Biografi Fazlur Rahman | Biografi Tokoh Pembaharu Islam

Admin Sunday, November 14, 2010

Biografi Fazlur Rahman | Biografi Tokoh Pembaharu Islam

Poptret  Seorang Intelektual Modermis

Latar belakang social dan intelektual

Fazlur rahman dilahirkan pada tahun 1919  di daerah barat laut Pakistan. Dia dibesarkan di keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madhab fiqih yang dianggap sebagai madzhab paling rasional diantara madzhab-madzhab fiqih sunni lainya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah menjadi dua Negara yang merdeka yaitu India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir liberalnya, seperti Syeikh Wali Allah, Ikbal dan Sir Sayyid Ali

Sejak kecil sampai umur belasan tahun selain mengenyam pendidikan formal. Rahman juga mendapat banyak ilmu tradisionol yang ia peroleh dari ayahnya – seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. Ketika ia sudah berusia sepuluh tahun ia sudah bisa membaca Al Qur’an luar kepala.  Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syari’ah lainnya. Menurut Rohman berbeda dengan kalangan tradisional pada umumnya, ayahnya adalah seorang yang memandang modernitas sebagai tantangan yang disikapi, bukan dihindari. Ia arpresiatif dengan pendidikan modern.karena itu keluarga Rahman selain kondusif bagi perkanalanya dengan ilmu-ilmu tradisional, juga bagi kelanjutan karier pendidikannya.

Selain itu, latar social anak benua Indo-Pakistan yang telah melahirkan sejumlah pemikir islam liberal. seperti disinggung di atas, juga merupakan benih-benih dari mana pikiran liberal Rahman dan skeptisisme Rahman tumbuh. Misalnya rahman sangat apresiatif terhadap pemikiran sebelumnya. Bahkan dalam pembahasannya mengenai wahyu ilahi dan nabi, ia secara eksplisit mengakui bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan dari pemikiran pendahulunya, yakni Sah Wali Allah dan Muhammad Iqbal.

Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman

Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi di sastra arab di Departemen Ketimuran di Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu. Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian  menjabat sebagai Associate Professor of Philocophy di Islamic Studies, McGill university di Kanada.

Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute Islamic Reseach, belakangan ia juga diangkat sebagai anggota of Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintahan Pakistan 1964. Lembaga tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif, sedangkan  Dewan Penasihat Ideologi Islam meninjau seluruh hokum yang sudah ada maupun yang belum ditetapkan dengan tujuan  menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.

Karena tugas yang ia emban itu  ia sianten dalam usaha menafsirkan islam untuk menjawab tantangan-tantangan pada masa itu, dengan gagasan liberalnya ia presentasikan kepada kaum modernis, dan selalu mendapat tantangan dari kalangan ulama’ tradisional dan fundamentalis di Pakistan. Ide-idenya di seputar riba dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa mengenai kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan rahman dalam  magnum opusnya islam bahwa“Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan—dalam pengertian biasa—juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”, telah menghebohkan media massa selama kurang lebih setahun. Puncak kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan protes terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969, dan Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago.

B. Proyek Membuka Pintu Ijtihad

Temuan historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), dalam bukunya Islamic Methodology in History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung ijtihadnya.

Dalam kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi SAW dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal nabi SAW yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan.[8] Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran yang dikampanyekan Al-syafi’I untuk menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.

Berpijak pada temuan historis ini, Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua (2), menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3), memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.[10] Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang telah dibukanya—sebagai hasil dari liberalisasinya terhadap konsep ijtihad—menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif dan berjangka panjang. Untuk mencegah ijtihad yang sewenag-wenang dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dan dalam konteks inilah metodologi tafsir Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau “ the correct methode of Interpreteting The Qur’an” [11] memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syariah harus diperiksa dibawah sinaran bukti Al-Qur’an:

Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan.

Akan tetapi, justru persoalannya terletak pada kemampuan kaum muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Rahman menegaskan:

bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi muslim awal ,pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.

C. Apa itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Metodologi Tafsir

Pandangan Rahman mengenai Al-Qur’an merupakan landasan bagi perumusan metodologi tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya nama saja). Karena itu, Rahman memberikan argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan kemapanan karakter wahyu dari Al-Qur’an ini. Rahman mengutip kembali apa yang telah ditulisnya dalam Islam:

Bagi Al-Qur’an sendiri, dan konsekwensinya juga bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain, demikian hebatnya, hingga ia menolak—atas dasar kuatnya keyakinan ini—beberapa klaim mendasar dari tradisi Yudeo-Kristiani mengenai Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.[14]

Konsepsinya mengenai Al-Qur’an secara sederhana dapat dijabarkan ke dalam nuktah-nuktah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad.[15]

2. Al-Qur’an adalah respon ilahi, melalui ingatan dan pikiran nabi, terhadap situasi moral-sosial arab pada masa nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada waktu itu. [16]

3. Karenanya, semangat atau elan vital Al-Qur’an adalah semangat moral, darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah hukum Allah. [17] Al-Qur’an terutama sekali adalah sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen legal. karenanya, keabadian kandungan legal spesifik Al-Qur’an terletak pada prinsip-prinsip moral yang menasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan harfiahnya.

4. Al-Quran merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Kepastian pemahaman tidaklah terletak pada arti dari ayat-ayat individual Al-Qur’an, tetapi terdapat pada Al-Qur,an secara keseluruhan, yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan ajarannya bertumpu.

5. Al-Qur’an adalah dokumen untuk manusia, bukan risalah mengenai Tuhan. Perhatian utama Al-Qur’an adalah perilaku manusia.[18] Karenanya ia lebih berorientasi pada aksi moral ketimbang spekulasi intelektual.

6. Tetapi, di atas segalanya, dalam kenyataannya, Al-Qur’an itu laksana puncak gunung es yang terapung: sembilan sepersepuluh darinya terendam di bawah permukaan air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak ke permukaan. Tidak satupun dari orang-orang yang telah serius berupaya memahami al-Qur’an dapat menolak kenyataan bahwa sebagian besar Al-Qur’an mensyaratkan pengetahuan mengenai situasi-situasi kesejarahan yang baginya pernyataan-pernyataan Al-Qur’an memberikan solusi-solusi, komentar-komentar dan respon. [19]

Sampai pada titik ini, Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral Al-Qur’an yang merupakan elan vitalnya itu telah terkubur dalam endapan geologis sebagai akibat dari proses reifikasi yang begitu panjang. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar (cost) dari perluasan wilayah islam yang terlalu cepat, tanpa diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman keagamaan yang memadai. Karena itu, metodologi yang diharapkan adalah metodologi yang, tentu saja, bisa menembus endapan sejarah tersebut sampai lapisan terdalam.

Dengan demikian, dapat pahami bahwa tujuan metodologi tafsir bagi Rahman adalah untuk menangkap kembali pesan moral universal Al-Qur’an yang obyektif itu, dengan cara membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri, tanpa ada paksaan dari luar dirinya, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar