Pembahasan Tentang Ilmu Asbab an-Nuzul

Admin Thursday, December 16, 2010

[Menelaah Kompleksitas problematika asbab an-nuzul]

Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat dapat membantu memahami ayat-ayat, karena sesungguhnya pengetahuan tentang sebab dapat menghasilkan pengetahuan tentang musabbab”
(Ibn Taymiyah)

Prolog

 Dalam upaya mengeksplorasi dan memahami pesan-pesan di dalam al-Qur’an sebagai petunjuk yang diyakini akan selalu relevan menjawab tantangan zaman di setiap masa, maka sebuah keniscayaan bagi umat Islam untuk mendalami kajian tentang Asbab an-nuzul yang notabene merupakan penunjang bagi kajian al-Qur’an. Karena ilmu asbab an-nuzul adalah termasuk salah satu ilmu penting yang berfungsi membantu menjelaskan historitas pemahaman dan proses interaksi manusia dengan ayat-ayat at-tanzil pada waktu ia diturunkan. Fakta-fakta empiris yang berkaitan dengan al-Qur’an menegaskan bahwa ia tidak diturunkan dalam satu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan di turunkan secara berangsur-angsur selama lebih dari dua puluh tahun di tengah-tengah masyarakat yang sarat dengan berbagai nilai budaya dan relegius. Maka kehadiran ilmu ini akan sangat membantu menunjukkan dan menyingkap hubungan dialektika antara kalam Ilahi dengan realitas yang terjadi pada waktu itu.
Berangkat dari itu penulis mencoba memberanikan diri untuk menyajikan sebuah pembahasan yang bertemakan Asbab an-Nuzul dan kompleksitas problematikanya yang meliputi diantaranya; pengertian, manfaat, cara mengetahui, dan pembahasan lain yang berhubungan dengan tema utama. Dan  semoga catatan ini mampu memberikan motivasi terhadap diri kita untuk lebih jauh mengkaji ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an khususnya tentang asbab an-nuszul yang akan mengantarkan seorang peneliti kepada pesan utama yang dimuat dalam kitab suci untuk dikontekstualisasikan secara benar pada zaman ini.

Pengertian

            Istilah “SEBAB” di sini, tidak sama pengertiannya dengan istilah “SEBAB” yang dikenal dalam hukum kausalitas. Istilah sebab dalam hukum kausalitas, merupakan keharusan wujudnya untuk lahirnya suatu akibat. Suatu akibat tidak akan terjadi tanpa ada sebab terlebih dahulu. Bagi al-Qur’an, walaupun di antara ayatnya yang turun di dahului oleh sebab tertentu, tetapi sebab di sini, secara teoritis tidak mutlak adanya, walaupun secara empiris telah terjadi peristiwanya. Adanya sebab nuzul al-Qur’an, merupakan salah satu menifestasi kebijakan Allah dalam membimbing hamba-Nya. Dengan adanya asbab an-nuzul, akan lebih tampak keabsahan al-Qur’an sebagai petunjuk yang sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan manusia.[1]
            Menurut az-Zarqoni, asbab an-nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat.[2]
            Definisi tentang asbab an-nuzul juga telah dikemukakan oleh ulama lain, akan tetapi inti dari pendapat mereka tentang asbab an-nuzul hampir sama hanya beda redaksi. Misalnya, definisi yang di kemukakan oleh:
a.                   Dr. Subhi as-Shalih, “asbab an-nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa”.[3]
b.                  Manna’ al-Qatthan, “asbab an-nuzul adalah ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan karna adanya sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat pada waktu itu, seperti adanya peristiwa atau pertanyaan.[4]
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ada beberapa unsur yang tidak boleh diabaikan dalam analisa asbab an-nuzul, yaitu adanya peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu terjadinya peristiwa yang kesemuanya membutuhkan analisa secara cermat dan teliti guna menggali keutuhan makna yang terkandung di dalam al-Qur’an.

Urgensi Mengetahui  Asbab an-nuzul

Ilmu asbab an-nuzul adalah termasuk di antara ilmu-ilmu penting dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, hal ini dikarenakan untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam-Nya secara utuh haruslah mengetahui terlebih dahulu latar belakang turunnya ayat yang membantu memberikan penjelasan dan pemahaman. Peluang terjadinya salah penafsiran karena mengabaikan pentingnya ilmu asbab an-nuzul akan semakin besar dan tidak jarang penafsiranya melenceng dari pengertian yang sebenarnya seperti contoh:
ولله المشرق والمغرب فأينما تولٌوا فثمٌ وجه الله, اٍن الله واسع عليمٌ
Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah maha luas (rahmat-Nya) lagi maha mengetahui”. (QS. Al-Baqarah, 2:15).

Tanpa mempelajari sebab turunnya ayat di atas seseorang bisa saja berkesimpulan bahwa shalat tidak harus menghadap kiblat, bahkan di perbolehkan untuk menghadap ke segala arah. Padahal makna yang sebenarnya tidaklah demikian karena sesungguhnya ayat ini berkenaan dengan kasus sekelompok musafir yang melaksanakan shalat sunah, atau bagi orang yang berijtihad menentukan arah kiblat untuk melaksanakan shalat. Dengan mempelajari sebab turunnya ayat di atas mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa seorang musafir mendapatkan rukhsah (keringanan) melakukan shalat sunah tidak harus menghadap kiblat di atas kendaraan begitu juga mereka yang berijtihad menentukan arah kiblat untuk mendirikan shalat namun ternyata ijtihadnya salah.[5]
Adapun fungsi memahami asbab an-nuzul antara lain sebagai berikut:[6]
1.                  Memberikan petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah atas apa yang telah ditetapkan hukumnya
2.                  Mengkhususkan hukum terbatas pada sebab, terutama bagi golongan yang menganut kaidah “sebab khusus” (خصوص السبب)
3.                  Menghilangkan kemusykilan memahami ayat.[7]
4.                  Menghilangkan keraguan tentang ketentuan hashr (pembatasan) yang terdapat dalam al-Qur’an[8]
5.                  Merupakan cara yang efisien untuk memahami makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.[9]
6.                  Secara logika, mengetahui asbab an-nuzul demi mencapai titik kebenaran dalam memahami ayat-ayat Tuhan dapat kita analogikan kepada pemahaman terhadap karya seni sastra, yaitu dengan mempelajari latar belakang diciptakannya sebuah sastra tersebut akan membantu kita memahaminya secara benar dan menikmati keindahan sajak-sajaknya dengan sempurna.[10]
Cara Mengetahui Asbab An-Nuzul

  1. Riwayat
Meskipun asbab an-nuzul sedemikian pentingnya dalam mengantarkan kepada gerbang pemahaman yang cermat dan tepat akan tetapi cara untuk mengetahuinya termasuk pekerjaan yang sulit, karena peristiwa masa lalu banyak yang tidak terdokumentasikan dengan rapi. Syah waliullah al-Dahlawi mengakui, sebagaimana dikutip Prof. Dr. Nashruddin Baidan, bahwa mengetahui secara pasti tentang asbab an-nuzul bukanlah pekerjaan yang mudah. Ini terbukti, telah timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin (tradisional) dan ulama mutaakhrin (kontemporer) tentang beberapa riwayat berkenaan dengan latar belakang turunnya ayat. Menurut beliau yang dianggap menjadi sumber kesulitan adalah:
1.                  Adakalanya kalangan sahabat dan tabi’in telah mengemukakan suatu kisah ketika menjelaskan suatu ayat. Tetapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu merupakan asbab an-nuzul. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab turunnya ayat tersebut.
2.                  Adakalanya kalangan sahabat dan tabi’in mengemukakan hukum suatu kasus dengan mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka mnyatakan dengan kalimat:   نزلت في كذا seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab turunnya ayat tersebut. Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbath hukum dari nabi tentang ayat yang di kemukakan tadi.
Dalam penegasan al-Dahlawi ini tersirat, bahwa pernyataan-pernyataan sahabat dan tabi’in sehubungan dengan sebab turunnya suatu ayat, harus diteliti terlebih dahulu sebelum disimpulkan bahwa pernyataan tersebut berfungsi sebagai salah satu sebab turunnya ayat tersebut.[11]
Adapun cara mengetahui asbab an-nuzul ialah melalui riwayat-riwayat yang disandarkan kepada nabi s.a.w. Namun saangnya tidak semua riwayat bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya. Oleh karena itu seseorang tidak boleh begitu saja menerima riwayat-riwayat mengenai asbab an-nuzul sebelum di uji kebenarannya. Dengan demikian akhirnya para ulama membuat formulasi yang bisa dijadikan pijakan untuk mengidentifikasi riwayat-riwayat yang sahih sebagai berikut:[12]
a.                   Hendaknya sanad riwayat, khususnya perawi terakhir adalah orang yang bisa dipercaya.
b.                  Hendaknya kemutawatiran dan banyaknya riwayat diteliti sejeli mungkin, meskipun terksnya bebeda-beda namun kandungannya satu. Jika kandungannya berbeda, masih memungkinkan untuk dipadukan sehingga membuahkan keyakinan bahwa riwayat tersebut adalah sahih, seperti riwayat-riwayat yang berkaitan dengan pengalihan kiblat.
c.                   Riwayat-riwayat yang berhubungan dengan sebab turunnya ayat, harus memiliki relasi yang kuat dan menjelaskan. Hal ini bisa menjadi bukti bahwa hadis itu benar, meski dari segi sanad ilmu hadis, hadis itu tidak sahih atau hasan. Dengan mengetahui relasi antara beberapa peristiwa yang terekan oleh sejarah, kita bisa mengetahui otentitas kebenaran peristiwa itu.
Berdasarkan metode penelitian yang dicetuskan oleh ulama hadis di atas maka, tampak bahwa peranan ilmu hadis dalam proses penelitian antara riwayat-riwayat yang benar maupun tidak sangatlah berarti.

  1. Bentuk Redaksi Riwayat
Adapun redaksi sebuah riwayat yang dapat memberi petunjuk nyata tentang asbab an-nuzul adalah dan tidak dapat diperdebatkan lagi adalah:[13]
1.                  Bentuk redaksi yang tegas berbunyi سبب نزول الاية كذا
2.                  Adanya huruf fa’ sababiah yang masuk pada riwayat tentang sebab turunnya ayat seperti,   فنُزٌلت الاية في كذا, فأنزل الله
3.                  Adannya keterangan yang menjelaskan bahwa rasul ditanya oleh seseorang dan kemudian nabi menjawabnya dengan berdasarkan turunnya ayat setelah itu
Dari ketiga formula di atas ternyata masih menyisakan ruang permasalahan yang perlu untuk dikaji, yaitu tentang redaksi atas sebab turunnya ayat yang tidak diungkapkan secara tegas, tidak adanya huruf fa’ sababiah yang menunjukkan sebab, atau tidak merupakan sebuah jawaban nabi yang dibangun atas dasar pertanyaan seperti:
نُزٌلت الاية في كذا atauنُزٌلت هذه الاية في
Maka pada umumnya para ulama menyatakan bahwa kalimat-kalimat diatas bukanlah merupakan petunjuk atas sebuah sebab yang mendasari turunnya ayat, kecuali bila disertai dengan qarinah tertentu yang mengarah kepada peristiwa sebab turunnya ayat.[14]

Kritik Terhadap Cara Mementukan Asbab An-Nuzul

            Pemahaman al-Qur’an dengan mengetahui latar belakang munculnya suatu ayat dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan pemahaman makna al-Qur’an secara utuh dan komprehensif. Meskipun demikian mengetahui secara pasti sebab-sebab turunnya ayat tidak selalu mudah, terkadang kita dapatkan banyak riwayat yang melontarkan sejumlah sebab yang berbeda bagi turunnya suatu ayat itu sendiri.[15] Dan implikasinya kita tidak mampu menyatakan asbab an-nuzul secara pasti dan final. Jikalau demikan apa yang dapat dilakukan manakala kita tidak mampu memastikannya secara final? Dalam menjawab pertanyaan ini, ulama al-Qur’an klasik terperangkap dalam persoalan bagaimana men-tarjih riwayat yang berbeda-beda, dan kemudian membuat formulasi dan persyaratan seperti yang sudah kami sebutkan. Hal ini karena mereka memiliki keonsepsi bahwa pengetahuan tentang asbab an-nuzul hanya dapat diketahui melalui periwayatan dan tidak ada tempat untuk berijtihad.
            Jika riwayat para sahabat mengenai asbab an-nuzul sedemikian dipercaya dan valid hingga mencapai taraf hadist musnad maka tak seoranpun menyadari bahwa periwayatan mengenai asbab an-nuzul baru muncul pada masa berikutnya, yaitu masa tabi’in. Sebab, pada masa sahabat tidak dirasa perlu berupaya meriwayatkan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan ayat-ayat itu turun, ayat per ayat atau peristiwa per peristiwa. Realitas praktis tidak mengharuskan mereka yang sezaman dan menyaksikan turunnya wahyu untuk meriwayatkan peristiwa-peristiwa dan sebab-sebab turunnya ayat secara terperinci. Riwayat yang dinisbatkan berasal dari sahabat timbul pada masa berikutnya, yaitu masa para tabi’in yang mengalami kesulitan dalam menghadapi sejumlah makna teks. Oleh karena itu, mereka ingin mengetahi asbab an-nuzul-nya untuk menyingkapkan makna-makna tersebut. Selain itu, bahwa faktor zaman dan kelalaian yang ditimbulkannya, tentunya mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan para sahabat –atau tepatnya dalam mengingatnya- mengenai asbab an-nuzul, sebagai peristiwa-peristiwa terbatas yang menjadi latar belakang turunnya ayat atau beberapa ayat. Secara pasti, tidak semua sahabat menyaksikan turunnya semua ayat dalam berbagai waktu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah menyadari bahwa kita harus membedakan riwayat-riwayat sahabat antara riwayat yang memastikan sebab turunnya ayat dengan riwayat yang menunjukkan hukumnya ayat.[16] Meskipun Ibnu Taimiyah memberikan catatan yang cermat dalam membedakan riwayat-riwayat sahabat, ia masih menyisakan problem tentang cara menyikapi jika ada dua riwayat yang berbeda dari dua sahabat dalam menetapkan sebab turunnya ayat? Jika pengetahuan tentang asbab an-nuzul diperoleh para sahabat melalui qarinah (petunjuk) yang melatarbelakangi persoalan, seperti yang dikatakan oleh ulama kuno, maka pemahaman dan interpretasi terhadap qarinah tersebut akan berbeda-beda antara satu sahabat dengan sahabat lainnya.
            Dengan demikian jika kita masih tetap mengikuti metode ulama tradisional dalam men-tarjih riwayat-riwayat yang ada, maka sulit bagi kita untuk dapat memastikan sebab turunnya ayat secara final karena kelemahan metode ulama klasik seperti yang di jelaskan di atas.
            Atas dasar ini, sarjana kontemporer harus menikmati hak ijtihad dan men-tarjih riwayat-riwayat yang berbeda dengan cara-cara yang lebih signifikan, yaitu dengan bersandar pada sejumlah unsur dan tanda-tanda eksternal dan internal yang membentuk teks. asbab an-nuzul hanyalah konteks sosial bagi teks. Sebab-sebab ini, sebagaimana dapat dicapai dari luar teks, demikian pula dapat dicapai dari dalam teks, apakah dalam strukturnya yang unik atau dalam kaitannya dengan bagian-bagian lain dari teks secara umum.[17]

Melacak Hubungan Sebab-Akibat Dalam Kaitannya Dengan Asbab An-Nuzul

Menelusuri asbab an-nuzul bukan sekedar gemar mengamati fakta fakta sejarah yang menyelimuti penurunan ayat-ayat al-Qur’an, akan tetapi dengan memahami sebab-sebab turunnya ayat akan dapat membantu kita khususnya ulama fiqh untuk mentransformasikan hukum dari realitas yang terjadi semula kepada realitas yang menyerupaianya melalui sistem analogi (qias) tanpa mengabaikan tanda-tanda (qarinah) yang tersirat didalam ayat itu sendiri. Mengingat pentingnya hal ini ulama terdorong untuk mengkaji mekanisme hubungan antara sebab yang terjadi dengan ayat yang turun sehingga mampu menghasilkan hukum yang berbeda-beda.
Secara logika ungkapan “umum” dan “khusus” antara lafadz ayat dan sebab turunnya terbagi menjadi empat macam:[18]
A.                Sebab dan lafadz ayat bersifat umum maka secara otomatis akan menghasilkan hukum yang bersifat umum pula. Misalnya:
لقد رضى الله عن المؤمنين اٍذ يبايعونك تحت الشجرة  .....(الفتح:17)
B.                 Sebab dan lafadz ayat bersifat khusus maka sudah pasti akan menghasilkan hukum yang khusus. Misalnya tentang sebab turunnya surat al-Lahab  1-5.
C.                 Sebab yang bersifat umum sedangkan lafadz ayatnya bersifat khusus maka yang demikian itu tidak ditemukan dalam al-Qur’an karena dapat merusak sastra al-Qur’an yang maha tinggi.
D.                Sebab yang bersifat khusus, sedang lafadz ayat bersifat umum, maka kondisi ini telah membuka peluang perselisihan pendapat diantara para ulama tentang mana yang harus dijadikan sebuah hukum, apakah yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafadz ataukan kekhususan sebab?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang harus dijadikan dasar hukum adalah keumuman lafadz bukan sebab khusus dengan berbagai alasan diantaranya; (1). Ayat-ayat itu sendiri merupakan bukti nyata yang bisa dijadikan alasan kenapa kita harus berpedoman pada keumumannya, bukan sebab khusus yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut.[19] (2). Pada prinsipnya, menurut bahasa sebuah lafadz mengandung makna tekstual selama tidak ada qarinah (petunjuk khusus). (3). Para sahabat dan mujtahid dalam menentukan hukum selalu berdasarkan kepada teks ayat dan bukan sebab khusus yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut.[20]
Sedangkan sebagian ulama yang tidak termasuk golongan jumhur berpendapat, bahwa yang harus dijadikan dasar hukum adalah sebab khusus yang melatar belakangi turunnya ayat. Kaidah yang mereka gunakan adalah" العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ " . pengertian kaidah ini menyatakan bahwa lafadz ayat terbatas pada peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut, sedangkan hal-hal yang serupa dengan peristiwa itu hukumnya tidak dapat di analogikan kepada ayat tersebut. Mereka berpendapat bahwa ayat yang turun pada hakikatnya merupakan petunjuk penyelesaian terhadap suatu kasus tertentu. Sedangkan pada kasus lain yang serupa dengannya, maka hukum yang dipakai tidaklah berasal langsung dari ayat itu sendiri, melainkan melalui qiyas (anaog) sehingga usaha meriwatkan sebab-sebab turunya ayat tersebut tidak dibilang sia-sia.[21]
Dalam hal ini Nasr Hamid Abu Zaid mempunyai sudut pandang berbeda tentang dualisme ”keumuman kata” dan “kekhususan sebab”. ia lebih cenderung menyatukan dua pendapat di atas dengan mengusung gagasan barunya yaitu, adanya keterkaitan antara dualisme ”keumuman kata” dan “kekhususan sebab” dalam menghadapi semua -meminjam istilah Nasr Hamid- teks[22] al-Qur’an. Menurut beliau memegang keumuman kata dan mengabaikan kekhususan sebab dalam menghadapi semua teks Al-Qur’an akan membawa konsekwensi-konsekwensi yang sulit diterima oleh pemikiran agama. Akibat yang paling serius yang disebabkan oleh sikap “berpegang pada keumuman kata” dengan mengabaikan “kekhususan sebab” adalah bahwa sikap ini menyebabkan hikmah tasyri’ diturunkan secara bertahap, seperti masalah-masalah halal dan haram, terutama dalam masalah makanan dan minuman, akan terabaikan. Selain itu, bahwa memegang keumuman kata dalam menghadapi semua teks yang khusus berkaitan dengan hukum akan menghancurkan hukum itu sendiri. Teks mengenai larangan khamr diturunkan secara bertahap dalam tiga fase yang diungkapkan oleh tiga teks al-Qur’an, yaitu:
1.                  Mereka akan bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah: keduanya memiliki kemudaratan yang besar dan memiliki manfaat bagi orang banyak, namun kemudaratannya lebih besar daripada manfaatnya.
2.                  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat sementara kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian katakan.
3.                  Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Oleh karena itu, jauhilah. Semoga kalian beruntung. Yang diinginkan setan adalah ingin menimbulkan di antara kalian permusuhan dan saling membenci melalui khamr dan judi, dan (setan) ingin menghalangi kalian dari ingat kepada Allah dan shalat. Oleh karena itu, apakah kalian bersedia menghentikannya?[23]
Penahapan semacam ini dalam menetapkan tasyri’ sangat penting sekali berkaitan dengan dialektika hubungan antara teks dan realitas. Ayat pertama merupakan jawaban atas pertanyaan sebagaimana yang terlihat jelas dari teksnaya sendiri yas’alunaka. Meskipun ayat tersebut mengisyaratkan bahwa mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya, namun masyarakat saat itu bersikeras untuk mengambil manfaatnaya. Tekanan realitas yang kuat di sini mengharuskan teks cukup hanya mengisyaratkan adanya mudarat yang terkandung di dalamnya tanpa memaksakan larangan yang belum bisa diterima masyarakat karena belum siap. Fase kedua adalah larangan menjalankan shalat dalam keadaan mabuk dengan implikasi yang dikandungnya, yaitu larangan minum khamr menjelang masuk shalat. Dengan proses pertimbangan yang sederhana saja kita dapat dengan mudah menangakap bahwa larangan ini sebagao terapi bertahap terhadap situasi sosial yang “kecanduan”. Larangan minum (khamr) sebelum shalat –lewat larangan menjalankan shalat dalam keadaan mabuk- tidak membuat manusia meninggalkannya kecuali dalam beberapa jam saja di saat malam. Mereka tetap melakukan minum-minum yang dilarang itu hampir sepanjang hari keculai pada waktu shalat lima waktu, dan di saat sibuk mencari rezeki. Penahapan tasyri’ semacam ini tidak saja menegaskan dialektika wahyu dan realitas saja, tetapi juga mengungkapkan metode teks dalam mengubah realitas dan dalam memberikan terapi terhadap cacat-cacatnya.
Kalau demikian, apakah masuk akal apabila para ulama masih bersikukuh memegangi “keumuman kata” tanpa mempertimbangkan kehususan sebab? Apabila keumuman kata yang dijadikan pijakan dalam menyingkapkan makna teks maka sangat dimungkinkan sekali sebagian orang memegangi ayat pertama atau ayat kedua, dan pada akhirnya hal ini akan menyebabkan seluruh tasyri’ dan hukum akan berantakan.[24]
Dengan demikian, sesungguhnya antara pendapat jumhur dan minoritas ulama diatas tidaklah berbeda bila ditinjau dari segi kapasitas aplikasi dan cakupan hukumnya. Yang berbeda hanyalah bahwa jumhur ulama menggunakan dalil manthuq ayat, sedangkan sebagian ulama lainnya menggunakan jalan qiyas.[25] Terlebih lagi nuansa perbedaan antara jumhur dan minoritas ulama di atas tercover oleh wacana agama kontemporer melalui gagasan Nasr Hamid yang cenderung memadukan kedua pendapat tersebut dengan cara mengambil jalan tengah, karena melihat adanya interkoneksi antara keduanya dalam menentukan sebuah hukum yang cermat dalam sebuah realitas.

Epilog
           
Asbab an-nuzul merupakan cabang Ulum al-Qur’an yang sangat diperlukan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar dan komprehensif agar pesan-pesan dan semangat al-Qur’an bisa selalu relevan menjawab tantangan zaman dan sesuai untuk dikontekskualisasikan pada zaman ini.
Setelah menjelaskan panjang lebar tentang ilmu asbab an-nuzul dan problematika yang dihadapinya, maka menurut hemat penulis sebab-sebab turunnya ayat dalam al-Qur’an terbagi atas dua kategori yaitu:
1.                  Asbab an-nuzul mikro (khos) yang untuk mengetahuinya haruslah berdasarkan kepada metode yang ditentukan oleh ulama klasik yaitu dengan naql dan periwayatan.
2.                  Asbab an-nuzul makro (‘am), yaitu untuk mengetahuinya tidak hanya bergantung kepada riwayat  saja akan tetapi juga menganalisis sejarah melalui pendekatan-pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, beserta variannya yang lain. Konsep ini adalah merupakan gagasan para ulama Islam kontemporer seperti Nasr Hamid, Fazlurrahman, Shahrur, dan lainnya guna menemukan pijakan baru untuk mendapatkan mutiara indah yang masih mengendap jauh didalam ayat-ayat al-Qur’an.
Akhirnya sebagai penutup terhadap kajian ini penulis berharap semoga catatan singkat ini dapat bermanfaat bagi semua.










DAFTAR PUSTAKA
Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2003).
Dr. Musa Syahin Lasyin, Al-Laa’il Hasan fii Ulum Al-Qur’an, (Cairo, Dar Al-Syuruq, 2002).
Manna’ al-Qatthan, Mabahist fii Ulumi Al-Qur’an, (Riyadh, Ma’arif, 1996).
M. hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta, Al-Huda, 2007).
Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta, LKiS, 2005).
Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ( Yogyakrta, Pustaka Pelajar, 2005).
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001).



[1] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ( Yogyakrta, Pustaka Pelajar,2005), hlm. 132.
[2] Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2003), hlm. 64.
[3] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 160.
[4] Manna’ al-Qatthan, Mabahist fii Ulumi Al-Qur’an, (Riyadh, Ma’arif, 1996), hlm. 78.
[5] Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, hlm. 66
[6] Walaupun dalam kenyataannya terdapat sebagian ulama yang menolak kegunaan dan pentingnya mengetahui asbab an-nuzul di antaranya adalah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i dan lain-lain.
[7] Sebagaimana yang telah dialami oleh Urwah bin Zubair, beliau merasa kesulitan dalam memahami "فلا جناح"  dalam surat al-Baqarah ayat 158. lalu ia menanyakan kepada Aisyah r.a. perihal ayat tersebut. Kemudian Aisyah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "فلا جناح"  di situ bukanlah peniadaan hokum fardlu. Akan tetapi yang dimksud ialah penolakan terhadap keyakinan yang telah mengakar di hati kaum muslimin katika itu, bahwa melakukan Sa’i di antara Shafa dan Marwah termasuk perbuatan jahiliyah. Keyakinan ini didasarkan atas pandangan bahwa pada masa pra Islam di bukit Shafa terdapat sebuah patung yang disebut Isaf dan di bukit Marwah ada sebuah patung yang disebut Na’ilah. Lihat, Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, hlm. 66.
[8] Lihat lebih lanjut, Az-Zarqoni,  Manahil……., hlm. 68.
[9] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 138.
[10] Misalnya bila seseorang membaca sajak kono gubahan Sa’at bin Malik:
يا بؤس لحرب التي # وضعت أرهيت فاستراحوا
نيتمنيتبنتينبتينبتميتبمنيتبمنتيبتيبتميتبيتبيبيبتيبت
ميبتنتيمبتيمبتيتمبتميتبيتبمنيتبمنيتبتيبتيتبمنيتبمنيتب
“Alangkah celakanya perang yang dihentikan sekelompok orang lalu beristirahat
Sehingga kobarab apinya tak meninggalkan khayalan dan kesenangan”

Ketika seseorang sampai kepada kata أرهيت (sekelompok orang), maka ia melihat kata tersebut mungkin berkedudukan sebagai subjek (fa’il) atau sebagai objek (maf’ul). Kemudian ia akan menjadi bingung: apakah  أرهيت (sekelomok orang) yang menghentikan dan meninggalkan peperangan serta lebih mengutamakan perdamaian? Ataukah peperangan yang memaksa kolompok tersebut untuk menghentikan peperangan dan membuat mereka hina dan menyerah kepada musuh untuk memperoleh kedamaian dan ketentraman. Begitu juga apakah kata يا بؤس (alangkah celakanya) itu bermaksud mengobarkan api peperangan serta mencela mereka yang tidak mengangkat senjata dan menghindari pertempuran? Ataukah lebih mengarah kepada kecaman terhadap peperangan yang dapat membuat orang menjadi hina dan membuat orang penting menjadi rendah tak berharga?. Kebingungan orang yang membaca sajak tersebut tidak akan lama jika ia mampu menyelami seasana ketika Sa’ad bin Malik menggubah sajak hamsyiahnya itu. Dari berbagai berita dan riwayat dapat diketahui sesungguhnya Sa’ad bin Malik dengan sajaknya itu menyindir Al-Harist bin ‘Ubbad yang dikenal sebagai orang yang menjauhkan diri dan menghindari peperangan. Dengan sajaknya itu Sa’ad seolah-olah hendak mengobarkan api peperangan. Sebagai mana dikutip oleh, Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hlm. 154-155.
[11] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm 142.
[12] M. hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta, Al-Huda, 2007), hlm. 103-104.
[13] Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, hlm. 69.
[14] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm 144.
[15] Bahwa di antara surat dan ayat al-Qur’an ternyata ada yang mengalami dua kali turun dengan mempunyai satu sebab. Di samping itu, adapula satu ayat yang hanya satu kali turun tetapi memiliki lebih dari satu peristiwa sebagai sebab turunnya. Untuk kategori yang kedua ini perlu diadakan uji riwayat-riwayat yang dimksud. Langkah pengujian yang harus ditempuh dalam hal ini adalah; (a). Bila riwayat yang satu berkualitas sahih sedang yang lainnya tidak maka yang harus diambil adalah riwayat yang sahih seperti beberapa riwayat yang melatar belakangi turnnya surat ad-Duha. (b).  Bila kedua-duanya berkualitas sahih akan tetapi bagi satu riwayat memungkinkan untuk di-tarjih (diprioritaskan), maka riwayat yang dipakai adalah riwayat yang lebih unggul. Misalnya pada surat al-Isra’ ayat 85. (c). Bila kedua-duanya berkualitas sahih dan tidak mungkin untuk di-tarjih salah satunnya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan maka kedua riwayat sama-sama dipakai dan saling menjelaskan. Misalnya, surat an-Nur ayat 6-9.(d). Bila kedua-duanya berkualitas sahih, tidak mungkin di-tarjih, dikompromikan, dan tidak mungkin untuk di ambil keduanya dikarenakan selang waktu lama, maka pengertiannya surat itu telah turun lebih dari satu kali dengan sebab yang berbeda. Lihat Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, hlm. 70-71.

[16] Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, hlm. 132.
[17] Ibid., hlm. 134.
[18] Dr. Musa Syahin Lasyin, Al-Laa’il Hasan fii Ulum Al-Qur’an, (Cairo, Dar Al-Syuruq, 2002), hlm. 137-138.
[19] Misalnya pada surat al-Baqarah “ Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infaqkan, katakanlah, harta apa saja yang kamu infaqkan hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”. Dalam ayat ini jelas pertanyaan yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut bersifat khusus yang menanyakan tentang apa yang harus mereka infaqkan, akan tetapi jawabannya lebih umum yang menyinggung tentang siapa yang pantas kita beri infaq. Lihat Dr. Musa Syahin Lasyin, Al-Laa’il Hasan fii Ulum Al-Qur’an,  hlm. 138-139
[20] Ibid.,  hlm. 138-139.
[21] Manna’ al-Qatthan, Mabahist fii Ulumi Al-Qur’an, hlm. 85.
[22] Menyatakan al-Qur’an sebagai teks memang penuh dengan resiko. Pertama, sebagai teks al-Qur’an tidak bisa lepas dari konteks budaya dan sejarah. Kedua, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan kebahasaan dan sastra yang memperhatikan aspek kultural dan historisitas teks. Ketiga, titik tolak studi al-Qur’an berubah dari keimanan menjadi keilmuan dan objektivitas (scientific and objectivity). Salah satu tokoh yang menggunakan pendekatan al-Qur’an sebagai teks adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan pendekatannya ini ia seringkali menadapat kritik dari Ulama al-Azhar di Mesir.
[23] Secara berurutan: surat 2: al-Baqarah, 219, surat 4: an-Nisa’, 43, dan surat 5: al-Ma’idah, 90-91.
[24] Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta, LKiS, 2005), hlm. 124-126.
[25] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm 150.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar