Liberalisme; Antara Agama dan Kebebasan Hidup
PendahuluanPerkembangan keagamaan pada pola praktek kehidupan pada semua level dewasa ini semakin menarik perhatian. Gencarnya berbagai issu-issu kebangsaan, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dikaitkan dengan agama tertentu merupakan sebuah asumsi-asumsi yang masih perlu dipertanyakan. Namun, tentu ini merupakan fenomena masyarakat yang muncul dalam sikap keberagamaan mereka. Ada kepercayaan terhadap kebenaran tertentu yang kemudian mengakibatkan munculnya klaim sebagai satu-satunya kebenaran tunggal. Dan bahkan terkadang diyakini bahwa kebenaran itu harus dipaksakan kepada orang lain. Akibatnya muncul kekerasan atas nama agama.
Di sisi lain juga muncul sikap keagamaan yang sangat menghormati adanya keanekaragaman kebenaran agama. Agama diibaratkan sebuah jalan. Di mana setiap jalan itu intinya akan tetap menuju jalan yang sama. Yakni kebenaran Tuhan. Dari sinilah nampak bahwa munculnya sikap keagamaan yang berbeda tak lain merupakan wujud adanya kondisi sosial-psikologis yang berbeda yang membentuknya. Meskipun sebenarnya, semuanya berangkat dari satu titik pedoman yang sama, yakni kitab suci.
Pada konteks ini, Sejarah teologi, kata Hasan Hanafi, adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci. Setiap ahli teologi atau penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah‑naskah tersebut.
Dalam sejarah, pergulatan teologi dengan kemanusiaan atau bahkan kealaman, jelas merupakan sesuatu yang terus menerus sangat menarik. karena persinggungannya selalu hampir menimbulkan kecurigaan yang berlebih. Di satu sisi agama dipandang sebagai penghambat kehidupan sosial-politik. Di sisi lain agama memandang bahwa kehidupan sosial-politik terlalu jauh meninggalkan agama. Muncullah atheis. Dan sebagainya. Atas dasar inilah, penulis mencoba menelusuri aliran teologi yang pernah berkembang pesat sejak abad ke-17, yakni liberalisme.
Pembahasan
Liberalisme awal adalah produk dari Inggris dan Belanda.[1] Liberalisme membela toleransi beragama. Liberalisme itu (identik) protestan. Yang bersifat bebas dari pada fanatik, dan yang menganggap bahwa perang agama sebagai kebodohan. Karakteristik pokok dari liberalisme adalah penekanannya pada individu. Sejak awal, ia berusaha mempertahankan hak setiap orang untuk menentukan nasibnya sendiri terlepas dari semua kontrol sosial kecuali pada batas minimum.[2]
Ada sebuah kepercayaan dalam liberalisme, bahwa semua manusia dilahirkan sama, dan ketidakadilan yang mengikutinya merupakan produk dari lingkungan. Kepercayaan ini mendorong penekanan yang luar biasa pada nilai penting pendidikan yang bertentangan dengan prinsip bawaan sejak lahir. Karena munculnya liberalisme jelas merupakan penentangan terhadap segala sesuatu yang berbau abad pertengahan, baik dalam filsafat maupun dalam politik. Karena teori-teori abad pertengahan telah digunakan untuk mendukung kekuasaan gereja dan raja, menjustifikasi penganiayaan, dan dianggap menghalangi bangkitnya sains. Meski di kemudian hari liberalisme juga menentang fanatisme para Calvinis dan anabaptis.
Liberalisme ingin mengakhiri perselisihan politik dan teologi demi mengerahkan energi manusia untuk kegiatan-kegiatan perdagangan dan sains yang mengasyikkan. Embrio ideologi liberalisme ini diperbincangkan dan dikembangkan di Perancis pada abad ke-18 di bawah pengaruh pemikiran dan lembaga-lembaga di Inggris. Namun, para pemikir pencerahan Perancis, berbeda dari guru-guru Inggris mereka, cenderung anti agama atau setidak-tidaknya anti kerahiban. Karena katolisisme tradisional, dibanding protestan bagi liberalisme, kurang banyak memberikan basis yang memadai bagi liberalisme.[3]
Ketika ide-ide pencerahan ini tak terbendung, akhirnya dunia Barat mampu menelorkan revolusi Perancis pada tahun 1789, yang disana melahirkan Napoleon dan juga melahirkan sebuah aliansi suci keagamaan, yakni sebuah agama baru liberalisme yang sekuler, yang dalam waktu singkat mendirikan pesatnya di di Katedral Notre Dame. Selama lebih dari satu abadkita dapat mencermati upaya-upaya yang abortif untuk membangun sebuah alternatif keagamaan promodern di Perancis menentang kemapanan Katolik, yang tetap dipegang kuat oleh rezim lama baik secara intelektual maupun politis.
Liberalisme, yang kita sebut sebagai ideologi utama modernisasi, pada umumnya berhasil di dunia Anglo-Saxon dan Perancis. Di negara-negara itu, meskipun menghadapi penolakan yang kuat, liberalisme dapat menancapkan akar pijakan yang kokoh. Namun, sepanjang abad ke-19, pada awalnya liberalisme ditolak dan mengalami kekalahan-kekalahan serius setelah sebelumnya meraih banyak keberhasilan di masyarakat-masyarakat Eropa Tangah, Selatan dan timur. Kemunduran liberalisme terjadi persisnya pada saat masyarakat-masyarakat itu mengalami perubahan-perubahan yang lebih ekstensif dalam wilayah lingkup keilmuan, ekonomi, dan organisasi.[4]
Sebelum membahas secara mendetail, utamanya yang terkait dengan teologi, ada baiknya kita melihat pola umum gerakan-gerakan liberalisme dari abad ke-17 sampai ke-19. pola ini mula-mula sederhana, tetapi secara bertahap menjadi semakin dan semakin kompleks. Ciri yang terlihat jelas dari gerakan ini, dalam pengertian yang luas, adalah individualisme. Para filosof Yunani, sampai dan termasuk Aristoteles, bukanlah para individualis dalam pengertian disini. Mereka memandang manusia pada dasarnya sebagai anggota komunitas. Buku Republic karya Plato, misalnya, berusaha mendefinisikan sebuah komunitas, bukian individu, yang baik. Namun, dalam perkembangannya pada abad pertengahan, ketika para mistikus mengenal tren-tren individualistic orisinil dalam etika Kristen, pandangan kebanyakan manusia, termasuk mayoritas filosof, didominasi oleh sintesis kuat antara dogma, hukum dan adat istiadat, yang menyebabkan kepercayaan-kepercayaan teoritis dan moralitas praktis manusia dikontrol oleh lembaga sosial, yakni gereja Katolik. Apa yang benar dan baik ditetapkan bukan oleh akal semata, tetapi oleh kebijaksanaan kolektif dewan-dewan. Atas dasar inilah, liberalisme awal muncul identik dengan individualisme itu sendiri. Terutama sejak slogan Descartes dianggap sebagai dasar ilmu pengetahuan. Ego cogito ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada.
Liberalisme pada abad ke-18 mengambil yang lain. Meski pada dasarnya berprinsip sama: individualisme. Namun, individualisme disini tidak mementing kan diri secara emosional dan etis. Bentuk liberalisme ini mendominasi di Inggris, dan juga para pembuat konstitusi Amerika, dan para penyusun Kamus di Perancis. Keberhasilan liberalisme terbesar terjadi di Amerika, hingga menjadi dominan sejak tahun 1776 sampai sekarang atau setidaknya sampai tahun 1933 tanpa hambatan dari feodalisme dan gereja negara.[5]
Liberalisme dalam kaitannya dengan teologi juga tak jauh berbeda dengan perkembangan diatas. Dalam ensiklopedi Britannica, teologi liberalisme dibagi dalam tiga tahap. Pertama, pada masa Filosof dan ahli Matematika Perancis Rene Descartes. Dimana tuhan hanya bersifat Imanen, dan akal manusia sangat diagungkan. Periode kedua teologi liberalisme adalah pada masa Romantisisme, yakni pada abad ke-18 sampai akhir abad ke-19, dimana arsitek romantik liberalnya adalah Immanuel Kant dan J.J. Rousseau, dengan friedrich schleiermacher sebagai bapak teologi protestan modernnya. Dan periode ketiga dari teologi liberalisme, yakni pada akhir abad ke-19 sampai sekitar tahun 1920-an, dimana titik terang ini ditandai dengan tokoh evolusi besarnya Charles Darwin dengan bukunya Origin of Species (1859). Jika Newton menjelaskan tatanan alam semesta material melalui gravitasi, Darwin menjelaskan evolusi biologis melalui mekanisme seleksi alam.
Alam itu sendiri, bukan Tuhan atau agen intelektual apapun yang merupakan sumber permutasi yang menghadirkan manusia. Kemudian Freud melanjutkan pergulatan manusia dengan amat dramatis. Bukan alam yang merupakan lawan manusia, melainkan kodrat dirinya sendiri telah menciptakan alam tak sadar yang mengatur wilayah sadarnya. Semua manusia mengalami pertarungan abadi di dalam dirinya. Pemikiran Freud merepresentasikan kilau puncak proyek pencerahan: bahkan alam tak sadar manusia diangkat ke tingkat penyelidikan rasional. Dari sini, bukan hanya keilahian manusia yang terguncang, kemanusiaan itu sendiri dipertanyakan.[6]
Para “nabi” filsafat liberal bukan hanya Mill, Locke, Rousseau, Smith, Bayle, Voltaire, dan (di kalangan masa kini) Rawls dan Friedman; melainkan juga Kant, Hume, dan Russel Quine, dan Carnap. Kelompok terakhir seharusnya dimasukkan diantara para pendiri dan pendukung masyarakat liberal, sebab mereka berkeyakinan sama, bahwa membuka simpul soal metafisika yang ruwet adalah mustahil. Mereka bahkan sampai mengatakan bahwa mengurusi subjek metafisika apapun berarti melampaui batas-batas rasionalitas.
Berpisah dengan metafisika berarti, bagi Barat, berpisah dengan semua kebutuhannya: gereja dan pendeta, hukum tuhan, etika, kecaman agama, pemerintahan agama, dan kepasrahan agama yang baik. Pendeknya, setiap institusi agama yang mengawasi urusan duniawi dalam bentuk apapun, ditinggalkan. Keterputusan seperti inilah yang menurut Kant, membebaskan manusia dari masa “pertumbuhan”-nya dan menyerahkan semua nasib dan keputusan semua urusan di tangannya sendiri. Setelah itu manusia mencapai sentralitas (bahkan derajat ketuhanan) yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dunia. Kebebasan liberal adalah kebebasan dari belenggu agama dan metafisika. Kebebasan ini mempunyai dasar epistemologis dan rasional. Para penganut atau lebih tepatnya para filosof liberal tidak mengungkapkan sifat kemungkinan salah dan kehendak bebas manusia. Mereka mengungkapkan ketidak relevanan metafisika.[7]
Boleh dibilang, sebagaimana yang telah penulis kemukakan diatas, bahwa liberalisme mengalami penolakan-penolakan yang kuat pada abad ke-19. disini harus menjadi catatan penting bahwa liberalisme, atau katakanlah reformasi gereja, pada dasarnya, sebagaimana dikatakan oleh Iqbal, merupakan suatu gerakan politik, dan jaringan yang timbul karenanya di eropa ialah pergantian dari etika Kristen yang universal dengan sistem etika nasional.[8] Karenanya disini pembahasan lebih banyak berhubungan dengan agama yang terkait dengan kehidupan sosial pada masa itu.
Lahirnya modernisasi membawa dampak dan akibat yang luar biasa. Sekitar Pada abad ke-19, agama-agama yang ada dirasa tidak mampu merstrukturisasi pola-pola makna dan motivasi tradisional agar mendukung modernisasi, maka ideologi-ideologi baru bermunculan dan mengambil suatu karakter keagamaan dan menawarkan hasil-hasil restrukturisasinya sendiri. Ideologi-ideologi itu, yang kemunculan secara besarnya dapat dijumpai di Jerman, dapat dikelompokkan dalam dua kelompok utama: nasionalis romantik di satu sisi dan sosialis radikal di sisi lain, tentu saja dengan kemungkinan kombinasi yang berbeda-beda diantara keduanya.[9]
Meskipun, dalam cara-cara yang cukup berbeda, baik nasionalisme romantik maupun sosialisme radikal, cukup kritisterhadap aspek-aspek masyarakat moder, dimana keduanya menghendaki terwujudnya sebuah masyarakat yang terintegrasikan secara lebih kuat, kurang terdiferensiasi dan kurang individualistic, namun keduanya dapat disebut ideologi sekunder modernisasi. Potensi kedua ideologi tersebut dalam modernisasi harus betul-betul diingat. Terutama dimana baik reformasi keagamaan maupun liberalisme sekuler tidak memiliki daya tarik, maka kedua ideologi tersebut menjadi ideologi modernisasi yang mungkin.
Penutup
Setelah agama berperan sangat kuat terhadap kehidupan sosial-politik di abad pertengahan, maka liberalisme mencoba mencari kebebasan dengan meletakkan proporsi agama pada taraf tertentu dalam kehidupan. Meski dalam perjalanannya, bahkan sama sekali tidak memberikan tempat sedikitpun terhadap agama dalam kehidupan sosial-politik.
Menurut Leonard Binder, Liberalisme memperlakukan agama sebagai pendapat, dan karenanya, mentolerir keanekaragaman dalam bidang yang justru diyakini secara hitam-putih oleh kaum tradisionalis.[10] Jadi, selama agama terpisah jauh dari politik, kekhasan doktrin agama tidak lagi menjadi kepentingan publik.
Dalam perkembangannya kemudian, Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Banyak sekali kita jumpai pemikiran-pemikiran liberal keagamaan dewasa ini. Baik yang menjadikan semangat liberalisme ini sebagai spirit pembaharuan terhadap cara keberagaman seseorang. Karena kebutuhan penafsiran kembali terhadap kitab suci agar tetap relevan pada massanya, merupakan hal yang harus dilakukan. Dan cara pandang liberal merupakan ruh toleransi terhadap keanekaragaman yang ada. Atau bahkan sampai kepada munculnya aliran baru dalam liberalisme, seperti New Age ataupun Post-New Age, yang hanya menekankan nilai-nilai spiritualitas sebagai wujud keberagaman mereka. Di dalam hal ini, karena selalu terkait dengan masyarakat, refleksi atas nilai‑nilai universal agama, pun mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan, struktur sosial dan kekuatan politik.[]
DAFTAR PUSTAKA
Russell, Bertrand Sejarah Filsafat Barat; kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik; Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002
Bellah, Robert N. Beyond Belief; esei-esei tentang agama di dunia modern, Paramadina, Jakarta:2000
Supelli, Karlina Leksono Masihkah Agama diperuntukkan bagi kehidupan, majalah BASIS, edisi Mei-Juni 2002.
Soroush, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Mizan, Bandung:2002.
Iqbal, Muhammad Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Jalasutra, Yogyakarta: 2002.
Binder, Leonard. Islam Liberal;Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2001
[1] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat; kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002, hlm.783
[2] Henry J. Schmandt, Filsafat Politik; Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002, hlm. 467
[3] Robert N. Bellah, Beyond Belief; esei-esei tentang agama di dunia modern, Paramadina, Jakarta:2000, Hlm. 97
[4] Ibid; hlm. 98
[5] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat; kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002, hlm.786
[6] Karlina Leksono Supelli, Masihkah Agama diperuntukkan bagi kehidupan, majalah BASIS, edisi Mei-Juni 2002.
[7] Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Mizan, Bandung:2002. Hlm. 199-200
[8] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Jalasutra, Yogyakarta:2002. Hlm.258
[9] Robert N. Bellah, Beyond Belief; esei-esei tentang agama di dunia modern, Paramadina, Jakarta:2000, Hlm. 99
[10] Leonard Binder, Islam Liberal;Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2001, hlm. 3
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar