PENAFSIRAN ILMIAH AL-QUR’AN

Admin Friday, December 17, 2010

(Studi Kitab Tafsir Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim)


A.    Pendahuluan
Kajian terhadap al-Qur’an dari berbagai aspek, terutama dari segi penafsirannya akan selalu ditemuakan perkembangan yang sangat signifikan sejak awal diturunkannya hingga sekarang seiring dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia. Oleh karena itu dalam setiap generasi akan kita temui munculnya produk-produk penafsiran al-Qur’an  yang mempunyai corak dan karakteristik yang bebeda seperti tafsir teoritis, ‘ilmi, sufistik, fundamentalis, beserta variannya yang lain. Hal ini dikarenakan selain al-Qur’an bersifat multi interpretable, kondisi sosio-kultural dimana mereka tinggal dan latar belakang disiplin ilmu yang mereka terkuni adalah sebuah realitas yang mempengaruhi penafsiran mereka terhadap al-Qur’an.
Adalah hal yang wajar jika dalam sejarah pemikiran umat Islam muncul berbagai aliran-aliran tafsir yang mewarnai perkembangan penafsiran terhadap teks-teks ilahi, karena ini adalah merupakan konsekuensi logis dari diktum yang diyakini oleh umat Islam bahwa al-Qur’an itu akan selalu relevan menjawab tantangan zaman di setiap masa.
Berangkat dari banyaknya aliran penafsiran terhadap kalam Tuhan diatas,  penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh sebuah aliran penafsiran yang dalam meng-interpretasikan al-qur’an banyak memberikan ulasan yang bernuansa saintifik (al-Tafsir al-Ilmi) yang mempunyai kecenderungan penggunaan teori-teori ilmiah di dalamnya
B.     Potret Biografi Singkat
Thanthawi Jauhari  adalah ulama moderat yang dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim asal Mesir yang kesohor karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan untuk menumbuhkan motivasi umat Islam terhadap penguasaan ilmu pengetahuan.[1]Beliau dilahirkan pada tahun 1870, wafat tahun 1940.[2] Berasal dari keluarga petani sederhana di wilayah al-Ghar. Namun demikian kondisi sosial tersebut tidaklah menyurutkan keinginannya untuk terus memperdalam ilmu pengetahuan khususnya kajian keislaman, sehingga kabanyakan waktunya diabdikan untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Tidak lupa juga tokoh ini begitu bersemangat untuk memajukan daya pikir umat, menjauhkan dari kebekuan berpikir sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya menguasai ilmu pengetahuan modern. Sehingga akhirnya gagasan serta pemikirannya lambat laun mulai diperhitungkan.
Dalam banyak kesempatan, hal yang kerap dikemukakan terkait harapannya adalah, perlunya penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Karena dia berpendapat, secara garis besar, ilmu pengetahuan terbagi dua yakni ilmu bahasa dan selain bahasa. Thanthawi menyatakan bahwa ilmu bahasa memegang peranan signifikan dalam sebuah studi, sebab ia merupakan alat untuk menguasai beragam bidang ilmu.[3]
Pada bagian lain, Thanthawi pun membina studi Alquran, yakni guna membuktikan bahwa kitab suci umat Islam itu adalah satu-satunya kitab suci yang memotivasi pengembangan ilmu. Karena dalam pandangannya, Alquran senantiasa menganjurkan kepada umat Muslim untuk menuntut ilmu dalam arti seluas-luasnya. Pernyataan tersebut dikemukakan sambil menunjukkan bukti-bukti bahwasanya dalam Alquran terdapat banyak ayat yang memotivasi umat agar menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan.[4]

C.    Sejarah Sosial-Kultural[5]
Mesir Pada abad XIX dan awal abad XX ditandai dengan kebangkitan gerakan intelektual yang dapat dikategorikan pada tiga kecenderungan pemikiran, yaitu: Pertama, kecenderungan pada Islam yang diwakili oleh beberapa tokoh muslim seperti, Hassan al-Banna (1906-1945); Kedua, berusaha melakukan sintesis antara Islam dan kebudayaan Barat yang diwakili oleh Muhammad Abduh (1884-1905),  Qasim Amin (1865-1908), dan Ali Abd Raziq (1865-1935); Ketiga, adanya kecenderungan rasional ilmiah dan kebebasan berfkir yang diwakili oleh Luthfi as-Sayyid dan emigran-emigran Syiria yang lari ke mesir.
Kesadaran terhadap nalar ilmiah tersebut kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Ali Pasya setelah berhasil mengusir Napoleon dari negerinya dan menundukkan kekuatan Mamluk dengan membentuk kementerian pendidikan dan mendirikan sekolah militer, sekolah tekhnik kedokteran serta banyak mendatangkan ahli-ahli dari eropa, serta banyak mengirim pelajar ke negara eropa.
Evolusi ini terus berkembang dan banyak melahirkan pemikir-pemikir cerdas serta pembaru-pembaru Islam, salah satunya adalah Thanthawi Jauhari. Sejarah sosial-kultural inilah yang tampaknya sangat mempengaruhi terhadap kecenderungan pemikiran beliau.

D.    Karir Intelektual
Thanthawi mengawali pendidikannya di kota kelahirannya tersebut. setelah menyelesaikan pendidikan menengah atasnya, dia dikirim untuk melanjutkan belajar ke universitas al-Azhar di ibukota Kairo. Ketika menimba ilmu di universitas terkemuka tersebut, dia berkesempatan bertemu dengan tokoh pembaharu, Muhammad Abduh. Tokoh ini kemudian memang mampu memberikan pengaruh besar bagi pemikiran dan keilmuannya, khususnya pada bidang ilmu tafsir.[6]
 Setelah itu dia melanjutkan belajarnya ke Darul Ulum dan mampu menyelesaikan pendidikan di sana tahun 1893. Akan tetapi ia merasa kurang puas dengan program belajar yang diberikan, utamanya ilmu tafsir, yang antara lain dikarenakan bimbingan dari Muhammad Abduh sebelumnya hingga membuat dia memiliki cakrawala pemikiran yang luas. Meski begitu Thanthawi tetap bertekad menyelesaikan studinya tersebut. Setelah beberapa tahun kemudian, dia pun berhasil tamat pendidikan di Darul Ulum untuk selanjutnya berkiprah sebagai tenaga pengajar. Dia tercatat pernah menjadi guru di madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah dan kemudian sebagai dosen pada almamaternya, yakni Universitas Darul Ulum[7]. Dan lantas tahun 1912 diangkat menjadi dosen di Al-Jamiah Al-Misyriyah pada mata kuliah falsafah Islam.
Di samping mengajar, layaknya seorang cendekiawan dia pun terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Hal itu dilakukan dengan membaca buku-buku serta dari artikel di majalah dan surat kabar. Selain itu pula berbagai seminar maupun pertemuan ilmu pengetahuan tidak ketinggalan dihadiri. Bidang ilmu yang menjadi fokus perhatiannya adalah ilmu tafsir. Namun dia pun mengikuti pula ilmu fisika, ilmu yang menurut pandangannya dapat menangkal kesalahpahaman yang kerap menuding Islam sebagai agama yang menentang ilmu dan teknologi modern.

E.     Akar Kemunculan dan Pengertian Tafsir ‘Ilmy
Bila kita teliti dan mencoba untuk menganalisa akar kemunculan tafsir ‘Ilmy, maka dapat kita temukan bahwa awal kemunculan tafsir ‘Ilmy ini telah melintasi beberapa periode. Tepatnya kemunculan tafsir tersebut bertolak dari zaman Abbasiyah sebagai bentuk usaha mengkompromikan teks-teks keagamaan dengan pengetahuan-pengetahuan asing yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Usaha ini terus berlanjut dan terekspose pada abad ke-5 Hijriyah. Hanya saja, tafsir ‘Ilmy baru bisa berkembang pesat di akhir abad ke-19 hingga sekarang. Hal ini dikarenakan ketertinggalam umat Islam di bidang sains dan teknologi dibandingkan dengan orang Barat yang sudah mencapai tingkat kemapanan dalam bidang sains dan teknologi.[8]
Mayoritas ulama tafsir sepakat memasukkan tafsir ‘Ilmy sebagai salah satu corak penafsiran yang secara metodologis merupakan bagian dari metode tafsir Tahlili[9] yang dipergunakan sebagai perangkat untuk memahami pesan-pesan Tuhan. Kemunculannya bertujuan untuk melihat seberapa jauh nilai kemu’jizatan al-Qur’an dari aspek ilmu pengetahuan dan sains modern berdasarkan prinsip dasar al-Qur’an yang menyatakan bahwa pada dasarnya al-Qur’an mencakup seluruh ilmu pengetahuan, walaupun tidak secara deatil disebutkan didalamnya karena ia memang bukan kitab pengetahuan.
Secara sederhana tafsir ‘Ilmy  dapat didefinisikan sebagai upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menjadikan penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Sedangkan objek kajiannya adalah dikonsentrasikan kepada ayat-ayat al-Qur’an yang secara khusus ataupun umum membahas fenomena kealaman atau yang biasa dikenal sebagai ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu yang dimaksud dengan tafsir ‘Ilmy adalah upaya mufassir menganalisa dan menginterpretasikan ayat-ayat kauniah dengan dibantu penemuan-penemuan sains modern yang bertujuan untuk mengetahui dan memelihara kemu’jizatan al-Qur’an.[10]



F.      Al-Jawahir fii Tasir al-Qur’an, Sebuah Karya Monumental
Thanthawi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Tidak kurang dari 30 buku hasil buah pemikirannya sudah dihasilkan dan mewarnai khazanah ilmu pengetahuan dunia. Di antara beberapa karya yang fenomenal adalah Al-Jawahir fii Tasir al-Qur’an, ini adalah buah karya tafsir ilmiyah pertama yang pernah diselesaikan secara sempurna. Tafsir ini terdiri dari dua puluh lima juz.
Di dalam pendahuluan tafsirnya, Thanthawi membahas tentang motivasi yang melandasi penyusunan tafsir ini. Beliau mengatakan, sesungguhnya dirinya amat sangat tertarik dengan keajaiban alam, keindahan dan keunikannya sebagai salah satu tanda akan kekuasaan-Nya. Akan tetapi sedikit sekali diantara mereka yang memikirkan dan merenunginya, oleh karena itu muncul keinginan untuk mulai mencoba menyusun sebuah tafsir yang selalu mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an dengan keajaiban-kejaiban alam semesta.[11]
Lebih lanjut Thanthawi menjelaskan akan pentingnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara ilmiah, karena sesungguhnya al-Qur'an serat dengan informasi-informasi simbolik yang harus selalu dikaji untuk mendapatkan berjuta mutiara hikmah yang dikandungnya. Beliau sangat antusias dalam memberikan motivasi kepada umat Islam agar mereka mampu menjadi umat yang terbaik dengan menguasai ilmu alam, medis, pertambangan, eksak, arsitektur, astronomi serta ilmu pengetahuan yang lain. Betapa tidak, menurut beliau di dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat sains lebih dari tujuh ratus lima puluh ayat yang mampu membantu umat islam menemukan solusi untuk bisa keluar dari ke-jumud-an yang dialami selama ini.[12] Di dalam tafsirnya beliau banyak sekali menjelaskan tentang keajaiban-keajaiban sains dan makhluk hidup seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, langit, bumi dan sebagainya, dengan harapan bisa membantu menumbuhkan kecintaan untuk terus menggali makna yang dikandung oleh al-Qur'an.[13]

G.    Sketsa Pemikiran Thanthawi Jauhari
1.      Perumpamaan dalam al-Qur'an
Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam berbagai versinya Al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan (zhulumât) menuju sebuah cahaya (nûr) petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Oleh karena itu banyak cara yang dilakukan al-Qur'an untuk terus memberikan nasehat kepada seluruh umat manusia, diantaranya adalah dengan mengetengahkan perumpamaan-perumpamaan sebagai bentuk pembelajaran agara manusia bisa terketuk hatinya untuk kemudian mengambil ibrah dari apa yang telah al-Qur'an jelaskan.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Thanthawi Jauhari telah memberikan ulasan cukup panjang tentang perumpamaan bagi orang yang berinfak/ bersedekah yang dikeluarkan dengan tulus dan ikhlas maupun atas dasar riya' dan sombong seperti yang digambarkan oleh al-Qur'an dalam Surah al-Baqarah 261-266:
@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ..............
.......Šuqtƒr& öNà2ßtnr& br& šcqä3s? ¼çms9 ×p¨Yy_ `ÏiB 9@ŠÏ¯R 5>$oYôãr&ur Ìôfs? `ÏB $ygÏFóss? ã»yg÷RF{$# ¼çms9 $ygÏù `ÏB Èe@à2 ÏNºtyJ¨W9$# çmt/$|¹r&ur çŽy9Å3ø9$# ¼ã&s!ur ×p­ƒÍhèŒ âä!$xÿyèàÊ !$ygt/$|¹r'sù Ö$|ÁôãÎ) ÏmÏù Ö$tR ôMs%uŽtIôm$$sù 3 šÏ9ºxx. ÚúÎiüt7ムª!$# ãNà6s9 ÏM»tƒFy$# öNä3ª=yès9 šcrã©3xÿtGs?
Dari beberapa ayat di atas terdapat empat perumpamaan bagi mereka yang telah menginfakkan hartanya. Dari masing-masing perumpamaan merepresentasikan kondisi batin orang yang berderma, apakah sedekahnya itu didasari dengan sikap ikhlas atau hanya semata karena pamer dan ingin dipuji.[14]
perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti "sebutir biji" yang menumbuhkan tangkai , dan pada setiap tangkai ada sertaus biji. Perumpamaan di atas tidak bukan berarti pahala orang yang berinfak dijalan Allah akan dibalas dengan sebuah biji yang kelak akan bercabang begitu banyak, akan tetapi ia hanya sebagai gambaran betapa agung pahala orang yang mendermakan hartanya di jalan Allah.[15] Namun Hal ini tidak lain adalah sebagai bentuk pembelajaran bagi manusia untuk selalu mendermakan hartanya di jalan yang benar. Karena dengan begitu kelak Allah akan melipatkan ganjarannya sesuai dengan tingkat keimanannya.
a.      Perumpamaan batu licin yang di atasnya terdapat debu menempel, lalu kemudian batu itu ditimpa hujan yang begitu deras sehingga debu tersebut akan serta merta hilang dari permukaan batu, adalah sebuah teguran bagi orang yang suka berpura-pura dalam mendermakan hartanya karena riya' (pamer) kepada manusia. Bahwa dengan pola pendermaan semacam itu, mereka tidak akan mendapatkan pahala dari Allah. Secara kasat mata dari aspek sosial mendermakan harta adalah perbuatan yang baik karena ia telah memberikan pengabdian kepada masyarakat dan kemanusiaan, tetapi dari segi spiritual ia belum mampu mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan.
b.      Perumpamaan bagi orang-orang yang Ikhlas mendermakan harta hanya semata karena mengharap ridla Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, ia diibaratkan seperti sebuah kebun yang teletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, jika hujanpun tak kunjung turun maka ia akan tetap tumbuh dengan tetasan air embun. Dengan begitu, kebun itu akan menghasilkan buah-buahan yang melimpah ruah dalam kondisi apapun. Pesan etis yang terkandung dari ayat ini menyiratkan betapa Allah akan melipat gandakan pahala orang tersebut tanpa melihat jumlah sedekah yang ia keluarkan, dan kelak ia akan merasakan ni'mat Allah atas segala sesuatu yang pernah ia dermakan.
c.       Adalah perumpamaan sebagai wujud teguran dari Allah bagi orang yang menginfakkan haryanya karena riya' membangga-banggakan pemberiannya kepada orang lain maka dengan begitu bangunan-bangunan yang ia dirikan akan serta merta hancur karena sifat yang tidak terpuji. Hal ini digambarkan dengan kebun kurma dan anggur nan subur, namun secara tiba-tiba semuanya lenyap karena angin kencang yang mengandung api sehingga membakar seisi kebun tersebut.
Penjelasan Thanthawi Jauhari tentang ayat-ayat perumpamaan di atas tidak jauh berbeda dengan para ahli tafsir yang lain dimana mereka memberikan penekanan bahwa setiap perbuatan yang memperhatikan dua aspek sosial dan spiritual disebut "amal shaleh". Yaitu amal yang berkualitas, amal yang punya ruh, yang akan diperhitungkan di hari pembalasan. Namun dalam tafsir Thanthawi Jauhari tidak di sebutkan latar belakang turunnya ayat sebagaimana telah di jelaskan oleh sebagian mufassir bahwa dua ayat (261-262) diturunkan sebagai tanggapan al-Qur'an terhadap sadaqah Abd Rahman bin 'Auf serta Utsman bin Affan ketika melaksanakan anjuran nabi untuk bersedekah demi kepentingan perang tabuk[16]
Thanthawi memberikan penjelasan betapa harta benda adalah sesuatu yang sangat digemari oleh umat manusia, karena harta benda adalah salah satu alat untuk menikmati kesenangan duniawi. ia mempunyai penagaruh yang sangat berarti sepanjang kehidupan manusia. Hal ini dibuktikan, bahwa betapa banyak peperangan yang sudah terjadi di muka bumi hanya karena perebutan harta kekayaan. Oleh karena itu al-Qur'an telah menganjurkan untuk mendermakan sebagian harta benda kita demi kepentingan agama secara tulus ikhlas sebagai solusi yang efektif untuk menciptakan kedamaian di dunia dan akhirat. Begitu juga di dalam mendermakan sebagaian harta, janganlah amal tersebut dikotori oleh sifat-sifat yang tercerla seperti riya', karena bagaimanapun harta tersebut adalah titipan dari Allah yang harus didermakan secara benar [17]

2.      Ilmu dan Sains
Dalam Islam, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian serius, mengingat peranannya yang sangat penting  bagi kehidupan manusia sehingga berhukum wajib bagi siapa saja untuk mendapatkan ilmu pengetahuan kemudian mengapresiasikannya dalam kehiduapan riil. Hal ini digambarkan oleh al-Qur’an:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötƒur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#
            Apakah kamu wahai orang musyrik yang lebih beruntung, ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

Al Qur'an merupakan kitab paling agung yang merangsang pemikiran yang sikap ilmiyah serta menolak segala bentuk khurafat. Tidak dibenarkan adanya sikap taqlid buta terhadap nenek moyang, pemimpin atau pembesar, apalagi kepada orang-orang awam dan bodoh. Dia juga menolak dominasi prasangka dan hawa nafsu dalam konteks pembahasan tentang aqidah dan kebenaran syari'at Allah. Tidak pula menerima suatu pengakuan (teori) kecuali berdasarkan dalil yang pasti dan penyaksian (hipotesa) yang meyakinkan dalam hal-hal yang bisa diindra, dari logika yang benar dalam masalah pemikiran dan penukilan yang terpercaya dalam masalah periwayatan.[18] Begitu pentingnya sebuah ilmu pengetahuan sampai-sampai lafadz "ilmu' dalam al-Qur'an yang berasal  dari akar kata 'a-la-ma ini tersebar di banyak tempat, baik ayat-ayat Makiyyah maupun Madaniah. Disamping itu al-Qur'an dengan jelas memberikan apresiasi terhadap ahli ilmu.
Adapun pendapat Thanthawi jauhari tentang ilmu pengetahuan ini sebagian dapat kita lihat dari penafsirannya terhadap ayat di bawah ini:

óOÎgƒÎŽã\y $uZÏF»tƒ#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­       
(Fussilat, 41:53)
                          
Dalam kaitannya dengan ayat ini, Thanthawi sangat antusias menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan segala sesuatu di dunia besarta isinya agar manusia bisa belajar, mendapatkan pengetahuan melalui tanda-tanda kebesarannya. Menurut Thanthawi ayat ini seakan-akan menyeru kepada seluruh umat manusia khususnya umat Islam bahwa sesungguhnya melalui alam semesta ini engkau bisa mempelajari tentang berbagai macam ilmu pengetahuan yang begitu mengagumkan yang tidak pernah ditemukan oleh umat-umat terdahulu, pada saat ini muncul beraneka ragam disiplin ilmu seperti ilmu kejiwaan, kimia, makhluk hidup dan lain sebagainya. Lebih lanjut Thanthawi menjelaskan bahwa ayat ini menyerukan kepada semua umat Islam, bahwa inilah duniamu tempat dimana engkau tinggal, maka pelajarilah segala sesuatu tentangnya melalui pembacaanmu terhadap alam semesta, ambillah ibarat dari segala bentuk penciptaan Tuhan. Karena alam semesta ini adalah merupakan surga dunia yang diciptakan oleh Allah agar manusia bisa berkreasi didalamnya.[19] Di dalam kesempatan yang lain Thanthawi mengkritisi orang-orang yang hanya terpaku terhadap sendi-sendi utama Islam tanpa ada keinginan untuk mempelajari disiplin ilmu yang lain sebagaimana di bawah ini:
فقال للمسلمين إن إقتصار على قرأة حديث (بني الإسلام على خمس: شهادة أن لاإله إلا الله وأن محمدا رسول الله الخ) عار عليكم فلا تقتصروا على ظواهر الدين بل ادرسوا حقائق الكائنات)

Menurut Thanthawi adalah suatu keharusan bagi umat Islam untuk tidak hanya terpaku terhadap kajian teologis saja, akan tetapi manusia harus selalu meng-update pengetahuannya setiap hari sesuai dengan tingkat kemampuannya dengan cara memahami gejala alam yang ada disekitar kita.[20] Dari pembacaan penulis terhadap apa yang sudah di jelaskan oleh Thanthawi, maka seyogyanya bagi seluruh umat Islam, khususnya para pemuka agama untuk bisa mengikuti trend kajian keilmuan yang sedang berkembang, baik itu ilmu sosial, politik, ataupun ilmu alam tanpa harus mengabaikan kajian keagamaan. Dengan begitu nantinya ada semacam integrasi disiplin keilmuan dengan menggunakan sains dan tekhnologi masa kini untuk membedah kajian ke-Islam-an sehingga terwujud nuansa baru dalam kajian agama Islam yang representatif menjawab segala tantangan zaman yang terus berkembang.
Adapun penafsiran ilmiahnya dapat kita pelajari bagaimana ketika Tantawai menfsirkan ayat berikut ini:
øŒÎ)ur óOçFù=è% 4ÓyqßJ»tƒ `s9 uŽÉ9óÁ¯R 4n?tã 5Q$yèsÛ 7Ïnºur äí÷Š$$sù $oYs9 š­/u ólÌøƒä $uZs9 $®ÿÊE àMÎ6.^è? ÞÚöF{$# .`ÏB $ygÎ=ø)t/ $ygͬ!$¨VÏ%ur $ygÏBqèùur $pkÅytãur $ygÎ=|Át/ur ( tA$s% šcqä9Ïö7tGó¡n@r& Ï%©!$# uqèd 4oT÷Šr& Ï%©!$$Î/ uqèd îŽöyz 4 (#qäÜÎ7÷d$# #\óÁÏB ¨bÎ*sù Nà6s9 $¨B óOçFø9r'y 3 ôMt/ÎŽàÑur ÞOÎgøŠn=tæ ä'©!Éj9$# èpuZx6ó¡yJø9$#ur râä!$t/ur 5=ŸÒtóÎ/ šÆÏiB «!$# 3 y7Ï9ºsŒ óOßg¯Rr'Î/ (#qçR%x. šcrãàÿõ3tƒ ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# šcqè=çGø)tƒur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# ÎŽötóÎ/ Èd,yÛø9$# 3 y7Ï9ºsŒ $oÿÏ3 (#q|Átã (#qçR$Ÿ2¨r šcrßtF÷ètƒ
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) Karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) Karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (Al-Baqarah, 2:61).

Menurut Thanthawi ayat ini seolah-olah menyingkap rahasia antara masyarakat perkotaan dan pedesaan, dimana sesungguhnya kehidupan masyarakat pedalaman dengan hanya memakan apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya disertai dengan udara yang bersih dan tidak tecampur dengan polusi. Kenyataan seperti ini menurut petunjuk-petunjuk medis melalui teori kedokteran modern adalah lebih baik daripada kehidupan keras di kota-kota dengan makanan bumbu masak, daging, dan beraneka macam makanan yang mempunyai banyak kemudlaratan bagi kesehatan badan. Oleh karena itu sesungguhnya orang-orang yang tinggal di pedesaan mempunyai postur tubuh yang lebih kuat, dan sehat karena makanannya masih alami dari hasil bercocok tanam tanpa ada campuran zat-zat kimia tidak sehat.[21]





3.      Keadilan Sosial
Di antara nilai-nilai pokok kemanusiaan yang diserukan oleh Islam dan dijadikan sebagai salah satu sendi kehidupan individu, rumah tangga dan masyarakat adalah "Keadilan." Dalam hal ini Allah memerintahkan seorang Muslim untuk selalu berlaku adil terhadap diri sendiri, yaitu dengan menyeimbangkan antara haknya dan hak Tuhannya dan hak-hak orang lain. Juga perintah bersikap adil terhadap keluarga dengan memperhatikan etika berumah tangga yang baik, serta tuntutan adil kepada semua manusia dengan memberikan segala hak yang telah menjadi setiap individu.
Pembahasan  berikut  akan  mencoba mengenal beberapa aspek tentang  wawasan  keadilan sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcrã©.xs? ÇÒÉÈ (#qèù÷rr&ur ÏôgyèÎ/ «!$# #sŒÎ) óO?yg»tã Ÿwur (#qàÒà)Zs? z`»yJ÷ƒF{$# y÷èt/ $ydÏÅ2öqs? ôs%ur ÞOçFù=yèy_ ©!$# öNà6øn=tæ ¸xŠÏÿx. 4 ¨bÎ) ©!$# ÞOn=÷ètƒ $tB šcqè=yèøÿs?
Menurut Thanthawi Kata "adil" di dalam ayat tersebut telah menyiratkan banyaknya makna, diantaranya adalah keadilan Tuhan terhadap makhluk dan keseimbangan dalam mengelola alam semesta, keadialan sosial yang tercipta antara sesama manusia, keadilan dalam beretika, serta keadilan Tuhan di hari kiamat. Namun yang akan menjadi pembahasan sentral kali ini adalah pemahaman mufasir tentang keadilan sosial yang tersirat dari ayat tersebut.
Pengertian Adil secara terminologi adalah sikap yang tidak memihak di dalam segala sesuatu serta tidak adanya kecurangan di dalamnya. Sebagai mana di sebutkan oleh Thanthawi bahwa keadilan adalah upaya menghukumi sesuatu dengan netral, jika hal tersebut baik maka harus dinilai sebagai kebaikan dan sebaliknya.[22]
Sedangkan konsep keadilan sosial secara umum menurut Thanthawi adalah upaya pemenuhan seseorang terhadap hak-hak dirinya, keluarganya -meliputi kedua orang tua, suami, istri, anak, serta sanak famili-, serta masyarakat secara umum, tidak terkecuali miskin ataupun kaya dengan upaya peningkatan  kesejahteraan  dan  peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami  perceraian. Karena tujuan utama dari nilai keadilan sosial ini adalah pemenuhan hak setiap individu.[23]
Agar konsep keadilan ini bisa terlaksana secara maksimal, maka semua setiap individu diharuskan mempunyai kesadarang yang tinggi dalam upaya menjalankan tiga poin penting berikut ini:
a.      setiap pribadi bertanggung jawab untuk bisa bersikap dewasa dengan mencoba untuk mematuhi semua undang-undang yang sudah menjadi ditetapkan oleh negara –termasuk didalamnya adalah ketetapan hakim atau jaksa yang menangani kasus-kasus tertentu- sebagai acuan untuk setiap individu. Oleh karena itu bagi siapa saja yang mencoba untuk menentang kebijakan yang sudah di tetapkan pemerintah, maka mereka akan mandapat sangsi yang tegas. Oleh karena itu tidak adanya kesadaran melihat undang-undang yang sudah ditetapkan oleh Negara sebagai acuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat memberikan dampak negatif demi terciptanya keadilan sosial.
b.      memperhatikan aspek keamanan dengan mempersiapkan kekuatan militer dengan sebaik-baiknya untuk menjaga keamanan di luar ataupun di dalam negeri. Mereka berfungsi untuk menjaga aset-aset pemerintah termasuk menjaga keselamatan masyarakat serta elit politik dalam mengemban amanat dan menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyatnya. Apabila stabilitas keamanan di dalam negeri terkendali maka peluang untuk menerapkan undang-undang secara adil dan bijaksana yang berlaku di Negara tersebut bisa berjalan optimal.
c.       setiap elit politik harus berbekal keilmuan memadai dibidangnya serta mempunyai pengalaman yang cukup. Karena bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang akan menjalankan roda pemerintahan, bagaimana mungkin mereka bisa menjalankan tugas yang telah diamanatkan oleh rakyat jika mereka tidak mempunyai ilmu dan pengalaman yang memadai?.
Apabila tiga poin tersebut sudah dilaksanan secara maksimal dalam konteks bernegara, maka akan terwujud masyarakat damai dan sejahtera.






H.    Kontroversi  Seputar Tafsir Ilmy
1.      Al-Ghazali Pendukung Ide Tafsir ‘Ilmy
Meanggapi perkembangan tafsir ‘Ilmy ini para ulama menentukan sikapnya masing-masing secara bervariasi, diantara mereka yang mendukung secara gigih eksistensi tafsir ‘Ilmy adalah Imam al-Ghazali (w. 1059-1111 M). Sebagaimana telah diketahui bahwa pada masanya beliau merupakan salah satu ulama yang banyak memberikan perhatian terhadap al-Qur’an. Hal ini dapat kita ketahui melalui beberapa karya monumentalnya yang menjadi sumbangan terhadap khazanah pengetahuan Islam. Secara panjang lebar dalam kitabnya Ihya’ Ulum ad-Din dan Jawahir al-Qur’an mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya bahwa sesungguhnya al-Qur’an dapat dikaji dengan menggunakan penemuan-penemuan ilmiah. Beliau mengatakan “segala macam ilmu pengetahuan semuanya bersumber dari Allah” hal ini kemudian ia pertegas dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut.

  • #sŒÎ)ur àMôÊÌtB uqßgsù ÉúüÏÿô±o
Dan apabila Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku. (As-Syu’ara, 26:80)
  • ߧôJ¤±9$#ur ÌøgrB 9hs)tGó¡ßJÏ9 $yg©9 4 y7Ï9ºsŒ ãƒÏø)s? ̓Íyèø9$# ÉOŠÎ=yèø9$#
Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Yasiin, 36:38)

Menurut al-Ghazali untuk mengetahui beberapa ayat di atas yang berkenaan dengan obat-obatan dan tatasurya yang sudah ditetapkan oleh Allah tidak dapat kita ketahui kecuali oleh mereka yang berkecimpung di bidang kedokteran, serta tidak akan dapat kita pahami ayat-ayat tentang ilmu alam seperti pergerakan matahari, bulan, gerhana, dan sebagainya kecuali mereka yang memang ahli dibidangnya.[24]
2.      Penolakan Rasyid Ridla Terhadap Tafsir ‘Ilmy
Dalam hal ini Rasyid Ridla dalam pendahuluan kitab tafsirnya mengecam orang-orang yang menggunakan paradigma ilmiah dalam tafsir mereka. karena menurut beliau hal ini dapat menyesatkan dan memalingkan pembaca kepada kandungan utama yang dimuat oleh al-Qur’an sebagai petunjuk menuju jalan yang benar.[25]

I.       Kesimpulan
Al-Qur’an seyogyanya harus dingkaji secara mendalam, direnungkan lalu diamalkan, bukan hanya untuk dijadikan barang yang selalu diagung-agungkan tanpa memahami semangat didalamnya yang menjadi bahan bakar bagi perubahan-perubahan positif dalam kehidupan. Penulis sepakat dengan Said bin Jubair yang mengatakan, "barang siapa yang membaca al-Quran tapi tidak mentafsirinya maka ia seperti orang buta".
Oleh karena itu "Tafsir Ilmi" adalah salah satu metode yang mengantarkan kita kepada upaya memahami al-Qur’an. Tafsir ini adalah termasuk produk yang dihasilkan oleh kalangan cendekiawan Muslim yang di latar belakangi oleh beberapa hal; Pertama, adanya kebutuhan intelektual-religius untuk membuktikan dan memperkuan kebenaran al-Qur'an. Kedua, adanya tuntutan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada interpretasi saintifik al-Qur'an.
Dengan kontribusi atas pemikirannya, Thanthawi telah memberi nuansa baru dalam perdebatan penafsiran karena ia adalah mewakili cendekiawan muslim dalam upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara ilmiah, karena sesungguhnya al-Qur'an serat dengan informasi-informasi simbolik yang harus selalu dikaji untuk mendapatkan berjuta mutiara hikmah yang dikandungnya












DAFTAR PUSTAKA

Farmawi, Al-, Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudlu’I, (Mesir: Maktabah Jumhuriah, 1997.
Ghazali, Abi Hamid al-, Jawahir al-Qur’an wa Duraruhu, Kairo: Dar al-Haram, 2004.
Hussain, Muhammad ad-Dzahabi dalam At-Tafsir wa al-Mufassirun, Cairo: Maktabah Wahabah, 2003.
Jauhari, Thanthawi, Jawahir fii Tafsir al-Qur'an al-Karim, Beirut: dar el-Fikr, t.th.
Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam Al-, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, Bangil: al-Izzah, 1997.
Mustafa, Jamal Abdul Hamid an-Najjar, Tabaqat wa Ittijahat at-Tafsiriyah, Cairo, t.p, t.th.
Qardhawi, Yusuf "Sistem Masyarakat Islam dalamAl Qur'an & Sunnah", www.pakdenono.com.
Qattan, Manna’ al-, Mabahist fii Ulum al-Qur’an, Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1996.
Rahman, Fath Abd, Ittijah at-Tafsir fi al-Qam Rabi’ Asyar, Saudi Arabia: t.tt, 1986.
Riyadi, Hendar, Tafsir Emansipatoris: Arah Baru Studi Tafsir Al-Qur'an, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Sayyid, Muhammad Tantawi, Tafsir al-Wasith li al-Qur'an al-Karim, Kairo: Dar-Ma'arif, 1992
Shihab, M. Quraish, Membmikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Mizan, 2007.
"Tantawy Jauhari: Motivator Umat dalam Penguasaan Ilmu",  http://rezaervani.com/rezapedia/tampilkan.php?index=tantawyjauhari&huruf=t.




[1] Jamal Mustafa Abdul Hamid an-Najjar, Tabaqat wa Ittijahat at-Tafsiriyah, (Cairo, t.p, t.th), hlm. 258.
[2] Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Hussain ad-Dzahabi dalam At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Cairo: Maktabah Wahabah, 2003), Vol. II, hlm. 370.
[3] "Tantawy Jauhari: Motivator Umat dalam Penguasaan Ilmu",  http://rezaervani.com/rezapedia/tampilkan.php?index=tantawyjauhari&huruf=t, di akses 14 Agustus 2008.
[4] Ibid.
[5] Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris: Arah Baru Studi Tafsir Al-Qur'an, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 121-124.
[6] "Tantawy Jauhari: Motivator…
[7] Manna’ al-Qattan, Mabahist fii Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1996), hlm. 382.
[8] Abdul Majid Abdussalam Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, (Bangil: al-Izzah, 1997), hlm. 257. Lihat M. Quraish Shihab, Membmikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 2007), hlm. 101.
[9] Lihat Al-Farmawi, Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudlu’I, (Mesir: Maktabah Jumhuriah, 1997.
[10] Fath Abd Rahman, Ittijah at-Tafsir fi al-Qam Rabi’ Asyar, (Saudi Arabia: t.tt, 1986), hlm. 549.
[11] Thanthawi Jauhari, Jawahir fii Tafsir al-Qur'an al-Karim, (Beirut: dar el-Fikr, t.th), vol. 1, Pendahuluan, hlm. 2
[12] Ibid., hlm. 3.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm. 261.
[15] Ibid., hlm. 259.
[16] Bandingkan dengan pemikiran Muhammad Sayyid Tantawi, Tafsir al-Wasith li al-Qur'an al-Karim, (Kairo: Dar-Ma'arif, 1992), hlm. 602.
[17]Thanthawi Jauhari, Jawahir…, vol. 1, hlm. 262.

[18]Yusuf Qardhawi "Sistem Masyarakat Islam dalamAl Qur'an & Sunnah", www.pakdenono.com, di akses tgl 05 Desember 2007.

 

[19] Thanthawi Jauhari, Jawahir…, hlm. 84.
[20] Ibid., hlm. 103.
[21] Ibid., vol. 1, hlm. 78.
[22] Ibid., vol. 4, hlm. 166.
[23] Ibid., hlm., 172.
[24] Abi Hamid al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an wa Duraruhu, (Cairo: Dar al-Haram, 2004), 24.
[25] Muhammad Hussain ad-Dzahabi dalam At-Tafsir…, hlm. 380.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar