[Studi atas pemikiran Amina Wadud]
Oleh; M. Su’ud, Lc.
A. Pendahuluan
Tafsir feminis merupakan corak penafsiran al-Qur'an yang mengangkat pemahaman terhadap al-Qur'an secara tekstual berikut konteksnya, sehingga diperoleh pemahaman baru yang dapat dipakai untuk menjelaskan bagaimana relasi sosial antara laki-laki dan perempuan atau persoalan lain sesuai dengan tema utama tersebut secara aktual.
Ketidakpuasan sebagian ahli tafsir terhadap penafsiran konvensional tentang tema yang berhubungan dengan persoalan perempuan dianggap kurang berhasil menjadikan al-Qur'an sebagai qanun asasi ( hukum dasar), telah melatarbelakangi munculnya penafsiran baru bercorak feminis. Salah satu tokoh penting dalam tafsir ini adalah Amina Wadud. Dengan mengusung tema-tema jender dan kesetaraan perempuan dan laki-laki yang berbasis pada al-Qur'an, Amina mencoba melakukan rekonstruksi metodologis tentang bagaimana menafsirkan al-Qur'an agar menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan. Secara kritis ia berusaha mengaplikasikan metodologi yang dibangunnya tersebut, dimana asumsi dasar yang dijadikan kerangka pemikirannya adalah bahwa al-Qur'an merupakan sumber tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki dan wanita setara.
B. Potret biografi singkat
Amina Wadud dilahirkan pada tgl 25 september 1952 di Bethesda, Maryland. ia berasal dari keluarga penganut Kristen yang taat, bahkan ayahnya adalah seorang pendeta. Namun kemudian ia masuk Islam di tahun 1970-an, karena di dalam Islam, ia merasakan adanya pembebasan dan kedamaian. Ia adalah seorang nigger (keturunan Afrika). Di Amerika, di mana ia tinggal, seorang perempuan seperti Amina Wadud mengalami beban sejarah penindasan selama lebih dari dua abad, karenanya pembebasan adalah sesuatu yang terpenting baginya.
Amina Wadud adalah salah seorang intelektual Muslim yang paling berpengaruh di Amerika yang telah banyak membicarakan isu-isu perempuan terutama dalam konteks keislaman, melalui berbagai media di Amerika. Perjalanan karir pendidikan maupun pekerjaannya, sebelum menjadi professor di Virginia Commonwealth University, sangat panjang. Amina memperoleh gelar sarjananya (B.S) pada tahun 1975 di University of Pennslyvania pada bidang pendidikan. Kemudian ia melanjutkan studi pascasarjananya ke University of Michigan. Ia memperoleh gelar Master (MA.) di bidang kajian Timur Dekat (Near Eastern Studies). Dari universitas ini pula ia memperoleh gelar Doktor (Ph.D.) pada bulan Agustus 1988 di bidang kajian-kajian keislaman dan bahasa Arab (Islamic Studies and Arabic).
Sebagai seorang intelektual perempuan ia tidak hanya mahir dalam berbahasa Inggris, namun, ia juga menguasai beberapa bahasa lain seperti Arab, Turki, Spanyol, Prancis dan German. Maka tidak mengherankan bila ia sering mendapatkan kehormatan menjadi dosen tamu pada universitas di beberapa negara. Antara lain :
• Universitas Commonwealth, Virginia: Asisten Profesor di Lembaga Studi Filsafat & Agama, tahun 1992 - 1997, 1998 dan menjadi Profesor penuh pada tahun 1999.
• Fakultas Ketuhanan Harvard Cambridge, sebagai dosen Magister Studi Wanita di Lembaga Penelitian Program Agama & menjadi Dosen Terbang, 1997-1998.
• Universitas Islam Internasional; Asisten Profesor di Lembaga Pengetahuan & Peninggalan Islam Wahyu, 1989-1992.
• Universitas di Michigan; Asisten Riset Pengembangan Bahan-Bahan Pengajaran Bahasa Arab, 1984-1986.
• Institut Pengajaran Bahasa Inggris; Kairo Mesir Instruktur/pengajar Inggris, Transkriber Program Pendidikan untuk Orang Dewasa di musim panas 1982.
• Sekolah Pusat Komunitas Islam: Philadelphia PA. Guru kelas 5-6. Pengembangan Kurikulum Pelajaran Agama Islam kelas 4-7, 1979-1980.
• Universitas di Qar Younis; Kampus Pendidikan El-Beida Libya : Dosen di Fakultas Inggris pada tahun 1976-1977
C. Pengertian Feminis
Secara sederhana, feminisme adalah setiap usaha yang ditempuh untuk mewujudkan kesetaraan jender dan menolak ketidakadilan terhadap perempuan . Dalam hukum internasional tentang perempuan, dijelaskan bahwa ketidakadilan atau deskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berpengaruh atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan. Sedangkan feminis adalah orang yang berusaha memperjuangkan feminisme. Dalam kamus bahasa Inggris feminisme adalah sesuatu yang berhubungan dengan gadis atau wanita. Kata feminine kemudian digabung dengan kata ism (aliran) sehingga menjadi feminism, yang berarti keadaan keperempuanan, atau dapat pula berarti paham keperempuanan.
Seiring dengan perkembangan sejarah dan dinamika sosial, munculah perbedaan pandangan antar feminis terhadap apa itu feminisme, perbedaan itu terutama muncul ketika dihadapkan dengan persoalan bagaiman hubungan gender itu akan dibangun? Bagaiman mereka mentransformasikan nilai-nilai kesetaraan? Dan bagaimana mewujudkan kebebasan perempuan?
Pemikiran Amina Wadud tentang Penafsiran al-Qur'an mengenai wanita
a. Kategori penafsiran
Dalam bukunya, Qur’an and Woman, Amina Wadud menyatakan bahwa tidak ada satupun metode pafsiran al-Qur'an yang sepenuhnya objektif. Artinya, setiap penafsiran memiliki nilai subjektivitas yang merupakan refleksi dari pilihan-pilihan subjektif sang mufassir. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa berbagai rincian penafsiran kadangkala mencerminkan pilihan subyektif seorang mufassir, tanpa mementingkan ayat yang hendak ditafsirkan.
Oleh karena itu ia kemudian membuat klasifikasi penafsiran terhadap perempuan menjadi tiga kategori penafsiran, yaitu tradisional, reaktif dan holistik. Ketiga kategori penafsiran tersebut merupakan kontribusi dari pemikiran Amina dalam merefleksikan ‘pembacaan’nya terhadap kategori penafsiran yang telah dipakai oleh penafsir Muslim.
Berikut penjelasan dari tiga kategori penafsiran menurut amina wadud:
1. Tradisional
Model tafsir ini memberikan interpretasi keseluruhan al-Qur'an dengan pokok bahasan tertentu sesuai dengan kemampuan mufassir. Diantaranya adalah kajian terhadap hukum, tasawuf, nahwu-saraf, balaghah, maupun sejarah. Maka tafsir seperti ini bersifat atomistik. Artinya penafsiran ini dilakukan atas ayat perayat dan tidak tematik sehingga pembahasannya terkesan parsial dan tidak ada upaya untuk mengenali tema-tema dan membahas hubungan al-Qur'an dengan dirinya sendiri, secara tematis.
Fakta membuktikan bahwa kewenangan dalam menafsirkan teks suci pada tataran praktis secara eksklusif dikuasai oleh kaum laki-laki tanpa adanya campur tangan perempuan, sehingga berbagai bentuk kesalahan atau suara minor tentang perempuan sering kali dijumpai dalam kategori penafsiran tersebut.. Kenyataan ini ikut meng-infiltrasi sejumlah teks yang sedianya di peruntukkan untuk feminitas wanita dengan susupan-susupan subjektif dari pandangan maskulin si penafsir.
“……the creation of the basic paradigms through which we examine and discuss the Qur’an and Qur’anic interpretation were generated without the participation and firsthand rpresentation of women”
Lebih lanjut Wadud menyatakan, bahwa pengalaman laki-laki akhirnya dipaksakan untuk memahami kewanitaan. model tafsir tradisional ini menurut Amina Wadud dianggap tidak mampu merefleksikan pandangan dan ide-ide dari al-Qur'an karena selain penafsiran tersebut tidak dilakukan secara tematik. Terlebih lagi, kategori penafsiran tradisional sangat didominasi oleh mufassir laki-laki, sehingga seperangkat visi, persepsi maupun pengalaman dari sang mufassir sangat mempengaruhi kategori penafsiran ini.
“………What concern me most about ‘traditional’ tafsir is that they were exclusively written by males. This mean that men and men’s experiences were included and women and women’s experiences were either excluded or interpreted through the male visions, perspective, desire, or needs of woman. “
Dalam kaitannya dengan tafsir tradisionalis, penulis kurang setuju dengan pandangan Wadud yang terkesan memberi sambutan kurang menyenangkan yang selalu dianggap sebagai biang kemunduran agama Islam karena dianggap tidak mampu merefleksikan pandangan dan ide-ide dari al-Qur’an. Penulis yakin bahwa karya-karya tafsir tradisional ini sangat membantu perkembangan tafsir priode selanjutnya. Hal ini dikarenakan tafsir sama sekali haruslah dibedakan dari agama. Karena agama adalah bersifat mutlak dan berada di tataran abstrak, sementara tafsir bersifat relatif sesuai dengan realitas penafsir dan konteks zamannya. Oleh karena itu bagaimanapun wujud dari tafsir yang sudah diakui oleh dunia Islam sebagai khazanah keilmuan sudah semestinya sebagai sumbangan berharga bagi kelangsungan disiplin ilmu selanjutnya.
2. Reaktif
Kategori Tafsir kedua ini, adalah sebagai reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami wanita -baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat- yang dianggap berasal dari al-Qur'an. Gagasan yang muncul dalam tipe tafsir reaktif ini kebanyakan atas dasar pemikiran kaum feminis yang meyakini bahwa pandangan atau pesan-pesan al-Qur'an tentang kesetaraan jender belum sepenuhnya terlaksana. Namun terkadang analisis yang dipakai tidak komprehensif dan sering menyebabkan sikap egoisme wanita yang tidak sesuai dengan sikap al-Qur'an. Namun, kelemahan model tafsir reaktif ini bisa ditekan apabila konsep pembebasan dan kesetaraan jender tersebut sesuai dengan ideologi dan teologi Islam.
“the objectives sough and methods used, often come from feminist ideals and rationalis. Although they are often concerned with valid issues, the absence of a comprehensive analysis of the Qur’an sometimes causes them to vindicate the position of women on grounds entirely incongruous with the Qur’anic position on women. This shortcoming must be overcome in order to make use of a most effective tool for the liberation of Muslimwomen: demonstrating the tink between that liberation and this primary source of Islamic ideology and theology.”
3. Holistik
Kategori penafsiran holistik ini, menurut Amina Wadud relatif baru dimana metode ini adalah bentuk penafsiran komperehensif yang mempertimbangkan seluruh metode penafsiran dengan mengaitkannya kepada berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, politik yang tercakup di dalamnya isu-isu tentang perempuan.
b. Metode hermeneutika sebagai model penafsiran
Untuk dapat mengetahui pesan inti yang dikandung oleh al-Qur'an dan mampu diterapkan di berbagai tempat dan waktu secara aplikatif, seorang mufassir harus menggunakan hermeneutika sebagai alat bantu menafsirkan al-Qur'an. Dalam pengoprasiannya, untuk memperoleh intisari dari makna yang dikandung oleh kitab suci, maka teori hermeneutika ini harus selalu memperhatikan beberapa aspek. 1) pada konteks ayat, 2) pada konteks pembahasan topik-topik yang sama dalam al-Qur'an, 3) pada keterangan struktur sintaksis dan bahasa yang sama yang digunakan seluruh bagian al-Qur'an, 4) pada keterangan yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip al-Qur'an, dan 5) dalam konteks al-Qur'an sebagai Weltanschauung atau pandangan hidup dunia. Model penafsiran hermeneutika menurut Amina Wadud dapat diperjelas sebagai berikut:
Perspektif Amina Wadud Perspektif Umum
1 Konteks dari teks
Konteks di mana teks ditulis
2 Konteks ayat pada pembahasan yang sama
3 Sudut pandang kesamaan bahasa dan struktur yang sama yang digunakan di tempat lain dalam al-Qur'an.
Komposisi gramatikal dari teks
4 Dari sudut prinsip-prinsip al-Qur'an yang menolaknya
5 Konteks weltanchauung al-Qur'an atau pandangan dunia Keseluruhan teks termasuk weltanschauung (pandangan dunianya)
Berdasarkan teori hermeneutika tersebut, Amina Wadud menyerang para mufassir konvensional ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an hanya memperhatikan aspek gramatikal saja. Menurutnya pola tafsir semacam ini akan menyebabkan kejumudan untuk bisa menghadirkan esensi al-Qur'an yang seharusnya aplikatif tanpa harus terikat oleh ruang dan waktu. Pola tafsir konvensional belum bisa menghadirkan secara utuh kandungan al-Qur'an yang sebenarnya, karena masih banyak ruang yang belum terjamah oleh metode tersebut.
Amina mengakui, bahwa pembacaannya terhadap al-Qur'an dipengaruhi teori penafsiran Fazlur Rahman yang dikenal dengan istilah double movement. Rahman menyatakan bahwa al-Qur'an diturunkan dengan spesifikasi waktu yang terlintas dalam sejarah dengan keadaannya yang general maupun particular. Akan tetapi pembacaan terhadap al-Qur'an tidak mungkin dibatasi oleh ruang dan waktu diturunkannya, karena al-Qur'an memiliki sifat yang universal. Sehingga pembacanya harus mampu memahami implikasi dari setiap ekspresi al-Qur'an untuk dapat menentukan penafsiran secara tepat.
Menurut Amina, salah satu permasalahan yang harus diperhatikan dalam upaya melakukan ‘pembacaan dan penafsiran terhadap al-Qur'an adalah bahasa dan prior text dari sang pembaca, yakni konteks budaya dimana teks dibaca. Prior text itulah yang nantinya akan dominan mempengaruhi seorang mufassir dalam menghasilkan kesimpulan pembacaannya terhadap al-Qur'an, hal ini yang kemudian menyebabkan adanya individualitas atau relatifitas dalam penafsiran.
"Prior text add considerably to the perspective and conclusion of interpretation. It exposes the individuality of the exegete. This is neither good nor bad in and of itself. However, when one individual reader with particular world-view and specific prior text asserts that his or her reading is the only possible or permissible one, it prevents readers in different contexts to come to terms with their own relationship to the text."
Oleh karenanya, terkait dengan prior text, bahwa setiap penafsiran memiliki nilai individualitas dan subjektivitas yang merupakan refleksi dari pilihan-pilihan subjektif sang mufassir, dapat menjadikan nilai tafsiran si mufassir kurang diterima. Namun sering kali pembaca terjebak dengan refleksi subjektivitas karena memang membedakan antara penafsiran dan teks yang ditafsirkan itu sendiri, sehingga kebenaran penafsiran sering kali dianggap sebagai sesuatu yang koresponden dengan teks, padahal sesungguhnya ada reduksi dalam proses penafsiran tersebut
Wadud menyatakan, untuk mencegah adanya relatifitas penafsiran tersebut, mufassir harus memperhatikan kontiunitas dan ketetapan dalam teks al-Qur'an itu sendiri, yaitu dalam titik pembacaan tertentu. Sehingga untuk menarik objektivitas dalam pembacaan al-Qur'an harus disertai pemahaman prinsip dan konteks sosial teks tersebut untuk kemudian mengimplementasikannya dalam refleksi si pembaca. Oleh karena itu ketika mufassir berinteraksi dengan teks suci, tidak diperkenankan untuk membatasi hanya kepada satu interpretasi, atau memaksakan pamahaman al-Qur'an dari perspektif kebudayaan tunggal saja, karena hal tersebut berarti telah memperkosa teks dengan membatasi ke-universal-an al-Qur'an serta bertentangan dengan tujuan diturunkannya kitab suci itu sendiri.
Dengan demikian, metode tafsir Wadud dengan pendekatan hermenetika serta pendekatan filologi di atas ia gunakan untuk menghadirkan prinsip umum yang menjadi pesan etis dari al-Qur'an untuk bisa diaplikasikan dalam kehidupan ini tanpa terbatas oleh ruang dan waktu.
Dari sini dapat kita ketahui posisi Amina Wadud dalam kancah penafsiran adalah masuk dalam kategori mufassir yang menempati posisi tengah-tengah antara kalangan subyektif dan objektif. Ini terbukti ketika Amina menyatakan bahwa didalam memahami al-Qur’an tidak diperkenankan untuk membatasi hanya kepada satu interpretasi, atau memaksakan pamahaman al-Qur'an dari perspektif kebudayaan tunggal saja, namun mufassir tentunya juga harus memperhatikan kontiunitas dan ketetapan dalam teks al-Qur'an itu sendiri, yaitu dalam titik pembacaan tertentu.
Dengan kata lain, pendapat tersebut senada dengan pernyataan Abid al-Jabiri yang menyatakan bahwa mufassir harus memperhati-kan dua tahap fundamental ketika mencoba untuk membaca dan menafsirkan al-Qur’an secara utuh. Tahapan pertama adalah menemukan ide dasar al-Qur’an atau otentisitas teks itu sendiri. Sedangkan tahap kedua adalah washl al-qari’ ila al-maqru’, yakni mengkontekstualisasikan ide dasar teks dengan realita yang ada dizamannya. Dengan demikian teks tersebut tatap menjadi sesuatu yang aplikatif disetiap zaman tanpa ada batasan ruang dan waktu.
2. Pemikiran Amina Wadud tentang kesetaraan jender
a. Konsep nushuz: gangguan harmoni rumah tangga
Dalam pembahasn kali ini Amina mengutip ayat 34 surat al-Nisa’ yang berbunyi:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nushuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat tersebut seringkali dijadikan legitimasi oleh kaum laki-laki untuk melakukan tindak kekerasan terhadap istri yang dianggap telah nushuz. Di dalam kitab-kitab fiqh atau tafsir klasik, kata nushuz sering dibawa pengertiannya pada istri yang tidak taat kepada suami (disobedience to the husband).Sehingga kata nushuz tersebut seakan-akan hanya ditujukan kepada seorang istri saja.
Dengan demikian, Amina Wadud sama sekali tidak setuju dengan pemaknaan seperti di atas, menurutnya konsep nushuz di dalam Al-Qur’an tidak hanya dirujukkan untuk istri semata, tapi juga untuk suami. Oleh karenanya, nushuz yang diartikan istri yang tidak taat kepada suami (disobedience to the husband) tidak dapat diterima sepenuhnya sesuai dengan penjelasan dalam QS. al-Nisa’ ayat 128 :
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nushuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”
Untuk memaknai nushuz, Amina setuju dengan pemaknaan yang dikemukakan Sayyid Qutb. Sebagaimana yang ia kutip bahwa kata nushuz lebih merujuk kepada pengertian terjadinya ketidakharmonisan dalam suatu perkawinan. Tentu saja pemahaman seperti ini lebih bersifat unirsal dan mempunyai kekuatan makna netral sehingga tidak mengandung unsur bias jender.
”However, since the Qur’an uses nushuz for both the male and the female, it cannot mean ’disobedience to the husband’. Sayyid Qutb explains it as a state of disorder between the married couple.”
Dalam kaitannya dengan harmonisasi dalam rumah tangga, Amina memberikan solusi sesuai dengan pembacaannya terhadap al-Qur’an sebagai berikut: pertama, dalam menyelesaikan permasalahan di dalam rumah tangga tidak perlu dilakukan tindakan kekerasan (violence), namun seyogyanya harus dengan cara-cara diplomatis dan damai. Kedua, dengan jalan kompromi sesuai sengan cara yang diajarkan al-Qur’an, dengan harapan harmonisasi itu akan dapat kembali. Ketiga, Jika tahap ketiga terpaksa harus dilakukan, maka hakikat memukul istri tidak boleh menyebabkan terjadinya kekerasan atau perkelahian antara keduanya, karena tindakan tersebut sama sekali tidak islami. Namun berkaitan dengan tahap ketiga tersebut, Amina Wadud memberikan catatan bahwa penafsiran kata daraba (dalam ayat fadribuhunna) mempunyai banyak makna dan tidak berarti memperingatkan harus dengan memukul. Akan tetapi lebih dari itu kata daraba diantaranya ada yang bermakna membuat atau memberikan petunjuk
وضرب الله مثلا....الأية.
Ada juga yang bermakna a’rada ‘anh wan sarafa (berpalinglah dan meninggalkan untuk pergi). Menurtnya pemahaman semacam ini nampaknya akan lebih dapat menghindarkan kekerasan dalam keluarga, ketika terjadi disharmoni atau percekcokan antar suami istri.
b. Perempuan dan penciptaannya perspektif al-Qur'an.
Dalam Pembahasan tentang asal-usul penciptaan umat manusia, Amina menunjukkan unsur-unsur pokok yang harus dipahami terlebih dahulu, yaitu kata Ayat, min, nafs dan zawj. Analisa terhadap keempat kata tersebut terinspirasi oleh ayat al-Qur'an:
•• • •
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (An-Nisa', 4:1).
•• •
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.( Ar-Rum. 30:21).
1. Kata ayah berarti tanda yang menunjukkan adanya sesuatu di balik tanda tersebut, ibarat rambu-rambu lalulintas, petunjuk tersebut tidak harus menyebabkan mata seorang pengguna jalan terpaku pada tanda tersebut, akan tatapi ia bisa langsung mengarahkannya pada tempat tertentu yang merupakan tujuan perjalannya. Menurutnya ayat atau tanda-tanda yang ada di dalam al-Qur'an ada dua macam, yaitu tanda-tanda kekuasaan Allah yang tersirat dan tersurat. Sedangkan ayat-ayat yang tersurat erat kaitannya dengan masalah penciptaan. Namun keduanya tentu dimaksudkan sebagai petunjuk bagi seluruh umat.
2. Kata min, memiliki dua fungsi arti, Pertama, bermakna dari. Kedua, digunakan untuk menyatakan sesuatu yang mempunyai kesamaan. oleh karena itu dua ayat di atas multi tafsir dengan mengacu kepada arti dari kata min itu sendiri. Sehingga minimnya penjelasan ini menurut Amina menyebabkan mufassir, seperti al- Zamakhshari dan ulama lainnya mengandalkan kisah injil yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari (min) tulang rusuk atau pinggang Adam.
3. Analisa Amina selanjutnya tertuju pada kata nafs, menurutnya istilah nafs yang digunakan dalam kedua ayat tersebut mempunyai arti "diri manusia" secara umum, walaupun menurut tata bahasa Arab kata tersebut merupakan kata feminin (muannass), akan tetapi secara konseptual kata tersebut mengandung makna umum, bukan hanya untuk perempuan akan tetapi juga untuk kelamin laki-laki. Begitu pula mengenai fenomena pasangan (azwaj) menurut Amina juga untuk merujuk kepada laki-laki dan perempuan.
Dari pembacaannya terhadap kedua ayat tersebut, Amina berpendapat bahwa sesungguhnya asal-usul penciptaan manusia Allah tidak pernah merencanakan untuk memulai penciptaannya dalam bentuk laki-laki ataupun perempuan, dan tidak ada ayat-ayat al-Qur'an yang merujuk bahwa asal-usul manusia adalah Adam. Karena penciptaan manusia versi al-Qur'an tidak dinyatakan dalam istilah jenis kelamin. Maka tidak heran ketika ia menuduh penafsiran Zamakhsyari tentang asal-usul penciptaan manusia ia pandang sebagai tafsir yang subyektif melalui pemikirannya yang bersandar pada Bibel. Pendapat ini kemudian dikritik oleh Baidowi bahwa sesungguhnya telah ditemukan hadith sahih secara metodologis yang menjadi dasar para mufassir untuk menafsirkan kata nafs wahidah dengan Adam, dan Zawj dengan Hawa.
c. Perempuan dan persamaan nilai
Berdasarkan semangat yang diajarkan oleh agama Islam, yaitu menjungjung tinggi hak-hak setiap individu sehingga pada setiap lini kehidupan Islam selalu memberlakukan umatnya dengan penuh keadilan, tidak ada pengecualian antara laki-laki dan perempuan, semuanya sama di hadapan Allah. Sedangkan yang membuat mereka berbeda satu sama lain adalah tingkat ketakwaan mereka.
Salah satu bentuk aplikasi dari teori Amina wadud dalam menganalisasebuah teks salah satunya diterapkan untuk memahami ayat-ayat tentang persamaan nilai antara laki-laki dan perempuan kelak di hari kiamat. Ia mengutip ayat al-Qur'an:
•
Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.
Dalam menyikapi ayat tersebut, Amina Wadud mencoba untuk membahas secara mendetail dan mengkaji sintaksis mengenai keadilan ganjaran yang digambarkan oleh ayat di atas, sehingga esensi nilai yang di kandung oleh ayat tersebut bisa tersampaikan.
Dalam analisanya ia menyebutkan bahwa kata man digunakan untuk kalimat Tanya "barang siapa", kata ini digunakan dalam bentuk umum (feminine dan maskulin), namun biasanya dalam analisis kaum androsenterik kata tersebut bisa menjadi feminine ataupun maskulin jika kata tersebut jelas diterapkan pada sesuatu yang bersifat feminine, atau maskulin. Jadi selama kata tersebut tidak ada kecendrungan disandarkan kepada salah satu dari kedua jenis tersebut maka ia mempunyai makna netral. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kata man di atas menunjukkan adanya persamaan nilai terhadap seluruh laki-laki dan perempuan tanpa ada berat sebelah, hal ini nampak jelas dari kata "laki-laki dan perempuan" yang disandarkan kepada kata "man". Sedangkan pilihan kata "aw" dan bukan "wa" menunjukkan konsekuensi yang di tanggung oleh setiap individu atas perbuatan mereka tanpa memandang masalah jender. Kemudian diperkuat lagi oleh kata "mukmin" dalam arti yang umum yang mencakup laki-laki dan perempuan.
Analisa yang terakhir, Amina Wadud mengurai kata "ula'ika" adalah sebuah kalimat akhir yang berfungsi untuk memperkuat pandangan al-Qur'an bahwa yang digambarkan oleh ayat tersebut itu berlaku untuk semua anak adam, tanpa ada bias jender.
Dengan analisanya tersebut Amina Wadud mempunyai kesimpulan akhir, bahwa setiap individu akan diganjar sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan secara adil, tanpa terkecuali. Menurutnya, al-Qur'an memperlakukan manusia sebagai makhluk yang pada hakikatnya memiliki nilai sama, hal ini sejalan dengan tahapan penciptaan manusia. Pertama, dalam penciptaan manusia al-Qur'an menekankan asal-usul tunggal semua manusia (QS. 4:1). Kedua, berkaitan dengan perkembangan di bumi, al-Qur'an menekankan bahwa potensi untuk berubah, tumbuh dan berkembang biak terletak pada usaha setiap individu untuk melakukan perubahan (QS. 13:11). Ketiga, semua aktivitas manusia akan diberi pahala sesuai dengan amal yang dilakukannya (QS. 4:124).
D. Kesimpulan
Munculnya feminisme memang tak lepas dari akar persoalan yang ada di kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih dianggap sebagai makhluk inferior. Gerakan feminisme merupakan respon dari ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas adanya ketidakadilan sosial dan keterpurukan salah satu kelompok dalam masyarakat, yang dalam hal ini adalah perempuan, yang disebabkan oleh adanya sistem patriarkhi yang berkembang dalam masyarakat.
Para pemikir kontemporer Muslim, terutama dari kalangan perempuan, seperti Amina Wadud sebagai salah seorang tokoh dalam bidang ini menyebutkan bahwa tafsir feminis sangat dibutuhkan untuk mereformasi sekaligus mengembangkan pemahaman atas wacana jender. Pemahaman yang dimaksudkan adalah sebagai upaya membangun preseden secara berkelanjutan untuk dikembangkannya sebuah tatanan sosial yang adil.
DAFTAR PUSTAKA
Baidowi, Ahmad, Tafsir Feminis, Bandung: Nuansa, 2005.
Dewi, Subkhani Kusuma, "Amina Wadud dan Pandangannya Tentang Relasi Fungsional Gender", jurnal RELIGI, vol. IV, No.2 Juli 2005.
Echol, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Firdaus, Robitul, "Mengkaji Tafsir Feminis Ala Amina Wadud", http://ppuii.com/
Jabiri, Muhammad ‘Abid al-, Fahm al-Qur'an al-Hakim, al-Tafsir al-Wadih Hasb Tartib al-Nuzul (Beirut: Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiah, 2008), hlm. 10
Jabiri, Muhammad ‘Abid al-, Nahnu wa al-Turats: Qira’at Mu’asyirah fi Turasina al-Falsafi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi: 1993
Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Wadud, Amina, Qur'an and Woman: Rereading The Sacred Text From a Woman's Perspective New York: Oxford University Press, 1999.
---------, http://en.wikipedia.org/wiki/Amina_Wadud.
---------, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/03/28/CTP/
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar