(Membaca Turâts Versi Arkoun)
Mujahidin Muhayan*
Arkoun dalam Rimba Posmodernisme
Tidak berlebihan rasanya mengatakan bahwa Arkoun menduduki posisi ujung tombak dalam persentuhan umat Islam dengan peradaban Barat. Sejak muda Arkoun sudah menguasai bahasa Perancis, di samping bahasa Kabilia (bahasa ibu) dan bahasa Arab. Pendidikan tingginya selain ditempuh di Aljir (ibukota Aljazair, tanah leluluhnya) juga ditempuh di Univeritas Sorbonne Paris. Bahkan Arkoun berhasil meraih gelar guru besar dalam Sejarah Pemikiran Islam di Universitas yang terakhir disebut ini. Sebagian besar karya-karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis. Hanya beberapa makalah dan pengantar terjemahan Arab saja yang ditulis dalam bahasa Arab. Tapi Arkoun juga menulis beberapa karyanya dalam bahasa Inggris, seperti Rethinking Islam (Boulder, Col., 1994), dan The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London , 2002). Selain itu, literatur yang disebutkan dalam buku-bukunya, bahkan beberapa kajian dalam buku-buku tersebut, dengan jelas menunjukkan bahwa Arkoun juga menguasai bahasa Jerman. Contohnya adalah analisanya tentang karya terkini islamolog Jerman, Joseph Van Ess, yang sampai kini belum diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk Inggris dan Perancis. Karya yang dimaksud adalah buku setebal 6 jilid yang diberi judul Theologie und Gesellschaft in 2 und 3 Jahrhundert Hidschra: Eine Geschichte des Religiösen Denkens in Frühen Islam (Teologi dan Masyarakat pada Abad II dan III H.: Sejarah Pemikiran Agama pada Permulaan Islam).[1][1]
Kemampuan bahasa, didukung oleh letak geografis (sampai kini Arkoun berdomisili di Perancis), inilah yang memungkinkan Arkoun mengikuti setiap perkembangan pemikiran yang terjadi di Barat. Kemampuan bahasa saja memang tidak cukup, karena tekanan politik dan sosial juga menjadi permasalahan penting dalam kebebasan berpikir. Dan inilah yang terjadi dalam dunia Islam sampai saat ini. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa kasus yang menimpa beberapa pemikir muslim yang berusaha mengembangkan wacana kekinian dari dalam dunia Islam, seperti Thahâ Husein (1926), Muhammad Ahmad Khalafullah (1947) dan Nashr Hâmid Abû Zaid (1995). Dengan tinggal di luar tapal batas dunia Islam Arkoun dapat meminimalisir —kalau tidak melepaskan diri sama sekali dari— pengaruh tekanan-tekanan tersebut. Ini yang menjadikannya dengan leluasa dapat turut andil mendiskusikan ide-ide terkini dan menjadi ‘representasi’ umat Islam dalam percaturan pemikiran di Barat, baik pada tataran studi Islam maupun studi-studi sosial lainnya.
Keterpengaruhan Arkoun terhadap pemikiran-pemikiran kontemporer (baca: posmodern) adalah sesuatu yang dapat langsung dirasakan oleh siapa saja yang membaca bagian terkecil dari karya-karyanya. Terma dekonstruksi yang bertebaran di sepanjang tulisan Arkoun adalah pinjaman dari Jacques Derrida. Sementara arkeologi pemikiran yang pertama kali dikenalkan oleh Michel Foucault juga menduduki posisi penting dalam pemikiran Arkoun. Selain kedua tokoh tadi, Arkoun juga acapkali mengutip pemikiran Pierre Bourdieu dan tokoh-tokoh posmodernis lainnya. Metode-metode ilmu-ilmu sosial paling mutakhir yang di‘dakwah’kan Arkoun agar diterapkan dalam studi-studi Islam juga memperjelas keterpengaruhan itu. Yang dimaksud di sini adalah metode-metode ilmu-ilmu sosiologi-sejarah, antropologi-sejarah dan psikologi-sejarah yang dikembangkan terutama oleh madzhab Les Annales (al-hauliyyât, historis) Perancis sejak dekade 70-an abad lalu. Ini berarti untuk dapat memahami pemikiran Arkoun dengan benar dibutuhkan pengetahuan yang memadai tentang perkembangan pemikiran di masa posmodern.
‘Tuyul’ macam apakah sebenarnya yang bernama posmodernisme itu? Secara ringkas dapat dikatakan bahwa posmodernisme adalah “rimba belantara yang dihuni oleh aneka satwa yang bisa berbeda-beda jenisnya”[2][2]. Dengan kata lain, posmodernisme adalah nama yang digunakan untuk menunjuk berbagai aliran pemikiran yang sepakat untuk mengkritisi modernisme. Hanya pada satu titik ini saja seluruh aliran pemikiran itu bertemu. Selebihnya, bisa jadi satu sama lain saling baku hantam. Modernisme di Barat yang terjadi pada abad ke-18, 19 dan awal 20 telah melahirkan positivisme, saintisme dan determinisme. Tiga isme yang terakhir disebut ini begitu mendewa-dewakan data dan realita. Segala sesuatu hanya bisa dianggap benar jika dapat diverifikasi secara ilmiah. Pada gilirannya, kebenaran ilmiah ini pun dianggap sebagai sesuatu yang mutlak. Jika demikian cara pandang modernisme terhadap realitas alam, maka demikian pulalah cara pandangnya terhadap realitas kemanusiaan. Manusia dipandang tak lebih dari bagian tak terpisahkan dari alam, dan memiliki karakteristik yang sama sekali tidak berbeda dari karakteristik alam. Ringkasnya, manusia dan batu adalah sama; sama-sama bisa dikaji dengan menggunakan metode ilmiah yang ‘keras’ dan ‘tajam’.
Modernisme yang demikian ini tentu saja bertentangan dengan semangat humanisme abad renaissance yang telah melahirkannya. Manusia yang ingin dibebaskan oleh renaissance dari belenggu agama dan pemikiran skolastik ternyata kini jatuh dalam perangkap baru yang bernama materialisme. Ini berarti telah terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh modernisme dalam merealisasikan ide-ide renaissance itu. Dan karena itulah posmodernisme hadir. Dengan sendirinya posmodernisme memiliki bentuk yang sangat beragam. Bukan hanya ide-ide yang konstruktif saja yang berkembang di sana, tapi ada juga ide-ide yang lebih bersifat destruktif, reaksioner, dan hanya sekedar ingin tampil beda saja. Bahkan usaha untuk mengembalikan dunia ke abad pertengahan pun bisa juga dimasukkan dalam wilayah yang bernama posmodern ini. Yang dimaksud di sini adalah usaha yang dilakukan oleh Paus Paulus II dan Vatikan untuk membalas dendam kekalahan gereja atas modernisme dan mengembalikan hegemoni agama di dunia Barat.
Dari perwajahannya yang bermacam-macam itulah, wajar kalau kemudian istilah posmodernisme “kerap digunakan dengan cara sinis dan berolok-olok …, yaitu dianggap sebagai sekedar mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner atas perubahan-perubahan sosial yang kini sedang berlangsung”[3][3]. Barangkali memang sisi inilah yang lebih menonjol di permukaan, sehingga menutupi sisi-sisi lain yang lebih bersifat membangun.
Yang menarik, meskipun jelas terlihat berada dalam kubu posmodernisme, dengan tegas Arkoun menolak menggunakan istilah ini. “Tidak perlu saya sembunyikan bahwa saya tidak suka menggunakan istilah posmodernisme”[4][4], katanya kepada Hâsyim Shâlih (penerjemah buku-buku Arkoun) dalam sebuah wawancara. Bagi Arkoun istilah posmodernisme tidak memiliki akar yang dalam. Kata pos dalam istilah tersebut menunjukkan keterputusan. Seakan posmodernisme sama sekali ingin melepaskan diri dari modernisme. Ini mengisyaratkan juga bahwa semua yang dimiliki oleh modernisme itu jelek dan harus ditinggalkan. Padahal kenyataannya, menurut Arkoun, tidaklah demikian. Banyak sekali sisi positif yang dimiliki oleh modernisme, misalnya kemajuan di bidang sains dan teknologi. Sisi-sisi positif ini tidak bisa begitu saja diabaikan, bahkan harus dilestarikan. Yang perlu dilakukan adalah membenahi kesalahan-kesalahan modernisme, dalam bidang kemanusiaan (moral, spiritual, dsb.) misalnya. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan terhadap modernisme itu membentuk sebuah ketersambungan, bukan keterputusan. Dalam hal ini Arkoun memang lebih setuju dengan Habermas dan pengikut-pengikutnya yang enggan disebut sebagai posmodernis.
Arkoun sendiri lebih suka menyebut nalar baru yang bakal menggantikan posisi nalar modern itu sebagai la raison émergente. Yaitu nalar yang bersifat eksploratif, dalam arti tidak mereduksi obyek kajian ke dalam sebagian aspeknya saja, tapi mengungkap seluruh aspek yang dimiliki; juga dalam arti memanfaatkan semua metode yang telah berhasil diciptakan oleh manusia. Selain itu, nalar yang tunasnya baru mulai muncul ini juga bersifat futuristik dan prospektif, dalam pengertian bisa memberikan harapan yang lebih baik dari apa yang telah disumbangkan oleh modernisme. Di bawah sinaran nalar baru inilah Arkoun membangun proyek pemikirannya.
Arkoun memulai kajiannya dengan disertasi doktoral yang diberi judul Arus Humanisme dan Rasionalisme Pada Abad ke-4 Hijriah. Kemudian dia memperluas medan kajiannya ke belakang dan ke depan hingga mencakup seluruh turâts Islam-Arab. Beberapa buku telah ditulisnya sejak dekade 70-an abad lalu di bawah tema besar Kritik Nalar Islam. Bukunya yang mempunyai judul sama persis dengan tema besar ini terbit pertama kali di Perancis pada tahun 1984 (Critique de la Raison Islamique) dan kemudian diterjemahkan oleh Hâsyim Shâlih ke dalam bahasa Arab dengan judul Historitas Pemikiran Arab-Islam. Arkoun memaknai kata kritik dalam pengertiannya yang paling luas, atau dalam pengertian bahasa, historis, antropologis dan filosofis. Dengan begitu, kata kritik di sini tidak memiliki konotasi buruk: menghancurkan, menjelekkan, dsb. Justru sebaliknyalah yang ingin dilakukan oleh Arkoun. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa mega proyek yang dicanangkan oleh Arkoun adalah: bagaimana memahami Islam kini? Dalam arti: bagaimana memahaminya dengan menggunakan metode-metode baru yang dimiliki oleh ilmu-ilmu sosial? Dengan kata lain, Arkoun ingin menerapkan metode-metode tersebut dalam mengkaji turâts Islam. Di sinilah terletak rahasia sulitnya memahami pemikiran-pemikiran Arkoun.[5][5]
Turâts dan Pembacaanya Versi Arkoun
Sebenarnya Arkoun menghendaki agar kata Tradition (Perancis, dengan T besar) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan kata sunnah, karena yang dia maksud hanyalah tradisi agama saja. Dalam pengertian Arkoun, sunnah di sini tidak hanya mencakup turâts Sunni, tapi juga Syi’ah dan Khawarij berikut sempalan-sempalannya yang bermacam-macam. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan sunnah adalah apa yang disebut oleh Arkoun dengan ‘Turâts Islam yang menyeluruh’ (La Tradition islamique exhaustive). Arkoun memang berusaha merumuskan terma baru dengan akar lama. Dan tentu saja ini sangat beralasan. Tapi Hâsyim Shâlih lebih memilih menggunakan kata turâts dengan alasan bahwa kata ini telah dipakai secara luas; juga untuk menghindari kerancuan.[6][6] Dalam bahasa Indonesia, sebenarnya kita bisa menggunakan kata tradisi sebagai terjemahan langsung dari kata tradition. Tapi kata turâts tampaknya masih merupakan pilihan yang lebih tepat, dengan tujuan agar kata ini semakin ramai digunakan dalam kajian-kajian Islam dalam bahasa Indonesia ; juga untuk menghindari kerancuan yang bisa saja terjadi kalau kita menggunakan kata tradisi.
Arkoun membedakan antara tradition (dengan t kecil) dan Tradition (dengan T besar). Ini disebabkan karena menurutnya ada tiga tataran yang dimiliki oleh turâts. Pertama, turâts dalam pengertian etnologis. Yaitu semua tradisi pra-Islam yang masih terus hidup sampai masa paska-Islam dalam berbagai bentuknya. Dalam hal ini Arkoun menggunakan kata tradition (dengan t kecil). Kedua, turâts yang disakralkan oleh masing-masing ortodoksi dalam Islam (Sunni, Syi’ah dan Khawarij). Dalam pengertian ini, jika turâts dilihat dari sudut pandang pemiliknya yang menyakralkannya, maka Arkoun menggunakan kata Tradition (dengan T besar). Tapi jika dipandang dari luar (dari sudut pengkaji), maka Arkoun menggunakan kata tradition (dengan t kecil). Ketiga, turâts dalam pengertian pengertian ‘Turâts Islam yang menyeluruh’ di atas.[7][7]
Menurut Arkoun, turâts Islam pertama kali terbentuk dari hasil pertarungan yang terjadi antara Turâts ilahiyah dengan turâts Arab pra-Islam. Yang dimaksud dengan Turâts ilahiyah di sini adalah nilai-nilai transendental yang merupakan kebenaran abadi dan mutlak yang tidak bisa dirubah oleh manusia. Pertarungan antara kedua turâts ini dapat dilihat dari strategi yang digunakan oleh al-Qur’an dalam memerangi segala tradisi yang ditinggalkan oleh nenek moyang (âbâ’) dan para pendahulu (awwalûn), dan membuangnya ke dalam kubang yang bernama kegelapan jahiliyah.[8][8] Pertarungan yang terjadi selama kurang lebih 20 tahun di Mekah dan Madinah inilah yang telah menghasilkan al-Qur’an.
Untuk menjelaskan fase pembentukan turâts Islam yang pertama dan utama ini Arkoun menggunakan terma ‘fenomena al-Qur’an’. Terma ini sebelumnya pernah digunakan oleh Mâlik Bin Nabî.[9][9] Hanya saja makna yang diinginkan oleh keduanya sangat berbeda, bahkan saling bertentangan. Yang ingin dilakukan oleh Bin Nabî adalah merumuskan teori i‘jâz al-Qur’an dengan pendekatan ilmu-ilmu modern (psikologi dan sejarah). Menurut Bin Nabî ini penting karena teori i‘jâz yang dirumuskan oleh ulama balaghah dan tafsir terdahulu tidak bisa dirasakan lagi oleh umat Islam sekarang. Lebih jauh, teori i‘jâz klasik ini sangat bertumpu pada keberadaan syi’ir jahiliyah. Sementara eksistensi syi’ir jahiliyah sendiri mulai diragukan sejak terbitnya buku Thahâ Husein, Fî al-Syi‘r al-Jâhilî, tahun 1926. Jika apa yang selama ini disebut dengan syi’ir jahiliyah sebenarnya tidak pernah ada, maka menurut Bin Nabî teori i‘jâz klasik dengan sendirinya akan hancur. Berangkat dari keprihatinan inilah Bin Nabî berusaha merumuskan teori i‘jâz baru. Dengan begitu, fenomena al-Qur’an di tangan Bin Nabî berarti bahwa al-Qur’an bukanlah buatan manusia (Muhammad), melainkan wahyu Tuhan. Ini berarti bahwa usahanya tak lain hanya memperkokoh posisi sakralitas al-Qur’an saja.
Di tangan Arkoun yang terjadi justru sebaliknya. Yang dimaksud oleh Arkoun dengan fenomena al-Qur’an adalah al-Qur’an sebagai peristiwa yang terjadi pertama kali dalam sejarah. Al-Qur’an pertama kali menampakkan dirinya dalam bentuk wacana lisan. Ini terjadi dalam dimensi tempat dan waktu tertentu: di jazirah Arab dan pada permulaan missi Nabi. Wacana lisan inilah yang telah mendampingi aktifitas Nabi dalam berbagai aspek kehidupan selama kurang lebih 20 tahun (atau sampai wafat). Oleh karena itulah Arkoun sangat menekankan pentingnya karakteristik lisan yang dimiliki oleh al-Qur’an pada permulaannya ini.[10][10] Ini disebabkan karena kedudukan epistemologis wacana lisan berbeda dengan kedudukan epistemologis wacana tulisan. Wacana lisan al-Qur’an ini baru dibukukan ke dalam apa yang disebut oleh Arkoun dengan ‘mushaf resmi yang tertutup’ setelah Nabi wafat. Perpindahan dari lisan ke tulisan ini dilakukan melalui pemilahan, penghapusan dan permainan bahasa. Tidak semua wacana lisan tercakup dalam kodifikasi. Bahkan ada beberapa manuskrip yang sengaja dimusnahkan, seperti mushaf Ibnû Mas‘ûd. Ini adalah sesuatu yang wajar terjadi dalam proses kodifikasi. Lebih-lebih jika semua itu terjadi dalam suasana pertarungan politik yang panas.[11][11]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa turâts Islam —sampai pada bentuknya yang pertama sekalipun— adalah hasil dari sebuah proses sejarah. Oleh karena itulah, Arkoun menolak mengkaji turâts dengan pendekatan idealis dan teologis, yaitu mengkajinya dalam pengertiannya yang transenden karena didasarkan pada pemahaman Islam yang transenden pula. Dengan pendekatan ini Islam dipandang sebagai apa yang terkandung dalam al-Qur’an dalam bentuk yang dijelaskan oleh hadist Nabi. Problem-problem yang terjadi selama proses transmisi lisan dan kemudian transmisi tulisan diabaikan sama sekali. Kondisi sosial dan sejarah juga turut diabaikan, seolah sama sekali tidak mempengaruhi terbentuknya turâts tersebut. Sebaliknya, Arkoun menghendaki agar turâts didekati dalam kapasitasnya sebagai proses sosial dan sejarah yang terjadi di antara proses-proses lainnya.[12][12]
Fenomena al-Qur’an seperti yang dijelaskan di atas itulah yang selanjutnya melahirkan fenomena Islam. Menurut Arkoun keduanya tidak identik. Ada perkembangan dan pergeseran yang terjadi di sana . Setelah wafatnya Nabi pada tahun 11 H./632 M. terjadi berbagai penampakan baru dalam turâts Islam. Pada abad pertama hijriyah saja telah muncul tiga sekte, yang melalui dialog panjang dan subur serta pertarungan berdarah yang keras telah melahirkan tiga ortodoksi besar: Sunni, Syi’ah dan Khawarij. Pada gilirannya, dalam tubuh ketiga ortodoksi ini pun muncul sekte-sekte sempalan yang memiliki ajaran dan keyakinan yang sedikit banyak berbeda dengan asalnya. Inilah yang menyebabkan terjadinya kemajemukan yang sangat luar biasa dalam sejarah Islam selama lima abad pertama hijriah. Hanya kemenangan dua ortodoksi besar secara terpisah pada masa selanjutnya —Sunni dengan dukungan dinasti Saljukiyah dan Syi’ah dengan dukungan dinasti Shafariyah— sajalah yang berhasil menggulung kemajemukan ini dan menyederhanakannya menjadi dua kutub saja. Ini berarti bahwa berbeda dengan yang selama ini diyakini, dalam Islam tidak hanya terdapat satu ortodoksi, tapi banyak sekali ortodoksi yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai pemilik tunggal turâts yang benar dan orisinal.[13][13]
Kata ortodoksi secara harfiah sebenarnya berarti pemikiran yang lurus dan benar. Tapi secara terminologis kata ini biasanya dipakai dengan konotasi yang negatif, yaitu untuk menunjuk keyakinan yang keras yang menganggap dirinya sebagai yang paling benar dan yang lain salah. Ortodoksi sebenarnya bukanlah fenomena yang hanya terdapat dalam Islam. Dalam agama-agam lain pun ada ortodoksi. Ini berarti bahwa dalam agama-agama tauhid saja terdapat tiga ortodoksi: Yahudi, Kristen dan Islam. Kalau agama-agama Timur lainnya juga kita perhitungkan, maka jumlah ortodoksi agama yang ada di dunia ini bisa lebih banyak lagi. Bahkan sebenarnya ortodoksi terjadi juga di luar wilayah agama. Oleh karena itu, bisa saja kita mendapatkan seorang Marxis yang ortodoks, seorang komunis yang ortodoks, dsb. Barangkali kenyataan bahwa “setiap umat atau kelompok menganggap turâtsnya sebagai kebenaran mutlak”[14][14] sudah menjadi satu fenomena antropologis.
Ortodoksi inilah yang membuat seseorang terjebak dalam apa yang disebut oleh Arkoun dengan la cloture dogmatique (kerangkeng dogmatis yang tertutup) yang menghalanginya untuk mengetahui kebenaran seperti apa adanya. Ini yang sampai saat ini dialami oleh umat Islam dengan dua kutubnya: Sunni dan Syi’ah. Meskipun memiliki perwajahan yang berbeda, sebenarnya kedua ortodoksi ini —dan ortodoksi Khawarij juga tentunya— menggunakan strategi yang sama dalam menjustifikasi dirinya sebagai pemilik turâts Islam yang benar. Misalnya dengan menggunakan metode transmisi (riwâyah). Setiap ortodoksi mengklaim bahwa rantai transmisinyalah yang paling terpercaya. Ini yang menjelaskan adanya perbedaan kodifikasi hadits dalam Sunni dan Syi’ah. Dalam Sunni kitab hadits yang dianggap paling mu’tabar adalah Shahih Bukhari (256 H/870 M) dan Muslim (261 H/875 M). Sementara dalam Syi’ah posisi ini ditempati oleh Shahih Al-Kailani (329 H/940 M) dan Ibnu Babawaih (381 H/991 M). Contoh lain dari strategi ini adalah apa yang dinamakan Arkoun dengan literatur heretikal (al-adabiyyât al-bida‘iyyah) yang dimiliki oleh masing-masing ortodoksi. Yang dimaskud di sini adalah buku-buku yang biasanya kita kenal dengan Milal wa Nihal, yang secara membabibuta memasukkan semua ide dan keyakinan yang berbeda ke dalam kawasan bid’ah.
Strategi-strategi semacam ini hanya dapat dimengerti saat seseorang keluar kerangkeng dogmatis di atas. Dan inilah yang berusaha dilakukan oleh Arkoun saat merumuskan Turâts Islam dalam pengertiannya yang menyeluruh. Arkoun memang ingin melampaui sekat-sekat ortodoksi yang ada dalam Islam. Menurutnya, kajian turâts harus bersifat terbuka, dalam arti mencakup seluruh perwajahan dan kreasi yang dimiliki.[15][15] Ini berarti tidak ada bedanya antara turâts Sunni, Syi’ah dan Khawarij berikut sempalan-sempalannya. Semuanya harus dihadirkan di atas meja bedah dalam status yang sama dan dikaji dengan menggunakan pisau analisa yang sama pula. Yang diinginkan oleh Arkoun sebenarnya lebih dari itu, yaitu berusaha melampaui sekat-sekat ortodoksi dalam agama-agama tauhid (Yahudi, Kristen dan Islam), bahkan agama-agama lainnya yang ada di dunia ini. Dari sini dapat dilihat dengan jelas sisi humanisme dalam pemikiran Arkoun.
Arkoun membagi rentang waktu terbentuknya turâts Islam selama 14 abad ke dalam dua fase. Pertama, fase klasik yang terbentang sejak munculnya Islam pada pertengahan abad ke-7 masehi sampai wafatnya Ibnu Rusyd pada akhir abad ke-12 masehi. Kedua, fase skolastik, yaitu sejak abad ke-13 masehi sampai kini.[16][16] Fase pertama ditandai dengan kreasi pemikiran yang sangat subur. Pada fase inilah muncul nama-nama besar dalam sejarah Islam semacam Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Jâhidh, Al-Tauhîdî, dll. Mereka inilah yang telah melahirkan pemikiran-pemikiran besar dan luar biasa dalam Islam. Ini di antaranya dipicu oleh keterbukaan terhadap dunia luar —terutama filsafat Yunani—, juga kemajemukan yang ada di dalam tubuh umat Islam sendiri. Pada fase inilah zaman keemasan Islam dapat dicapai. Sementara dalam fase kedua, umat Islam mulai memasuki zaman kegelapan. Fase ini diwarnai dengan budaya taklid, jumud dan pengulang-ulangan dari apa yang dihasilkan oleh fase sebelumnya. Nyaris tidak ada kreasi pemikiran yang dihasilkan dalam fase ini.
Arkoun menjadikan kekalahan Ibnu Rusyd atas Al-Ghazali sebagai pemisah antara fase kreasi dan fase taklid dalam turâts Islam. Menurutnya, Ibnû Rusyd adalah orang terakhir yang telah mati-matian membela filsafat dari serangan Al-Ghazali. Namun sayang usahanya ini berakhir dengan kegagalan. Ini sama sekali tidak berarti bahwa logika yang dibangun oleh Ibnu Rusyd dalam Tahâfut al-Tahâfut terlalu lemah untuk menghadapi Tahâfut al-Falâsifahnya Al-Ghazali. Tapi pergerakan sejarah yang pada waktu itu telah berpihak kepada Al-Ghazali lah yang menjadi penyebab kekalahan ini. Akar dari kekalahan Ibnu Ruysd ini dapat dilacak dari kemenangan dinasti Saljukiyah dengan ortodoksi Sunninya pada abad ke-11 masehi. Sampai saat itu Islam klasik masih sangat dinamis dengan berbagai bentuk dialog dan masih menikmati kemajemukan berpikir dan berkeyakinan. Baru setelah itu mulailah dinasti Saljukiyah mendirikan sekolah-sekolah resmi yang mengajarkan keyakinan-keyakinan resmi pula, mirip seperti apa yang terjadi di Barat pada abad pertengahan. Sejak saat itulah pemikiran Islam kehilangan dinamikanya.[17][17]
Meskipun fase klasik telah menghasilkan tumpukan turâts yang luar biasa, tapi menurut Arkoun epistema (sistem berpikir) yang dimiliki oleh umat Islam pada saat itu —bahkan sampai saat ini— adalah epistema abad pertengahan. Epistema ini sangat jauh berbeda dengan epistema dalam kerangka modernitas. Pada abad pertengahan akal manusia sangat tertutup, serta bersifat teo-sentris dan bahasa-sentris. Artinya, akal bekerja dengan berpusat pada cara pandang teologis tertentu terhadap kosmos dan tidak mungkin keluar dari cara pandang ini; juga berpusat pada bahasa dalam pengertiannya yang sakral: Kitab Suci. Dengan begitu, akal menjalankan aktifitasnya dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh Tuhan dalam Kitab-Nya. Tidak ada yang baru di luar Kitab Tuhan. Sementara dalam kerangka modernitas, akal manusia sangat terbuka. Tentu saja yang dimaksud dengan modernitas di sini adalah proyek terbuka yang terus berkesinambungan dan tidak pernah sempurna. Akal dalam kerangka ini masih tetap bersifat bahasa-sentris karena diartikulasikan melalui bahasa, tapi tidak lagi mengenal batas kecuali yang dibuatnya sendiri. Ini berarti bahwa akal menolak segala bentuk pengekangan yang berasal dari luar dirinya dan semua yang bersifat a priori.[18][18]
Jika demikian, maka tumpukan turâts yang dihasilkan pada fase klasik harus disikapi sebagai produk epistema abad pertengahan. Ini berarti bahwa terbentuknya turâts tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses sakralisasi, mitosisasi, ideologisasi, dll. yang khas abad itu. Ini dapat kita lihat misalnya dalam buku-buku sejarah Islam yang mulai ditulis sejak zaman Abbasiyah. Buku-buku tersebut menggambarkan sosok Nabi dan sahabat lebih menyerupai tokoh-tokoh dalam cerita dongeng (mitos) ketimbang menggambarkannya sebagai manusia biasa. Ini berarti bahwa banyak sekali permasalahan epistemologis yang harus dijelaskan untuk dapat memahami turâts tersebut secara benar.
Selain itu, pada fase klasik tidak semua hal bisa dan telah ter/dipikirkan. Ada banyak hal yang belum terpikirkan. Apa yang bisa dipikirkan oleh seseorang pada masa tertentu sangat ditentukan oleh beberapa hal. Pertama, kemampuan berbahasa yang dimilikinya, bahkan juga kemampuan yang dimiliki oleh bahasa itu sendiri. Kedua, batas yang boleh dipikirkan yang telah digariskan oleh cara pandang, keyakinan, sistem, otoritas politik dan otoritas agama dalam masyarakat dimana dia berada. Ketiga, fase historis tertentu dalam perkembangan masyarakat tersebut.[19][19] Di luar syarat-syarat ini sesuatu tidak mungkin untuk dipikirkan.
Oleh karena itu, menyama-nyamakan antara apa yang dihasilkan oleh akal modern dan akal abad pertengahan adalah merupakan sesuatu yang tidak ada gunanya. Sikap apologetik ini sering diambil oleh umat Islam saat dipaksa untuk menghadapi produk-produk Barat. Contohnya, demokrasi disamakan dengan syûrâ. Antara keduanya memang terdapat banyak persamaan. Tapi ada perbedaan mendasar yang memisahkan keduanya. Dalam demokrasi seluruh anggota masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, terlepas dari agama, suku, ras, dan jenis kelaminnya. Sementara dalam syûrâ pengambilan keputusan hanya melibatkan elit tertentu saja. Contoh lain, gerakan humanisme dan rasionalisme dalam Islam yang terjadi pada abad ke-9 dan ke-10 masehi. Gerakan ini tidak bisa diidentikkan dengan gerakan serupa yang terjadi di Barat enam abad kemudian pada masa renaissance (abad ke-15 dan ke-16). Pada masa renaissance itu akal benar-benar diberi kebebasan, terlepas dari segala bentuk ikatan yang berasal dari luar dirinya. Dengan begitu, bebaslah pula manusia yang memiliki akal itu. Tentu saja humanisme dan rasionalisme dalam pengertian yang demikian ini tidak pernah terjadi dalam Islam.
Lalu bagaimana halnya dengan turâts yang dihasilkan pada masa skolastik? Arkoun memandang bahwa fase yang terbentang sejak abad ke-13 masehi ini perlu mendapat perhatian khusus. Ini disebabkan karena Islam kontemporer dilahirkan secara langsung oleh fase ini. Pada fase ini —tepatnya pada masa dinasti Utsmaniyah— telah terjadi dua keterputusan besar yang akibatnya masih diderita oleh dunia Islam sampai sekarang. Pertama, bersifat internal, yaitu keterputusan dengan fase klasik yang kaya dan kreatif serta diwarnai oleh semangat pluralitas dan humanisme. Dan kedua, bersifat eksternal, yaitu keterputusan dengan dunia Barat dan produk-produk ilmiah serta filsafatnya.[20][20] Dua keterputusan inilah yang dapat menjelaskan gagalnya gerakan pembaharuan dalam dunia Islam yang dimulai sejak abad ke-19 dan menghegemoninya gerakan fundamentalisme dalam sampai saat ini.
Arkoun menginginkan agar tumpukan turâts dalam dua fasenya ini dikaji dengan metode ilmu-ilmu sosial yang telah dihasilkan oleh manusia sampai masa yang paling kontemporer, tercakup di dalamnya filologi, ilmu-ilmu linguistik, sosiologi-sejarah, psikologi-sejarah, antropologi-sejarah, dll. Ini berarti bahwa Arkoun menghendaki agar turâts dibaca dari berbagai sudut yang mungkin untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan komprehensif. Inilah yang disebut oleh Arkoun sebagai radikalisme epistemologis. Yang demikian ini tentu bukanlah pekerjaan yang ringan. Tak mungkin seorang Arkoun saja mampu melakukannya. Oleh karena itu, yang telah dilakukan oleh Arkoun sebenarnya hanyalah merancang lembaran kerja proyek studi turâts Islam. Sedangkan kapan proyek itu akan dikerjakan dan oleh siapa, masih menjadi pertanyaan besar.
WalLâhu a‘lam.
* Ketua Lakpesdam (Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia) PCI-NU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) Mesir 2002-2004; mahasiswa tingkat akhir, jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmunya, fakultas Usuluddin, Universitas Al-Azhar Kairo.
[1][1] Lihat: M. Arkoun, Qadlâyâ fî Naqdi’l ‘Aql al-Dînî Kaifa Nafhamu’l Islâm Al-Yaum?, diarabkan dan dikomentari oleh Hâsyim Shâlih, Dâr al-Thalî‘ah, Beirut , cet. II, 2000, hal. 47-49.
[2][2] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta , cet. 8, 1996, hal. 16.
[3][3] Ibid., hal. 15.
[4][4] Qadlâyâ fî Naqdi’l ‘Aql al-Dînî Kaifa Nafhamu’l Islâm Al-Yaum?, op. cit., hal. 307.
[5][5] Ibid., hal. 298.
[6][6] M. Arkoun, Al-Fikr al-Islâmî Qirâ’ah ‘Islâmiyyah, Markaz al-Inmâ’ al-Qaumî, Beirut , cet. II, 1996, hal. 17.
[7][7] Ibid., hal. 17-18.
[8][8] Ibid., hal. 19.
[9][9] Lihat buku Mâlik Bin Nabî yang berjudul Al-Dhâhirah al-Qur’âniyah.
[10][10] Qadlâyâ fî Naqdi’l ‘Aql al-Dînî Kaifa Nafhamu’l Islâm Al-Yaum?, op. cit., hal. 186.
[11][11] Ibid., hal. 188.
[12][12] Al-Fikr al-Islâmî Qirâ’ah ‘Islâmiyyah, op. cit., hal. 19-20.
[13][13] Ibid., hal. 24-25.
[14][14] Qadlâyâ fî Naqdi’l ‘Aql al-Dînî Kaifa Nafhamu’l Islâm Al-Yaum?, op. cit., hal. 166.
[15][15] M. Arkoun, Târîkhiyatu’l Fikr al-‘Arabî, Markaz al-Inmâ’ al-Qaumî, Beirut , cet. III, 1998, hal. 11.
[16][16] Qadlâyâ fî Naqdi’l ‘Aql al-Dînî Kaifa Nafhamu’l Islâm Al-Yaum?, op. cit., hal. 300.
[17][17] Ibid., hal. 300.
[18][18] Ibid., hal. 184.
[19][19] Al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlat al-Ta’shîl Nahwa Târîkh Âkhar li al-Fikr al-Islâmî, op. cit., hal. 9-10.
[20][20] Qadlâyâ fî Naqdi’l ‘Aql al-Dînî Kaifa Nafhamu’l Islâm Al-Yaum?, op. cit., hal. 195-196.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar