sebagaimana didevinisikan oleh Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguitic, adalah cabang keilmuan yang mempelajari tentang penggunaan tanda dalam masyarakat (Amir Yasraf Piliang, 2003: 298). Selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna, atau selama berfungsi sebagai tanda, maka di belakangnya harus ada system pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu sendiri (Harmukti Kridalaksana dalam Saussure, 1996: 26). Apa pun betuk tanda yang digunakan dan siapapun subyek yang terlibat, selama ia digunakan dalam satu sistem petandaan dan komunikasi, serta berdasar pada kesepakatan sosial tertentu, maka ia merupakan fenomena semiotik. Hal ini juga berlaku pada proses pertandaan dan komunikasi di dalam ilmu-ilmu agama.
Sebelum membicarakan sumbangan semiotika Saussure terhadap ilmu-ilmu agama, terlebih dulu di sini dibahas pertentangan filosofis yang melatar belakangi kemunculan semiotika, khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara tanda, makna dan realitas. Kemunculan semiotika sebenarnya tidak lepas dari perdebatan paham matrealisme dan idealisme serta bagaimana kaitannya dengan strukturalisme. Menurut paham idelalisme, ada sesuatu di belakang realitas dan bahkan melampaui realitas itu sendiri, yang bersifat transeden. Dalam system pertandaan dan komunikasi, makna dari tanda dikatakan bersifat transeden. Dengan demikian, idealisme menuntut adanya satu fondasi atau titik pusat tempat bersandarnya suatu system makna. Sebaliknya, paham matrealisme menegaskan bahwa relitas empiris itu berdiri sendiri dan melingkupi seluruh realitas. Ia mengikuti hukumnya sendiri yang berifat imanen, tanpa campur tangan Tuhan yang transeden. Matrealisme berprinsip bahwa makna dalam system komunikasi atau pertandaan diproduksi oleh manusia dengan system dan kodenya sendiri, tanpa campur tangan kode-kode transedental.
Sifat transeden ini bisa dikatakan melekat pada pemikiran semiotika Saussure, disebabkan pemahamannya bahwa individu itu tidak lebih dari pengguna kode-kode social yang sudah tersedia.Berdasarkan pemahaman ini, Sausure tidak tertarik untuk mengkaji bahasa dari sudut sejarah dan perkembangan penggunaan bahasa, tetapi lebih pada struktur yang menopang bahasa tersebut.
Strukturalisme berkaitan erat dengan penyingkapan structure berbagai aspek pemikiran dan tingkah laku manusia. Hakikat dari pendekatan strukturalis adalah, bahwa ia tidak menyoroti mekanisme sebabh-akibat dari satu fenomena melainkan tertarik pada konsep bahwa satu totalitas yang kompleks dapat dipahami sebagai satu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Pemikkiran strukturalisme ini secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) stukturalisme tidak menganggap penting individe sebagai subyek pencipta, dan melihatnya lebih sebagai pengguna kode yang tersedia, 2) strukturalisme memberikan perhatian perhatian yang sedikit terhadap masalah sebab-akibat,dan memusatkan dirinya pada kajian tentang struktur, 3) strukturalisme tidak menganggap penting pertanyaan tentang sejarah dan perubahan, dan lebih berkonsentrasi pada kajian antara seperangkat unsure-unsur dalam satu system pada satu waktu tertentu.
Karya Saussure, Course in General Linguistic banyak memberikan pengaruh pada paham strukturalisme ini. Karya ini merupakan fondasi bagi berkembangnya paham srrukturalisme di berbagai disiplin, termasuk semiotika. Melalui konsep strukturnya ini, Saussure mengemukakan bahwa bahasa tidak harus dikaji secara diakronik –dalam arti perkembangan maknanya secara hiostoris, melainkan juga bisa secara sinkronik – dalam arti sebagai unsure yang saling berkaitan dalam satu waktu wadah waktu yang abadi.
Dalam menjelaskan sinkronik ini Saussure menggunakan tiga konsep yang saling berkaitan, yaitu [1] Langue (berarti suatu bahasa tertentu dalam suatu kelompok masyarakat-sosial, misalnya Jerman, Indonesia, Inggris, [2] Langage (yakni bahasa yang merupakan sifat khas manusia) [3] Parole (adalah tuturan individu yang secara kongkrit dalam komunikasi.
Langue merupakan sebuah system bahasa. Ia adalah satu system total konvensi bahasa. Dari sisi individu manapun yang menggunakannya, system ini telah tersedia; pengguna bahasa tidak menciptakan konvensi ini. Di pihak lain, parole adalah sisi penggunaan bahasa secara nyata,yang melibatkan pemilahan dan pengkombinasian khazanah kata-kata dank ode yang tersedia. Melalui model bahasa ini, segala praktik sosal dapat dianggap sebagai satu system pertukaran tanda dan makna di antara subyek-subyek yang terlibat, yang besumer pada kode social telah melembaga. Istilah kode ini sendiri dapat dijelaskan sebagai seperangkat aturan atau kovensi yang disepakati bersama dalam pengkombinasian tanda-tanda untuk menyampaikan pesan.
Melalui ide Saussure inilah Roland Barthes lalu melihat bahwa fenomena cultural seperti system fashion, furniture, perikanan, media massa dan arsitektur sebagai system tanda yang dapat menandai posisi social tertentu bagi orang yang menggunaknnya.Pakaian,misalnya lewat bentuk, warna, bahan dan motifnya dapat mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang makna status, kelas social, ideology, atau kepercayaan pemakainya.
Di sinilah Saussure kemudian mengembangkan ide bahwa tanda itu pada hakikatnya bersifat sewenang-wenang (arbitrary). Menurutnya, tanda merupakan bagian tidak terpisahkan dari system konvensi. Tanda terbentuk dari dua kesatuan yang tidak terpisahkan, yakni Signifie (petanda; gagasan atau makna yang disampaikan) dan Signifiant (penanda, bentuk yang menandakan sesuatu). Hanya kesepakatan atau konvensi social sajalah yang mengatur. Kata masjid, misalnya, adalah satu tempat untuk beribadah, bukan untuk berdagang. Contoh lainnya, menepuk tangan adalah tanda yang gunakan oleh makmum wanita untuk menandai kekeliriuan imam. Imam dengan sendirinya memahami, bahwa tepuk tangan adalah teguran dari makmum wanita, karena adanya konvensi masyarakat Muslim.
Selain itu, menurut semiotika structural Saussurian, tanda tetap harus menyandarkan penggunaanya pada hubungan struktural dalam sistem langue. Barthes dalam bukunya, Mythologies, memperkuat ide ini dengan mengusulkan dua tingkatan pertandaan, yakni tingkat bahasa dan tingkat ideologis. Pada tingkat bahasa, kesatuan antara petanda dan penanda membentuk tanda. Selanjuitnya, pada tingkat kedua,tanda pada peringkat pertama tadi menjadi penanda baru, yang mulai kesatuannya dengan petanda baru membentuk tanda. Di sini tampak bahwa makna pada tingkat bahasa (semiotika) bersandar pada system makna pada tingkat ideologis, dengan segala kode-kodenya yang telah melembaga.
Hal ini dapat digambarkan secara jelas lewat contoh jilbab. Pakaian jilbab pada tingkatan semiotika dapat menandai kesopanan atau ketertutupan tubuh. Makna kesopanan ini, selanjutnya pada tingkat ideologis, dapat pula menandai kepatuhan, kesalehan,dan sebagainya. Dapat di sini dijelaskan, bahwa ketika seorang wanita mengenakan jilbab, ia jelas tidak sekedar berfikir tentang fungsi utilitas jilbab sebagai penutup tubuh, tetapi ada satu gagasan lebih tinggi yang menyertainya, seperti konsep kepatuhan, kesalehan, dan lain sebagainya.
Sebelum membicarakan sumbangan semiotika Saussure terhadap ilmu-ilmu agama, terlebih dulu di sini dibahas pertentangan filosofis yang melatar belakangi kemunculan semiotika, khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara tanda, makna dan realitas. Kemunculan semiotika sebenarnya tidak lepas dari perdebatan paham matrealisme dan idealisme serta bagaimana kaitannya dengan strukturalisme. Menurut paham idelalisme, ada sesuatu di belakang realitas dan bahkan melampaui realitas itu sendiri, yang bersifat transeden. Dalam system pertandaan dan komunikasi, makna dari tanda dikatakan bersifat transeden. Dengan demikian, idealisme menuntut adanya satu fondasi atau titik pusat tempat bersandarnya suatu system makna. Sebaliknya, paham matrealisme menegaskan bahwa relitas empiris itu berdiri sendiri dan melingkupi seluruh realitas. Ia mengikuti hukumnya sendiri yang berifat imanen, tanpa campur tangan Tuhan yang transeden. Matrealisme berprinsip bahwa makna dalam system komunikasi atau pertandaan diproduksi oleh manusia dengan system dan kodenya sendiri, tanpa campur tangan kode-kode transedental.
Sifat transeden ini bisa dikatakan melekat pada pemikiran semiotika Saussure, disebabkan pemahamannya bahwa individu itu tidak lebih dari pengguna kode-kode social yang sudah tersedia.Berdasarkan pemahaman ini, Sausure tidak tertarik untuk mengkaji bahasa dari sudut sejarah dan perkembangan penggunaan bahasa, tetapi lebih pada struktur yang menopang bahasa tersebut.
Strukturalisme berkaitan erat dengan penyingkapan structure berbagai aspek pemikiran dan tingkah laku manusia. Hakikat dari pendekatan strukturalis adalah, bahwa ia tidak menyoroti mekanisme sebabh-akibat dari satu fenomena melainkan tertarik pada konsep bahwa satu totalitas yang kompleks dapat dipahami sebagai satu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Pemikkiran strukturalisme ini secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) stukturalisme tidak menganggap penting individe sebagai subyek pencipta, dan melihatnya lebih sebagai pengguna kode yang tersedia, 2) strukturalisme memberikan perhatian perhatian yang sedikit terhadap masalah sebab-akibat,dan memusatkan dirinya pada kajian tentang struktur, 3) strukturalisme tidak menganggap penting pertanyaan tentang sejarah dan perubahan, dan lebih berkonsentrasi pada kajian antara seperangkat unsure-unsur dalam satu system pada satu waktu tertentu.
Karya Saussure, Course in General Linguistic banyak memberikan pengaruh pada paham strukturalisme ini. Karya ini merupakan fondasi bagi berkembangnya paham srrukturalisme di berbagai disiplin, termasuk semiotika. Melalui konsep strukturnya ini, Saussure mengemukakan bahwa bahasa tidak harus dikaji secara diakronik –dalam arti perkembangan maknanya secara hiostoris, melainkan juga bisa secara sinkronik – dalam arti sebagai unsure yang saling berkaitan dalam satu waktu wadah waktu yang abadi.
Dalam menjelaskan sinkronik ini Saussure menggunakan tiga konsep yang saling berkaitan, yaitu [1] Langue (berarti suatu bahasa tertentu dalam suatu kelompok masyarakat-sosial, misalnya Jerman, Indonesia, Inggris, [2] Langage (yakni bahasa yang merupakan sifat khas manusia) [3] Parole (adalah tuturan individu yang secara kongkrit dalam komunikasi.
Langue merupakan sebuah system bahasa. Ia adalah satu system total konvensi bahasa. Dari sisi individu manapun yang menggunakannya, system ini telah tersedia; pengguna bahasa tidak menciptakan konvensi ini. Di pihak lain, parole adalah sisi penggunaan bahasa secara nyata,yang melibatkan pemilahan dan pengkombinasian khazanah kata-kata dank ode yang tersedia. Melalui model bahasa ini, segala praktik sosal dapat dianggap sebagai satu system pertukaran tanda dan makna di antara subyek-subyek yang terlibat, yang besumer pada kode social telah melembaga. Istilah kode ini sendiri dapat dijelaskan sebagai seperangkat aturan atau kovensi yang disepakati bersama dalam pengkombinasian tanda-tanda untuk menyampaikan pesan.
Melalui ide Saussure inilah Roland Barthes lalu melihat bahwa fenomena cultural seperti system fashion, furniture, perikanan, media massa dan arsitektur sebagai system tanda yang dapat menandai posisi social tertentu bagi orang yang menggunaknnya.Pakaian,misalnya lewat bentuk, warna, bahan dan motifnya dapat mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang makna status, kelas social, ideology, atau kepercayaan pemakainya.
Di sinilah Saussure kemudian mengembangkan ide bahwa tanda itu pada hakikatnya bersifat sewenang-wenang (arbitrary). Menurutnya, tanda merupakan bagian tidak terpisahkan dari system konvensi. Tanda terbentuk dari dua kesatuan yang tidak terpisahkan, yakni Signifie (petanda; gagasan atau makna yang disampaikan) dan Signifiant (penanda, bentuk yang menandakan sesuatu). Hanya kesepakatan atau konvensi social sajalah yang mengatur. Kata masjid, misalnya, adalah satu tempat untuk beribadah, bukan untuk berdagang. Contoh lainnya, menepuk tangan adalah tanda yang gunakan oleh makmum wanita untuk menandai kekeliriuan imam. Imam dengan sendirinya memahami, bahwa tepuk tangan adalah teguran dari makmum wanita, karena adanya konvensi masyarakat Muslim.
Selain itu, menurut semiotika structural Saussurian, tanda tetap harus menyandarkan penggunaanya pada hubungan struktural dalam sistem langue. Barthes dalam bukunya, Mythologies, memperkuat ide ini dengan mengusulkan dua tingkatan pertandaan, yakni tingkat bahasa dan tingkat ideologis. Pada tingkat bahasa, kesatuan antara petanda dan penanda membentuk tanda. Selanjuitnya, pada tingkat kedua,tanda pada peringkat pertama tadi menjadi penanda baru, yang mulai kesatuannya dengan petanda baru membentuk tanda. Di sini tampak bahwa makna pada tingkat bahasa (semiotika) bersandar pada system makna pada tingkat ideologis, dengan segala kode-kodenya yang telah melembaga.
Hal ini dapat digambarkan secara jelas lewat contoh jilbab. Pakaian jilbab pada tingkatan semiotika dapat menandai kesopanan atau ketertutupan tubuh. Makna kesopanan ini, selanjutnya pada tingkat ideologis, dapat pula menandai kepatuhan, kesalehan,dan sebagainya. Dapat di sini dijelaskan, bahwa ketika seorang wanita mengenakan jilbab, ia jelas tidak sekedar berfikir tentang fungsi utilitas jilbab sebagai penutup tubuh, tetapi ada satu gagasan lebih tinggi yang menyertainya, seperti konsep kepatuhan, kesalehan, dan lain sebagainya.
loading...
1 komentar:
Write komentarterima kasih atas postingnya
ReplySilahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar