Antara Teks dan Konteks

Admin Thursday, December 16, 2010
Korelasi Wahyu Makiyah Madaniyah dengan Asbabul nuzul dan Naskh


Oleh:
Aly Aulia Imron, Lc


Awwalan

Ummat Islam secara universal mengakui al-Qur'an sebagai kata-kata Tuhan yang diwahyukan secara verbatim kepada Nabi. Al-Qur'an menggambarkan suatu gambaran ketuhanan secara aktif terlibat dalam urusan dunia dan manusia. Prinsip tadrij, bahwasuatu ajaran diwahyukan secara berangsur-angsur, mencerminkan dengan baik interaksi kreatif antara kehendak Tuhan, realitas di bumi, dan kebutuhan komunitas untuk ditanggapi.
Kajian ini berawal dari penggambaran teori yang amat terperinci Syah Wali Allah Dehlawi (w. 1762), tentang hubungan antara wahyu dan konteksnya, dimana segala sesuatu terintegrasi secara erat, ia menenkankan antar hubungan dari kosmis, ketuhanan, bumi dan kekuatan manusia serta efek dalam semesta. Jadi Allah tidak berbicara pada kevakuman tidak juga membawakan pesan membentuk dalam satu. Dehlawi tampaknya menunjukkan beberapa bentuk hubungan keberadaan antara sejarah dan pewahyuan. Bentuk ideal dari agama (din), katanya, berhubungan dengan bentuk ideal dari spesies (fitrah). Manifestasi yang diaktualkan dari bentuk ideal menurun pada bentuk pewahyuan berturut-turut tergantung pada bahan tertentu dan keadaan sejarah dari komunitas penerima. Menurut Dehlawi, selanjutnya dengan setiap konteks yang berikutnya, agama menyesuaikan bentuknya, kepercayaan dan praktek spiritual pada kebiasaan dan keimanan sebelum dan tempramen dari negara yang telah diwahyukan. Dari wahyu ini, cara Allah menangani manusia dibandingkan pada dokter yang meresepkan obat berbeda pada pasiennya pada berbagai tahap sakit mereka. Berhenti pada komunitas pra-Nabi Muhammad , dalam pandangan Dehlawi, sama akibatnya seperti Memberikan resep untuk anak-anak kepada orang dewasa, atau menggunakan obat dan resep kemarin untuk penyakit hari ini.
Dari sini pendapat Dehlawi jelas, Al-Qur'an berbeda dengan koherensi didalamnya, tidak pernah dirumuskan sebagai keseluruhan yang terkait, tetapi diwahyukan dalam merespon kebutuhan situasi kongkrit. Al-Qur'an adalah ekspresi tentang alasan untuk sifat progresif pewahyuannya sebagai tanggapan pada tuntutan situasi kongkrit. Ini dibuktikan faktanya bahwa Al-Qur'an merupakan tuntunan keseharian. "Dan Al Quran itu Telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian"(Al-Isra':106) serta kemunculan Islam di tengah-tengah perjuangan, dan Nabi Muhammad membutuhkan dukungan dan pelipur melalui pertemuannya dengan wahyu. Dalam menanggapi pernyataan para pemfitnah mereka: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah, supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
"Batas batas yang berubah" ditetapkan dalam menyelidiki jenis histories dari pewahyuan, tidak mengeluarkan prinsip gradualisme (Tadrij). Prinsip ini yang dinilai terbaik dalam memanifestasikan kolerasi spesifik dari teks yang dibedakan makiyah madaniyah dan dau gender dalam studi Qur'ani, yaitu asbbabul nuzul (sebab-sebab pewahyuan) dan naskh (pembatalan).

Wahyu Makiyah dan Madaniyah

Meskipun perbedaan antara ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah tidak dimuat dalam Al-Qur'an, pengetahuan dari mana tiap wahyu terjadi dipandang oleh semua sajana Muslim sebagai hal penting untuk memahami isi kandungan Al-Qur'an secara benar. Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa munculnya beberapa penyimpangan pemahaman terhadap kandungan makna sebagian ayat Al-Qur'an adalah karena jauhnya pemahaman tersebut dari pijakan sejarah pewahyuan. yang dikenal dengan pembahasan al-Makkiy dan al-Madaniy.
Al-Imam az-Zarkasyi (w.794 H) dalam bukunya Al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an telah menyebutkan tiga varibel defenisi mengenai al-Makkiy dan al-Madaniy. Pertama, berkonotasi tempat. Bahwa al-Makkiy adalah unit wahyu yang diturunkan di Mekah, dan al-Madaniy adalah unit wahyu yang diturunkan di Madinah. Kedua, berkonotasi periode waktu. Bahwa al-Makkiy adalah unit wahyu yang diturunkan sebelum Rasulullah saw hijrah ke Madinah, dan al-Madaniy adalah yang diturukan setelah hijrah. Ketiga, definisi berkonotasi objek wahyu, atau kepada siapa khitab-nya ditujukan, bila khitab wahyu ditujukan kepada penduduk Mekah maka tergolong Makkiyah, tapi bila ditujukan pada petunjuk Madinah, maka ia tergolong Madaniyyah.
Dari ketiga konteks definisi tersebut bila diteliti secara mendalam, akan terlihat kekhususan masing-masing konteks dan kelebihannya, yang atas dasar itulah para ulama melakukan tarjih, difenisi mana yang paling tepat untuk dijadikan pijakan dalam pembahasan al-Makkiy dan al-Madaniy. Sebab tidak mustahil kesalahan memilih definisi akan menyebabkan munculnya berbagai benturan dan kesulitan dalam aplikasi. Setelah dilakukan berbagai penjelasan berikut perbedaan diantara ketiga konteks definisi diatas, Al-Imam az-Zarkasyi menguatkan definisi yang kedua. Menurutnya definisi kedualah yang paling popular dikalangan ulama. Az-Zarqoni juga menegaskan dengan mengambil konteks waktu, maka al-Makkiy dan al-Madaniy tidak lagi kaku, melainkan menjadi sangat fleksibel dan mencakup semua unit wahyu yang diturunkan, tidak akan ada lagi kebingungan dalam pengelompokan unit-unit wahyu yang diturunkan diberbagai tempat dan berbagai situasi. Mengapa? Sebab titik pemisah antara kedua kelompok tersebut adalah hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. Dari sini semua unit wahyu sebelum hijrah, dimanapun tempat turunnya, dan kepada siapapun khitab-nya ia tetap termasuk kelompok Makkiyayah. Begitu juga semua unit wahyu yang turun setelah hijrah, ia tergolong Madaniyah sekalipun ia turun di Mekah, atau ditempat lainya diluar Madinah.

Asbab Al-Nuzul

Al-Qur'an tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai hanya difahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Terlebih banyaknya klaim bahwa, untuk memahami Al-Qur'an, tidak ada bimbingan yang lebih penting daripada pengetahuan tentang kapan dan dalam situasi apa ayat Al-Qur'an itu diturunkan. Asbab al-Nuzul berkaitan erat dengan periwayatan sabab turrunnya wahyu atau ayat, dan waktu, tempat, serta situasi pewahyuan. Dimana paling tidak menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dinyatakan bahwa "kenyataan " tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun dipentas bumi ini.
Tidak seperti kebanyakan kajian lainnya yang penuh dengan berbagai penjelasan dan pembelaan yang terperinci, berbagai tulisan tentang asbab al-nuzul secara ketat membatasi diri hanya pada kejadiannya sendiri. Sedikitnya pembahasan asbab sebagai satu disiplin memperlihatkan tidak adanya perhatian yang serius pada sejarah dan kontekstualitas teks dalam pemikiran tradisional Al-Qur'an. Studi tradisional Al-Qur'an hanya mereduksi "kejadian" tersebut menjadi sekedar kisah belaka, mengabaikan waktu terjadinya setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya. Karena kaidah yang dianut mereka adalah al-'ibrah bi 'umum al-lafzh la bi khushus al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya); kecil dari mereka yang menggunakan kaidah sebaliknya, al-'ibrah bi khushus al-sabab la bi 'umum al-lafzh (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).
Dari sini perlu kiranya dipertanyakan : "Bukankah akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas diatas yang ditekankan?" Pemahaman ayat yang menekankan pada peristiwa, pelaku dan waktunya. Karena tidak mungkin benak akan menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku. Penekanan terhadap qiyas (analogi) dipandang perlu untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab al-nuzul dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya dengan memperhatikan factor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah seperti dikemukakan diatas, ayat Al-Qur'an tidak turun pada masyarakat hampa budaya dan bahwa "kenyataan mendahului atau bersamaan dengan turunnya ayat"? Yang sudah barang tentu analogi yang dilakukan tidak terbatas hanya pada analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-mantiq) yang hakekatnya tidak merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan, hanya sekedar membahas fakta yang ada untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu dengan apa yang pernah ada sebagaimana selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha kita, Akan tetapi, analogi yang lebih luas dari itu, yang meletakkan al-masholih al-mursalah dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana halnya pada masa Rasul dan para sahabat. Sehingga pengertian asbab al-nuzul dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Al-Qur'an dan pemahamannya pun dapat dikembangkan dengan pengembangan pengertian qiyas.

Naskh

Secara harfiah, naskh berarti penghapusan dan pencabutan sesuatu oleh hal lain yang membatalkannya. Dalam kajian tradisional tentang Al-Qur'an dan syariat Islam, ini berarti verifikasi dan elaborasi berbagai modus pembatalan. Hal ini dibuktikan QS Al-Baqorah (2): 106: Ayat mana saja yang kami batalkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?. Menurut Farid Esack setidaknya naskh dapat dijabarkan dalam 5 modus: (1) pembatalan suatu ayat al-Qur'an oleh ayat yang muncul setelahnya; (2) pemberlakuan kembali sebagian teks al-Qur'an yang telah dihilangkan; (3) pembatalan beberapa perintah terdahulu di dalam al-Qur'an oleh wahyu yang telah turun sesudahnya, sementara ayat yang berisi perintah tersebut tetap ada adala al-Qur'an; (4) pembatalan suatu praktek kenabian olh perintah al-Qur'an dan (5)pembatalah peritah al-Qur'an oleh praktek kenabian.
Dari sini timbul banyaknya kebingungan berkaitan dengan keabsahan, makna dan penerapannya. dalam arti ada atau tidakkah ayat yang dibatalkan hukumnya? Kebingungan ini menjelaskan fakta banyaknya pihak yang meragukan keabsahan selain dari naskh paling awal, yaitu bahwa al-Qur'an membatalkan semua kitab suci yang telah datang sebelumnya. Mereka beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Sejumlah Reformis seperti Sir Sayed Ahmad Khan (w. 1898) dan pemikir kontenporer seperti Isma'il al-Faruqi (w. 1986) juga menolak dan mempertanyakan keberadaan naskh, mereka berpendapat bahwa wahyu-wahyu yang diturun sebelumnya dalam situasi tertentu dan diubah atau diperbaiki kemudian, tidaklah benar-benar dibatalkan. Mereka memandangnya tetap sah untuk diterapkan dalam kondisi yang serupa dengan saat turunnya wahyu tersebut. Artinya perhatian para pemikir ini lebih banyak terpusat diseputar masalah otoritas teks. Dimana ketika hampir semua praktek yang dianggap batal oleh seorang pemikir dipermasalahkan oleh pemikir lainnya, barulah muncul keraguan apakah otoritas ayat itu sendii menjadi soal.
Jelaslah, pemicu munculnya kebingungan ini lahir karena adanya transformasi makna naskh sebenarnya. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur'an ketika dalam pembahasannya mengenai Naskh Mansukh cenderung menjadikan pemikiran Muhammad 'Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Qur'an sebagai titik tolak. Muhammad 'Abduh --walaupun tidak mendukung pengertian kata "ayat" dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai "ayat-ayat hukum dalam Al-Quran", dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan "Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" yang menurutnya mengisyaratkan bahwa "ayat" yang dimaksud adalah mukjizat-- tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata "Ilmu Tuhan", "diturunkan", "tuduhan kebohongan", adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata "ayat" dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.
Apa yang dikemukakan oleh 'Abduh di atas lebih dikuatkan lagi dengan adanya kata "Ruh Al-Quds" yakni Jibril yang mengantarkan turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang cara mengucapkan ta'awwudz (a'udzu billah) apabila membaca Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang "pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat Al-Quran)". Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tentang siapa yang membawanya "turun" serta tuduhan kaum musyrik terhadapnya (Al-Quran).
Dari sini Abduh terlihat menolak adanya naskh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan "pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain" Dalam arti bahwa kesemua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
Fazlur Rahman membahasakannya dengan "karakter situasional Al-Qur'an" dimana seluruh wahyu maupun ayat-ayat khusus umumnya diturunkan dalam konteks kondisi sosial tertentu. Ketika masyarakat Masyarakat muslim mulai terbentuk, pewahyuan al-Qur'an pun mengikuti peruahan kondisi dan lingkungan. Prinsip ini diilustrasikan pada pelarangan minum alkohol. Dalam periode Makkah, al-Qur'an menyebut alcohol setara dengan rahmat Tuhan lainnya, seperti susu dan madu (QS Al-Nahl [16] ; 66-69 . Di Madinah, sejumlah Muslim menghendaki agar alkohol dilarang. Untuk menanggapi ini, ada ayat yang mengatakan Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".(QS Al-Baqorah [2] ; 219) Setelah berpesta disebuah rumah di Madinah, beberapa orang benar-benar mabuk dan ketika seseorang diantara meraka memimpin sholat pada malam harinya, ia salah mengucapkan kalimat tertentu dalam al-Quran. Ketika hal itu dilaporkan pada Rasulullah, wahyu pun turun : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu (QS Al-Nisa [4] ; 43) beberapa lama setelah itu dipesta lain muncul keributan ketika beberapa orang meneriakkan puisi jahiliah kepada susku musuhnya. Menanggapi kejadian tersebut, ayat al-Qur'an berikut pun diturunkan : Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).(QS Al-Maidah [5] ; 90-91)

Wa Akhiran
Dari pemaparan singkat diatas, tampak jelas hubungan dan kolerasi antara teks melalui makiyyah madaniyahnya dan konteks melalui asbabun nuzul dan naskh mansukh-nya. Kajian ini harus terus dikembangkan agar al-Qur’an mampu menempatkan posisisnya sebagai petunjuk di setiap zaman bagi hambanya. Serta pesan Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam dapat terbukti.
Mudah-mudahan kajian ini bermanfaat bagi kita semua, dan dapat didiskusikan dengan seksama. Amiiin…
Wallahu a’lam bi showaab.

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar