Filsafat Bahasa Positivisme dan Ordinary Language Philosophy
Filsafat Bahasa Positivisme
1. Positivisme logis menerima pandangan-pandangan dari atomisme logis tentang logika dan cara atau teknik analisinya namun demikian positivisme logis menolak metafisika atomisme logis. Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk dua macam tujuan yaitu:Bertujuan untuk menghilangkan metafisika
positivisme logis menggunkan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan untuk menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah.
Secara prinsip positivisme logis menerima konsep-konsep atomisme logis terutam dalam hal analisis logis melalui bahasa, walaupun mereka menolak visi dasar metafisisnya. Positivisme logis terutama memperhatikan dua masalah yaitu
a. analisis pengetahuan
b. pendasaran matematika dan ilmu pengetahuan alam demikian juga terhadap psikologi dan sosiologi.
Pengaruh positifisme logis terhadap ilmu-ilmu pengetahuan lain terutama ilmu pengetahuan psikologi, budaya, sosial, agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang sampai saat ini masih terasa terutama dindonesia sendiri.
Ungkapan-ungkapan yang Psikis yang dapat dirumuskan secara fisikalistis, pada dasarnya tidak terbuka untuk pemeriksaan intersubyektif. Itulah sebabnua ungkapan-ungkapan semacam itu tidak pantas diberi tempat dalam wilayah ilmu pengetahuan
Jadi satu-satunya psikologi ilmiah yang mungkin dikembangkan adalah suatu “Behaviorisme Radikal” fisikalisme tidak mengatakan bahwa tidak ada pengalaman-pengalaman psikis. Dikatakan bahwa pengalaman-pengalaman macam itu tidak mempunyai nilai ilmiah, karena secara prinsipial tidak terbuka bagi pemeriksaan intersubyektif, dan oleh karena itu tidak dapat dirumuskan secara fisikalistis. Hal itu hanyalah metafisika belaka, sebab bagi positivisme logis yang tidak dapat ditangani oleh ilmu pengetahuan (menurut pendapat mereka mengenai ilmu pengetahuan yaitu psikalisme) dituding sebagai metafisika, berarti sebagai usaha yang tidak memiliki makna teoritis dan tidak mengungkapkan suatu apapun.
Ordinary Language Philosophy
Berkembangnya konsep pemikiran filsafat analitik sebagai reaksi ketidakpuasanFilsafat Bahasa Wittgenstein II
Dalam buku keduanya, Philosophical Investigations ia menolak terutama dalam tiga hal, yaitu (1) bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan states of affairs (keadaan-keadaan faktual), (2) bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan suatu keadaan faktual, dan (3) bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.
Lebih jauh dalam buku tersebut, Wittgenstein beralih dari teori picture kepada teori makna dalam penggunaan (meaning in use) dan teori permainan bahasa (language game). Berikut akan dipaparkan secara ringkas. Dalam meaning in use, Wittgenstein menyatakan baha masalah bahasa pertama-tama adalah masalah menggunakan beberapa bunyi tertentu. Dalam kenyataannya sebuah tanda menjadi mati atau menajdi hidup, atau menjadi bermakna, terletak pada penggunaan. Penggunaan suatu tanda merupakan nafas kehidupan tanda tersebut.
Peralihan dari persoalan-persoalan makna kepada meaning in use, didasarkan pada pengertian umum bahwa makna sebuah kata adalah obyek yang dilambangkannya. Misalnya, kambing, kuda, pohon, dan kursi. Kata-kata ini bermakna karena menamakan sesuatu. Tetapi terdapat banyak kata yang tidak menunjukkan benda, misalnya sudah, boleh, maka, dan. Karena itu jangan ditanyakan apa arti sebuah kata, tetapi bagaimana sebuah kata digunakan (Don’t ask for the meaning, ask for the use). Inilah semboyan para pendukung filsafat Wittgenstein. Filsuf yang semacam ini dikenal dengan ordinary language philosopher.
Dalam kaitannya dengan permainan bahasa (language games), harus dipahami bahwa bahasa merupakan sebuah fenomena yang kompleks. Di dalamnya terdapat permainan yang tak terkira jumlahnya. Dengan bahasa yang sama kita dapat memaparkan sesuatu, memberi perintah, menanyakan, berterima kasih, berdoa, bernyanyi dan sebagainya. Bahasa bagaikan alat-alat pertukangan dalam tas seorang tukang sebagaimana tidak ada satu penggunaan pasti dan sangat terbatas pada suatu alat. Ada macam-macam alat yang mempunyai macam-macam fungsi. Demikian pula bahasa, tidak ada penggunaan pasti dan ketat tiap-tiap kata. Kata-kata bagaikan buah catur yang dapat dimainkan ke segala macam arah. Kata-kata yang dipakai mendapatkan maknanya dalam aktifitas (speaking of language is part of an activity, or of a form of life), karena itu makna suatu kalimat selalu tergantung pada cara dipakainya kalimat tersebut. Dengan kata lain, makna suatu kalimat dapat dimengerti sebagai penggunaan kalimat itu. Dengan demikian, sifat bahasa itu sendiri memberi peluang timbulnya salah pengertian.
Dalam permainan bahasa, terdapat beberapa pikiran pokok yang perlu diperhatikan: (1) ada banyak permainan bahasa, tetapi tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan itu. Esensi setiap permainan berbeda. Setiap permainan menyatakan satu pernyataan tertentu. Antara permainan-permainan itu hanya dikenal kesamaan keluarga. Dengan demikian tidak mungkin menentukan dengan persis batas-batas pemahaman mengenai permainan. Yang mungkin dilakukan ialah melacak batas-batas untuk mengetahui apakah hal itu dapat disebut suatu permainan atau tidak. Batas-batas permainan itu sendiri kabur dan sulit dipahami, (2) kendatipun orang tidak tahu persis sebuah permainan, tetapi ia tahu apa yang dapat dibuat dengan sebuah permainan. Permiannan memang merupakan sebuah konsep yang sangat halus dan sulit didefinisikan. Kita tidak dapat menjelaskan dengan tuntas konsep permianan. Kita hanya menyampaikan contoh-contoh permainan yang berbeda-beda.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka tugas filsafat tidak campur tangan dalam pemaikaian bahasa yang konkrit, akhirnya ia hanya dapat melukiskan pemakaian itu, dan membiarkan segalanya seperti apa adanya (Philosophy may in no way interfece with the actual use of language, it can in the end only describe it,…it leaves everything as it is) Filsafat hanya menyelidiki permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan logikanya, dan sebagainya. Jadi, cara menangani suatu masalah oleh filsuf dapat dibandingkan dengan pengobatan sutau penyakit. (The philosopher’s treatment of a question is like the treatment of an illness).
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar