ISLAM RISALAH RAHMAT DALAM AL-QURÁN

Admin Thursday, December 16, 2010

(Tafsir Q.S. al-Anbiya’,  21:  107)
Dr. Hamim Ilyas, MA

Pendahuluan
Bahwa Islam itu merupakan risalah rahmat telah menjadi  pengetahuan yang populer di kalangan umat. Namun  konsepnya   –sepanjang pengetahuan penulis- belum dielaborasi secara serius dan memadai, sehingga pengetahuan tersebut tidak berkembang menjadi wacana yang menghasilkan ketentuan atau kriteria tentang keislamaan yang  jelas dan operasional. Karena itu tidak aneh jika gerakan-gerakan umat yang memiliki orientasi yang saling bertentangan sama-sama mengklaim menjadi gerakan untuk mewujudkan Islam sebagai agama rahmat. Artikel ini mengelaborasi konsep tersebut dengan bertitik tolak dari ayat yang secara tegas menyatakan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Ayat dan Konteks
Ayat tersebut terdapat dalam Q.S. al-Anbiya', 21: 1107 sebagai berikut:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Al-Anbiya’ termasuk surat Makkiyah yang diwahyukan sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Dalam kronologi Ibn Nadim disebutkan bahwa surat itu  merupakan surat ke-57 (ada yang mengatakan ke-56) yang diwahyukan kepada Nabi dan turun setelah surat Saba’ (Az-Zanjani, 1986: 78 dan Taufik Adnan Amal, 2001: 91). Surat itu turun pada sekitar tahun ke-8 kenabian, beberapa tahun setelah Nabi melakukan dakwah terbuka dan relatif banyak penduduk Mekah yang mengikuti dakwahnya, termasuk Umar bin Khathab. Arus masuk Islam tidak dapat dihentikan kaum Musyrikin betapapun mereka telah berusaha untuk membendungnya dengan berbagai cara, di antaranya yang diharapkan efektif adalah menyiksa para pengikut Nabi sehingga terpaksa mengungsi ke Habasyah (Etiopia) dan boikot  ekonomi terhadap dia dan keluarga klannya, Bani Hasyim. Setelah merasa gagal menghalangi bertambahnya penduduk Mekah yang memeluk Islam, maka mereka berusaha supaya dakwah Nabi tidak dapat diterima oleh warga Arab dari kota atau daerah-daerah  lain yang  menunaikan haji. Untuk itu mereka memanfaatkan isu kekerabatan yang sensitif di kalangan masyarakat Arab sebagai bahan propaganda  secara intens dan massif     bahwa apa yang didakwahkan Nabi itu merupakan sihir yang memisahkan orang dari orangtua, saudara, isteri atau suami dan keluarganya. Disamping itu mereka juga melakukan provokasi  dengan meminta an-Nadlr bin al-Haris yang sedikit banyak mengetahui agama Majusi untuk menjelaskan agama itu di hadapan jamaah haji yang baru saja diberi dakwah oleh Nabi,   untuk menunjukkan bahwa agama yang didakwahkannya itu sama dengan agama yang ada di Persia (Muhammad Husain Haikal, t.t.: 117-118).  Surat  al-Anbiya  turun untuk merespons propaganda dan provokasi itu dengan memberi pernyataan sangat tegas dalam ayat ke-107 itu bahwa  risalah Nabi itu diwahyukan tiada lain kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam,  bukan untuk memecah belah keluarga-keluarga  Arab. Pernyataan itu sekaligus juga menunjukkan  bahwa paganisme Arab dan  agama-agama lain yang ada ketika itu yang mitis dan dekaden, tidak bisa menjadi rahmat bagi bangsa Arab khususnya dan bangsa manusia pada umumnya.
Paradigma
Ayat itu menegaskan idealitas risalah atau agama Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dengan menggunakan pola kalimat nafy-istitsna’ (menafikan-mengecualikan): Kami tidak mengutusmu (nafy), kecuali untuk menjadi rahmat (istitsna’). Pola itu digunakan untuk membatasi (al-qashr) dan menurut teori dalam bahasa Arab kekuatannya dalam memberi pembatasan masih kalah dibandingkan pola ’athaf (dengan menggunakan kata sambung la, berarti ”bukan”) (Makhluf al-Badawi, t.t.: 114). Jadi menurut teori itu penegasan  risalah Islam sebagai rahmat dengan pernyataan wa ma arsalnaka illa rahmatan itu masih kalah kuat dibandingkan  dengan inna arsalnaka rahmatan la la’natan (Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi rahmat, bukan untuk menjadi laknat). Namun pola nafy-istitsna’ itu dalam penggunaannya dimaksudkan untuk menetapkan satu kualitas bagi sesuatu dengan menafikan darinya segala kualitas selainnya secara total (Ahmad ad-Damanhuri, t.t.: 113), sehingga pengertian pernyataan tersebut adalah ”Islam itu adalah rahmat dan agama yang tidak menjadi rahmat itu bukan Islam”.   Karena pengertiannya  demikian maka pernyataan untuk mengesakan Allah dalam tahlil (la ilaha illa Allah) dan syahadat pun  menggunakan pola itu, bukan pola lain yang dikatakan lebih kuat dalam memberi pembatasan. Penggunaan pola tersebut sudah barang tentu untuk menafikan  kualitas ketuhanan dari selain Allah yang dipercaya sebagai tuhan dalam agama-agama politheis.
Pengertian pernyataan tentang risalah Nabi seperti itu berarti bahwa pandangan fundamental atau paradigma (miqyas) Islam menurut al-Qur’an itu adalah agama rahmat. Islam itu adalah agama rahmat,  tidak ada Islam yang tidak menjadi rahmat. Karena itu Islam yang qur’ani adalah Islam yang menjadi rahmat dan ”Islam” yang tidak menjadi rahmat bukanlah Islam yang sesuai dengan ideal kitab suci itu, sehingga berarti  al-Qur’an (juga hadis) yang menjadi dasarnya itu adalah bangunan rahmat, bukan sekedar bangunan kalimat, kata dan huruf-huruf. Dengan demikian,  paradigma Islam yang qur’ani itu bukan Islam sebagai agama asing (gharib) yang sama sekali berbeda dari  agama dan budaya lain, sehingga umat Islam harus berbeda dari umat-umat yang lain dalam segala hal.
Rahmat (bahasa Arab: rahmah) adalah riqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, perasaan halus (kasih) yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi. Dalam penggunaannya, kata itu bisa mencakup kedua batasan itu dan bisa juga hanya mencakup salah satunya,  rasa kasih  atau memberikan kebaikan saja (Al-Asfahani, t.t.: 196). Islam itu adalah satu organisme yang hidup, sehingga ketika dinyatakan sebagai rahmat bagi seluruh alam, maka berarti agama itu mengasihi dan memberikan kebaikan secara aktual kepada seluruh alam. ”Islam” yang tidak memberikan kebaikan aktual berarti menjadi agama laknat. Hal ini karena  kebalikan dari rahmat adalah laknat (bahasa Arab: la’n) yang berarti hukuman, tidak memberi atau tidak ada kebaikan dan doa supaya dijauhkan dari kebaikan Tuhan (ibid: 471).  
Paradigma Islam agama rahmat ini sejalan dengan paradigma ketuhanan dalam Islam. Allah  dalam al-Qur’an menyatakan bahwa Dia mewajibkan diri-Nya untuk memiliki sifat kasih (Q.S. al-An’am, 6: 12):
% `yJÏj9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( @è% °! 4 |=tGx. 4n?tã ÏmÅ¡øÿtR spyJôm§9$# 4 öNä3¨ZyèyJôfus9 4n<Î) ÏQöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# Ÿw |=÷ƒu ÏmŠÏù 4 šúïÏ%©!$# (#ÿrçŽÅ£yz öNåk|¦àÿRr& óOßgsù Ÿw šcqãZÏB÷sãƒ

Katakanlah, ”Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah, ”Kepunyaan Allah.” Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.

Firman itu menunjukkan bahwa sifat dasar-Nya adalah cinta-kasih. Sifat-sifat yang lain dan perbuatan-perbuatan-Nya didasarkan pada sifat dasar itu, sehingga ketika memperkenalkan diri-Nya dalam al-Fatihah, surat pertama dan bagian dari al-Qur’an yang paling banyak dibaca umat Islam, Dia sampai dua kali menyebut diri-Nya sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Pertama dalam ayat pertama sebagai perkenalan pertama dan kedua dalam ayat ketiga  sebagai penegasan cinta-kasih-Nya dalam menciptakan dan memelihara alam semesta. Karena itu wajar jika risalah Islam yang diwahyukan sebagai bagian dari perbuatan-Nya memelihara alam semesta pun merupakan agama rahmat, agama cinta kasih.
Paradigma itu juga sejalan dengan paradigma kerasulan Nabi Muhammad.     Dalam sebuah haris riwayat Imam Muslim dia menegaskan kerasulannya sebagai rahmat, bukan sebagai laknat:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Dia berkata, kepada Rasulullah dikatakan, ”Berdoalah untuk keburukan orang-orang musyrik!” Beliau menjawab, ”Saya diutus tidak untuk menjadi pelaknat. Saya diutus hanyalah untuk menjadi rahmat.”
Dalam ayat 107 S. Al-Anbiya itu ditegaskan bahwa Islam  menjadi rahmat bagi seluruh alam (al-’alamin). Al-’Alamin adalah jamak dari ’alam (alam). Alam adalah semua wujud selain  Tuhan. Semua wujud itu disebut alam (dalam bahasa Arab ’alam juga berarti tanda), karena mereka menjadi media untuk mengenal Allah, Penciptanya (al-Jurjani, 1971:  78). Namun jika dihubungkan dengan istilah lain yang akar katanya sama (’-l-m), ’ilm, (ilmu), maka bisa dipahami bahwa alam itu diciptakan dengan ilmu.  Alam yang sedemikian kompleks tidak mungkin diciptakan tanpa berdasar ilmu.
Dalam bahasa Arab bentuk jamak dengan menambah huruf waw atau ya’ dan nun  disebut jamak al-mudzakkar as- salim. Jamak itu digunakan untuk nama diri dan sifat laki-laki dengan syarat-syarat tertentu.  ’Alamin menurut para ahli bahasa bukan merupakan bentuk jamak al-mudzakkar as-salim yang sebenarnya, tapi hanya menjadi kata yang diserupakan (mulhaq) dengannya (Mushthafa al-Ghulayaini, 1973:II, 15-16).  Namun para penafsir al-Qur’an pada umumnya memandangnya sebagai jamak al-mudzakkar as-salim yang sebenarnya dan menjelaskan mengapa  ’alam dalam al-Qur’an dijamakkan seperti itu. Menurut mereka, alasannya adalah: pertama,  manusia itu merupakan bagian dari alam dan jika dia bersama-sama yang lain menjadi cakupan pengertian kata, maka dialah yang dijadikan pertimbangan untuk memperlakukan kata itu. Kedua, yang dimaksudkan dengan al-’alamin bukan seluruh alam, tapi hanya malaikat, jin dan manusia. Ketiga, yang dimaksudkan dengan al-’alamin hanya manusia saja karena masing-masing manusia yang memiliki keunikan yang membedakannya dari yang lain, merupakan alam yang tersendiri (Al-Ashfahani, t.t. : 357).
Masih berhubungan dengan jamak  kata ’alam itu perlu dikemukakan bahwa dalam filsafat, akal memang dihubungkan dengan alam. Sebagai contoh adalah al-Farabi yang dengan filsafat emanasinya menjelaskan penciptaan alam semesta melalui  akal-akal kesatu sampai kesembilan yang menjadi wujud kedua sampai kesepuluh (wujud pertamanya adalah Allah), yang masing-masing berfikir tentang Tuhan dan  dirinya sendiri (Harun Nasution, 1983: 27); dan Immanuel Kant  yang menyatakan bahwa akal adalah yang memberi hukum kepada alam (Dagobert D. Runes, 1976: 264). Kemudian perlu dikemukakan juga  bahwa fisika modern sekarang menemukan adanya kesadaran dalam alam semesta. Kesadaran ini telah diungkapkan oleh al-Qur’an bahwa segala yang ada di langit dan bumi itu bertasbih kepada Allah. Dengan demikian wajar jika al-Qur’an menyebut  alam semesta dengan  bentuk jamak yang biasa digunakan untuk manusia yang berakal.
Karena paradigma Islam yang qur’ani itu adalah agama rahmat dengan pengertian itu, maka ekspresi Islam yang sesuai dengan al-Qur’an, baik dalam pemikiran, perbuatan dan persekutuan (fellowship) atau keummatan adalah ekspresi yang memberikan kebaikan yang nyata bagi kehidupan, khususnya manusia. Apabila   laknat bagi masyarakat yang berperadaban itu adalah kebodohan, keterbelakangan  dan kemiskinan, maka Islam yang qur’ani itu adalah agama yang secara aktual dapat membebaskan umat dari ketiga kutukan itu, bukan malah memeliharanya apalagi membela dan memperjuangkannya.
Agama Universal
Penyataan bahwa risalah Nabi itu  menjadi rahmat bagi seluruh alam, apapun pengertian  alam yang dirujuk, menegaskan  Islam sebagai agama universal yang diperuntukkan bagi umat manusia di seluruh dunia di sepanjang   zaman. Nabi memang orang Arab dan bahasa al-Qur’an pun bahasa Arab, namun risalahnya melampaui ruang dan budayanya sehingga menjangkau bangsa-bangsa di kawasan lain. Secara teologis merupakan hak dan rahasia Allah untuk memilih aktor dan latar belakang Arab sebagai media pewahyuan agama universal yang  diturunkan-Nya, namun secara sejarah hal itu merupakan sesuatu yang rasional. Bangsa Semit yang termasuk di dalamnya adalah bangsa Arab telah memiliki tradisi kewahyuan agama yang kuat dan lama sejak Nabi Ibrahim atau bahkan sejak Nabi Adam. Kemudian bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa yang sangat indah dan kaya sehingga sangat sesuai untuk mengekspresikan pesan-pesan yang universal dan abadi dalam ungkapan-ungkapan penuh makna.
Karena universalitas merupakan karakteristik Islam, maka sejak awal para pemeluknya tidak hanya berasal dari bangsa Arab, tetapi juga dari bangsa-bangsa di luar yang sudah mendengar dakwahnya, seperti Shuhaib ar-Rumi  dan Salman al-Farisi yang berkebangsaan Romawi dan Persia. Karena itu pula setelah dakwah di kalangan bangsanya sendiri berkembang, Nabi berdakwah kepada raja-raja di sekitar Arabia (Romawi Timur, Persia dan Ethiopia) dengan mengirimkan surat berisi seruan kepada Islam yang dibawa langsung oleh utusan-utusannya (Muhammad Husain Haikal, t.t.: 248-250).
Islam yang hadir dalam sejarah dengan latar belakang budaya Arab pada awal abd ke-7 M, karena universalitasnya, harus berjumpa dengan budaya-budaya lain. Dalam perjumpaan antarbudaya pasti terjadi akulturasi. Akulturasi adalah  perubahan-perubahan besar dalam kebudayaan yang terjadi sebagai akibat dari kontak antarkebudayaan yang berlangsung lama (William A. Haviland, 1985: 263). 
Dalam akulturasi, menurut para ahli antropologi, dapat terjadi hal-hal berikut: pertama, substitusi, yaitu penggantian unsur atau kompleks yang ada oleh yang lain yang mengambil alih fungsinya dengan perubahan struktural yang minimal. Kedua, sinkretisme, yaitu percampuran unsur-unsur lama untuk membentuk sistem baru. Ketiga, adisi, yaitu tambahan unsur atau kompleks-kompleks baru. Keempat, orijinasi, yaitu tumbuhnya unsur-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan situasi yang berubah. Kelima, rejeksi (penolakan), yaitu perubahan-perubahan yang berlangsung cepat dapat membuat sejumlah besar orang tidak bisa menerimanya sehingga menyebabkan penolakan total, timbulnya pemberontakan atau gerakan kebangkitan (Ibid.)
Perjumpaan Islam dengan budaya lain, terutama budaya industri-modern sekarang, merupakan tantangan bagi umat   yang harus direspons secara kreatif supaya alternatif akulturasi yang dipilih tidak menimbulkan dampak buruk, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Berkaitan dengan ini dalam  batas-batas tertentu telah  ada teladan dari Nabi  bahwa sebagai seorang rasul dari Arab dia bisa kritis terhadap budaya sendiri dan terbuka, bahkan menerima budaya lain. Contoh sikap sikap kritis Nabi terhadap budayanya sendiri adalah sikapnya terhadap budaya pantang ghilah yang ada di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. Ghilah adalah menyebadani isteri yang sedang hamil atau menyusui. Mereka memandang ghilah sebagai tabu (Hamid al-Faqi, t.t.: 214). Budaya itu tampaknya begitu kuat sampai-sampai Nabi pernah bermaksud untuk melarangnya. Beliau baru mengurungkan maksudnya setelah mengetahui bahwa ghilah yang dilakukan bangsa Persia dan Romawi ternyata tidak menimbulkan akibat buruk bagi anak-anak mereka (HR Muslim dari Judzamah binti Wahb). Kemudian keterbukaannya adalah sikapnya terhadap biawak (dlabb). Ketika bertamu ke rumah salah seorang sahabat (Maimunah), dia  diberi jamuan biawak panggang. Dia tertarik untuk memakannya, namun setelah diberitahu bahwa hidangan itu adalah biawak, maka dia urung memakannya. Ketika Khalid bin Walid yang menyertainya bertanya apakah biawak itu haram dimakan, Nabi menjawab bahwa hewan itu tidak haram. Namun karena hewan itu tidak adak di lingkungannya, maka dia tidak memakannya (HR Imam Bukhari dari Khalid bin Walid). Selanjutnya penerimaannya terhadap budaya lain adalah penerimaannya untuk menerangi masjid dengan lampu minyak yang diusulkan oleh Tamim ad-Dari yang mendapat inspirasi dari praktek di Gereja Kristen; dan penerimaannya untuk menggunakan strategi penggalian parit (khandaq) di sekeliling Madinah untuk menghadang musuh, yang diusulkan oleh Salman al-Farisi yang mendapatkan inspirasi dari praktek perang Bangsa Persia.
Dari contoh-contoh itu diketahui bahwa dalam akulturasi yang terjadi dalam perjumpaan budaya, di samping  melakukan rejeksi, seperti yang banyak dipahami selama ini, Nabi juga melakukan subtitusi dan adisi untuk memperkaya dan memajukan kebudayaan Islam. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa Nabi tidak hanya mengajarkan al-Qur’an, tapi juga mengajarkan hikmah, kebijaksanaan, kepada umatnya (Q.S. al-Jumu’ah, 62: 2).   Sikap budaya kreatif seperti itu bisa dipastikan termasuk hikmah yang diajarkannya  kepada mereka.  
Hikmah itu harus dikedepankan dalam akulturasi umat dengan budaya industri modern. Dalam perjumpaan  budaya, supaya dapat sejajar, budaya yang lebih rendah harus mengambil dari budaya yang lebih tinggi. Dalam perjumpaan itu sekarang ini, budaya umat lebih rendah dari budaya industri-modern. Karena itu yang harus dilakukan bukan hanya subtitusi dan adisi, tapi juga originasi.  Dalam  politik dan ekonomi, misalnya,  umat di samping harus mengembangkan sistem kepartaian dan perbankan yang belum dikenal di masa pra-modern, juga harus menggali dan mengaktualkan nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti disiplin dan kerja keras. Tanpa hikmah itu, universalitas Islam, dalam pengertian kesesuaiannya dengan segala zaman, tidak akan dapat diwujudkan. Akibatnya pun sangat menyedihkan, umat pasti tersingkir dari panggung sejarah dunia karena mengalami keterasingan dan kegagapan dalam  menjalani kehidupan.  
Agama Rasional
Tidak ada kebaikan yang dapat diwujudkan tanpa rasionalitas. Dalam kehidupan sehari-hari pernyataan ini terbukti dengan kenyataan banyaknya kecelakaan dan bencana yang terjadi karena orang emosi dan tidak berhati-hati. Berhati-hati merupakan bagian dari rasionalitas di jalan atau di tempat-tempat lain yang rawan dan berbahaya.  Agama ada dalam keseharian manusia. Tanpa rasionalitas, agama tidak akan dapat memberikan kebaikan, bahkan bisa menimbulkan bencana, sehingga tidak aneh jika ada buku yang berjudul Kala Agama Jadi Bencana, karya Charles Kimball yang diterbitkan oleh Mizan, Bandung.  Karena itu Islam rahmat bagi seluruh alam dengan sendirinya  merupakan agama rasional.
Rasionalitas  adalah sebuah kategori dari kualitas yang meliputi beberapa kriteria, yaitu: didasarkan atas penalaran (bisa dinalar), tidak memihak dan obyektif, kebijakan akhir, prinsip yang benar,  pelaku otonom, dan dapat dibenarkan (Robert C. Solomon, 1987: 39). Islam memenuhi kategori ini dalam semua doktrinnya, baik yang berhubungan dengan teologi, antropologi maupun kosmologi. 
Dalam Islam, Allah adalah Tuhan Maha Esa yang hadir secara fungsional dalam kehidupan alam semesta sebagai pencipta dan pemelihara berdasarkan cinta dan kasih sayang. Manusia adalah makhluk yang diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya dan menjadi wakil-Nya di bumi untuk memakmurkannya berdasarkan kemerdekaan (amanah) dan  akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya. Alam diciptakan dengan hukum-hukum yang berjalan sesuai dengan kehendak-Nya, berfungsi sebagai tanda-tanda wujud-Nya dan manusia yang menjadi pusat di dalamnya harus dapat mengambil pelarajaran untuk kebaikan kehidupannya.
Kebaikan kehidupan manusia sangat ditekankan dalam Islam. Karena kebaikan itu, seperti disebutkan di atas, tidak dapat diwujudkan tanpa rasionalitas, maka Nabi menghubungkan keimanan dengannya. Dalam sebuah hadis dia bersabda:



Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW. Dia bersabda: ”Orang yang beriman tidak tersengat dari satu lubang sampai dua kali” (HR al-Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang beriman itu hidupnya harus baik. Sebagai manusia, dia pasti melakukan kesalahan yang membuat hidupnya tidak atau kurang baik. Hanya saja sebagai orang beriman, tidak seharusnya dia   melakukan kesalahan yang sama sampai dua kali. Kalau dia melakukannya  sampai dua kali, maka berarti imannya tidak sempurna. Dalam kehidupan bisa dipastikan bahwa orang sampai dua kali melakukan kesalahan yang sama, karena dia tidak menggunakan rasionalitas. Dia pasti tidak menalar, tidak obyektif,  tidak menggunakan prinsip yang benar atau  tidak melakukan unsur-unsur rasionalitas yang lain. Kesadaran tentang rasionalitas dalam kehidupan yang mirip dengan hadis itu ada dalam kearifan yang menyatakan ”Orang yang baik bukanlah orang yang tidak melakukan kesalahan. Orang yang baik adalah orang yang memperbaiki kesalahan-kesalahannya”.
Bisa diyakini bahwa hadis tersebut berhubungan dengan Q.S. al-Hasyr, 59: 18 yang menganjurkan orang supaya  memperhatikan  masa lalu  untuk kepentingan hidup di masa yang akan datang:
kšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès?

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya di masa lalu untuk (kepentingan) hari besok. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Al-Qur’an telah menyatu dengan diri Nabi sehingga menjadi akhlak dan kepribadiannya. Dia pun pribadi yang cerdas dan arif dalam memberi bimbingan kepada umatnya. Kearifannya dalam melakukan pembimbingan dengan memberikan nasehat yang sesuai dengan kondisi sahabat tertentu telah banyak diketahui, seperti bimbingannya kepada orang yang pekerjaannya mencuri dan setelah masuk Islam hanya dianjurkan untuk jujur, sehingga kemudian bisa berhenti mencuri (di Indonesia kisah ini dipopulerkan oleh K.H. Zainudin MZ). Kearifan Nabi sebenarnya tidak hanya dalam hal itu saja, tapi dalam semua hal, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan supaya mengena dan abadi. Karena itu dia mengemas anjuran al-Qur’an itu dengan menggunakan kiasan yang indah dalam sabdanya di atas.
Makna yang bisa langsung  dipahami (al-mutabadir) dari ayat dan hadis itu memang orang harus belajar dari pengalaman supaya tidak terperosok ke dalam kesalahan yang mengakibatkan ketidakbaikan hidupnya sampai dua kali.  Pengalaman yang dijadikan guru oleh orang yang rasional, apalagi orang yang arif, bukan hanya pengalamannya sendiri, tapi juga pengalaman orang lain. Kalau orang tidak mau belajar dari pengalaman orang  lain, maka bagi kalangan yang memiliki ide kemajuan, dia dipandang sebagai orang yang bodoh, bukan hanya sekedar tidak rasional.
 Namun sebenarnya ada makna lain yang lebih mendasar yang ditunjuk oleh kedua sumber itu. Makna itu telah diungkapkan dalam kearifan yang sering kali dinisbatkan kepada  Ali bin Abi Thalib, yaitu kesadaran tentang waktu dan zaman. Dalam kearifan itu dikemukakan pandangan yang sangat mendalam tentang waktu, dengan pengertian semua tahun di masa lalu, sekarang dan akan datang.


Waktu itu seperti pedang. Apabila engkau tidak memotongnya, maka dia akan memenggalmu.
Kearifan yang telah menjadi kata-kata mutiara (mahfudhat) yang populer di lembaga-lembaga pendidikan Islam itu mengajarkan  bahwa orang, juga masyarakat dan bangsa, harus memiliki kesadaran tentang waktu. Ketiadaan kesadaran itu pasti membuat mereka  tersandera oleh masa lalu, sehingga hidup mereka tidak mengalami perubahan atau keadaannya menjadi lebih buruk daripada waku-waktu sebelumnya. Hal ini karena masa lalu yang telah mereka tinggalkan, betapapun lamanya, namun karena isinya tidak mereka tinggalkan, maka masa lalu dan isinya itu masih menjadi waktu yang mereka jalani saat ini. Sebagai contoh Bangsa Indonesia  yang mengalami krisis multi dimensi karena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dimulai dengan krisis moneter pada 1997 yang lalu, setelah hampir sepuluh tahun melakukan reformasi, keadaannya  tidak menjadi lebih baik. Sebabnya adalah KKN yang menyebabkan krisis di masa yang lalu itu tidak mereka potong, sehingga memenggal mereka. Dengan kata lain karena tidak membasmi KKN, maka mereka tetap mengalami krisis dan kehilangan harapan masa depan. Jadi waktu (KKN) yang telah menjadi masa lalu yang seharusnya sudah jauh itu, masih menyatu dengan waktu mereka sekarang, sehingga  mereka belum bisa keluar dari krisis. Kalau mereka tidak bisa keluar dari krisis, pasti mereka tidak memiliki masa depan. Ini berarti merupakan kematian atau keterpenggalan suatu bangsa. Dengan demikian pengertian dari kearifan tersebut bukan hanya bagaimana memanfaatkan waktu supaya orang atau bangsa tidak mengalami kehancuran, tapi juga bagaimana memenggal masa lalu supaya kebusukan-kebusukan yang  pernah menyebabkan krisis tidak terulang, sehingga orang atau bangsa bisa tetap eksis dan jaya.
Kemudian kesadaran tentang zaman, yakni periode sejarah dengan karakteristik dan peristiwa-peristiwa tertentu (Oxford Advanced Leaner’s Dictionary, 1989: 22) dikemukakan dalam kata mutiara berikut:


Manusia itu lebih menjadi anak zamannya daripada menjadi anak orangtuanya.

Kearifan ini secara jelas mengakui adanya perubahan zaman yang membuat anak-anak berbeda dari orangtua mereka. Perubahan zaman itu  harus diapresiasi supaya tidak terjadi ketegangan antargenerasi dan supaya pendidikan anak dapat disesuaikan dengan zamannya agar dia bisa hidup sesuai dengan dan dapat merespons tantangannya.
            Zaman berubah karena banyak faktor yang di antaranya adalah politik, budaya dan teknologi. Para sahabat pada masa kekhalifahan Islam, termasuk Ali bin Abi Thalib,  mengalami perubahan zaman karena meluasnya kekuasaan Islam yang semula hanya di Jazirah Arab pada zaman Nabi, kemudian meluas sampai ke Persia dan Asia Tengah pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Perubahan zaman ini sudah barangtentu harus direspons  secara kreatif supaya kehidupan politik, ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.  Respons kreatif itu di antaranya telah diberikan oleh Umar bin Khattab dengan menetapkan penarikan pajak bumi dan perubahan aturan pembagian rampasan perang untuk mewujudkan keadilan sosial di seluruh wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas.
Perubahan zaman itu tidak bisa dilawan. Masyarakat yang belum menyadari adanya perubahan itu, apalagi melawannya, pasti menjadi tertinggal. Contohnya di Indonesia adalah suku-suku tertinggal, baik yang ada di Jawa maupun luar Jawa. Umat Islam sampai dewasa ini pada umumnya belum menyadari terjadinya perubahan zaman dari zaman agraris menjadi zaman industri. Akibatnya mereka mengalami ketertinggalan yang amat luar biasa dalam produksi. Produk bruto umat Islam yang merupakan hampir seperempat penduduk dunia, menurut hitungan  Habibi (mantan presiden RI) pada tahun 90-an, hanya 5% dari total produk bruto dunia. Kuantitas produk umat rendah karena mereka tidak dapat memproduksi dengan mesin, yang menjadi mode produksi di zaman industri. Karena itu sesuai dengan rasionalitas yang menjadi salah satu karakteristik  Islam rahmat bagi seluruh alam,  umat  harus melakukan transformasi diri menjadi masyarakat industri. Tanpa transformasi ini bisa dipastikan mereka tidak akan dapat mewujudkan Islam ideal itu.
Agama Peduli
Tidak ada kebaikan yang diberikan tanpa kepedulian. Karena itu dengan sendirinya  Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam juga merupakan agama yang peduli kepada nasib manusia. Nasib manusia di dunia berhubungan dengan pandangan mereka tentang hidup. Pandangan bahwa hidup itu buruk  yang ada dalam satu kebudayaan akan mendorong masyarakatnya  melakukan segala usaha untuk memadamkan hidup guna meraih kebahagiaan sejati, sehingga kehidupan mereka tidak berkembang. Karena itu al-Qur’an mengajarkan bahwa hidup itu merupakan ujian supaya manusia melakukan usaha yang terbaik (Q.S. al-Mulk, 67: 2) dan mengidealkan hayah thayyibah, hidup sejahtera, bagi orang beriman (Q.S. an-Nahl, 16: 97).
Nasib manusia  banyak berhubungan pula dengan politik. Negara yang tidak diurus dengan baik, tidak mungkin dapat memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Karena itu al-Qur’an mengidealkan negara yang aman dan damai (Q.S. al-Baqarah, 2: 126); negara yang makmur dan berwawasan lingkungan (Q.S. Saba’, 34: 15);   negara yang menjamin hak-hak dasar (amanah) warganya (Q.S. an-Nisa, 4: 58; Q.S. at-Tin, 95: 3).
 Disamping memberi perhatian pada bidang budaya dan politik seperti itu, untuk mewujudkan kepedulian kepada nasib manusia, al-Qur’an  juga memberi perhatian  terhadap bidang kemanusiaan. Ia memberi perhatian kepada orang-orang yang lemah dan tertindas (mustadl’afin). Ia menganjurkan pelayanan kepada anak yatim dan orang miskin (Q.S. al-Ma’un, 107: 1-7); dan menghapuskan  kekerasan terhadap perempuan yang biasa dipraktekkan di masa Nabi, seperti:
1.      Membunuh bayi perempuan dengan menguburkannya hidup-hidup (Q.S. at-Takwir, 81: 8-9)
2.      Memukul isteri (Q.S. an-Nisa’, 4: 30)
3.      Menceraikan isteri setelah tua untuk selama-lamanya (Q.S. al-Mujadilah, 58: 2)
4.      Mengusir dari rumah (Q.S. at-Thalaq, 65: 1)
5.      Membuat sengsara dan menderita (Q.S. at-Thalaq, 65: 6)
6.      Mempersulit kehidupan wanita (Q.S. al-Baqarah, 2: 236)
Agama Peradaban
Kebaikan manusia hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat yang berperadaban. Karena itu dengan sendirinya pula Islam rahmat bagi seluruh alam merupakan agama peradaban. Peradaban adalah suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks (Koentjaraningrat, 2002: 10). Tanpa peradaban, hidup manusia pasti tidak bisa baik.
Peradaban  telah diwacanakan dalam al-Qur’an secara sistematis. Kronologi turunnya surat al-Anbiya’ setelah surat Saba’ yang disebutkan di atas  dapat membuktikan hal itu. Telah umum diketahui bahwa wahyu  yang pertama turun adalah lima ayat pertama dari surat al-‘Alaq (96) yang memerintahkan untuk membaca (iqra’). Wahyu pertama ini secara jelas menunjukkan betapa intrinsiknya  wawasan peradaban dalam  Islam. Risalah Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad merupakan kelanjutan dari risalah nabi-nabi sebelumnya. Mereka, para nabi itu, bukan hanya pendakwah agama semata, tapi juga menjadi pembangun peradaban, seperti Nabi Adam yang membangun peradaban berpakaian dan Nabi Nuh yang membangun peradaban pelayaran. Wawasan peradaban itu terus dikembangkan, diwacanakan dan diperjuangkan al-Qur’an (Nabi). Pengembangan wawasan itu semakin lama semakin konkrit, sehingga sebelum genap satu dasa warsa kenabian Nabi Muhammad, peradaban yang akan dibangun Islam sudah jelas, yaitu perpaduan peradaban materiel dan spiritual, yang disebut  Islam kaffah (Q.S. al-Baqarah, 2: 208). Karena itu pada sekitar tahun ke-8 kenabian ketika dua surat itu turun dikemukakanlah wawasan tentang negara ideal dengan mengambil inspirasi dari sejarah Saba’, negara sejahtera (baldah thayyibah)  yang diridhai Allah (Q.S. Saba’, 34: 15). Negara Saba’ dijadikan ideal karena peradaban itu telah berkembang di dalamnya, sehingga penduduknya dikenal memiliki keberagamaan yang kuat dan mampu mengembangkan   teknologi, seni,  sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang sangat maju di zaman kejayaannya.
Masyarakat yang mengembangkan peradaban materiel dan spiritual adalah masyarakat yang mengembangkan kehidupan yang baik dan tidak merusak. Q.S. al-Anbiya’, 21: 105 menyebut mereka sebagai orang-orang saleh yang mewarisi bumi. Kenyataan ini, menurut ayat 106 surat itu, seharusnya menjadi pengetahuan bagi orang-orang yang beragama (‘abidin). Dilihat dari konteks dan urutannya, dua ayat ini  berarti memberikan kritik kepada para pemeluk agama pagan Arab ketika itu sekaligus mengemukakan alasan kedatangan Islam. Paganisme Arab, karena mitis dan mendagradasikan kehidupan manusia, tidak mungkin dapat menghasilkan orang-orang saleh yang mengembangkan peradaban materiel-spirituil dan dapat mewarisi dunia. Orang-orang itu hanya dapat dihasilkan oleh agama yang rasional, peduli dan memiliki ethos peradaban. Dan agama itu adalah agama Islam yang menjadi risalah Nabi Muhammad. 
Peradaban hanya dapat berkembang dalam masyarakat yang memiliki nilai budaya tertentu. Nilai itu di antaranya adalah berorientasi ke masa depan dan hasrat untuk mengeksplorasi alam. Orientasi ke masa depan akan mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih seksama dan teliti, dan karenanya ia harus hidup dengan hati-hati dan hemat. Sifat hemat yang meluas diperlukan untuk memungkinkan satu bangsa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk mengakumulasi modal.  Kemudian hasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam akan menambah kemungkinan inovasi, terutama inovasi dalam teknologi yang merupakan bagian sangat penting dalam peradaban (Koentjaraningrat, 2002: 34).
 Kedua nilai  itu sudah barangtentu tidak ada dalam agama pagan yang mitis. Sementara  Islam yang sejak awal kelahirannya telah memiliki wawasan peradaban, jelas mengajarkannya secara tegas. Nilai pertama bisa ditemukan dalam Q.S. al-Hasyr, 59: 18 yang menganjurkan untuk memperhatikan masa lalu guna kepentingan waktu yang akan datang. Di samping menunjukkan pengertian di atas, ayat itu juga berarti menganjurkan untuk berorientasi ke masa depan. Adapun nilai kedua bisa ditemukan dalam banyak ayat yang menyebutkan bahwa alam semesta diciptakan untuk manusia dengan qadar atau sunnatullah yang ditetapkan Tuhan.  
Wawasan peradaban dalam Islam sangat dihayati oleh umat dahulu sehingga pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah, mereka bisa membangun peradaban besar dengan beberapa pusat kemajuan  yang mengundang kekaguman dan dalam sejarah disebut sebagai the miracle of religion (keajaiban agama). Apabila wawasan itu kembali dimiliki oleh umat, pasti mereka pun bisa meraih kejayaan lagi, berdiri sejajar dengan umat atau bangsa-bangsa yang lain dan mungkin  dapat menjadi kiblat kemajuan, seperti di masa lalu.
Dasar-Dasar Agama (Ushul ad-Din)
Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam sudah barangtentu memiliki ajaran-ajaran dasar yang sesuai dengan universalitas dan rasionalitasnya dan menjadi pijakan untuk mewujudkan kepedulian dan peradaban. Ajaran-ajaran dasar agama dalam tradisi Islam disebut ushul ad-din.
Dalam tradisi yang berkembang sampai sekarang, istilah ashl (bentuk tunggal dari ushul) digunakan dengan pengertian ma yubna ’alaih ghairuh wa la yubna huwa ’ala ghairih, sesuatu yang di atasnya dibangun  yang lain dan sesuatu itu tidak dibangun di atas  yang lain (Al-Jurjani, 1971: 16). Islam mengajarkan wujud yang  menjadi dasar keberadaan yang lain dan keberadaan-Nya    tidak didasarkan pada yang lain adalah Tuhan. Karena itu ajaran-ajaran dasar yang dikembangkan adalah ajaran-ajaran tentang Allah dengan segala sifat dan perbuatan-Nya yang dibicarakan dalam ilmu ushuluddin, yang disebut juga dengan ilmu tauhid dan ilmu kalam.
Disamping itu ashl juga digunakan dengan pengertian yang  lain,  ma yatsbutu hukmuhu binafsihi wa yubna ’alaihi ghairuhu, sesuatu yang kebenarannya ada pada dirinya sendiri dan menjadi dasar bagi yang lain. Pengertian ini selama ini telah digunakan dalam istilah ushul fiqh, yakni kajian tentang kaedah-kaedah penemuan hukum. Kebenaran kaedah-kaedah itu dipandang ada pada dirinya sendiri dan digunakan untuk membangun hukum islam atau fiqh (Ibid).
Pembatasan ajaran-ajaran dasar  agama pada soal ketuhanan dahulu tidak  menjadi masalah dalam mewujudkan Islam rahmat bagi seluruh alam karena umat genarasi awal yang hidup dekat dengan masa Nabi menghayati betul spirit dan karakteristik agama itu sebagai agama universal, rasional, peduli dan peradaban, sehingga mereka berhasil membangun keajaiban sejarah seperti disinggung di depan. Namun setelah umat jauh dari masa kenabian dan mengalami kemunduran, pembatasan itu menjadi masalah dalam mewujudkan ideal Islam itu karena mereka telah kehilangan spirit dan penghayatan karakteristiknya. Pembatasan itu sejak beberapa abad yang lalu telah menjadikan Islam sebagai priestly religion yang menekankan ritual, tidak lagi menjadi prophetic religion yang peduli pada penderitaan manusia dan pembangunan peradaban.
Karena itu untuk mewujudkan Islam rahmat bagi seluruh alam, pengertian ushul ad-din harus diperluas sehingga bisa  meliputi ajaran-ajaran di luar soal ketuhanan.  Perluasan pengertian itu bisa dilakukan dengan menggunakan pengertian ashl yang kedua. Ajaran-ajaran yang memenuhi pengertian itu adalah akhlak atau moralitas. Hal ini karena norma-norma moral merupakan norma yang kebenarannya ada pada dirinya sendiri dan perbuatan-perbuatan manusia harus berdasarkan padanya. Memasukkan akhlak sebagai ajaran dasar agama Islam sebenarnya memang merupakan satu keharusan karena Nabi lebih dari sekedar mengajarkannya demikian, dia pun menegaskan risalah kenabiannya hanya untuk menyempurnakan budi pekerti yang baik,  sebagaimana disebutkan dalam sebuh hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya saya diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR Ahmad)
            Akhlak yang disempurnakan Nabi dalam tugas kenabiannya adalah akhlak untuk mewujudkan Islam rahmat bagi seluruh alam. Akhlak itu di samping meliputi moralitas pribadi, sudah barangtentu juga meliputi moralitas bublik yang termasuk di dalamnya moralitas pergaulan, kepedulian dan peradaban. Banyak moralitas pribadi dan publik yang ditekankan dalam al-Qur’an dan diberi teladan oleh Nabi. Di antaranya yang mutlak untuk pengembangan peradaban adalah jujur (Q.S. at-Taubah, 9: 119), adil (Q.S. an-Nahl, 16: 90), tanggung jawab (Q.S. al-Maidah, 5: 8), hormat (Q.S. an-Nisa’, 4: 86), disiplin (Q.S. al-Ahqaf, 46: 13), kerja keras (Q.S. al-Insyirah, 94: 7) dan  kreatif-inovatif (Q.S. al-Baqarah, 2: 30).  Moralitas ini sampai pada masa kejayaan Islam dahulu merupakan kekayaan umat yang melimpah. Sekarang bagaimana, para pembaca sudah mengetahuinya.
Penutup
Mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam berarti harus membangun peradaban. Al-Qur’an menegaskan adanya siklus sejarah peradaban (Q.S. Ali Imran, 3: 140). Peradaban manusia bangkit dan menurun secara bergantian. Berdasarkan kisah Yusuf, ada yang mengatakan bahwa siklus itu berlangsung selama tujuh abadan. Maksudnya proses kebangunan sampai masa keemasan satu peradaban itu berlangsung selama 7 abad. Bagitu juga dengan proses menurun sampai pada tidik nadirnya. Hitungan itu tampaknya tepat untuk peradaban Islam. Peradaban ini dahulu bangkit dan mencapai keemasannya mulai abad ke-7 sampai abad ke-13 M. Kemudian  meredup dan mencapai titik nadirnya mulai abad 14 sampai abad 20 M. Karena proses kebangkitan, menurut hitungan siklus itu, sangat panjang, maka wajar jika umat sekarang masih berada di titik nadir peradaban, dilihat dari  kemampuannya melakukan produksi seperti yang disebutkan di depan. Tafsir S. al-Anbiya, 21: 107 ini diharapkan      dapat menjadi alternatif landasan teologis untuk kebangkitan kembali peradaban itu.



loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar