Showing posts with label Book Review. Show all posts
Showing posts with label Book Review. Show all posts

CIVIL SOCIETY & KONSTRUK DEMOKRASI DALAM AYAT AL-QURAN

Monday, May 07, 2018 Add Comment

CIVIL SOCIETY & KONSTRUK DEMOKRASI DALAM AYAT AL-QUR'AN

Book Review: 
Oleh.  Mahfuz Masduki

Judul Buku   : Tafsir Tematis; Al-Qur'an & Masyarakat, Membangun 
Demokrasi dalam Peradaban Nusantara.
Penulis   : Hasyim Muhammad
Editor     : Mu’ammar Ramadhan & Zainal Abidin
Volume   : 198 hlm.
Penerbit  : TERAS, Sleman Yogyakarta.
Cetakan  : Cetakan I, November 2007.
ISBN      : 979-9781-22-1.

Sebagaimana diketahui masyarakat Muslim, bahwa sebagian pandangan Barat selama ini sering menyamakan negara Islam dengan agama yang memiliki gaya fundamentalistik, radikal teroris dan anti demokrasi. Hal itu sebagaimana disimpulkan oleh beberapa pemikir Barat bahwa kebudayaan Islam tidak dibawa dengan ide-ide kebenaran atau prinsip seperti yang dipahami oleh negara Barat. Bahkan kebudayaan Islam, sebagaimana diakui sebagian masyarakat Barat ditandai oleh kekuasaan yang personalisme dan pragmatisme di mana otoritas mengambil keputusan tentang hukum hampir pasti dipaksakan kepada masyarakatnya.[1]

Pandangan yang demikian, setidaknya menjadikan Hasyim Muhammad mencoba untuk meluruskan dengan menurunkan sebuah buku, Tafsir Tematis; Al-Qur'an & Masyarakat, Membangun Demokrasi dalam Peradaban Nusantara.[2] Buku ini mencoba untuk mengeksplorasi lebih jauh bahwa Islam juga mengenal apa itu demokrasi dan apa itu civil society, sebuah sistem kepemerintahan yang sudah diterapkan pada era muslim awal.[3]
Demokrasi, menurut Hasyim Muhammad, merupakan sistem yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Dan Islam memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan ini. Dalam QS. Ali Imran (3): 159 dan QS. Asy Syura (42): 38, dijelaskan betapa Islam memerintahkan untuk berdemokrasi. Prinsip demokrasi yang bersendikan kebebasan pendapat, bermufakat, dan berserikat tidak diperlakukan sebagai kekufuran. Islam mempersilahkan kepada siapa saja untuk mengadakan perkumpulan baik dibidang ekonomi, sosial, politik dsb.[4]

Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Ada beberapa ayat al-Qur'ân yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah: 1). Keadilan (QS. 5:8); Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, 2). Musyawarah (QS. 42:38); Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110); Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.

3). Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10); Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. 4). Keamanan (QS. 2:126); Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa. 5). Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40); Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).

Dalam Islam juga menyingung masalah civil society dengan memperdulikan beberapa hak manusia yang paling dasar. Apa yang disebut dengan hak asasi manusia dalam aturan buatan manusia adalah keharusan (dharurat) yang mana masyarakat tidak dapat hidup tanpa dengannya. Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, Nabi saw bersabda:

"Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim).



Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang bershadaqah (berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya..." (QS. 2: 267).

Menurut Hasyim Muhammad, al-Qur'an memberikan hak pada setiap orang untuk berbeda satu sama lain. Perbedaan merupakan keniscayaan bagi setiap manusia, karena masing-masing dibentuk oleh lingkungan, status sosial, pendidikan serta peradaban yang menyelimutinya.[5] Kesemuanya akan membentuk karakter dan sikap, pandangan dan pemikiran yang berbeda satu sama lain. Yang terpenting dan harus dijaga dalam al-Qur'an adalah toleransi pada setiap komunitas atau individu yang berbeda tersebut

Perbedaan –dikatakan Hasyim Muhammad- merupakan kehendak Allah untuk menguji sejauh mana mereka mengaktualisasikan potensi yang diberikan oleh Tuhan untuk kebaikan. Al-Qur'an akan memberikan balasan amal kebaikan yang mereka lakukan. Karena itulah, al-Qur'an pada dasarnya telah menguraikan panjang lebar akan hak-hak dasar tersebut, termasuk di dalamnya kebebasan.[6]

Ada hak-hak alamiah seperti; a). Hak Hidup  Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi:

"Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).



Ada juga b). Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi. Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain.[7] Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).

Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka biarkanlah mereka". Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog) mereka serta tidak melarang upacara-upacaranya.

Kerukunan hidup beragama bagi golongan minoritas diatur oleh prinsip umum ayat "Tidak ada paksaan dalam beragama." (QS. 2: 256). Sedangkan dalam masalah sipil dan kehidupan pribadi (ahwal syakhsiyah) bagi mereka diatur syari’at Islam dengan syarat mereka bersedia menerimanya sebagai undang-undang. Firman Allah:

"Apabila mereka (orang Yahudi) datang kepadamu minta keputusan, berilah putusan antara mereka atau biarkanlah mereka. Jika engkau biarkan mereka, maka tidak akan mendatangkan mudharat bagimu. Jika engkau menjatuhkan putusan hukum, hendaklah engkau putuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang adil." (QS. 5: 42).



Ada juga, c). Hak Bekerja. Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban.[8] Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari).

Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah). d).  Hak Hidup. Islam melindungi segala hak yang diperoleh manusia yang disyari’atkan oleh Allah. Di antara hak-hak ini adalah; Hak Pemilikan, Hak Berkeluarga, Hak Keamanan, Hak Keadilan, Hak Saling Membela dan Mendukung, Hak Keadilan dan Persamaan.[9]

Manusia, pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.

Pada gilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, di mana hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. Umumnya, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam (sebagai akibat dari pola pendidikan ala Barat yang dikembangkan semenjak jaman penjajahan Belanda dan diteruskan di era republik pasca proklamasi kemerdekaan hingga kini) mengenal konsepsi HAM yang berasal dari Barat.

Masyarakat Indonesia, mengenal konsepsi HAM itu bermula dari sebuah naskah Magna Charta, tahun 1215, di Inggeris, dan yang kini berlaku secara universal mengacu pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan PBB, 10 Desember 1948. Padahal, kalau mau bicara jujur serta mengaca pada sejarah, sesungguhnya semenjak Nabi Muhammad S.A.W. memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi, atau sekira lima ratus tahun/lima abad sebelum Magna Charta lahir), sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkannya HAM dalam Islam.

Atas dasar itu, tidaklah berlebihan kiranya bila sesungguhnya konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dahulu lahir tinimbang konsepsi HAM versi Barat. Bahkan secara formulatif, konsepsi HAM dalam Islam relatif lebih lengkap daripada konsepsi HAM universal.

Konsep civil society lahir dan tumbuh dari daratan Eropa sekitar abad ke-17 M dalam konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai dilepaskan dari tangan agamawan.

Dengan demikian, civil society aslinya adalah bersifat sekularistik, yang telah mengesampingkan peran agama dari segala aspek kehidupan. Dan tentu saja civil society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, dan individualisme. Maka adalah suatu anakronisme, tatkala Hasyim Muhamad dalam buku ini, Tafsir Tematis; Al-Qur'an & Masyarakat, Membangun Demokrasi dalam Peradaban Nusantara,[10] mencoba lebih jauh menjelaskan akan keberadaan civil society dalam al-Qur'an.[11]

Akan tetapi, menjadi menarik tatkala uraian yang diberikannya sangat lugas dan apik. Buku ini pada dasarnya, sebagaimana dikatakan penulisnya, Hasyim Muhammad, merupakan paduan dari dua judul tulisan yang berbeda. Yang pertama berasal dari tulisan hasil penelitian Tafsir Tematis mengenai Civil Society dalam al-Qur'an yang mengkaji ayat-ayat al-Qur'an tentang hak-hak warga negara.

Adapun yang kedua, berasal dari tulisan tentang tradisi berdemikrasi dalam sejarah Nusantara. Buku ini sangat tepat untuk dijadikan buku pegangan Mahasiswa yang sedang menempuh perkuliahan pendidikan kewarganegaraan dihubungkan dengan kajian al-Qur'an. Karena apa yang ditulis oleh Hasyim Muhammad ini, selalu didasarkan atas kajian al-Qur'an bahkan juga dibumbui dengan uraian hadis Nabi.



[1] Gambaran tentang hal tersebut semakin menguat ketika mereka melihat fenomena politik yang berkembang, seperti di Afganistan atau Aljazair. Sehingga kesimpulan Max Stackhouse yang mengklaim Islam sebagai tradisi agama yang tidak sesuai dengan konsep-konsep masyarakat yang demokratis semakin mendapat legitimasi.

[2] Hasyim Muhammad, Tafsir Tematis; Al-Qur'an & Masyarakat, Membangun Demokrasi dalam Peradaban Nusantara, (Yogyakarta; Teras, 2007).

[3] Hasyim Muhammad, Ibid, 64

[4] Hasyim Muhammad, Ibid, 110-112.

[5] Hasyim Muhammad, Ibid, 136-139.

[6] Hasyim Muhammad, Ibid, 139-158.

[7] Hasyim Muhammad, Ibid, 155.

[8] Hasyim Muhammad, Ibid, 140..

[9] Hasyim Muhammad, Ibid., 136-164.

[10] Hasyim Muhammad, Ibid,.

[11] Hasyim Muhammad, Ibid, 63-83.
Memahami Etika al-Qur’an dalam Menyikapi Perbedaan

Memahami Etika al-Qur’an dalam Menyikapi Perbedaan

Admin Thursday, December 16, 2010 Add Comment
Book Review
Memahami Etika al-Qur’an dalam Menyikapi Perbedaan
M. Su’ud*





Judul Buku : Islam dan Pluralisme
Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan.
Penulis : Jalaluddin Rakhmat.
Penyunting : As’adi Abdul Ghani.
Volume : 292 halaman.
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta. Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2006.


Tak terbantahkan, Sosok Jalaluddin Rakhmat (selanjutnya ditulis kang Jalal) sampai detik ini masih saja menjadi “Primadona” bagi kalangan sarjana Indonesia khususnya dalam soal wacana pluralisme bergama. Mengapa demikian, karena sang “Pluralis” ini selalu saja hadir dalam tampilan ide-ide cemerlang tekait dengan persoalan kerukunan beragama. Konsep kerukunan beragama ini ia temukan setelah melalui perjalanan hidup yang panjang serta pergulatan intelektual dan religiusnya dalam membangun jembatan ukhwah antar madzhab maupun antar agama.
Berbicara tentang agama sepatutnya kita harus tahu bahwa sesungguhnya agama merupakan sebuah sistem nilai yang dapat mempengaruhi prilaku seseorang, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun politik. Sehingga penggunaan agama sebagai sistem nilai bagi sikap dan tindakan ini dapat mengarah ada peneguhan integrasi masyarakat jika masyarakat beragama homogen dan dipahami secara homgen pula. Namun yang menjadi masalah adalah jika agama dipahami dan diposisikan di luar proporsi normal. Misalnya, agama dijadikan kategori pembelahan sosial oleh pemeluknya atas pemeluk agama lain. Akibat lebih lanjut dari sikap ekslusif dan primordial ini tentunya adakan membuka peluang terjadinya keregangan bahkan konflik dengan pemeluk agama lain
Dalam menyikapi perbedaan di atas kang Jalal lalu berfikir bahwa sebenarnya ada hal yang dapat mempersatukan kita semua, dan hidup berdampingan dengan aman dan sentosa, yaitu akhlak. Oleh karena itu buku dengan judul; Islam dan Pluralisme, Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan adalah merupakan sebuah buku yang mencoba untuk memahami hakikat dari sebuah perbedaan, baik antara madzhab maupun agama, serta bagaimana cara menyikapi perbedaan tesebut sesuai dengan ajaran al-Qur’an.
Menurut kang Jalal pada bagian satu; Beriman di Tengah Pluralitas Kebenaran Tuhan menciptakan berbagai agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua: seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. dan seberapa besar manfaat yang kita sumbangkan untuk kehidupan ini. Namun yang harus kita sadari sesungguhnya meyakini tentang pluralitas beragama bukanlah dimaksudkan sebagai penghapusan kepribadian Islami, melainkan menunjung tinggi prinsip kesejajaran, toleransi dan saling melengkapi.
Adanya hubungan yang diciptakan oleh semangat pluralisme atas dasar toleransi merupakan anugerah dan kesempurnaan, karena semua agama mengajak kepada nilai-nilaicinta, kebaikan, dan keadila. Setiap agama dengan berbagai kelebihannya, berlomba untuk berperan dalam membangun sebuah peradaban, “Untuk kalian agama kalian untukku agamaku.”.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh agar penganut agama-agama tersebut dapat hidup berdampingan secara damai, adalah dengan cara “mengunjungi kembali” pemikiran Islam kita agar dalam menyikapi agama lain kita bisa lebih terbuka. Karena sesungguhnya dalam al-Qur’an terdapat-dali-dalil tentang adanya pluralisme, seperti pada surat al-Baqarah: 62, yang diulang dengan redaksi yang agak berbeda pada al-Ma’idah: 69 dan al-Hajj: 17. ayat-ayat di atas sangan jelas sekali mendukung adanya pluralisme, dimana ayat-ayat tersebut tidak menjelaskan semua kelompok agama benar, atau semua kelompok agama sama. Akan tetapi ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa semua golongan agama-agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh.
Dalam hal ini kang jalal tidak sependapat dengan para mufassir eksklusif yang menyatakan bahwa ayat-ayat pluralitas diatas telah di-naskh keberadaannya oleh surat Al-Imran: 85 “Barang siapa mencari agama selain Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” Melainkan kang jalal lebih sepakat dengan Fadhlullah yang menyatakan bahwa al-Baqarah: 62 dimaksudkan untuk menegaskan unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syarat untuk memperoleh pahala Allah. Hal ini karena konsep”Islam” dalam surat al-Imran: 85 berarti “kepasrahan total.” yang bersifat umum meliputi semua risalah langit, bukan Islam dalam arti istilah, bukanpula Islam dalam arti agama Islam yang dibawa nabi Muhammad saw.
Menurut Kang Jalal, apakah apakah orang yang beragama selain Islam, seperti Kristen, Hindu, Buddha akan diterima di sisi Allah? Jawabannya tergantung kepada idiologi yang kita anut. Apabila kita menganut ajaran al-Mutasyaddidun (ekstrim), maka kita akan mengatakan bahwa agama Islam saja yang akan diterima oleh Allah. Akan tetapi sebaliknya, apabila kita memposisikan diri kita sebagai al-Mustanirun, maka kita tidak akan mengatakan hanya Islam agama yang akan diterima oleh Allah, karena pada hakikatnya agama adalah jalan menuju Tuhan, dan jalan menuju Tuhan sebanyak nafas manusia. lalu mengapa kita harus menyempitkan kasih Tuhan, yang meliputi langit dan bumi.
Menurut beliau jika kita memposisikan pada kelompok kedua ini, maka kita akan menyerahkan segala urusan rahmat dan kasih sayang hanya kepada-Nya,oleh karena itu semua agama; Islam, Hindu, Buddha, Nasrani, dan Yahudi kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan diantara berbagai agama. Kita tidak boleh menghakimi mereka kufur serta mengambil alih kekuasaan Tuhan dengan mengatakan bahwa selain agama Islam tidak akan diterima.
Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Gamal al-Banna dalam bukunya Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, ia mengatakan bahwa akhlaq al-Qur’an dalam menyikapi adanya pluralisme sangatlah jelas. Dalam berbagai ayat al-Qur’an berulang kali telah dinyatakan bahwa Allah memang menghendaki adanya pluralitas agama dengan berbagai perbedaan yang lahir dari hukum-hukum sosial yang Allah tetapkan bagi masyarakat. Ketika perbedaan itu memang bagian dari takdir Allah, maka hanya Dia yang berhak menentukan perselisihan yang terjadi di antara mereka pada hari kiamat, oleh karena itu setiap kelompok tidak dibenarkan merasa paling unggul dan menganggap kelompok lain tidak berarti. Juga tidak dibenarkan ada klaim bahwa surga hanya milik golongan tertentu, tidak untuk golongan yang lain. Ini bukan wewenang manusia karena sesunggunya hal itu adalah merupakan wewenang Allah semata.
Sudah menjadi fitrah manusia dimana kesepakatan dan perbedaan pasti ada dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat Islam. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh kang Jalal setelah panjang lebar menerangkan pluralisme agama secara “umum”. Dalam bab ini ia menerangkan adanya skisme (Perpecahan) dalam Islam yang berkisar pada dua aspek yang pertama aspek politik dan yang kedua adalah aspek intelektual.
Di dalam aspek politik sudah seringkali terjadi perpecahan besar dalam sejarah Islam, seperti pemberontakan ‘Aisyah terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, pertentangan Mu’awiyah dengan Ali bin Abi Thalib setelah perjanjian Shiffin, perlawanan Husain bin Ali terhadap Yazid dan sebagainya. Dari beberapa skisme yang terjadi, yang masih berpengaruh sampai sekarang adalah skisme-skisme yang melahirkan polarisasi Sunni-Syi’ah. Hal ini menurut kang Jalal disebabkan beberapa faktor:
1. Adanya perbedaan dalam konsep Khalifah, dimana ahlussunnah menetapkan pemimpin melalui salah satu diantara empat cara. Yaitu, sisitim syura yang terbatas, sistim istikhlaf (penunjukan pengganti), system syura dari dewan formatur yang ditunjuk khalifah sebelumnya, dan sistim ghalabah (penaklukan dengan kekuatan militer). Sedangkan konsep Syi’ah tentang kepemimpinan haruslah melalui keterangan agama (nash) dan penunjukan (ta’yin).
2. Faktor sosioantropologis, dimana bangsa Arab adalah bangsa yang terorganisasi atas dasar kesukuan, begitu juga bangsa Arab yang membentuk umat Islam pertama terdiri atas dua subkultural: subkultural Arab Selatan dan cultural Arab Tengah-Utara.
3. Perbedaan doktrinal yang terjadi setelah rasulullah wafat, sehingga memisahkan umat terbagi menjadi dua kelompok besar: pertama, aliran yang sepenuhnya berhukum dan berserah kepada nas-nas agama dalam seluruh aspek kehidupan. Kedua, aliran yang meyakini diperbolehkannya melakukan ijtihad dalam hal-hal tertentu.
Kedua adalah perpecahan dibidang intelektual, skisme ini terjadi pada bidang ilmu kalam dan fiqh. Dalam bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash yang berkenaan dengan qada’ dan qadar sehingga melahirkan beragam aliran seperti, Jabariyah dan Qadariyah. Sedangkan mengenai ilmu fiqh umat Islam dihadapkan dengan perbedaan seputar ushul Fiqh yang memunculkan beberapa madzhab dalam Islam, seperti Syafi’I, Maliki, Hanbali, dan Hanafi.
Dalam menyikapi perbedaan ini kang jalal memberikan solusi menarik dengan melakukan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Boleh sepakat dengan permasalahan yang bersifat Qath’I dan siap menerima berbeda pada masalah Dzanni.
2. Berpikir dengan prinsip Tarjih, beramal dengan prinsip silaturahim
3. Pelaksanaan ijtihad merupakan tanggung jawab ulama, sedangkan orang awam berkiblat pada mereka.
Akhirnya, secara umum untuk menyikapi adanya perbedaan yang terjadi dalam tubuh Islam, maka kaum muslim haruslah mempunyai kesadaran beragama yang “cerdas” yakni, menampilkan kembali kedewasaan dalam sikap keberagamaan kita, dan dalam memandang keberagamaan orang lain (dalam pengertian yang seluas-luasnya).
Setelah kita menyimak pembahasan kang jalal pada bagian kesatu tentang “Beriman di Tengah Pluralitas Kebenaran” maka pada bagian dua dari buku ini membahas tentang Autentitas Iman itu sendiri. Menurut kang Jalal banyak cara untuk mencari autentitas iman, akan tetapi secara garis besar sudah dijelaskan dalam buku ini, diantaranya adalah dengan cara:


1. Mengenal Allah Sang Pencipta Manusia.
Cara yang ditempuh untuk mengenal Allah dalam buku ini dapat dilakukan melalui dua cara; melulu berfikir dan mujahadah. Dari masing-masing metode ini tentunya mempunyai implikasi yang berbeda dalam upaya memahami hakikat sejati Tuhan sang pencipta. Hal ini dapat kita ketahui bahwa dalam upaya mengetahui hakkat dari Tuhan janganlah hanya menggunakan intelektualitas belaka, melainkan harus disertai pula dengan mujahadah dan amal, karena dengan menemukan hakikat Tuhan melalui intelektualitas manusia tidak akan mampu mencerap Tuhan yang tidak terbatas, Tuhan para pemikir hanyalah Tuhan yang didefinisikan. Sedangkan apabila kita mencoba mengetahui hakikat Tuhan melalui pengabdian, mujahadah, serta pengamalan nilai-nilai Islam, maka kita akan dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan. Karena pengetahuan yang diperoleh melalui hati adalah pengetahuan yang sejati, pengetahuan ini tidak didasarkan pada pendefinisian Tuhan, melainkan pada penyaksian Tuhan.
2. Mengenal Hakikat Diri Kita Sebagai Manusia.
Banyak pemikir yang mencurahkan perhatiannya dalam membahas tentang hakikat manusia, seperti Dirk Bakker, Rahman, Izutsu dan lain-lain yang mengulas manusia dari segi penciptaannya, hubungannya dengan dunia, sesame manusia, Tuhan, dan fungsi manusia sebagai hamba Tuhan. Sebenarnya di dalam al-Qur’an juga sudah di jelaskan tentanag konsep-konsep dasar manusia dalam beberapa ayat. Dalam hal ini kang Jalal mencoba masuk untuk menjelaskannya dengan mengacu kepada konsep-konsep yang ada di dalam al-Qur’an melalui dua cara:
Pertama, melalui kata kunci tentang manusia yang ada dalam al-Qur’an. Yaitu, dalam al-Qur’an, ada tiga istilah sebagai kata kunci yang mengacu kepada makna pokok manusia (Basyar, Insan,An-Nas).
• Kata Basyar yang diulang sebanyak 27 kali dalam al-Qur’an memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis. Karena di dalam al-Qur’an secara singkat kata Basyar selalu saja dihubungkan denga sifat-sifat biologis. Sedangkan kata Insan
• Kata Insan disebut sebanyak 65 kali dalam al-Qur’an, yang bisa dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, insane dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai kholifah. Kedua, dihubungkan dengan predisposisi negative dari manusia. ketiga, dihubungkan dengan proses penciptaan manusia
• Kata Nas disebut sebanyak 240 kali, kata ini memberikan pengertian bahwa sesunggunya manusia adalah merupakan makhluk sosial.

Kedua,Implikasi dari kata kunci yang mengacu kepada makna pokok manusia.
Dari uraian di atas tampak al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Hal ini dapat diketahui bahwa manusia sebagai Basyar berkaitan erat dengan unsure material sehingga disimpulkan bahwa manusia adalah sebagai makhluk biologis. Sedangkan manusia sebagai Insan dan an-Nas bertalian erat dengan hembusan Ilahi, kepadanya dikenakan aturan-aturan, akan tetapi manusia juga diberikan kebebasan untuk memilih.
3. Arti Kejatuhan Manusia ke Bumi.
Pada pembahasan ini kang Jalal memberikan penjelasan secara panjang lebar tentang arti kejatuhan manusia ke bumi, dia memaparkan berbagai pendapat ilmuwan barat tentang ragam Alienasi dan Dehumanisasi yang terjadi pada manusia. mereka berpendapat bahwa sesungguhnya turunnya manusia kebumi oleh mereka dimaknai dengan “Alienasi,” yang artinya adalah makna yang diberikan kepada manusia yang sesungguhnya dicampakkan ke bumi oleh Tuhan. Mereka bukan hanya terasing dari Tuhan, melainkan juga terasing dari alam, dunia, dan diri mereka sendir. Mereka terlempar ke dunia tanpa mengetahui ke mana mereka harus pergi. konsep kejatuhan manusia ini bertentangan sekali dengan apa yang telah di jelaskan dalam al-Qur’an, bahwa kisah kejatuhan manusia di bumi tidak dimaknai sebagai “kejatuhan” melainkan sebagai proses“hubuth” (turun, dating masuk, pindah) atas seizing Tuhan.
Menurut pemikir barat, manusia pada era modern tidaklah mempunyai perikemanusiaan yang mereka sebut dengan “Dehumanisasi”. Menurut mereka walaupun manusia pada masa ini sudah mencapai puncak gemerlap tekhnologi yang sempurna namun tetap saja manusia adalah sumber bencana. Mereka menganggap manusia sebagai robot, yaitu makhluk kejam, yang mudah melakukan agresi tanpa perikemanusiaan. Setelah menjadi robot, manusia modern diibaratkan sebagai zombie, yaitu bangkai hidup yang gentayangan di jalan-jalan mencari mangsa. Hal ini terjadi karena menurut kang Jalal dalam dunia moderen manusia kehilangan kemampuan melihat arah (sense of direction) karena petualangan manusia pada masa ini hanya bersifat fisikal dan bukan spiritual yang mengakibatkan manusia jauh dari Tuhan sehingga mereka kehilangan arah dan tujuan diciptakannya. Dalam uraian ini kang Jalal memberikan solusi yang terbaik akan krisis moral yang sedang melanda peradaban manusia zaman ini dengan menggunakan teori safar Ibnu ‘Arabi.
4. Berperang Membela Tuhan.
Dalam kesempatan ini kang Jalal menjelaskan konsep kaum fundamentalis tentang cara menegakkan agama Tuhan. Mereka meyakini bahwa jihad menggunakan kekerasan adalah satu-satunya jalan untuk membela agama Tuhan. Lebih lanjut kang Jalal menjelaskan beberapa karakteristik psikologi Fundamentalis yang ditegakkan pada empat asumsi: (1) kebenaran mutlak agama; (2) pertarungan antara kebenaran mutlak ini dengan kekuatan jahat; (3) dasar-dasar agama yang tidak berubah sepanjang masa; (4) hubungan istimewa antara sekelompok “elit” umat manusia dengan Tuhan. Sehingga kaum Fundamentalis ketika dihadapkan kepada orientasi keagamaan, maka mereka akan mengubah mitos agama menjadi logos, baik dengan menyatakan ajaran agama mereka secara ilmiah adalah yang paling benar. Atau dengan mengubah mitologi mereka yang rumit menjadi satu idiologi yang efisien.
Pengalaman di atas menyebabkan orang-orang kristiani yang fundamentalis menyatakan bahwa ajaran Kristen adalah faktual dan dapat dibuktikan secara ilmiah, fundamentalis protestan amerika telah menciptakan karikatur agama dan sains, orang yahudi dan muslim telah menjelaskan agama mereka dengan cara sistematis dan rasional. Akibatnya keyakinan seperti ini akan mengabaikan ajaran agama yang lebih toleran, konfrehensif, kasih sayang, sambil memperkuat rasa kebencian, kemarahan dan dendam mepada siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. Lalu apakan cara seperti inikah yang dikehendaki Tuhan untuk menegakkan agamanya?
5. mempelajari masa depan Tuhan
pada pembahasan ini kang Jalal mengemukakan pernyataan Nietzsche yang mengatakan bahwa Tuhan sudah mati, menurut kang Jalal sebenarnya Nietzshe ini bisa disebut sebagai “ateis” akan tetapi bukan ateis yang mengingkari keberadaan Tuhan, melaikan ateis yang melihat Tuhan sebagi musuh kebebasan dan penentu moralitas. Sehingga dengan membunuh Tuhan kebebasan manusia untuk memperoleh nilai, memilih baik dan buruk bisa tercapai. Lebih lanjut kang Jalal menerangkan bahwa aliran ini telah mempengaruhi jalan pemikiran masyarakat modern pada masa kini, seperti aliran matrealistis yang mempunyai keyakinan bahwa di alam semesta ini tidak ada stupun perilaku yang tidak dapat dijelaskan dengan hukum-hukum fisika; bahwa tidak ada yang disebut Tuhan atau roh atau wujud metafisik.
Kemudian aliran Matrealisme yang pada mulanya bertopeng pada saintisme, lalu kemudian bergabung engan aliran empirisisme dan akhirnya melahirkan positivisme logis. Ini adalah bentuk lain dari matrealisme yang mempunyai banyak pendukung karena disupport oleh pemerintahan.Semuanya ini oleh kang Jalal dijelaskan dalam bukunya secara ringkas dan cermat, dan kemudian ia juga memberikan kritikan atas aliran matrealisme dan positifisme logis tersebut dengan penemuan ilmiah terkini yaitu teori “Kuantum”. Lalu apakah sebenarnya agama yang merupakan bayang-bayang dari eksistensi Tuhan telah benar-benar membunuh kreativitas manusia, dan membatasi kebebasan manusia dalam berkreasi? Bukankah kita tahu bahwa agama yang benar adalah agama yang membebaskan?
Setelah panjang lebar kang Jalal memnjelaskan tentang Keimanan di Tengah Pluralisme , yang dilanjutkan pembahasan tentang mencari autentisai Iman, pada bab ini ia mencoba untuk merealisasikan teori-teori yang sudah dijelaskan pada bab-bab tedahulu dengan cara menentang kemungkaran sosial.
Menyoal negara islam pertautan anatara din dan daulah, begitu Jalaludin menuliskannya pada bab ini, menurut beliau ketika membicarakan negara Islam, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari istilah khalifah yang menjadi simbol pemimpin negara dengan berdasarkan islam. Adalah Sayyid Rasyid Ridha yang menghubungkan khalifah ini dengan konsep negara islam. Ia melihat sistem khalifah yang dijalankan oleh empat khalifah yang pertama sebagai contoh ideal pemerintahan Islam. Namun menurt jalaludin, konsep kekhalifahan yang dijalan kan pada masa empat khalifah trsebut, tidak bisa dijadikan pedoman dalam menetapkan konsep khalifah jika akan digunakan sebagai pemimpin untuk negara islam saat ini, dikarenakan banyak perbedaan waktu, situasi dan kondisi umat masa sekarang dengan masa para sahabat. Sehingga ketika mengatakan bahwa syariat Islam tidak pernah berubah, memerlukan pemikiran ulang.
Menurut hemat penulis pada bagian ini sebenarnya kang Jalal ingin menyampaiakan pesan, bahwa tentang kesatuan din dan daulah kang Jalaludin pada prinsinya setuju dengan konsep negara Islam, namun itu tidak menjadi keharusan untuk mendirikan negara Islam.
Pada tahap berikutnya, konsep tentang amar ma’ruf nahi munkar disajikan dengan cerita tentang Abu Dzar yang mengkritisi kepemimpin Utsman, dimana kondisi ekonomi mastarakat sangat kontras dengan keadaan keluarga elit kerajaan. Sementara dipihak penguasa hidup bergelimang kemewahan.
Pada saat yang sama kang Jalal memberikan penjelasan tentang konsep Amar Makruf Nahi Munkar, serta hukum melaksanakannya, apakah termasuk wajib ‘Ain atau Kifayah? Menurut beliau dengan memahami amar makruf nahi mungkar secara benar, maka tidak akan ditemukan adanya kesenjangan hubungan antara masyarakat dengan penguasa ataupun sebaliknya. Dengan kata lain jika masyarakat harus berbuat baik kepada penguasa, penguasa juga dituntut memperlakukan masyarat dengan baik. Begitu pula jika penguasa bisa melarang masyarakatnya untuk tidak berbuat buruk, maka masyarakatpun mempunyai hak untuk mengkritik penguasa jika dia berbuat tidak baik. Maka dengan memegang konsep ini, para penguasa bisa menegakkan sebuah hukum tanpa menuai protes dari rakyatnya.
Selanjutnya kang Jalal menjelaskan, bahwa suatu Negara akan menjadi aman dan sentosa apabila seorang penguasa memenuhi lima hal yang menjadi hak rakyat (1) perlindungan agama; (2) jiwa; (3) harta; (4) keluarga; (5) kebebasan berpendapat.
Dalam hal ini, Jalaludin mencontohkan sebuah kisah tentang Umar dan seorang tua dengan minuman dan perempuan. Peristiwa ini sangat terkenal di kalangan umat Islam karena seorang yang tua berani menegur Umar yang dianggap telah melanggar tiga hak rakyat: kebebasan, kehormatan, dan hak milik. Begitulah gambaran Islam pada abad pertama, dimana rakyat dan penguasa menyadari betul hak-hak mereka masing-masing.
Dan pesan terakhir yang ingin disampaikan oleh kang Jalal dalam bukunya ini adalah tentang pentingnya transparansi dalam sebuah system pemerintahan karena hal ini erat sekali kaitannya dengan kesejahteran rakyatnya. Karena itulah sifat siddiq menjadi sarat utama seorang pemimpin. sebab menurut kang jalal jika seorang pemimpin memiliki sifat siddiq, maka secara tidak langsung dia akan jujur dalam segala kegiatan menjalankan tugas.