Tafsir Ayat al-Ahkam

Admin Wednesday, December 15, 2010
Pertemuan Pertama: Faatihatul-Kitab
Al-fatihah ayat 1-7

Ma’na ijmaly:
Surat al fatihah mengandung segala pujian kepada Allah SWT. Sebagai tuhan yang menjadikan alam semesta, Yang Maha Agung, Maha Adil, dan maha Pengampun. Juga mengandung makna syukur yang sebenarnya dan sangat mendalam keagungannya. Allah mengajarkan manusia cara bersyukur kepadanya, yakni dengan mengucapkan alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Besyukurlah kepadaKu akan kebaikan yang kuberikan. Akulah yang memiliki fadilah, tidak butuh hal apapun, tuhan jin dan manusia, tuhan segala alam. Janganlah menyembah selain Allah, yang telah memberikan ni’mat dan kesehatan badan, petunjuk pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sebagai segala pancaran kandungan al-Qur’an dan inti daripada al-Qur’an tersebut serta bukti bahwa manusia dan segenap makhluk semuanya tidaklah mempunyai sesuatu apapun kecuali tunduk kepada keagungan Allah SWT.

Jadikanlah kami selalu istiqomah dalam ajaran agamaMu yang haq, yang kau utuskan pada penutup rasul. Tetapkan iman kami dan jadikanlah kami orang-orang yang berjalan dijalan orag-orang yang dekat denganMu. Jangan jadikan kami orng yang keluar dari tujuan perjalanan, orang yang berjalan bukan pada sisi yang lurus, orang-orang yang melencengkan syari’atMu yang suci dan orang yang ingkar akan ayat-ayatMu.

Hikmah Tasyri’:
Al-Fatihah adalah pencakup segala apa yang ada dalam al-Quran dan segala aspeknya baik berupa hukum, aqidah I’tiqad dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan namanya (al-Quran al-Adhim) dikarenakan ia mencakup keseluruhan al-Qur’an.

Pertemuan kedua: Posisi Syari’at dalam Sihir
Al-baqarah ayat 101-103

Ma’na ijmaly:
Orang-orang yahudi beserta ulama mereka menafikan kitab yang diturunkan kepada mereka, taurat, sebagaimana mereka menafikan al-qur’an yang datang sebagai pembenaran atas apa yang dikandung taurat. Penafian ini merupakan sebuah warisan dari leluhur mereka yang bodoh dan suka merusak.
Mereka menafikan atau meniadakan (meletakkan) kitab allah dibalik punggung mereka seakan-akan mereka tidak tahu bahwa kiab tersebut merupakan kitab yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Mereka lebih memilih untuk mengikuti ilmu sihir yang sedang in pada masa Sulaiman AS, padahal Sulaiman AS bukanlah seorang penyihir. Belajar sihir tidak menajdikan kafir, namun setan membisiki manusia sehingga manusia seakan-akan tahu akan hal gaib.
Kemudian allah mengutus harut dan marut untuk membedakan antara sihir dan mu’jizat. Hal ini sama dengan apa yang dirasakan oleh talut dengan adzab banjir. Sihir yang ada pada zaman tersebut menajdi tren baru yang memunculkan keragu-raguan akan kehadiran nabi. Harut dan marut memperingat manusia akan bahaya sihir jika digunakan untuk menyakiti dan membuat masalah. Jika digunakan untuk menghilangkan penyakit ataupun permasalahan manusia, sihir justru akan menambah keimanan. Tujuan manusia belajar sihir disebabkan dua hal, ada yang untuk kemaslahatan dan ada pula untuk kemudaratan. Jika orang yang belajar sihir dikarenakan beriman pada allah dan takut akan adzabnya, allah akan mengganjarnya dengan pahala.

Hikmah tasyri’:
Islam selalu menjaga aspek akidah dalam tiap-tiap syari’at yang diterapkan. Hal ini bertujuan untuk menjaga hati agar tetap berpegang teguh pada allah, ikrar ketuhanan serta memohonon batuan atas segala permasalahan hidup.
Bintang-bintang berputar sesuai dengan porosnya. Perputaran yang dilakukan tidak mempengaruhi keadaan manusia di bumi. Umur manusia tidak bergantung akan bintang-bintang. Demikian juga tentang rizki, sebab semua hal di dunia ini bergantung pada allah.
Jika manusia merasa memiliki relasi dengan alam gaib, kaitannya dengan bintang-bintang atau relasi dengan jin dan syetan serta mampu mempengaruhi hukum alam, yang hal tersebut menyalahi syari’at, maka hal tersebut termasuk hal-hal yang diluar batas. Ilmu sihir dapat mengkorelasikan hal yang diluar kemanusiaan. Sihir juga dapat memisahkan hubungan sesorang, namun hal ini terjadi atas kehendak allah.
Jika sihir adalah sebuah bentuk kekafiran serta melenceng dari syari’at, seseorang tidak mungkin dikatakan sebagai utusan allah. Al-qur’an menegaskan bahwa Sulaiman AS bukanlah seorang penyihir atapun Pemimpin ahli sihir.

Pertemuan ketiga: Nasakh Mansukh dalam al-Qur’an
Al-baqarah ayat 106-108

Ma’na ijmaly:
Allah tidak mengganti hukum suatu ayat kemudian meninggalkannya, tapi akan menggantinya dengan sebuah kebaikan berupa penghilangan masyaqah, menambahkan pahala atau yang serupa dalam hal peribadatan. Allah melakukan ini semua karena menginginkan kebaikan, termasuk pensyari’atan islam sebagai bentuk pertolongan bagi manusia.
Penggantian hukum ini bukan bentuk kelemahan allah, namun ini sesuai dengan kondisi umat. Allah dapat melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Berpegang teguhlah pada hukum allah, mintalah pertolongan hanya padanya, dzat yang maha menolong.
Siapa saja yang melakukan kekufuran, berpaling dari jalan allah, ia termasuk orang yang merugi dan akan mendapat adzab allah yang sangat pedih.

Hikmah tasyri’:
Syari’at islam datang sebagai bentuk kemaslahatan bagi manusia yang fleksibel. Demikian halnya gradasi hukum yang terjadi, merupakan bentuk penyempurnaan akan kesiapan manusia. Dengan demikian tidak ada lagi rasa tendensi ataupun beban dalam pensyari’atan.
Syari’at ada sebagai kemaslahatan bagi manusia yang berbeda-beda dalam konteks masanya. Hukum yang ada disesuaikan dengan kondisi zamannya. Nasakh mempunyai hikmah yakni menyelaraskan hukum dengan masanya. Perubahan ini lebih mengutamakan maslahat sebagaimana dokter menyembuhkan penyakit. Demikian juga yang terjadi pada masa nabi.




Pertemuan keempat: Ka’bah sebagai Kiblat dalam Shalat
Al-baqarah ayat 142-145

Ma’na ijmaly:
Orang-orang yang bodoh (orang yang tersesat, yahudi, musyrik dan munafik) bertanya pada Muhammad SAW, apakah arah kiblat yang mereka anggap sebagai arah yang suci adalah kiblatnya para nabi dan rasul serta pendahulu mereka? Muhammad menjawab bahwa segala arah adalah milik allah. Ia berhak untuk mengubahnya, termasuk memberikan hidayah bagi siapapun untuk menuju jalan yang penuh kebahagiaan menuju akhirat kelak.
Orang-orang yang beriman dikhususkan untuk mengikuti qiblat nabi Ibrahim sebagai bentuk fadilah dari allah. Maksud dari perubahan ini adalah sebagai bentuk penjelasan allah akan ketetapan keimanan seorang mu’min. allah tidak akan menyia-nyiakan slata dan amalan baik lainnya, tapi alah akan membalas dengan balasan yang lebih baik.
Kami (allah) sering melihat engkau menengadahkan pandanganmu ke langit, sebagai sumber munculnya wahyu. Menghadaplah pada arah yang kamu sukai sebab sama saja dengan mengarah pada masjidil haram. Demikian juga dengan mu’min lainnya, ikutilah yang dilakukan Muhammad SAW sebab itu sama dengan qiblat Ibrahim.
Tujuan dari ayat ini adalah agar manusia tahu bahwa penentuan arah ini adalah sesuatu yang benar yang datangnya dari allah. Namun ahli kitab mengingkarinya

Hikmah tasyri’:
Keputusan allah untuk menyatukan kiblat yang ada (ka’bah) adalah sebagai bentuk konsistensi bagi manusia. Allah memerintahkan Muhammad SAW untuk berkiblat ke ka’bah dalam salat setelah selama tujuh belas bulan menghadap bait al-maqdis. Tujuannya adalah untuk menguji keimanan, bukti kebenaran keyakinan, menampakkan mu’min yang jujur dari pembohong yang munafik.
Ka’bah merupakan symbol keesaan, penampakan keimanan serta kiblat Ibrahim AS yang nantinya dikelilingi jutaan manusia. Tidak ada keraguan lagi akan pensyari’atannya, sebab dimanapun manusia berada harus tetap berkiblat pada ka’bah
Imam fakhri mengatakan akan adanya hikmah yang terkandun dalam penentuan arah kiblat. Pertama, bagi hamba yang tidak mengetahui arah kiblat, ia bisa mengikuti arah yang ditujukan oleh pemiliknya. Kedua, salat adalah upaya untuk menghadirkan jiwa yang tidak dapat terjadi dengan diam saja. Penentuan arah ini merupakan salah satu upaya tersebut. Ketiga, allah senang akan adanya kasih sayang antar mu’min. Andai tiap individu mempunyai arah masing-masing, maka akan timbul perbedaan pendapat. Penyatuan kiblat ini adalah sebagai bentuk kesepakatn antar mereka.

Pertemuan kelima: Sa’I diantara Shafa dan Marwah
Al-baqarah ayat 158

Makna Global:
Allah menjadikan sofa dan marwah sebagai sebuah tempat untuk peribadatan dengan segala macam doa. Sa’i merupakan kewajiban dari rentetan pelaksanaa haji karena merupakan bentuk pensayari’atan, sebagaimana yang telah diperintahkan pada nabi Ibrahim. Apapun tujuannya, baik sebagai bagian dari haji atau hanya sekedar berkunjung, dianjurkan untuk melakukan sa’I sebagai bentuk pelaksanaan perintahNya. Mu’min thawaf untuk allah, tidak seperti Musyrik yang thawaf untuk berhala. Jangan jadikan alsan untuk meninggalkan thawaf sebab akan menyerupai Musyrik, sebab thawaf Musyrik karena kekafirannya dan muslim karena keimanannya. Allah akan membalas dengan kebaikan pada hari kiamat nanti.

Hikmah pensyari’atan:
Sa’I diantara shofa dan marwah selain bentuk pensayri’atan terdapat juga sebuah penghormatan sejarah terhadap nabi ismail beserta ibunya setelah ditinggal nabi Ibrahim yang tidak meninggalkan apapun. Hal ini dilakukan sebab perintah allah yang nantinya tempat ini akan dikunjungi oleh jutaan manusia.
Ketika itu nabi siamil masih menyusu pada siti hajar saat ditinggal nabi Ibrahim. Siti hajar mengeluh akan keadaan ini. Namun setelaj nabi Ibrahim menjelaskan bahwa ini adalah perinh alllah, siti hajar merasa lega. Kemudian nabi Ibrahim kembali ke palestina sesuai dengan perintah allah.
Siti hajar terlihat sengsara dengan keadaan yang tidak ada apa-apa, padahal nabi ismal masih dalam kondisi menyusui. Siti hajar pun sering mengalami fatamorgana. Hal ini dilakukan dari bukit sofa menuju bukit marwah sebanyak tujuh kali. Thawaf yang dilaksanakan saat ini adalah akibat dari peristiwa ini.


loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar