Mafhum Muwafaqah | Makalah Ushul FIqih

Admin Tuesday, November 23, 2010

Sebenarnya melalui mafhum muwafaqah ini, proses penalaran hukum telah bergeser satu level ke dalam, karena argumen ini tidak lagi berdasarkan kepada ekspresi verbal formal yang tersurat dari teks, melainkan  berdasarkan ungkapan tersirat di balik teks yang lazim disebut dengan mafhum. Ada dua jenis mafhum yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Berikut ini akan dibahas jenis mafhum yang pertama.
Imam al-Juwaini mendefenisikan mafhum muwafaqah sebagai pernyataan yang menunjukkan bahwa hukum kasus yang tidak disebutkan, secara bil aula sejalan dengan hukum kasus yang disebutkan. Defenisi lain menyatakan bahwa mafhum muwafaqah adalah lafal yang menunjukkan berlakunya hukum kasus yang disebutkan terhadap kasus yang tidak disebutkan karena adanya causa legis (illah) yang sama antara keduanya yang dapat dipahami dari pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, mafhum muwafaqah adalah pernyataan yang menunjukkan makna (hukum) yang disebutkan secara tersurat sebagai konsekwensi logis dari makna (hukum) yang disebutkan dalam ungkapan tersurat peryataan tersebut.
Contoh yng paling sering untuk menjelaskan tema ini adalah ayat: …wa la taqullahuma uffin (dan janganlah kamu mengatakan kepada keduanya kata-kata “hus”). Makna (hukum) tersirat yang terkandung dalam ayat itu sebagai konsekwensi logis dari larangan tersurat agar jangan mengatakan kata-kata hus kepada orang tua adalah larangan memukulnya. Dengan kata lain, ayat itu tidak saja menunjukkan hukum haramnya perbuatan mengatakan hus kepada kedua orang tua, akan tetapi juga mengandung hukum haramnya perbuatan lain yang setara yang tidak disebutkan dalam ayat itu, seperti memukul, karena adanya kesamaan illat antara keduanya, yaitu sama-sama bersifat menyakiti orang tua.
Contoh lain adalah ayat: Innalladziina ya`kuluuna amwaalal yataama dzulman innama ya`kuluna fi butuunihim naara wa sayaslauna sa’iira (Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, diumpamakan mereka itu menelan api sepenuh perutnya). Ayat ini tidak hanya mengandung hukum haramnya memakan harta anak yatim secara melawan hukum sebagaimana disebutkan secara tersurat dalam ayat itu, akan tetapi juga mengandung hukum haramnya beberapa perbuatan lainnya yang tidak disebutkan, seperti menghibahkan, menjual atau merusak harta anak yatim itu secara melawan hukum, karena adanya causa legis yang sama , yakni sama-sama merugikan anak yatim.. Jadi, larangan menjual, menghibahkan dan merusak harta anak yatim secara melawan hukum dalam ayat di atas disebut mafhum muwafaqah atau dalalah ad-dalalah atau dalalah an-nas.
Analisis mengenai penalaran ini telah berkembang dalam teori hukum Islam sejak zaman yang awal sekitar pertengahan abad ke-12. Josept Schacht mencatat bahwa metode ini telah digunakan oleh Abu Hanifah, Abu Yusuf, asy-Syaibani dan Auza’i. Akan tetapi adalah di dalam tulisan Asy-Syafi’i metode ini pertama kali ditemukan analisisnya secara mendalam.
Syafi’i ini membedakan penalaran ini menjadi dua macam:
1.   Argumen a Minori ad Mius (dari yang lebih kecil kepada yang lebih besar). Dengan macam ini dimaksudkan bahwa Pembuat Hukum melarang suatu yang lebih sedikit, maka sesuatu yang lebih besar tentu juga dilarang. Apabila Nabi melarang berprasangka buruk kepada sesama mukmin, maka suatu yang lebih berat dari sekedar prasangka buruk seperti menyatakan suatu yang tidak benar mengenainya tentu lebih dilarang lagi. Contoh lainnya, di dalam Al-Qur`an Tuhan menyatakan bahwa kebajikan sebesar atom  pun akan dilihat ganjarannya oleh pelakunya di akhirat nanti. Dari sini dapat dilihat bahwa kebajikan yang lebih besar dan banyak tentu lebih pantas untuk diperlihatkan pahalanya kepada pelakunya.
2.   Argumen a Maiori ad Minus. Dimaksudkan dengan macam ini adalah bahwa apabila Pembuat Hukum membolehkan sesuatu yang lebih banyak, tentunya sesuatu yang lebih kecil dari itu lebih diperbolehkan lagi. Syafi’i memberikan contoh, apabila prajurit musuh yang berperang boleh, maka tindakan yang lebih ringan dari membunuh tentu juga dibolehkan.
Para ahli usul memperdebatkan apakah mafhum muwafaqah termasuk qiyas atau merupakan pemahaman langsung dari bahasa teks tersebut?
1.   Para mutakallimin, penganut mazhab zahiri, dan banyak teoritikus hukum Hanafi berpendapat bahwa ia tidak merupakan panalaran inferensial (dapat ditarik kesimpulan) melalui qiyas, melainkan penalaran linguistik, di mana hukum dipahami sebagai implikasi dari bahasa teks itu sendiri. Hukum yang disimpulkan berdasarkan mafhum muwafaqah ini disimpulkan dari bahasa teks tanpa melalui ijtihad dan penyimpulan rasional serta dapat diketahui oleh setiap orang yang mengerti dan menguasai bahasa teks yang bersangkutan. Mafhum muwafaqah bukan merupakan qiyas karena qiyas hanya dapat dipahami oleh ahli hukum  sementara mafhum muwafaqah dapat dipahami oleh semua orang yang dapat memahami bahasa. Mafhum muwafaqah berbeda dengan qiyas, yaitu:
a.   Dalam qiyas tidak disyaratkan bahwa illat yang ada pada kasus cabang lebih relevan (asyaddu munasabah) daripada yang ada dalam kasus pokok, sementara itu dengan penalaran mafhum muwafaqah, tidak mungkin terjadi tanpa relevansi yang lebih kuat dalam kasus cabang.
b.   Dalam qiyas, kasus pokok tidak termasuk dan merupakan bagian dari kasus cabang, sementara dalam mafhum muwafaqah, kasus yang disebutkan secara tersurat itu merupakan bagian dari kasus yang dipahami secara tersirat. Jadi dalam kasus bahwa Tuhan memberikan ganjaran terhadap perbuatan baik sekalipun sebesar atom, dipahami bahwa perbuatan baik yang lebih besar tentu lebih layak lagi diberi pahala. Terlihat bahwa perbuatan baik sebesar atom adalah bagian dari perbuatan baik yang lebih besar. Atas dasar ini, maka mafhum muwafaqah bukanlah merupakan bagian dari qiyas akan tetapi penalaran murni linguistik.
2.   Ahli hukum mazhab syafi’iah termasuk Syafi’i menganggap bahwa mafhum muwafaqah  sebagai bagian dari qiyas dan merupakan jenis qiyas yang lebih kuat. Mafhum muwafaqah melibatkan suatu penalaran inferensial, karena dalam penalaran ini bahasa teks tidak secara tersurat menyebutkan hukum masalahnya. Perbuatan memukul tidak dipahami berdasarkan ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Adalah dengan jalan penalaran terhadap implikasi yang ditimbulkan dapat dipahami bahwa kata-kata ‘hus’ mengandung arti menyakiti dan karena itu meliputi juga memukul. Pemahaman ini hanya dapat dilakukan melalui qiyas. Mafhum muwafaqah inilah merupakan jenis qiyas yang paling kuat dan jelas (jaly).
3.   Al-Ghazali dalam kitabnya Syifa’ al-Ghalil mengutip pandangan-pandangan yang bertolak belakang antara mereka yang memasukkan mafhum muwafaqah sebagai bagian dari qiyas dan yang menganggapnya bagian penalaran lingustik. Menurutnya, mafhum muwafaqah tidak dianggap sebagai qiyas, sehingga dianggap keliru orang mengaggap bahwa larangan memukul orang tua itu berdasarkan kepada qiyas terhadap larangan mengucapkan kata-kata “hus”, jika dimaksdukan penyimpulan itu berdasarkan kepada penggunaan nalar dan penyimpulan causa legis. Mengaitkan larangan pemukulan dengan larangan mengucapkan “hus” tidak merupakan qiyas, karena dalam qiyas, kasus cabang yang tidak disebutkan hukumnya yang hendak disamakan dengan hukum kasus pokok melalui qiyas merupakan sesuatu yang memang tidak menjadi tujuan pokok dari pernyataan (ayat), sementara itu dalam mafhum muwafaqah, hal yang tidak disebutkan itulah justru yang menjadi maksud pokok dan tujuan utama yang hendak dikemukakan.
Jadi dalam kasus larangan mengucapkan kata-kata “hus”, pokok yang hendak ditegaskan dalam ayat itu bukanlah larangan mengucapkan kata-kata ‘hus” itu sendiri, melainkan sesuatu yang lebih penting dari itu, yaitu penegasan suatu yang tidak disebutkan secara tersurat dalam ayat yang bersangkutan, yakni bentuk larangan menyakiti kedua orang tua dengan cukup hanya menyebutkan contoh bentuknya yang paling minimal. Larangan menyakiti dengan sendirinya meliputi semua jenis lain yang sama atau bahkan lebih berat lagi seperti perbuatan memukul.
Pemahaman yang tidak disebutkan secara tersurat itu diperoleh melalui karinah (indikasi sirkumstansial/bukti pendukung) dan konteks dari pernyataan yang bersangkutan. Dalam kasus larangan pemukulan yang dipahami dari larangan mengucapkan kata-kata “hus’, larangan tersebut dipahami berdasarkan karinah dan konteks ayat yang mewajibkan menghargai, menghormati dan berbuat baik kepada kedua orang tua, sementara pemukulan seperti halnya mengucapkan kata-kata “hus” bertentangan dengan kewajiban tersebut, oleh karena itu, perbuatan  tersebut dilarang. Adanya karinah dan konteks yang tegas tersebutlah, membuat pemahaman bahwa unsur yang tidak disebutkan tercakup ke dalam yang disebutkan begitu gamblang, dan dapat dilakukan secara intuitif tanpa bantuan penalaran analogis berdasarkan causa legis (illat), sehingga dengan demikian, mafhum muwafaqah bukan merupakan bagian dari qiyas.
Sebaliknya, tidak tepat juga kalau dikatakan bahwa dalam mafhum muwafaqah, hal yang tidak disebutkan itu dipahami itu dipahami langsung dari bahasa teks, karena ucapan sesorang “janganlah engaku mengucapkan hus”, menurut asal usul bahasa tidak dimaksudkan untuk menyatakan larangan memukul. Menurut al-Ghazali, intimasi (tanbih/peringatan) terhadap larangan sesuatu yang lebih  kecil tidak serta merta berarti larangan terhadap sesuatu yang lebih besar, selama konteks dan karinah yang menyertai ucapan tersebut tidak dipahami. Bisa saja seseorang mengatakan, raja misalnya, kepada algojonya, “jangan hardik orang itu, tapi langsung habisi”. Di sini, larangan menghardik, tidak dengan sendirinya menunjukkan larangan suatu yang lebih berat lagi, yakni membunuh, akan tetapi justru sebaliknya, larangan tersebut justru mempertegas perintah membunuh. Adalah melalui konteks (karinah) yang menunjukkan kepada adanya makna yang tidak disebutkan itu, dan dengan bantuan konteks pula pemahaman tersebut dapat ditingkatkan kepada level yang lebih pasti (qat’i). Dengan demikian, tidaklah dapat dikatakan bahwa mafhum muwafaqah adalah memahami makna yang tidak disebutkan secara tersurat melalui ungkapan tersurat dengan petunjuk konteks dan maksud pernyataan.
Dari semua penjelasan yang telah disebutkan di atas, ingin ditekankan bahwa semata ekspresi verbal  tidaklah cukup untuk menafsirkan hukum yang dirumuskan secara tersirat. Oleh karena itu, petunjuk kontekstual (karinah) sangat penting artinya di dalam memahami teks-teks hukum syar’i, karena ungkapan teks itu bersifat ekuivokal (muhtamil/multi makna) dan petunjuk kontekstual dapat meningkatkan derajat pengetahuan kita mengenai hukum dari pengetahuan asumtif (zanni) kepada pengetahuan pasti (qat’i).

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
May 30, 2013 at 9:46 AM delete

terima kasih mas sudah mau berbagi.
Ijin copy untuk bahan tugas saya.

Reply
avatar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar