PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika mengendarai kendaraan bermotor di jalan, kita harus mematuhi segala peraturan lalu lintas yang ada. Dari semua peraturan tersebut, salah satu hal yang terpenting adalah harus memiliki kartu SIM (Surat Izin Mengemudi). Untuk dapat memilikinya, kita harus menjalani segala prosedur yang ada di kantor polisi terdekat yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Namun, pada pelaksanaannya saat ini sering terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Mereka dengan sengaja mengambil keuntungan dari hal tersebut dengan cara menjadi calo atau makelar. Kemudian mereka menawarkan jasa mereka agar orang yang ingin membuat SIM mau menyerahkan uang tambahan dari yang semestinya.
Jika dipandang dari sudut pandang Islam, hal tersebut dapat dianggap sebagai simsar atau rasywah. Menjadi tanda tanya besar bagi kita, akan dianggap apa permasalahan tersebut. Padahal dua hal tersebut sangat bertentangan. Yang pertama mengarah kepada hal yang positif, sedangkan yang kedua mengarah kepada hal yang negatif. Oleh karena itu, di sini akan dipaparkan lebih lanjut mengenai permasalahan di atas.
B. Rumusan Masalah
Dalam menghadapi problematika seperti diatas, kita dapat menggunakan salah satu metode dalam ushul fiqh yaitu ‘urf. Dengan menggunakan ‘urf, akan menjadi jelas bagaimana Islam menentukan permasalahan tersebut, apakah ia masuk dalam kategori simsar atau rasywah. Kemudian supaya penjelasan mengenai hal ini tidak melebar, akan dibatasi hanya pada definisi simsar dan rasywah itu sendiri lalu dilanjutkan dengan penyelesaiannya menggunakan metode ‘urf.
PEMBAHASAN
A. Definisi Simsar
Makelar yang dalam bahasa Arab simsar adalah perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau yang mencarikan pembeli) atau perantara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.[1] Menurut Mahmud Syaltut tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, yaitu perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.
Makelar ini sebenarnya sangat diperlukan terutama di zaman sekarang ini yang masing-masing disibukkan dengan pekerjaan sendiri-sendiri, sehingga tidak ada waktu untuk menjualkan barangnya atau mencari barang yang diperlukan. Selain itu tidak semua orang memiliki keahlian untuk memasarkan/menjualkan atau mencari barang yang efektif dan efisien, artinya barang itu cukup bagus tetapi harganya relatif terjangkau. Pada saat ini makelar menjadi profesi yang bisa diandalkan dan bentuknya ada yang bersifat pribadi, ada juga yang berupa biro jasa. Pekerjaan ini mengandung unsur tolong menolong yang saling menguntungkan karena itu profesi ini tidak ada cacat dan celanya serta sejalan dengan ajaran Islam.[2]
Pada zaman modern ini, pengertian perantara konotasinya meluas dan sudah bergeser kepada beberapa profesi baru seperti, biro jasa, pengacara, konsultan, pembuatan STNK, SIM dan sebagainya. Bahkan untuk mendirikan bangunan pun, dalam pelaksanaannya terkadang mempercayakan pada seseorang yang mewakili dirinya, di mana seseorang tersebut mendapatkan imbalan materi. Jadi tidak sekedar mempertemukan orang yang menjual dan yang membeli saja dan tidak hanya menemukan barang-barang yang dicari saja dan menjualkan barang saja.
Pekerjaan ini menurut pandangan Islam termasuk akad ijarah yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang, misalnya rumah atau orang. Untuk menghindari agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diingankan, maka barang-barang yang akan ditawarkan dan diperlukan harus jelas. Demikian juga imbalan jasanya harus ditetapkan bersama terlebih dahulu.
Dalam masyarakat juga berlaku kebiasaan bahwa imbalannya tidak ditentukan dan hanya berlaku sebagaimana biasa saja misalnya 2,5-5%. Semakin rendah nilai transaksi jual beli, maka persentasenya semakin tinggi (maksimal 5%), dan semakin tinggi nilai transaksi, maka semakin rendah persentasenya (minimal 2,5%). Jumlah yang menggunakan adat istiadat ini dibenarkan oleh Islam berdasarkan: al-‘adatu muhakamah (adat bisa dijadikan hukum).
Oleh karena pekerjaan makelar itu termasuk ijarah (sewa menyewa), maka untuk sahnya pekerjaan makelar tersebut harus memenuhi beberapa syarat:
1. Persetujuan kedua belah pihak.
2. Motif akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
3. Objek akad bukan mengandung hal-hal yang maksiat atau haram, seperti mencarikan untuk judi, wanita penghibur dan sebagainya.[3]
Dasar semua itu adalah al-Quran surat al-Nisa ayat 29:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷�t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot�»pgÏB `tã <Ú#t�s? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Bagi makelar hendaknya ikhlas dalam bekerjanya, menjauhkan diri dari penipuan dan kongkalikong. Karena persewaan ini merupakan ijarah syar’iyyah shalihah (persewaan yang berdasarkan hukum syara’ yang benar, manfaat), maka upah harus diketahui dan pekerjaan-nya bernilai bagi manusia. Cara usahanyapun tidak boleh ada keraguan (syubhat).
Dengan demikian ia juga berhak menerima imbalan setelah berhasil memenuhi akad-nya, sedangkan pihak yang menggunakan jasa makelar harus segera memberikan imbalannya sesuai hadis Nabi yang artinya: berilah kepada pekerja itu upahnya sebelum kering keringat-nya.
Sebagaimana di atas, keuntungan makelar ditentukan sebelumnya atau kalau tidak di-kembalikan kepada adat kebiasaan. Namun pada saat ini tidak demikian, bisa jadi upahnya/ keuntungannya tidak ditentukan, tetapi si pengguna mematok harga barang, kemudian si makelar menjualnya dengan harga lebih, kelebihan itulah yang menjadi keuntungan yang diperolehnya. Ada pula kasus di mana si penjual mematok dengan harga tertentu dan dengan harga itu si makelar mendapat keuntungan persentase. Tetapi bila harga barang tersebut di atas harga patokan, maka persentasenya tidak ada/dihilangkan, dan kelebihannya menjadi hak makelar. Bisa juga makelar ini mendapat keuntungan dan persentase harga patokan plus kelebihan harga patokan tersebut, hal ini tergantung kepada perjanjian sebelumnya.
Kegiatan makelar atau percaloan sepertinya meluas tidak hanya pada bidang muamalah saja, tetapi pada bidang lain seperti siyasah (politik) dan munakahah. Biasanya dalam politik seseorang mempertemukan dua orang tokoh kunci atau publik figur. Dari pertemuan itu, ada beberapa pembicaraan yang mengarah kepada kompensasi saling menguntungkan. Selama kompensasi itu sesuai dengan prinsip-prinsip Islam tidak ada masalah, makelar itu biasanya mendapat keuntungan baik berupa materi maupun suatu posisi. Demikian juga dalam perkawinan, seseorang misalkan mencari/mendapatkan calon istri menggunakan jasa makelar yang sering disebut mat comblang. Inipun tidak masalah apalagi tujuannya untuk membina rumah tangga. Mat comblang biasanya tidak mendapatkan keuntungan materi dari jasa ini, hanya semata-mata kepuasan batin karena telah berbuat kebaikan.
B. Definisi Rasywah
Rasywah ialah uang sogokan atau uang pelicin yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan orang yang dibayar tersebut dapat mengurus dan menyelesaikan sesuatu dengan segera dan menguntungkan. Perbuatan ini diharamkan oleh agama, karena di dalamnya terdapat unsur mengabaikan kebenaran.[4]
C. Definisi ‘urf
Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf” dengan arti: “sesuatu yang dikenal”. Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf, kedua kata tersebut mutaradif (sinonim).[5] Namun sebenarnya ‘adat itu lebih luas daripada ‘urf sebab, adat kadang-kadang terdiri atas adat perseorangan atau bagi orang tertentu, sehingga hal ini tidak bisa dinamakan ‘urf. dan kadang-kadang terdiri atas adat masyarakat.
Adapun definisi ‘urf itu sendiri yaitu suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksankannya atau meninggalkannya. Sedangkan definisi tentang ‘adat yang dirumuskan Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh cenderung ke pengertian ini, yaitu: apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusan-urusannya.[6] Dengan demikian, kata ‘adat mengandung konotasi netral, maka ‘urf tidak demikian halnya. Kata ‘urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan, yaitu diakui, diketahui dan diterima oleh orang banyak. Dengan demikian, kata ‘urf itu mengandung konotasi baik.
Musthafa Syalabi tidak melihat perbedaan kedua kata itu dari segi konotasi kandungan artinya (netral dan tidak netral) seperti diuraikan di atas, tetapi dari segi ruang lingkup penggunaannya. Kata ‘urf selalu digunakan untuk jamaah atau golongan, sedangkan kata ‘adat dapat digunakan untuk sebagian orang di samping berlaku pula untuk golongan. Apa yang telah biasa dilakukan (menjadi kebiasaan) seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai “’adat orang itu”, namun tidak dapat dikatakan sebagai “’urf orang itu”.
D. Macam-macam urf
Penggolongan macam-macam ‘urf dapat dilihat dari beberapa segi:
1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf itu ada dua macam:
a. ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Misalnya, kata lahm artinya adalah ‘daging’, baik daging sapi, ikan atau hewan lainnya. Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang Arab, kata lahm tidak digunakan untuk ‘ikan’.
b. ‘urf fi’li¸yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Seperti, kebiasaan jual beli barang-barang yang murah dan kurang begitu bernilai transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima dan uang tanpa adanya ucapan transaksi (akad) apa-apa.
2. Dari segi ruang lingkup penggunaanya, ‘urf terbagi pada:
a. ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, tanpa memandang negara, bangsa dan agama.
b. ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu.
3. Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘urf itu terbagi kepada:
a. ‘urf shahih, yaitu ‘urf yang berulang-ulang dilakukan, diterima orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur.
b. ‘urf fasid, yaitu ‘urf urf yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.
E. Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum
Secara umum ‘urf itu diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Oleh ulama Hanafiyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti: ‘urf itu men-takhsis umum nash. Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad. Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.
PENUTUP
Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa calo pembuatan SIM tadi jika dianggap sebagai suatu pertolongan, maka hal tersebut dibolehkan. Akan tetapi, jika hal tersebut dianggap sebagai suatu suap maka hukum melakukannya ialah haram. Dipandang dari segi ‘urf, masalah tersebut dapat digolongkan kepada ‘urf fasid.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang kebutuhan masyarakat saat ini ia jelas merupakan suatu pertolongan karena masyarakat pada zaman seperti sekarang dituntut untuk dapat melakukan banyak hal dalam waktu yang relatif singkat. Jadi jika mereka ingin membuat SIM mereka dapat menyerahkan urusannya kepada calo tadi dan mereka dapat melakukan hal lain sampai proses pembuatan SIM-nya tersebut selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, M. Ushul Fiqh. terj. Saefullah Ma’shum, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008.
Hasan, Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan .Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2000.
Mas’ud,Ibnu. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia. 2000.
Sudrajat, Ajat. Fikih Aktual: Membahas Problematika Hukum Islam Kontemporer. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press. 2008.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana. 2009.
Zuhdi, Masjfuk. Masa`il Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam .Jakarta: PT Toko Agung. 1997.
[1]Ajat sudrajat, Fikih Aktual: Membahas Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), hlm. 283.
[2] Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 88.
[3] Masjfuk Zuhdi, Masa`il Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT Toko Agung, 1997), hlm. 128.
[4] Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 95.
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 387.
[6] M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 417.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar