disebutkan dalam surat Hud ayat 91 “Mereka berkata ‘wahai Syu’aib kami tidak banyak mengerti (Man Nafqahu katsiran) tentang apa yang kamu katakan”. Sedangkan secara sitilah Fiqh berarti “Al-’ilma bi ahkamil syar’iyyati Al-’amaliyyati Al-muktasabu adillatiha Attafshiliyyati”. Sebagai Contoh mengetahui amalayyah shalat dari hadist Nabi “shalatlah kalian sebagaimana aku shalat” .
Ushul Fiqh menurut istilah bermakna “Al-’ilmu bilqawaa’idi wal buhutsi allati yatawasshlu bihaaila sitifaadati al-ahkamissyar’iyyati al’amaliyyati min adillatiha Attafsiliyyati” yaitu ilmu tentang kaidah-kaidah dan penelitian yang di gunakan untuk penggalina hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil terperinci.
Ushul fiqh berfungsi sebagai Mizan timbangan bagi fiqh, membatasinya, menghindarkannya dari kesalahan dalam melakukan istinbath (penggalian hukum). Ushul Fiqhlah-lah yang dapat menilai apakah istinbath yang dilakukan itu benar atau salah.
Istilah-Istilah Ushul Fiqh.
A. Al-Hakim (Pembuat Hukum).
Tujuan dari di keluarkannya suatu hukum adalah untuk menentukan sikap manusia atas suatu perbuatan apakah akan mengambilnya atau meninggalkannya. semuanya tergantung pada pandangan manusia terhadapa sesuatu. Apakah perkara itu baik atua buruk.
Berdasarkan hal ini, maka objek pengeluaran suatu hukum atas perbuatan atau benda adalah menetapkan Hasan (baik) atau Qabih (buruk)nya suatu perbuatan atau benda. Hal ini bisa dilihat dari 3 aspek yaitu;
a. Dari aspek fakta
b. Dari aspek kesesuain atau tidaknya dengan tabi’at manusia
c. Dari aspek pahala dan siksa atau dari aspek terpuji dan tercela
Untuk aspek pertama dan kedua, penetapan dan pengeluaran suatu hukum di serahkan kepada manusia itu sendiri; yakni akal. Contohnya; akal manusia menetapkan bahwa pintar, kaya, dan senang itu baik, sedangkan sedih, bodoh, susah, dan miskin itu buruk. Demikain juga akal mampu menetapkan bahwa menyelamatkan orang yang sedang tenggelam itu adalah baik.
Sedangkan pada aspek ketiga, yakni aspek pahala dan siksa, maka penentapannya hanya bisa dilakukan oleh Allah SWT. sebagai pembuat hukum. seperti iman itu baik, kufur itu buruk ta’at itu baik dan maksyiat itu buruk. Terhadap perkara-perkara ini akal tidak bisa mengeluarkan hukum.
karena akal tidak bisa mengeluarkan keputusan/kesimpulan (hukum), atas sesuatu yang tdiak bisa di indera seperti huda (petunjuk), Dhalal (kesesatan), halal, haram, ta’at, maksyiat dan sebagainya. menentukan apakah suatu perbuatan itu di ridhai Allah atau tidak adalah diluar kemampuan akal. kecuali jika telah ada informasi dari Allah SWT. Penetapan Hasan dan Qabih hanyalah Hak As-Syari’ (Allah dan Rasulnya). Allah SWT berfirman “Maka demi tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus (hakim) dalam perkara yang mereka perselisihkan…”(QS. An-Nisa : 65). juga Sabda Rasul “Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga aku lebih aku cintai dari pada keluarganya, hartanya, dan seluruh manusia”(HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ahmad, Bukhari dan Muslim). lihat juga Surat Al-An’am :57, Al-Maidah :49, An-Nisa :83, An-Nur :63 dan Al-Baqarah :216. Dari sinilah muncul kaedah syara’ “ Anna khaera ma aradhallah wa Annas-syarra ma askhathahu” sesungguhnya yang baik itu adalah sesuatu yang di ridhai Allah dan yang buruk itu adalah sesutau yang di benci Allah. Juga kaidah “Annal Hasana ma hasanahu As-syar’u wa Annal Qaobiiha ma Qobbihahu as-syar’u” sesungguhnya perbuatan terpuji itu adalah apa yang di puji Allah dan bahwasanya perbuatan tercela itu adalah apa yang di cela oleh Allah.
B. Al Hukm (Hukum)
Ta’rif Hukum
hukum Syara’ secara bahasa bermakana Halangan (al-Man’), sedangkan menurut Istilah adalah “ khithabussyari’ Al-Muta’aliku bi Af’ali ‘ibadi bil iqtidha I awit Takhyiri, awil wad’hi” seruan pembuat hukum yang berkaitan dengan perbuatan hamba, baik berupa tuntutan (iqtidha), pilihan (ikhtiyah), dan Wadh’i. ada juga yang mendifinisikan dengan “khithabussyari’ Al-Muta’aliku bi Af’ali ‘Mukallafin Thalabun au Takhyiran, au wadh’i”. Seruan pembuat hukum yang berkaitan dengan perbuatan Mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan atau Wadh’i.
Disini yang kita gunakan adalah definisi yang pertama, karena hukum syara’ tidak hanya mencakup para mukallaf saja, tetapi juga mencakup juga orang-orang yang tidak mukallaf seperti anak-anak kecil, orang-orang gila dan orang yang hilang ingatannya. seperti kasus Zakat dan Waris (harta kekayaan). Disini kita bisa lihat bahwa difinisi yang pertama lebih jami’ (menyeluruh).
yang dimaksud dengan seruan pembuat hukum (khithabus syaari’) adalah makna-makna yang terkandung dalam lafadz dan susunan lafadz (tarkib) dalam nash-nash syara’. Sehingga para ulama menggunakan kalimat khithabus syaari’, bukan Khithabullah (seruan Allah), sebab bila mengggunakan Khithabullah, maka yang di maksud adalah seruan Allah yang bersifat langsung yaitu Alquran saja. sedangkan bila Khithabussyaari’, maka yang di maksud adalah Alquran, As-sunnah (Hadist) dan Ijma’ Shahabat.
sesungguhnya yang menjadi objek atau sasaran hukum syara’ adalah perbuatan yang bersifat fisik (al af’al al lahiriyah), bukan perbuatan hati (iqthiqad) karena hukum syara’ bukan akidah atau keyakinan.
Tuntutan (iqtidha/Thalab) adalah tuntutan untuk melakukan (Thalab al Fi’li) dan tuntutan untuk meninggalkan (Thalab At-Tark). baik secara tegas atau secara tidak tegas. bila tuntutan untuk melakukan itu tegas maka itu wajib, bila tidak tegas maka hukumnya Mandub (sunnah). Tuntutan untuk meninggalkan juga bisa tegas dan tidak tegas. Bila tuntutannya tegas maka hukumnya adalah haram, dan bila tidak tegas maka hukumnya makruh. sedangkan Takhyir (pilihan) adalah seruan untuk memilih antara melakukan atau meninggalkan sesuatu yang hukumnya mubah.
kedua jenis seruan di atas (iqtidha dan Takhyiri) adalah seruan yang berkaitan dengan subtansi perbuatan secara langsung. Baik untuk di laksanakan, ditinggalkan maupun pilihan diantara keduannya. seruan ini dalam Ushul Fiqh di sebut dengan seruan pembebanan (Khitab at Taklifi).
Adapun Wadh’i, seruan ini berkaitan dengan kondisi taklif yang dilaksanakan, sehingga bisa disebut sebagai hukumnya-hukum. Misal; Kewajiban mendirikan shalat adalah hukum taklifi, hukum ini tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali setelah di integrasikan dengan kondisinya, yakni sntandar Syarat sah, batal sebab, mani’ (halangan) dan Rukhshah (dispensasi). inilah yang disebut dengan hukum wadh’i yaitu hukum yang menghukumi hukum taklifi. karena kedua hal ini (hukum Taklifi dan wadh’i) adalah hukum syara’, maka dalil keduanya harus bersumber dari dali-dali syara’. bukan yang lain.
- Hukum Taklifi
Tuntutan dan pilihan (iqtidha wa Takhyir) keduanya termasuk jenis perintah (amr). untuk bisa memahami maknanya, kita harus membatasi pengertiannya menurut penjelasan secara bahasa. Kata Amr secara bahasa berarti tuntutan yang datangnya berasal dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya (At-Thalabu ‘ala wajhi al isti’la). Amr berarti tuntutan/ sesuatu yang di perintahkan (al-ma’mur bihi). Dari pengertian bahasa ini, maka asal dari amr adalah tuntutan saja. yang menentukan jenis amr apakah bersifat pasti atau tidak, atau berupa pilihan, adalah dengan adanya Qorinah (indikasi).
Hukum Taklifi muncul sebagai konsekwensi aktivitas yang di lakukan baik berupa perbuatan maupun kebendaan. Tolak ukur suatu perbuatan seorang muslim adalah perintah dan larangan Allah SWT. Allah SWT mewajibkan setiap muslim agar memperhatikan setiap perkara yang akan di kerjakannya, dan mengetahui hukum atas perbuatan tersebut sebelum dikerjakan. Karena Allah akan meminta pertanggujawaban atas perbuatan yang dilakukannya di akherat kelak. Allah SWT berfirman “Maka Demi Tuhanmu, kami pasti akan menanyai mereka semua, tetang apa yang mereka telah kerjakan dahulu”(QS. Al-Hijr:92-93). Juga “kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari alquran, tidak mengerjakan sesuatu perkerjaan dan melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya”(QS Al-Isra’:61). Dan masih banyak ayat dan hadist yang bermakna serupa dengan apa yang telah saya sebutkan. Maka dari firman Allah SWT inilah muncul kaidah syara’ “Hukum asal setiap perbuatan yang di lakukan oleh manusia adalah terikat dengan hukum Syara‘”.
Sedangkan dengan hukum benda, benda berbeda dengan perbuatan. Benda adalah materi yang akan digunakan oleh manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan adalah aktivitas yang di lakukan oleh manusia, baik menyangkut perbuatan ataupun perkataan untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Bila dalam perbuatan syara’ telah menetapkan 5 jenis hukum yaitu; Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, dan Mubah. Sedangkan dalam benda syara’, hanya memberikan label dengan sifat halal dan haram saja.
Allah SWT berfirman “sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)bangkai”(QS. An-Nahl:115). Juga “Kami haramkan segala binatang yang berkuku”(QS. Al-An’am:146). Juga “Tidaklah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (keperluan)mu apa yang ada di langit dan dan apa yang ada dibumi”(QS. Luqman: 20). Juga “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”(QS. Al-Baqarah:168).
Dari nash tersbut jelas bahwa syara‘ telah membolehkan seluruh benda, yakni dengan menghalalkannya. Oleh karena itu mengharamkan sebagain benda membutuhkan nash yang mengecualikannya dari benda-benda yang pada asalnya di bolehkan. Maka darisinilah muncul kaidah “Hukum asal setiap Benda adalah mubah sebelum ada dalil yang mengharamkannya”.
Dari penjelasan diatas kita telah mengetah bahwa hukum taklifi terbagi dalam 5 macam, yakni; Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, dan Mubah.
A. Wajib
Wajib ialah perintah Allah kepada mukllaf untuk melakukan sesuatu dengan keharusan, baik lewat redaksi kalimat, maupun ancaman hukuman pelanggarannya atau indikasinya. Wajib terbagi dalam 4 macam
1. Ditinjau dari waktu pelaksanaannya
Wajib Mu’aqad/Muqayyad; yaitu wajib yang di batasi waktunya, seperti shalat 5 waktu, puasa wajib, dan ibadah haji. Pelaksanaan ibadah tersebut terikat dengan waktu. Sehingga berdosa bila mengerjakannya di luar waktu yang telah di tetapkan. Wajib Muqayyad ini ada 2 jenis; 1). Muwasa’ (longgar) yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya longgar. Contohnya shalat isya’. 2). Mudhayyaq (sempit) yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya sempit. Tidak bisa dipilih antara awal atau pertengahan. Misalnya puasa Ramdhan.
2. Di tinjau dari Pelakunya
-Wajib ‘Ain
-wajib kifayah
3. Di tinjau dari keterukurannya (volumenya)
- Muhaddad Al-Miqdar (dengan ukuran tertentu), yaitu kewajiban yang telah di tentukan takarannya oleh Allah, seperti shalat 5 waktu dan zakat.
- Ghyair Muhaddad Al-Miqadar (Tanpa Ukuran Tertentu), yaitu kewajiban yang tidak di tentukan takarannya oleh Allah. Misalnya Infaq Fisabillillah, nafkah wajib kepada istri dan anak, berbadzar dan sebagainya.
4. Ditinjau dari Subtansi (Ayniyyah)nya atau alternatif
- Mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah di tentukan jenisnya, tidak ada pilihan lain. Seperti shalat 5 waktu, puasa, membayar upah karyawan, membayar harga barang, dan yang sejenisnya. Dimana kewajiban tersebut tidak akan gugur kecuali zatnya di laksanakan.
- Ghayr Mu’ayyanah/Mukhayyarah, yaitu kewajiban yang di persilahkan memilih dari tawaran yang tersedia. Seperti kifarat untuk sumpah, bagi orang yang wajib membayar kifarat, bisa memilih antara memberi makan 10 orang fakir miskin atau memberi pakaian kepada mereka, membebaskan budak, atau berpuasa selama 3 hari.
B. Mandub Atau Sunnah
Mandub secara bahasa berasal dari lafadz An-Nadh yang berarti Ad-du’a ilaa Amr Muhimm (ajakan pada urusan yang penting). Menurut istilah syara’ mandub adalah tuntutan oleh pembuat syari’at untuk di kerjakan dengan tuntutan yang tidak tegas.
Mandub terbagi dalam 3 bagian
1. Wakkadah; yaitu amalan yang biasa dilakukan Nabi SAW dan tidak pernah meninggalkannya kecuali satu atau dua kali saja. Orang yang meninggalkannya tidak mendapatkan hukumun, namun mendapatkan celaan. Yang termasuk dalam hal ini adalah amalan sunnah yang menajadi kesempurnaan suatu kewajiban, seperti adzan, dan shalat 5 waktu berjamaah.
2. Zaidah; yaitu amalan yang pernah Nabi SAW lakukan beberapa kali saja, tidak selalu di kerjakan, seperti bersedakah, puasa senin kamis dan yang semisalnya.
3. Adab/Fadhail/jibiliyah; yaitu perbuatan meneladani Rasulullah dalam hal-hal kemanusiaan/kebiasaan, seperti cara makan dan minum rasul, cara berjalan, tidur dan sebagainya.
C. Haram atau Mahzur
Haram di ambil dari kata Al-Hurmah, yang berarti sesutu yang tidak boleh di langgar. Secara syar’i haram adalah perintah Allah kepada Mukallaf untuk meninggalkan sesuatu dengan keharusan, yang melanggarnya berdosa dan mendapat adzab. Haram adalah perintah Allah agar tidak melakukan sesuatu dengan kaharusan, lewat susunan redaksinya, perintah menjauhinya di sertai alasan atau ancaman hukuman bagi pelakunaya.
Haram terbagi dalam 2 macam
- Haram lidzatihi (subtansi); yaitu perbuatan haram menurut syar’i dari asalnya, seperti Zina, mencuri, berjudi, suap dan minum khamer.
- Haram Lighayrihi/li’aridh (aksidental); yaitu perbuatan haram yang semula bisa berstatus wajib, mandub, atau mubah. Kemudian terjadi sesuatu yang membuatnya menjadi haram, seperti shalat dengan menggunakan pakaian hasil mencuri, jual beli dengan menipu dsb.
D. Makruh
Makruh adalah perintah Allah kepada mukallaf agar tidak melaksanakan sesuatu tanpa keharusan, bisa karena kalimatnya dengan menyebut kata ‘karoha‘ atau larangan yang disertai indikasi makruh. Sebagian ulama ushul mendefinisikan makruh dengan larangan yang pelanggarnya tidak diancam hukuman tetapi hanya mendapat celaan. Contoh hadist Nabis SAW, “Barangsiapa yang mampu tetapi tida menikah, maka bukan termasuk golonganku”(HR. Baihaqi), juga “Rasulullah SAW telah melarang tindakan membujang”(HR. Ad-Darimi dari Aisyah). Dalam hadist tersebut Rasulullah melarang membujang bagi yang mampu untuk menikah. Tetapi larangan itu tidak bersifat tegas. Karena ketika mengetahui sebagaian shahabat yang mampu menikah, tetapi mereka tidak melakukannya, beliau diam. Maka diamnya Rasul terhadap para shahabat yang melanggar larangan tersbut membuktikan bahwa perkara tersebut tidak haram melainkan hanya makruh.
E. Mubah.
Mubah secara bahasa berarti menampilkan sesuatu, melepaskan dan izin. Sedangkan secara syara’ Mubah adalah khithab syaari‘ yang di tunjukkan oleh dalil sam’i yang didalamnya berisi pilihan antara melaksanakan dan meninggalkannya tanpa disertai kompensasi.contoh. “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu”(QS. Al-Maidah:2), juga “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah”(QS. Al-Jumuah:10). Adanya perintah setelah dilarang menunjukkan bahwa perkara tersebut adalah mubah. Sebagaimana kaidah syara‘ “Al Amr Qoblal nahyi al Ibahah” Amr setelah di larang adalah mubah.
- Hukum Wadh’i
Seruan pembuat hukum yang menjelaskan beragai perkara yang di tuntut oleh hukum perbuatan manusia itulah yang disebut dengan khitab al Wadh’i, dimana hukum yang lahir dari seruan ini disebut dengan hukum wadh’i atau juga disebut hukum bagi perbuatan. Hukum ini meliputi;
A. Sabab/sebab
As-sabab adalah setiap sifat dhahir yang mengikat (mudhabit), yang di tunjukkan oleh dalil sam’i bahwa ia merupakan pemberi informasi mengenai keberadaaan hukum, bukan mengenai pensyariatannya. Contoh “Dirikanlah shalat karena matahari telah tergelincir”(QS. Al-Isra’:78). Ayat ini adalah hukum sebab yang memberitahukan adanya hukum shalat Dzuhur.
Sabab memilik 3 macam;
1. Sabab munculnya hukum taklifi, dan berada diluar kemampuan manusia, seperti waktu menjadi sebab kewajiban shalat (QS. Al-Isra’:78), menyaksikan Hilal awal bulan menjadi sebab puasa ramadhan (QS. Albaqrah:184), memiliki jumlah nishab menjadi sebab zakat harta, dan sebagainya.
2. Sabab yang menghapuskan dan meniadakan kepemilikan atau kebolehan pemanfaatan. Seperti, pembelian menjadi sabab kepemilikan disatusisi dan ketidak pemilikan disisilain, waqaf dan semisalnya.
3. Sabab yang mengharuskan adanya hukum taklifi, dan berda dalam batas kemampuan manusia untuk memunculaknnya atau tidak. Seperti membunuh dengan sengaja menjadi sabab Qishash, zinah menjadi sabab rajam/cambuk, dan akad jual beli menjadi sebab kepemilikan.
Sabab, tidak ada relevansinya dengan subtansi pensyari’atan suatu hukum. Karena subtansi disyari’atkannya hukum di jelaskan dengan nash lain. Dengan demikain sebab harus di bedakan dengan ‘Illat. Sabab adalah keterangan mengenai keberadaan hukum perbuatan yang telah ada, yang dinyatakakan oleh nash lain, bahwa hukum tersbut berlaku sebagaimana keterangan tersebut. Sementara ‘Illat adalah keterangan mengenai pensyariatan hukum perbuatan yang belum ada.
B. Syarat
Syarat adalah sifat yang menyempurnakan perkara (yang di Syari’atkan) atas perkara yang dituntut oleh hukum atau oleh perkara yang disyaratan itu sendiri. Syarat terbagi dalam 2 jenis;
- Syarat dikembalikan kepada khithab taklif. Dimana yang membutuhkan adanya sifat untuk menyempurnakan kondisi tersebut bukanlah Masyrut (perkara yang disyaratkan), melaikan hukum yang ada dalam masyrut itu yang membutuhkannya. Contohnya, shalat adalah masyrut. Dan syarat (sifat yang menyempurnakan)nya adalah wudhu, demikian juga dengan menutup aura dalam shalat dan lain-lain. Dalam hal ini syarat menyempurnakan perkara yang di tuntut hukum masyrut.
- Syarat di kembalikan kepda khitab wadh’i. Dimana yang membutuhkan adanya sifat untuk menyempurnakan syarat. Seperti nishab zakat yang merupakan masyrut, dan masyrut ini membutuhkan sifat yang menyempurnakan yaitu datangnya haul. Disini syarat bukan di peruntukkan bagi hukum secara langsung, yaitu menunaikan zakat. Jadi bisa dikatakan bahwa datangnya haul adalah syarat pada kewajiban menunaikan zakat mal, mealainkan datangnya haul pada nishab zakat. Sehingga zakat di wajibkan pada nishab tersbut.
Syarat baik yang dikembalikan kepada khitab taklif ataupun kepada khithab wadh’i sama saja faktanya yaitu suatu perkara yang dengan tidak adanya dipastikan tidak akan ada masyrut; tetapi adanya syarat tidak harus ada masyrutnya. Contoh tidak ada shalat tanpa wudhu, tetapi wudhu tidak mesti ada shalat. Begitu juga tidak ada zakat tanpa harta yang sudah mencapai nishab, tidak ada nishab tanpa adanya haul, akan tetapi haul tidak selamanya mewajibkan zakat.
Syarat berbeda dengan rukun, karena syarat merupakan sifat yang menyempurnakan masyrutnya, yaitu sifat pelengkap aksidental yang berasal dari luar, demikian juga syarat harus ada dalil yang menunjukkannya secara langsung. Sehingga bisa disebut syarat. Contoh wudhu merupakan syarat bagi hukum taklifi yaitu shalat karena Allah berfirman “Apabila kamu hendak menunaikan shalat maka basuhlah mukamu…”(QS. Al-Maidah:6), sedangakan rukun merupakan bagian dari sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, dan sesuatu itu tidak akan sempurna tanpa keberadaannya. Contohnya adalah ruku’, sujud dalam shalat merupakan bagian dari shalat yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu ruku dan sujud disebut rukun bukan syarat.
C. Mani’
Mani’ adalah sifat yang mengikat, yang ditunjukkan oleh dalil sam’i bahwa keberadaanya akan meniscayakan adanya ‘illat (alasan) yang menafikan ‘illat sesuatu. Contoh hubungan kerabat merupaan sebab diperolehnya waris, sedangkan murtad merupakan mani’ (penghalang) untuk menadapatkan waris. Mani’ bisa juga disebut sebagai antitesa dari sebuah hukum.
Mani’ bisa di klasifikasikan dalam 2 hal yaitu;
1. Mani’ yang tidak mungkin ada bersamaan dengan tuntutan, dimana ia menghalangi tuntutan dan pelaksanaanya sekaligus. Contohnya, hilangnya akal karena tidur atau gila, telah menghalangi tuntutan (kewajiban) shalat dan pelaksanaannya sekaligus. Haidh adalah yang menghalangi tuntutan kewajiban puasa dan pelaksanaannya.
2. Mani’ yang memungkinkan ada bersamaan dengan tuntutan, dimana hukum tersebut telah menghalangi tuntutan, tetapi tidak menghalangi pelaksanaanya. Seperti pra baligh adalah mani’ yang menghalangi tuntutan (kewajiban) shalat dan puasa, tetapi jika shalat dan puasa tersbut dikerjakan oleh anak-anak usia pra-baligh maka shalat dan puasanya sah, karena mani’ tersbut tidak menghalangi pelaksanaannya. Mani’ disini hanya menghalangi tuntutanya saja.
D. Sah, Batal, Fasad
1. Sah; adalah kesesuaian dengan perintah syara’, terkadang juga di maksudkan dengan perolehan dampak positif dari suatu perbuatan di dunia atau di akherat. Contoh, memenuhi rukun-rukun shalat dan syarat-syaratnya, maka shalat tersbut dikatakan sah. Demikian juga memenuhi rukun dan syarat jual beli, maka jual beli itu disebut jual beli yang sah.
2. Batal (Buthlan). Adalah ketidak sesuaian dengan perintah Syara’ atau kebalikan dari shihah (sah). Contoh shalat, apabaila salah satu dari rukunnya ditinggalkan, maka shalatnya batal. Demikian juga dengan jaul beli, apabila salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka jual beli tersebut batal.
3. Fasad (rusak). Suatu aktivitas perbuatan yang bertentangan dengan perintah syara’. Fasad hanya terjadi dalam mua’amalah, tidak terjadi dalam ibadah. Fasad bisa dihilangkan dengan menghilangkan sebab kefasadannya.
Contoh, jual beli orang kota terhadap orang yang datang dari pedalaman adalah jual beli yang fasad, dikarenakan ketidak tahuan orang pedalaman terhadap harga. Apabila ketidak tahuan akan harga dihilangakan, maka jual belinya menjadi sah. Contoh lain, jika seorang membeli sapi, dan disyaratkan sapi itu harus bisa di peras susunya sekian liter, maka jual beli ini fasad. Karena samar pada sifat dan ukurannya.
E. ‘Azimah dan Rukhsah.
‘Azimah adalah hukum yang disyari’atkan secara umum dan mengikat hamba (mukallaf), untuk melaksanakannya. Sedangkan Rukhsah adalah hukum yang di syaria’atkan sebagai keringanan dari ‘Azimah. Karena adanya alasan tertentu, tetapi hukum ‘Azimah tetap berlaku. Rukhsah tidak bersifat memaksa/mengikat seorang hamba untuk melaksanakannya. Rukhshah diangga Rukhsah syar’i. Jika terdapat ‘udzur syar’i. Contoh puasa ramadhan adalah ‘Azimah. Tetapi berbuka bagi yang sakit dan musafir adalah Rukhshah. Dan sebagainya.
- Al-MAHKUM FIIH.
Makum fiih adalah perbuatan hamba yang menjadi objek khitabus-syar’i. Disebut juga perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syar’i. Syara’ yang sah di taklifakan ada 3 macam
1. Ma’lum; diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang membuatnya cukup mampu mengamalkannya.
2. Harus mengetahui bahwa perintah itu datang dari yang memiliki kekuasaan untuk memerintah atau yang wajib di ikuti. Dari sinilah mukallaf di wajibakan mencari dalil syara’ dari setiap apa yang hendak di kerjakan.
3. Perbuatan yang dimaksud mampu di kerjakan atau dalam batas kemampuan mukallaf. Disini ada 2 hal penting. a). Tidak boleh membebankan/memerintahkan yang msutahil. 2). Tidak boleh mengalihkan beban kepada pihak lain. Seperti pengalihan shalat.
- AL-MAHKUM ALAIH
Al-Mahkum alaih adalah yang amal perbuatannya terikat dengan hukum syara’. Seorang mukallaf harus memenuh 2 syarat utama;
1. Mampu memahami dalil syara’ yang di sampaikan kepadanya, baik dari alquran maupun assunnah. Baik langsung dari dirinya sendiri (ijtihad), maupun lewat orang lain (taqlid). Pemahaman perintah syara‘ ini terjdi lewat akal, namun karena akal itu abstark tidak bisa di ukur dengan ukuran dzahir, maka digunakanlah ukuran baligh sebagai alat ukur dzahirnya. Sehingga orang yang sudah baligh (bila tidak ada kecacadan akal), ia dianggap telah mampu memahami instruksi dan di mampu di beribeban.
2. Al-Ahkiyah; artinya memilki kelayakan untuk mengamalkannya. Dalam ushul fiqh kelayakan ini terbagi dalam 2 macam;
1. Ahliyatul wujub; yaitu keberadaanya sebagai manusia yang memilik hak dan kewajiban, kelayakan ini adalah bawaan asli manusia tanpa dibedakan jenis kelaminnya, janin, bayi, dewasa, orangtua, sehat/sakit bahkan ketika ia sudah menjadi mayyit sekalipun. Dalam hal ini ada 3 kelompok.
- Hanya memperoleh haqnya saja, seperti janin dalam kandungan yang berhaq mendapakan waris.
- Hanya berkewajiban saja, seperti mayyit yang meninggalkan hutang, masih tetap berkewajiban membayarnya.
- Memperoleh haq dan kewajiban, yaitu manusia normal yang berakal dan baligh.
2. Ahliyyatul ‘ada, kelayakan seorang mukallaf untuk mulai memperhitungkan ucapan maupun perbuatannya. Ahliyyatul ‘ada adalah pertanggung jawaban yang didasarkan kepada tamyiz dan akal. Dalam hal ini ada 3 kelompok manusia;
- Tidak memiliki Ahliyyatul ‘ada, seperti anak kecil semasa kecil, dan orang gila selama ia gila.
- Kurang ahliyyatul ‘adanya, seperti anak mumayyiz sebelum baligh, dan orang yang kurang akal. Ia boleh menerima sesuatu yang bermanfaat baginya, tetapi tidak boleh memberikannya kepada orang lain. Dan ia berada dalam pengawasan walinya.
- Sempurna ahliyyatul ‘adanya, yaitu manusia berakal dan baligh.
ADDILLAH AS-SYAR’IYYAH.
Kata dalil menurut bahasa adalah Alhadi (petunjuk), sedangkan menurut ulama Ushul Fiqh adalah “Perkara yang dengan penelaahan yang shahih bisa menghantarkan kepada pengetahuan terhadap Mathlub Khabari (sesuatu yang sedang dicari satatus hukumnya)”. Dengan kata lain dalil berarti “Perkara yang bisa dijadikan sebagi hujjah bahwa perkara yang dibahas adalah hukum syara‘”. seuatu keterangan agar bisa dijadikan sebagai dalil atau hujjah harus memiliki dalil Qoth’ie atas kehujjahannya. ini berarti suatu keterangan yang dianggap sebagai dalil harus ditetapkan bahwa asalnya adalah dari Allah SWT. Keteranagn yang memenuhi kriteria tersebut hanya ada 4, yaitu Alquran, Assunnah, Ijma’ Shabat, dan Qiyas Syar’i.
Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 yang artinya: “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu), jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya” .
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut: “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di mana membacanya termasuk ibadah”. Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut: “Al-Qur’an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas“.
Proses penurunan/pewahyuan Al Qur’an sendiri sebagaimana dipercayai oleh ummat Islam dibedakan atas beberapa cara antara lain:
2. Malaikat memasukkan wahyu itu kedalam hatinya. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa wahyu itu sudah berada saja didalam kalbunya. mengenai hal ini Nabi Muhammad SAW mengatakan: “Ruhul Qudus mewahyukan ke dalam kalbuku”, (lihat surat (42) Asy Syuura ayat 51).
3. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang lelaki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga Baginda Nabi mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
4. Wahyu datang kepada Baginda Nabi seperti gemerincingnya lonceng. Cara inilah yang dirasakan amat berat oleh Nabi. Kadang pada keningnya mengalir keringat, meskipun turunnya wahyu itu dimusim dingin yang sangat. Kadang unta Baginda Nabi terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika Baginda Nabi sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: “Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa”.
5. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki, tetapi benar-benar sebagaimana rupa aslinya. Hal ini tersebut dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 13 dan 14 yang artinya: “Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika (ia berada) di Sidratulmuntaha”.
Penurunan Al-Qur’an terjadi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat .Makkiyyah Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur’an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah wahyu diturunkan. Proses penulisan Al-Qur’an terjadi dalam 2 periode yaitu:
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur’an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur’an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an (qira’at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih: Suwaid bin Ghaflah berkata, “Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur’an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, ‘Bagaimana pendapatmu tentang isu qira’at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira’atnya lebih baik dari qira’at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran’. Kami berkata, ‘Bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.’ Kami berkata, ‘Pendapatmu sangat baik’.”
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam Mahabits fi ‘Ulum Al Qur’an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
Struktur Dan Pembangian Al-Qur’an
a. Surat, ayat dan ruku’
Al-Qur’an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar. Total jumlah ayat dalam Al-Qur’an mencapai 6236 ayat di mana jumlah ini dapat bervariasi menurut pendapat tertentu namun bukan disebabkan perbedaan isi melainkan karena cara/aturan menghitung yang diterapkan. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku’ yang membahas tema atau topik tertentu.
b. Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
c. Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur’an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur’an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur’an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
d. Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
· As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
· Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu’min dan sebagainya
· Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
· Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya.
Tafsir Al-Qur’an
Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Makna ini tampak sesuai dengan Surat Al Furqan ayat 33: “wa laa ya`tuunaka bimatsalin illaa ji`naaka bil haqqi wa ahsana tafsiiran”. Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya
Urgensi Tafsir Al-Qur’an dalam Islam
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur’an.
Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an :
1. Al-Qur’an itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’y maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafis bi al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.
Bentuk Tafsir Al-Qur’an
Tafsir bi al-Matsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat. Contoh tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an antara lain: “wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri….” (Surat Al Baqarah:187). Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi. Contoh Tafsir Al Qur’an dengan Sunnah antara lain: “alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin……” (Surat Al An’am: 82). Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat : “innasy syirka lazhulmun ‘azhiim” (Surat Luqman: 13). Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik. Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An Nahhas).
Tafsir bi ar-Rayi
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Contoh Tafsir bir ra’yi dalam Tafsir Jalalain: “khalaqal insaana min ‘alaq” (Surat Al Alaq: 2). Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental. Beberapa tafsir bir ra’yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.
Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat: ‘“…….Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah…..” (Surat Al Baqarah: 67). Yang mempunyai makna zhahir adalah “……Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah…”. eberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.
Metodologi Tafsir Al-Qur’an
Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.
a. Metode Tahlili (Analitik)
Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .
Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.
b. Metode Ijmali (Global)
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
c. Metode Muqarin
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
d. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya
Macam Tafsir Al-Qur’an
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut: Ayat-ayat Al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.
Diantara berbagai corak itu antara lain adalah :
· Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini.
· Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
· Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
· Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
· Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
· Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.
- Assunnah (Hadist)
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur’an.
Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri” (Hadits riwayat Bukhari).
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah Al-Bukhari > Musaddad > Yahyaa > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW .
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
· Keutuhan sanadnya
· Jumlahnya
· Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
Matan
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri”.
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah:
· Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
· Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
Klasifikasi Hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan).
a. Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu’ (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu’ :
· Hadits Marfu’ adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
· Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: “Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti “Kami diperintahkan..”, “Kami dilarang untuk…”, “Kami terbiasa… jika sedang bersama rasulullah” maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu’.
· Hadits Maqtu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi’in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: “Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu”.
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi’in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih.
b. Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati’, Mu’allaq, Mu’dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya. Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi’in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW
· Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
· Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi’in (penutur2) mengatakan “Rasulullah berkata” tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
· Hadits Munqati’ . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
· Hadits Mu’dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
· Hadits Mu’allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: “Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan….” tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
c. Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
· Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
· Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
· Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
· Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
· Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
e. Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da’if dan maudu’
· Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung;
2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
· Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
· Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
· Hadits Maudu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
Jenis-jenis lain
· Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
· Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
· Hadits Mu’allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma’lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu’tal (Hadits sakit atau cacat)
· Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
· Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
· Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
· Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
· Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
· Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
Pembentukan dan Sejarahnya
Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.
Masa Pembentukan Al Hadist
Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan, sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi’in (satu generasi dibawah sahabat) . Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi’ut tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadist (mudawwin).
Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadits belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Diantara sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian diantara para sahabat itu sering bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.
Dengan demikian pelaksanaan Al Hadist dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli Hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba’ah Ma’rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran Al Hadist.
Meski pada masa itu Al Hadist berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Diantaranya ialah :
1. ‘Abdullah bin ‘Umar bin ‘Ash (dalam himpunan As Shadiqah)
2. ‘Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).
Masa Penggalian
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 – 23 H atau 634 – 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadist.
Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi’in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi’in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi’in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.
Masa Penghimpunan
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari’at dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu’ (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi’in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi’in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi’ut tabi’in.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 – 101 H / 717 – 720 M) termasuk angkatan tabi’in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi’in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi’in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 – 124 H / 671 – 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang Maqbul dan mana yang Mardud. Para ahli Al Hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 Al Hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain :
· di Mekkah – Ibnu Juraid (tahun 80 – 150 H / 699 – 767 M)
· di Madinah – Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
· di Madinah – Sa’id bin ‘Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
· di Madinah – Malik bin Anas (tahun 93 – 179 H / 712 – 798 M)
· di Madinah – Rabi’in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
· di Yaman – Ma’mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
· di Syam – Abu ‘Amar Al Auzai (tahun 88 – 157 H / 707 – 773 M)
· di Kufah – Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
· di Bashrah – Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
· di Khurasan – ‘Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 – 181 H / 735 – 798 M)
· di Wasith (Irak) – Hasyim (tahun 95 – 153 H / 713 – 770 M)
· - Jarir bin ‘Abdullah Hamid (tahun 110 – 188 H / 728 – 804 M)
Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan Al Hadist dalam kitab-kitab di masa Abad II Hijriyah ini, adalah bahwa Al Hadist tersebut belum dipisahkan mana yang Marfu’, mana yang Mauquf dan mana yang Maqthu’.
Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits yang marfu’, mauquf dan maqtu’. Al Hadits marfu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu’ ialah Al Hadits yang berisi perilaku tabi’in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :
· Ahmad bin Hambal
· ‘Abdullan bin Musa Al ‘Abasi Al Kufi
· Musaddad Al Bashri
· Nu’am bin Hammad Al Khuza’i
· ‘Utsman bin Abi Syu’bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits, 10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama ‘Abdullah dan Abu Bakr Qathi’i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang dla’if dan 4 hadist maudlu’.
Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah : Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M).
Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.
Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami’ush Shahih Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu :
· Kitab Shahih – (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) – berisi Al Hadits yang shahih saja
· Kitab Sunan – (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) – menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla’if yang tidak munkar.
· Kitab Musnad – (Abu Ya’la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) – berisi berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits, menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya.
- Ijma’ Shahabat
Ijma’ secara bahasa berarti “tekad bulat sesuatu atau kesepakatan terhadap sesuatu”. Banyak polemik berkenaan dengan Ijma‘. Ijma’ siapakah yang bisa diterima menjadi dalil syara’?. Ada yang mengatakan Ijma’ yang bisa diterima adalah Ijama’ ‘Ulama, Ijma‘ Umat, Ijma’ Penduduk Madinah, dan Ijma’ Shahabat.
Untuk bisa memahami Ijma’ siapakah yang bisa diterima, maka kita harus mengetahu definisi Ijma‘ menurut Ulama Ushul fiqh. Ijma’ menurut Ulama Ushul adalah “Kesepakatan atas hukum suatu peristiwa (dan) bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara’.” dari definisi ini jelas bahwa yang dimaksud dengan Ijma’ adalah Ijma’ yang bisa menjadi dalil syara’. karena dalil-dalil syara’ itu adalah yang terdapat dalam Alquran dan Assunnah, yaitu dalil-dalil yang berdasarkan wahyu, bukan berdasarkan yang lainnya, maka hal ini memberikan arti bahwa ijma’ yang dipandang sebagai dalil syara’ adalah Ijma’ yang dijelaskan dengan dalil, yang tidak mereka riwayatkan. Karena orang-orang yang melakukan kesepakatan telah mengetahui dalilnya meskipun tidak mengucapkannya. Ini berarti bahwa dalil yang tidak mereka riwayatkan -karena mereka mengetahuinya- itu termasuk Sunnah Rasul, karena Alquran seluruhnya di bacakan dan dihafalkan.
kelompok manusia yang bisa dinyatakan bahwa kesepakatan mereka terungkapkan berdasarkan dalil adalah orang-orang yang senantiasa menyertai Rasulullah SAW dan melihat Rasulullah SAW yaitu para Shahabat Radiallahhu Anhuma. Selain para shahabat tidak mungkin Ijma’ mereka terungkap berdasarkan dalil. Selain itu sahabat juga adalah orang-orang yang mendapatkan pujian dari Allah SWT dalam surat Attaubah Allah berfirman “Orang-orang yang pertama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, Allah telah meridhai mereka dan merekapun Ridha kepada Allah. Dan Allah Telah menyiapkan untuk mereka itu Surga….”(QS. Attaubah : 100).
Ragam Ijma’ Shabat
- Ijma’ Qauli : Adalah bentuk kesepakatan pasa shahabat ketika mereka bersepakat satu pandangan dalam satu kasus secara lisan. Contoh; kesepakatan pengangkata khalifah sebagai penggati Rasul.
- Ijma’ Sukuti : Adalah diamnya para shahabat, ketika seorang diantara mereka mengambil hukum syara’, mereka mengetahuinya dan tidak mengingkarinya.
Ijma’ Sukuti menjadi dalil Syara’ bila memenuhi kualifikasi sebagai beriku:
a. Hukum Syara’ (yang di sepakati). tersebut biasanya dinafikan, dan tidak akan didiamkan untuk para sahabat. contohnya; Tindakan Umar Bin Khatthab menarik tanah yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal. Tindakan ini dilihat dan di dengar oleh para Shahabat yang lain, namun tidak seorangpun dari mereka menafikannya.
b. Aktivitas itu populer, dan di ketahui oleh para shahabat. bila tidak tersebar dan dikenal oleh para sahabat , maka kesepakatan itu bukan Ijma’.
c. Hukum tersebut tidak termasuk dalam kategori hukum yang menjadi otoritas khalifah untuk di jalankan dengan pandangannya.
- Qiyas.
Qiyas menurut bahasa berarti ukuran (al-taqdir). Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas di definisikan sebagai “Menyamakan Hukum Syara’ satu kasus dengan kasus lain, karea keduanya mempunyai persamaan ‘Illat, atau keduanya mempunyai persamaan penyebab adanya hukum syara’ bagi masing-masing”. Penyebab adanya Qiyas adalah persmaan anatara Al Muqayyis (Kasus yang di analogikan) dengan Al-Muqayyis Alaih (kasus yang menjadi objek analogi) dalam satu perkara.
Perkara yang mempertemukan dua kasus tadi adalah penyebab di syari’atkannya hukum atau yang kemudian dikenal dengan istilah ‘Illat. Qiyas bukan merupakan penganalogian hukum dengan hukum lain, karena adanya persamaan dua aktivitas. Tetapi, seharusnya karena adanya persamaan ‘Illat hukum. Demikian juga menetapkan hukum kasus atau fakta tertentu terhadap derivat (afrad) dari kasus tersbut -sekalipun beragam- juga tidak bisa disebut Qiyas. Seperti menerapkan hukum keharaman Khamr terhadap semua benda yang memabukkan meskipun jenisnya beragam tidak bisa disebut qiyas, sebab, qiyas meurpakan penarikan hukum dari satu objek kepada objek lain karena adanya persamaan ‘Illatnya. sedangkan dalam kasus Khamr tidak ada penarikan penarikan hukum, sebab kita mengharamkan semua benda yang memabukkan bukan karena penarikan hukum haramnya khamr terhadap yang lain, tetapi karena hukum haramnya khmar muncul dari karakter zatnya yang memabukkan. maka, kektika minum terbukti memabukkan, pada saat itulah hukum haram tadi bisa diterapkan terhadap minuman tersebut. sebab, minuman tadi merupakan objek yang sama. inilah yang disebut dengan Tahqiq Al manath.
Dengan demikian menetapkan hukum kasus/Fakta apa saja terhadap kasus/fakta yang menjadi derivatnya setelah dilakukan penelitian terhadap manath-nya tidak bisa dianggap sebagai Qiyas, karena didalamnya tidak ada aktivitas penarikan huku dari satu objek ke objek lain.
Rukun Qiyas
1. Ashl : kasus yang menjadi sumber asandar atau pijakan qiyas (al-muqayyis alaih). dalam hal ini hukum asl -yang menjadi pijakan qiyas- haruslah hukum syara’ dengan dalil dari Alquran, Assunnah dan Ijma’ Shahabat. Dalil yang menyatakan hukum Ashl tersbut bukan dalil yang menjelaskan derivatnya. Hukum Ashl juga harus menjelaskan ‘Illat secara spesifik, tidak samar, juga tidak boleh muncul kemudian dibanding hukum derivatnya. hukum Ashl juga tidak dimodivikasi dari ketentuan Qiyas.
2. Al-Far’u : Kasus yang akan di analogikan atau disandarkan kepada Ashl (al Muqayyas). dalam hal ini hukum furu’ (derivat) tidak dinyatakan dengan jelas (mu’arad rajih), yang tidak menuntut ditolaknya sesuatu yang di tetapkan oleh ‘Illat atau tidak dinyatakan dalam kasus Ashl. ‘Illat yang ada didalanya sama-sama dimiliki ‘Illat Ashl. Hukum derivat juga tidak dinyatakan secara eksplisit (manshuhs ‘alaih) dalam kasus Ashl. hukum derivat tidak boleh mendahului hukum Ashl.
3. Hukum syara’ pada Ashl ; Hukum syara’ yang secara spesifik melekat pada kasus Ashl.
4. ‘Illat ; Sifat yang mengikat (sifat Mundhabithah), yang menyatukan antara kasus Ashl -yang di jadikan pijakan analogi (almuqayyas alaih)- dengan derivat. Jenis ‘Illat tersbut harus syar’i -dinyatakan dalam nash yang sharohah (jelas), dalalah (indikasi), istinbath (hasil penggalian dari nash) atau Qiyas (analogi)- bukan ‘Illat rasional yang tidak bersandar pada nash. ‘Illat juga bukan hukum syara’ itu sendiri, karena jika demikian tidak akan mempunyai konotasi sebagai penyebab di syari’atkannya hukum. Juga harus bersikap muta’addin (menakup banyak aspek), tidak qahsir (terbatas). Tidak lahir kemudian setelah hukum Ashl. Harus menjadi sifat yang berpengaruh dan relevan dengan ‘Illat.
Sebagi contoh; Khalifah wajib menyiapkan persenjataan mutakhir, seperti nuklir dan senjata berat lainnya untuk menggentarkan musuh. ini diambil dari Firman Allah “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dam dari kuda-kuda yang di tambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu bisa menggatarkan musuh-musuh Allah…”(QS. Al-Anfal :60).
Disini kita bisa memahami bahwa menyiapkan kekuatan apa saja yang mampu di persipakan seperti menambatkan kuda, merupakan kasus Ashl, sementara hukum Ashl (hukum yang terdapat dalam kasus asal), yaitu menyiapkan kekuatan apa saja yang mampu di persiapkan untuk menggentarkan musuh adalah wajib. menggentarkan musuh adalah ‘Illat-nya, sementara kasus derivatnya (al-furu’), seperti menyiapakan industri berat, senjata biologis, nuklir dan sebagainya dalah kasus yang sama-sama bisa menggentarkan musuh. maka hukum yang berlaku pada kasus Ashl, juga berlaku pada derivatnya tersebut.
ADILLAH AL-MUKHTALF FIHA
(Dalil-dalil yang di perselisihkan/spekulatif).
A. Istihsan
Secara bahasa Istihsan berarti memandang baik seuatu perkara. Secara istilah Istihsan diartikan dengan “Dalil yang cacad pada benak seorang mujtahid dan tidak bisa untuk menampakkanya karena tidak ada dukungan Al-ibrah (radaksi) untuk mengungkapnya”. Ada juga yang mendifinisikan “perpindahan seorang mujtahid dari qiyas Jaliy (jelas) kepada tuntutan Qiyas Khafi (samar). mereka juga menganggap termasuk bahgian Istihsan adalah beralih dari Qiyas kepda Nash, baik alkitab, sunnah ataupun adat. juga termsuk Istihsan adalah menghalihakan suatu permasalahan dari satu hukum tentang masalah-masalah sejenis kepada hukum lain karena danya aspek yang lebih kuat yang mengahruskan peralihan tersbut.
Contoh; Allah berfirman “Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu bagi yang menyempurnakan penyusuannya”(QS. Al-Baqarah:233). Maka para penganut Istihsan beralih dari konsekwensi keumuman ayat tersbut, yaitu menyusui yang berlaku bagi setiap ibu, dengan mengkhususkannya pada ibu yang tidak suka menyusui anaknya. mereka mengecualikannya dari hukum ayat tersebut. peralihan yang mereka lakukan, merupakan perlaihan dalil tanpa disertai dalil, karena nash ayat diatas umum berlaku bagi semua ibu. Contoh lain; Dietetapkannya seorang Ajir (buruh) untuk memberikan ganti rugi kepada majikan (musta’jir) ketika terbukti dia telah menghilangkan atau merusak barang yang dikerjakannya, padahal hadist Shahih telah menyatakan “Tidak ada kewajiban untuk menjamin (menggantin) bagi orang yang mendapatkan amanah”(HR Al-Jashshash dari Abu Bakar). Seorang buruh tangannya adalah tangan amanah,artinya dia tidak akan diminta pertanggung jawaban atas kesalahan, kerusakan atau kehilangan, karena tangannya hanya melakukan pekerjaan seperti yang ditugaskan oleh pihak majikan kepadanya. maka menurut hadist tadi, dia tidak akan diminta untuk mengganti. tetapi, berdasarkan argumentasi Istihsan, jika tidak diwajibkan mengganti pasti akan terjadi kesalahan yang sama pada masa berikutnya, maka dietapkan bahwa buruh tersbut wajib menggati. padahal, argumentasi ini jelas bertentanagn dengan Nash.
Istihsan bukanlah dalil, jika Istihsan merupakan peralihan kepada dalil yang lebih kuat, maka sebernarnya itutermasuk fakta (topik) tentang tarjih diantara dalil-dalil dan fakta tentang kekuatan dalil. Apabila Istihsan merupakan peralaihan dari suatu dalil tanpa ada dalil yang mengharuskannya, maka sebenarnya Istihsan bukan merupakandalil. orang yang menggunakan Istihsan tidak lebih dari orang-orang yang mereka-reka dalil sesuai dengan akal pikirannya. sehingga sangat tepat bila Imam As-Syafi’ie mengatakan “orang yang menggunakan Istihsan berarti telah membuat syari’at baru”.
B. Mashalih Mursalah
Para ulama penganut Mashalih Mursalah mendefisikannya dengan “kemaslahatan yang tidak di jelaskan olehd alil-dalil khuisu yang mengakuinya atau mencampakkannya”. kemudian kemaslahatan tersebut diambil padahal tidak ada nash yang mencakupnya, dengan syarat ketika diambil berakibat tertolaknya suatu kesulitan. mereka memberikan contoh dengan kasus, jika ada orang yang mendakwa orang lain bahwa dia mempunyai harta pada orang tersebut, sementara dia tidak mampu mendatangkan bukti atas dakwaannya, kemudian terdakwa dituntut untuk bersumpah berdasarkan sabda rasul “bukti atas penuntut/pendakwa adalah sumpah, sumpah atas orang yang mengingkarinya (terdakwa)”(HR. Tirmidzi, Imam Baihaqi, dan Ibnu Majah). Mereka (penganut Mashalih Mursalah) tidak mewajibkan sumpah kepada terdakwa kecuali jika antara terdakwa dan pendakwa terdapat suatu hubungan. Hal ini dilakukan agar orang-orang bodoh tidak berani kepada kalangan terhormat, sehingga akan menyerahkan mereka(kaum terhormat) kepengadilan dengan dengan dakwaan dusta.
Berdasarkan definisi dan penjelas diatas jelas sekali bahwa sebenarnya mashalih mursalah bukan termasuk dalil. menggunakannya dengan menyalahi dalil adalah tindakan bathil berdasarkan dalil berikut;
- Allah Berfirman “Tentang suatu ucapan kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. As-Syura’:10). Juga “Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah aku cukupkan kepadamu nikmatKu”(QS. Al-Maidah:3). Nash-nash ini dan yang lainnya dengan jelas menyatakan bahwa segala sesuatu sebenarnya telah dijelaskan, maka bagaimana mungkin bisa dikatakan terdapat perkara yang tidak tercakup oleh Syara’ dan di campakannya?!!!
- Kemashlahatan yang sebanarnya adalah kemaslahatan berdasarkan dalil syara‘, syara’lah yang menetapkan kemashlahatan. sedangkan mashalih mursalah adalah menghukumi yang didasarkan pada mashalahat yang tidak ditetapkan oleh syara’. sehingga Mashalih Mursalah tidak bisa diaanggap sebagai hujjah.
- Membangun suatu hukum berdasarakan kemaslahatan yang tidak diakui oleh syara‘, berarti menjadikan akal yang tidak didukung oleh dalil sebagai hakim. ini tidak di perbolehkan.
C. Syari’at Umat Terdahulu
Sebenarnya Syari’at umat terdahulu (umat sebelum nabi Muhammad SAW) bukan termasuk syari’at bagi kita, dan bukan tergolong hujjah bagi kita. Allah SWT berfirman “Dan kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain”(QS. Al-Maidah:48). Arti dari Muhaiminan (Batu Ujian) adalah penghapus kitab-kitab sebelumnya.
Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa selama syariat terdahulu tidak bertentangan dengan syariat kita. maka kita boleh mengambilnya, sebeb buat apa Allah mengisahkan syari’at umat terdahulu kepada kita bila tidak untuk kita ambil?
Jawaban atas pertanyaan ini adalah, bahwa bila terdapat syari’at terdahulu yang kemudian masih dipakai oleh umat Nabi Muhammad, berarti syariah tersbut sudah menjadi bagian dari syari’at Nabi Muhammad. Adapaun bila Allah mengisahkan nash-nash terdahulu, itu bertujuan agar kita bisa menjaddikannya Ibrah (pelajaran), terhadap kisah-kisah tersebut.
D. Madzahab Shahabat
Semua ulama ushul sepakat, bahwa Madzhab shahabat dalam masalah ijtihad bukanlah dalil bagi Shahabat mujtahid yang lain. Baik khalifah, hakim ataupun mufti. Tapi mereka berselisih menganai status madzhab shahabat sebagi hujjah. Beberapa ulama mengatakan bahwa madzhab shahabat adalah dalil yang harus dikedepankan ketimbang Qiyas. Ulama yang menganggap Madzhab shahabat sebagai hujjah beragumentasi dengan firman Allah “Kamu adalah umat terbaik yang dilahrikan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’aruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”(QS. Ali-Imran:110). Dan juga hadist Nabi SAW “Shahabatku bagaikan bintang dilangit, maka siapapun diantara mereka yang kalian jadikan panutan, maka kalian akan mendapatkan petunjuk”(HR. Ibnu Jara, Fathur Barr. Juz IV hal 57; Ibnu Abdil Bar. At-Tahmid. Juz IV. Halaman 263).
Bila kita teliti dalil-dalil yang digunakan untuk membuktikan kehujjahan madzhab shahabat tidaklah relevan, sebab dalam surat ali-imran 110, khithabnya untuk seluruh umat Muhammad SAW, bukan hanya khusus untuk para shahabat. Sementara hadist diatas, menurut Al-Muzni, maksudnya adalah mengambil apa yang mereka riwaatkan dari Nabi, dan bukan meneladani apa saja dari mereka, dan juga tidak berarti bahwa pandangan mereka adalah dalil syara‘. Sebab shahabat tidak maksum. Syara’ dengan jelas memerintahkan kita ketika terjadi perselisihan, maka harus mengembalikannya kepada syara’ itu sendiri yaitu alquran dan assunnah. Sedangkan yang lain tidak termasuk dalam kategori sesuatu yang menjadi rujukan ketika terjadi perselisihan. Madzhab shahabat jelas bukan alquran dan assunah. Sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Disamping itu, madzhab shahabat merupakan hasil ijtihad pribadi para shahabat yang memungkinkan benar dan salah. Sesuatu yang memungkinkan benar dan salah tidak layak dijadikan hujjah.
Ijtihad dan Mujtahid
Allah SWT telah mewajibkan kepada setiap Mukallaf untuk memahami sendiri hukum Allah yang telah sampai kepadanya. Sehingga, Ijtihad untuk menggali hukum langsung dari seruan pembuat Syari’at adalah wajib. Akan tetapi, faktanya manusia diciptakan oleh Allah dengan kemampuan yang berbeda-bedam sehingga tidak memungkinkan semua orang untuk melakukan tugas tersebut. Sehingga darisini muncullah orang yang mampu ber Ijtihad (Mujtahid), dan ada orang yang tidak mampu ber Ijtihad, tetapi ikut pada hasil ijtihad orang lain (Taqlid).
Ijtihad Menurut bahasa, ijtihad berarti Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan: “..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79) rtinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian inila Nabi mengungkapkan kata-kata: “Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’” artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Di kalangan ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan, “istafrâgh al-wus‘î fî thalab adz-dzann bi syai’i min ahkâm asy-syar‘iyyah ‘alâ wajh min an-nafs al-‘ajzi ‘an al-mazîd fîh (mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan.” (Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, II hlm. 309. Lihat juga: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/197).
Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu. Dengan kata lain, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga poin berikut ini: Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Menurut al-Amidi, hukum-hukum yang sudah qath‘i (pasti) tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Artinya, ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath‘i, tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara akidah maupun hukum-hukum syariat yang dalilnya qath‘i; misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum razam/cambuk bagi pezina, hukum bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain sebagainya.
Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syariat, bukan proses untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma‘qûlât) maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsûsât). Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga menghasilkan sebuah teorema maupun hipotesis tidak disebut dengan ijtihad. Ketiga, ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan puncak tenaga dan kemampuan hingga taraf tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari apa yang telah dilakukan. Seseorang tidak disebut sedang berijtihad jika ia hanya mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal ia masih mampu melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan.
Ijtihad berbeda dengan tarjîh maupun baths al-masâ’il. Tarjîh adalah aktivitas untuk meneliti, mengkaji, dan menetapkan mana pendapat yang paling râjih (kuat) di antara pendapat-pendapat yang ada. Baths al-masâ’il tidak berbeda dengan tarjîh, meskipun kadang-kadang juga dilakukan pembahasan-pembahasan hukum-hukum tertentu berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad. Akan tetapi, aktivitas semacam ini dilakukan secara berkelompok, bukan individual. Padahal, ijtihad adalah aktivitas individual, bukan aktivitas kelompok
Sebagaimana definisi ijtihad di atas, lingkup ijtihad hanya terbatas pada penggalian hukum syariat dari dalil-dalil dzanni. Ijtihad tidak boleh memasuki wilayah yang sudah pasti (qath‘i), maupun masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami secara langsung oleh akal. Ijtihad tidak boleh dilakukan pada ayat-ayat yang jelas (qath‘i) maknanya, misalnya masalah-masalah akidah, kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini bukanlah lingkup ijtihad. Sebab, masalah-masalah seperti ini sudah sangat jelas dan tidak boleh ada kesalahan di dalamnya. Siapa saja yang salah dalam mempersepsi perkara-perkara yang sudah qath‘i, maka ia telah terjatuh dalam dosa dan berhak mendapatkan azab Allah Swt. Sebaliknya, kesalahan dalam perkara-perkara ijtihadiah (zhanni) tidak akan menjatuhkan pelakunya dalam dosa dan maksiyat.
Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni. Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut demikian karena ia masih membuka ruang terjadinya perbedaan interpretasi. Adapun perkara yang melibatkan dalil qath‘i, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiah.
Pertama, memahami dalil-dalil sam‘i (naqli) yang digunakan untuk membangun kaidah-kaidah hukum. Yang dimaksud dengan dalil sam‘i adalah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma berikut klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami, menimbang, mengkompromikan, serta men-tarjîh dalil-dalil tersebut jika terjadi pertentangan. Kemampuan untuk memahami dan dalil-dalil sam‘i dan menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat pokok bagi seorang mujtahid.
Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan pemahaman orang Arab dan dipakai oleh para ahli balâghah (retorika bahasa Arab).Seorang mujtahid disyaratkan harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna suatu kata, makna balâghah-nya, dalâlah-nya, pertentangan makna yang dikandung suatu kata, serta mana makna yang lebih kuat—setelah dibandingkan dengan riwayat tsiqqah dan perkataan ahli bahasa. Seorang mujtahid tidak cukup hanya mengerti dan menghapal arti sebuah kata berdasarkan pedoman kamus. Akan tetapi, ia harus memahami semua hal yang berkaitan dengan kata tersebut dari sisi kebahasaan.
Pertama, sebagian kaum Muslim memahami bahwa semua orang berhak dan layak melakukan ijtihad. Mereka berdalil bahwa setiap mukallaf dibekali Allah dengan akal yang sama dan setiap Mukmin wajib mengerti hukum syariat berdasarkan pemahamannya sendiri. Untuk itu, setiap orang berhak melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya bisa jadi salah. Mereka juga beralasan bahwa ijtihad harus tetap ada hingga Hari Kiamat untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang terus berkembang. Untuk itu, jika setiap orang tidak diberi hak berijtihad, tentu akan terjadi stagnasi ijtihad. Padahal, stagnasi ijtihad tidak boleh terjadi di tengah-tengah masyarakat Islam.
Benar, setiap Muslim diperintahkan untuk terikat dengan aturan Allah Swt. Seseorang tidak mungkin bisa terikat dengan aturan Allah jika ia tidak mengerti hukum syariat. Padahal, jalan satu-satunya untuk menggali hukum adalah ijtihad. Oleh karena itu, adanya ijtihad merupakan kewajiban bagi kaum Muslim. Namun demikian, ijtihad—sebagaimana definisinya—adalah aktivitas yang sangat sulit dan berat. Ijtihad juga membutuhkan syarat-syarat yang tidak mudah. Hanya orang-orang yang memiliki kelayakan dan kemampuan saja yang berhak melakukan ijtihad. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan kelayakan tentu tidak akan mampu melakukan ijtihad sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Jika ia memaksakan diri berijtihad, tentu saja hukum yang ia gali lebih banyak didasarkan pada hawa nafsunya, bukan didasarkan pada dalil-dalil syariat dan kaidah istinbâth yang benar. Padahal Allah Swt. melarang kaum Muslim berhukum berdasarkan hawa nafsunya. Allah Swt. berfirman “Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”. (QS al-Maidah [5]: 49).
Ijtihad memang harus dilakukan hingga akhir zaman untuk mejawab persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan pada masa sebelumnya. Akan tetapi, ini tidak berarti semua orang memiliki hak untuk melakukan ijtihad dengan alasan agar ijtihad tidak mandeg. Syarat-syarat kelayakan untuk melakukan ijtihad tetap harus dipenuhi. Orang yang tidak memiliki kemampuan dan memenuhi syarat-syarat ijtihad dilarang melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pintu ijtihad tertutup bagi orang yang tidak memenuhi syarat kelayakan ijtihad.
Kedua, dengan dalih ijtihad dan masalah ijtihadiah banyak orang yang akhirnya bersifat permissive terhadap keragaman pendapat. Padahal, tidak jarang perbedaan pendapat dalam masalah itu sudah menyangkut hal-hal yang bersifat qath‘i, bukan lagi zhanni. Contohnya perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim tentang sistem pemerintahan Islam. Ada sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa penerapan Islam bisa diwujudkan dalam koridor sistem pemerintahan apapun, baik republik, kekaisaran, federasi, dan sebagainya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa syariat Islam tidak harus diterapkan secara struktural dan formal, yang penting adalah substansi dan nilai-nilainya. Sebagian lagi berpendapat bahwa penerapan syariat Islam boleh dilakukan secara bertahap, bukan serentak. Perbedaan-perbedaan pendapat dalam hal semacam ini sesungguhnya adalah perbedaan pendapat yang dilarang dalam Islam. Sebab, masalah sistem pemerintahan di dalam Islam bukanlah termasuk masalah ijtihadiah. Nash-nash syariat yang sharîh (jelas) telah menyatakan bahwa sistem pemerintahan di dalam Islam adalah Khilafah Islamiyah, bukan sistem yang lain.
Ketiga, dengan alasan ijtihadiah juga sebagian kaum Muslim telah menutup diri dari pendapat lain. Dengan kata lain, mereka enggan untuk mencari dan mengkaji mana pendapat yang paling kuat dan benar berdasarkan prinsip quwwah ad-dalîl (kekuataan argumentasi). Dalam masalah furû‘, meskipun kaum Muslim diperbolehkan berbeda pendapat dan pandangan, mereka diperintahkan untuk mencari dan memilih pendapat yang paling râjih dan kuat. Seorang Muslim harus beramal dengan hukum yang dianggapnya paling benar dan kuat. Ia tidak boleh beramal dengan hukum yang dianggapnya salah dan lemah. Atas dasar itu, seorang Muslim tidak boleh menolak pendapat yang lebih kuat dan râjih. Bersikukuh pada pendapat yang sudah terbukti lemah dan ringkih adalah tindakan dosa yang dicela oleh Islam. Sebab, bolehnya kaum Muslim berbeda pendapat dalam masalah furû‘ tidak menafikan wajibnya mereka mencari dan memegang pendapat yang paling kuat dan râjih.
Taklid dan Talfiq
Taqlid secara etimologis adalah mengikuti orang lain tanpa penghayatan. Secara syar’i Al-Ghazali menyebutnya sebagai tindakan mengikuti pandangan orang lain tanpa hujjah. Maka sebenarnya orang yang mengikuti perkataan Rasul, perbuatan atau pengekuan beliau, juga ijma’ shahabat, tidak bisa disebut Taqlid, sebab pernyataan Rasul, perbuatan atau pengankuan beliau, dan juga Ijma’ shahabat itu sendiri adalah hujjah, dan karena mengikuti hujjah bukanlah taqlid.
Taqlid tidak mengantarkan kepada keyakinan dan juga tidak mengantarkan kepada dzann. Karena itu, jumhur ulama tidak membolehkan taqlid, kecuali kepada orang-orang yang lemah dan terpaksa, yaitu orang awam yang tidak mempunyai perangkat untuk ber ijtihad. Taqlid hanya berlaku pada hukum syara’ tidak dengan akidah, sebab akidah wajib dibangun berdasarkan keyakinan (’ilmu).
Muqallid (orang yang bertaqlid),ada dua jenis:
1. Muqallid Muttabi’, yaitu orang yang memiliki sebagian ilmu yang di akui (mu’tabar) dalam penggalian hukum, tetapi ilmunya tidak cukup untuk berijtihad, sehingga ia bertaqlid kepada musjtahid disertai dengan mengetahui dalil mujtahid yang di ikutinya.
2. Muqaalid ‘Amm; yaitu ornag yang tidak memiliki sebagian ilmu yang di akui dalam preoses penggalian hukum, sehingga ia bertaqlid kepada hukum syara’ yang di gali oleh mujtahid, tanpa disertaioengetahuan tentant dalil mujtahid yang di ikutinya.
Ketika membahas Taqlid, ada masalah ayang harus di perhatikan yaitu, apakah seorang muqallid yang mengikuti mujtahid dalam permasalahan tertentu boleh menarik kembali taqlidnya dan mengikuti mujtahid lain dalam permasalahan yang sama?
untuk menjawab hal ini, harus di ingat bahwa hukum syara’ bagi seorang muqallid adalah hukum syara’ yang telah digali oleh mujtahid yang di ikutinya. Hal ini dapat di gambarkan sebagai berikut;
1. Apabila perbuatan seornag muqallid terhadap suatu masalah yang dia ikuti merupakan perbuatan yang bersambung, maka dia tidak boleh menarik kembali taqlidnya dari perkara tersebut. karena dia telah terikat dengan hukum syara’ dalam masalah tersebut. Contohnya, apabila seseorang bertaqlid kepada seorang mujtahid dalam masalah shalat, maka ia wajib bertaqlid dalam seluruh bagian shalat, seperti wudhunya’ mandi junub, tayamum dan rukun-rukun shalat serta syarat-syaratnya yang lain.
2. Apabila perbuatan itu tidak bersambung, maka dibolehkan baginya untuk mengikuti mujtahid lain. Contohnya, seseorang bertaqlid pada Imam Syafi’ie dalam masalah shalat, sedangkan dalam masalah shaum dia bertaqlid pada Imam Malik.
Dua kondisi ini di lakukan selama seseorang muqallid hanya mampu bertaqlid saja. Apabila dia memiliki kemampuan untuk menilai dan mentarjih beberapa dalil, maka dia boleh meninggalkan pendapat mujtahid yang di ikutinya dan mengikuti dalil yang lebih kuat. dari uranian ini jelas haram bagi sseorang muqallid mencampur adukkan madzhab dan mengambil yang mudah-mudah saja. pencampuran inilah yang disebuit dengan Talfiq. Talfiq yaitu mengambil hukum syara’ yang dinyatakan oleh madzhab tertentu dengan mengikuti hawa nafsu tanpa memperhatikan standar tarjih.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar