Biografi Snouck Hugronje

Admin Wednesday, December 15, 2010
Snouck Hurgronje menempati posisi tersendiri di kalangan jajaran orientalis yang meneliti Islam, baik dari sisi Islam sebagai agama maupun syari'at. Dia adalah seorang ilmuwan sekaligus politikus ulung yang Iahir pada 8 Februari 1857 di desa Osterhout yang terletak di Timur Laut kota Breda, Belanda. Pendidikan da­sarnya dilalui di kampungnya, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah di Breda. Dia belajar bahasa Latin dan Yunani pada guru khusus, sebagai persiapan masuk universitas, dan berhasil me­nempuh ujian masuk universitas pada Juni 1874. Kemudian pada musim sedang tahun 1874 dia mendaftar ke Fakultas Teologi di Universitas Leiden, Belanda, dan pada Mei 1876 ia menempuh ujian kandidat dalam filologi klasik Yunani dan Latin, lalu pada April 1878 ia mengikuti ujian kandidat dalam Teologi. Namun, dia tetap menekuni Filologi, dan pada September 1878 berhasil menempuh ujian Filologi Semit. Pada bulan November 1879 dia berhasil memperoleh gelar doktor dengan risalah berjudul Musim Haji di Makah.

Dalam disertasinya itu, Snouck mengemukakan urgensi Haji dalam Islam dan berbagai acara seremonial serta ritualnya, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Haji dalam Islam merupakan peninggalan dari ajaran pagan (watsaniah) bangsa Arab.

Pada tahun ajaran 1880/1881, Snouck menghadiri perkuliah­an Theodore Noldeke di Strassburg bersama koleganya, di anta­ranya adalah dua orientalis terkenal, C. Bezold, yang meninggal tahun 1922 di Hedelburg, dan R. Bunnow, yang meninggal tahun 1917 di Amerika. Sekembalinya dari Strassburg pada tahun 1881 ia ditugasi menjadi pengajar ilmu-ilmu Keislaman di Sekolah Calon Pegawai di Hindia Timur, Indonesia, yang bertempat di Leiden. Dari sini ia mulai menaruh perhatian pada masalah-masalah baru yang terjadi di negeri-negeri Islam.

Pada tahun 1884 Snouck mengadakan petualangan ke Jazirah Arab, dan menetap di Jeddah sejak Agustus 1884 hingga Februari 1885, sebagai persiapan menuju Makah, yang merupakan tujuan utama dari petualangannya. Snouck sampai di Makah pada 22 Februari 1885 dengan menggunakan nama samaran Abdul Ghafar. Dia menetap di Makah selama enam bulan, dan menghasilkan karya berjudul Makah. Namun akhirnya, pada bulan Agustus, Snouck dipaksa keluar dari Makah oleh konsul Prancis. Dia pulang dengan empat ekor unta yang membawa barang-barang yang dikumpul­kan selama mukim di sana. Yang disesalkan adalah bahwa perin­tah untuk meninggalkan Makah bertepatan dengan awal musim Haji. Padahal risalah doktor yang pernah ditulisnya berkaitan dengan musim Haji, meskipun hanya berdasarkan pada sumber-­sumber literatur, manuskrip-manuskrip, dan pengalaman orang yang berziarah ke sana, bukan atas dasar pengalamannya sendiri.

Snouck memulai kegiatan mengajarnya di Leiden dan Delf di Sekolah Calon Pegawai di Indonesia. Dengan meninggalnya A.W.T. Joynboll tahun 1887, Snouck ditugasi menggantikan posi­sinya di Delf, namun Snouck lebih memilih mengajar bidang syari'at Islam di Universitas Leiden.

Sejak tahun 1889, Snouck memulai kegiatannya sebagai pena­sihat kolonial Belanda di Indonesia. Pertama kali ia menetap di Indonesia selama dua tahun, sebagai penasihat umum pemerintah kolonial Belanda dalam masalah Islam yang bertempat di Pulau Jawa. Pada Maret 1891 ia menjadi penasihat dalam bahasa-bahasa Timur dan Syari'at Islam bagi pemerintah kolonial Belanda, dan menetap di Aceh sejak tahun 1891-1892. Di samping tugas utama­nya sebagai penasihat pemerintah kolonial, Snouck juga mengum­pulkan bahan-bahan untuk menyusun karya besarya tentang Aceh yang berjudul De Acehers. Pada tahun-tahun berikutnya, Snouck meneliti ragam bahasa, penduduk, dan negeri-negeri yang ter­dapat di Indonesia sesuai dengan tugasnya sebagai penasihat pemerintah Belanda. Snouck juga yang menyusun undang-undang perkawinan khusus di kepulauan Indonesia. Karena mengetahui seluk-beluk masalah Aceh, dia juga diangkat sebagai penasehat di daerah Aceh. Selain itu, Snouck juga menjelajah Pulau Sumatera di pedalaman Gayo dan mempelajari penduduknya. Hasilnya, Snouck menguasai bahasa Melayu, di samping menguasai bahasa Arab dengan baik.

Ketika gurunya, De Goeje, meninggal pada tahun 1906, Snouck menggantikan posisinya di Universitas Leiden. Pada Januari 1907 Snouck ditugasi menjadi Penasihat Pemerintah Kolonial Belanda Masalah Bahasa Arab dan Intern. Dengan begitu, perhatian Snouck terpecah dua, yaitu mengajar di Universitas Leiden dan sebagai penasihat pemerintah. Oleh karena itu, sejak tahun 1906 hingga meninggalnya, tahun 1936, Snouck tidak menghasilkan karya yang besar, hanya menulis makalah-makalah sederhana. Dia meninggal di Leiden pada 26 Juni 1936.

Karya ilmiah Snouck terbagi dalam dua jenis, yaitu karya dalam bentuk buku dan dalam bentuk makalah-makalah kecil. Di antara hasil karya besarnya ialah, tulisannya tentang kota Makah, terdiri atas dua bagian, bagian pertama terbit di kota Den Hag pada tahun 1888 dan bagian kedua juga terbit di kota yang sama pada tahun 1889. Kemudian karyanya yang berjudul De Atjehers, dalam dua bagian, terbit di Batavia (sekarang Jakarta) dan Leiden (cet I, 1893) dan (cet II. 1894); Daerah Gayo dan Pendu­duknya (Batavia,1903). Bagian kedua dari buku Makah, dan bagian pertama dan kedua dari buku De Atjehers, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Karya-karyanya dalam bentuk makalah adalah “Munculnya Islam', "Perkembangan Agama Islam", "Perkembangan Politik Islam", dan "Islam dan Pemikiran Modern". Semua makalah itu telah dikumpulkan oleh muridnya, A.J. Wensinck, dengan judul Bunga Rampai dari Tulisan Christian Snouck Hurgronje dalam enam jilid, jilid keempat terdiri atas empat bagian (Bonn dan Leiden, 1923 -1927). Sistematika kumpulan tulisan itu adalah sebagai berikut; jilid pertama tentang Islam dan sejarahnya, jilid kedua tentang syari'at Islam, jilid ketiga tentang Jazirah Arab dan Turki, jilid keempat tentang Islam di Indonesia, jilid kelima ten­tang bahasa dan sastra, dan jilid keenam tentang kritik buku, dan tulisan-tulisan lain dan daftar indeks, serta rujukan-rujukan.

KEJAHATAN SNOUCK HURGRONJE: (1857-1936 M)
 
Seorang peneliti Belanda kontemporer, Koenings Veld, menjelas­kan bahwa realitas budaya di negerinya membawa pengaruh besar terhadap kejiwaan dan sikap Snouck selanjutnya. Pada saat itu, para ahli perbandingan agama dan ahli perbandingan sejarah sangat dipengaruhi oleh Teori Evolusi Darwin. Hal ini membawa konsekuensi khusus dalam teori peradaban di ka­langan cendekiawan Barat bahwa peradaban Eropa dan Kristen adalah puncak peradaban dunia. Sementara itu, Islam yang datang belakangan, menurut mereka, adalah upaya untuk memutus per­kembangan peradaban ini. Bagi kalangan Nasrani, kenyataan ini dianggap hukuman atas dosa-dosa mereka.Ringkasnya, agama dan peradaban Eropa adalah lebih tinggi dan lebih baik dibanding agama dan peradaban Timur. Teori peradaban ini berpengaruh besar terhadap sikap dan pemikiran Snouck selanjutnya.
 
Pada tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden, Snouck pernah berkata, "Adalah kewajiban kita untuk membantu pen­duduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Indonesia - ­agar terbebas dari Islam." Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah.

Snouck pernah mengajar di Institut Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang memberikan pelatihan bagi warga Belanda sebelum ditugaskan di Indonesia. Saat itu, Snouck belum pernah datang ke Indonesia, namun ia mulai aktif dalam masalah-maasalah penjajah­an Belanda. Pada saat vang sama, Perang Aceh mulai bergolak.

Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan para jamaah haji dari Indonesia untuk mendapatkan in­formasi yang ia butuhkan.

Pada saat itu pula, ia menyatakan keislamannya dan mengu­capkan syahadat di depan khalayak dengan memakai nama Ahdul Ghaffar. Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang isinya menyebutkan "Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak dan ulama-ulama Mekah telah mengakui keislaman Anda." Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi tercatat dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda. Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Penyambutan hangat seperti ini sering juga dilakukan oleh umat/tokoh di Indonesia terhadap para mantan non muslim, bahkan mendadak menjadi Ustad/Ustadzh yang kondang. Tidak sedikit dengan ilmu yang seadanya menerbitkan tulisan-tulisan yang membahas tentang keislaman terkait dengan masalah aqidah, seperti layaknya seorang ulama. Kadang namanya lebih dikenal dari ustadz/ustadzah yang sebenarnya.

Selama di Saudi, Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai saudara seagama kesempatan ini digunakan oleh Snauck untuk memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu.

Snouck kemudian menawarkan diri kepada pemerintah pen­jajah Belanda untuk ditugaskan di Aceh. Saat itu, Perang Aceh dan Belanda mulai berkecamuk. Snouck masih terus melakukan surat menyurat dengan ulama asal Aceh di Mekah.

Snouck tiba di Jakarta pada tahun 1889. Jendral Beraker Hourdec  dengan hidden missionnya menyiapkan tokoh-tokoh Islam untuk dapat membantunya. Seorang di antaranya adalah tokoh keturunan Arab, yaitu Sayyid Utsman Yahya bin Aqil Al Alawi. Tentunya beliau dan juga seperti banyak tokoh lainnya tidak menyadari misi terselubung Snouck ini.

Selain itu, ia juga dibantu sahabat lamanya ketika di Mekah, Haji Hasan Musthafa yang diberi posisi sebagai penasihat untuk wilayah Jawa Barat. Karena kelihaiannya, tentunya kedua orang tokoh Islam ini tidak menyadari Snouck yang sebenarnya. Snouck sendiri memegang jabatan sebagai penasihat resmi pemerintah penjajah Belanda dalam bidang bahasa Timur dan Fikih Islam. Jabatan ini masih dipegangnya hingga setelah kembali ke Belanda pada tahun 1906.
Misi utama Snouck adalah "membersihkan" Aceh. Setelah melakukan studi mendalam tentang semua yang terkait dengan masyarakat ini, Snouck menulis laporan panjang yang berjudul Kejahatan-Kejahatan Aceh. Laporan ini kemudian menjadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapai masalah Aceh.

Pada bagian pertama, Snouck menjelaskan tentang kultur ma­syarakat Aceh, peran Islam, ulama, dan peran tokoh pemimpinnya. la menegaskan pada bagian ini bahwa yang berada di be­lakang perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ulama. Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai dan dijadikan sekutu karena mereka hanya memikirkan bisnisnya.

Snouck menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif karena dialah yang menimbulkan semangat fana­tisme agama di kalangan Muslimin. Pada saat yang sama, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan "pembersihan" ulama dari tengah masyarakat, Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.

Bagian kedua laporan ini adalah usulan strategis soal militer. Snouck mengusulkan dilakukannya operasi militer di desa-desa di Aceh untuk melumpuhkan perlawanan rakyat yang menjadi sumber kekuatan ulama. Bila ini berhasil, terbuka peluang untuk membangun kerjasama dengan pemimpin lokal.

Perlu disebut di sini bahwa Snouck didukung oleh jaringan intelijen/mata-mata dari kalangan pribumi. Cara yang ditempuh sa­ma dengan yang dilakukannya di Saudi dulu, yaitu membangun hubungan dan melakukan kontak dengan warga setempat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Orang-orang yang membela dan membantunya baik dari tokoh/aktifis/umat muslim berasumsi bahwa Snouck saat itu adalah seorang saudara seagama yang sedang berjuang membela Islam. Dalam suatu korespondensinya dengan ulama Jawa, Snouck menerima surat yang bertuliskan "Wahai Fadhilah Syekh Allamah Maulana Abdul Ghaffar, sang mufti Negeri Jawa."

Lebih aneh lagi, Snouck menikah dengan putri seorang kepala daerah Ciamis, Jawa Barat pada tahun 1890. Dari pernikahan ini ia memperoleh empat anak: Salamah, Umar, Aminah, dan Ibrahim.

Akhir abad 19 ia menikah lagi dengan Siti Saidah, putri Khalifah Apo, seorang ulama besar di Bandung. Anak dari pernikahan ini bernama Raden Yusuf. Luar biasa memang, orang disekelilingnya, baik mertua, istri, anak-anaknya dan orang-orang disekeliling yang lainnya, PASTI semua orang-orang yang ada dekat denganya menyatakan dengan penilaian mereka sehari-hari, mustahil Snouck hanya berpura-pura masuk islam. Jika saat ini ada pihak yang menyatakan lain, maka sudah pasti akan jadi musuh bersama orang islam lainnya.

Snouck melakukan surat menyurat dengan gurunya Theodor Noeldekhe, seorang orientalis Jerman terkenal. Dalam suratnya, Snouck menegaskan bahwa keislaman dan semua tin­dakannya adalah permainan untuk menipu orang Indonesia demi mendapatkan informasi. la menulis, "Saya masuk Islam hanya pura-pura. Inilah satu-­satunya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik."

Temuan lain Koenings Veld dalam surat Snouck mengungkap bahwa ia meragukan adanya Tuhan. Ini terungkap dari surat yang ia tulis pada pendeta Protestan terkenal, Herman Parfink, yang berisi, "Anda termasuk orang yang percaya kepada Tuhan. Saya sendiri ragu pada segala sesuatu."

Dr. Veld berkomentar tentang aktivitas Snouck sebagai berikut. "la berlindung di balik nama 'penelitian ilmiah dalam mela­kukan aktivitas spionase, demi kepentingan penjajah." Veld yang merupakan peneliti Belanda yang secara khusus mengkaji biografi Snouck menegaskan bahwa dalam studinya terhadap masyarakat Aceh, Snouck menulis laporan ganda. la menuliskan dua buku tentang Aceh dengan satu judul, namun dengan isi yang bertolak belakang.

Dari laporan ini, Snouck hidup di tengah masyarakat Aceh selama tiga puluh tiga bulan dan ia pura-pura masuk Islam. Dalam rentang waktu itu, ia menyaksikan budaya dan watak masyarakat Aceh sekaligus memantau peristiwa yang terjadi. Semua aktivitasnya tak lebih dari pekerjaan spionase dengan mengamati dan mencatat.

Sebagai hasilnya ia menulis dua buku: pertama, berjudul Aceh, memuat laporan ilmiah tentang karakteristik masyarakat Aceh dan buku ini diterbitkan. Buku ini bernada membela islam dan rakyat aceh. Akan tetapi, pada saat yang sama, ia juga menulis laporan rahasia untuk pemerintah Belanda berjudul "Kejahatan, Aceh." Buku ini memuat alasan-alasan memerangi rakyat Aceh.

Dua buku ini bertolak belakang dari sisi materi dan prinsipnya. Buku ini menggambarkan sikap Snouck yang sebenarnya. Di dalamnya, Snouck mencela dan merendahkan masyarakat dan agama rakyat Aceh. Laporan ini bisa disebut hanya berisi cacian dan celaan sebagai provokasi penjajah untuk memerangi rakyat Aceh.

Komentar tentang aktivitas spionase Snouck Hurgronje pada masa penjajahan juga muncul dari cendekiawan putra Aceh, yaitu Prof. A. Hasymi. la menuIis, "Belanda mulai memerangi Aceh dalam upaya menguasai daerah jajahannya sejak 1873. Perang berlangsung selama dua puluh tahun, namun tentara Belanda tak berhasil menaklukkan rakyat Aceh. Belanda menghadapi per­lawanan rakyat yang sengit dalam tiap pertempuran. Rahasia perlawanan ini adalah padunya ulama dan pemimpin setempat. Snouck sangat paham hal ini dan melihat Islam sebagai penggerak paling kuat dalam jiwa kaum Muslim."

Snouck ingin menyerang dan meruntuhkan perlawanan ini dari akarnva. la belajar Islam, datang ke Mekah, dan pura-pura masuk Islam. Bahkan, untuk tujuan busuk ini, Snouck memakai nama Abdul Ghaffar.

Dengan cara ini, Snouck bisa mengenal ulama-ulama Aceh yang berada di Mekah, seperti Syekh AI Habib Abdul Rahman Azh Zhahir. la membangun hubungan erat dengan orang-orang Indonesia di sana, khususnya asal Aceh, sehingga tak seorang pun dari mere­ka yang membayangkan ia adalah seorang musuh lslam yang sa­ngat berbahaya. Snouck bahkan pernah berjanji akan membantu rakyat Aceh dalam perang melawan penjajah Belanda (membela islam).

Kedatangannya ke Aceh pada tahun 1893 disambut hangat oleh kaum Muslimin. Ia dianggap sebagai bagian dari mereka karena di mana pun kaum Muslimin bersaudara. Hal ini makin diperkuat dengan kemampuan Snouck yang bisa bicara bahasa Arab dengan fasih. Mereka membantu segala keperluan Snouck dan memuliakannya sebagai tamu Muslim yang hidup di tengah keluarganya sendiri.

Bahkan, penduduk daerah Ulee Lheue membantunya dalam mempelajari bahasa lokal agar ia mudah berhubungan dengan warga setempat. Dari sinilah Snouck mulai bekerja diam-diam dengan melakukan kajian dan menulis laporan demi kepentingan penjajah Belanda.

Setelah kajian mendalam terhadap masyarakat Aceh, Snouck menemukan bahwa rahasia kekuatan adalah persatuan ulama dan tokoh pemimpin masyarakat. Inilah yang dihancurkan oleh Snouck dengan memecah barisan umat dan menumbuhkan pertentangan antara dua pihak yang berpengaruh ini. la menjalankan politik devide at impera, pecah dan kuasai. Inilah yang membuat Belanda sanggup menundukkan rakyat Aceh.

Politikus dan Sejarawan Indonesia, Ridwan Saidi dalam bukunya ‘Fakta dan Data Yahudi di Indonesia’ memberikan komentar bahwa apa yang dilakukan oleh Snouck sangat licik, ia berpura-pura masuk Islam, atau dalam istilah lain dikatakan ia melakukan IZHARUL ISLAM, yaitu suatu sikap yang diperagakan oleh orientalis abad ke-19 di negeri-negeri jajahan. Cara ini amat ampuh dalam upaya mengorek kelemahan Islam yang menjadi agama mayoritas di tanah jajahan tersebut. Dengan berpura-pura Islam, bersyahadat, shalat, bahkan ke Mekkah, kemudian menjadi Mufti tentang masalah Islam,  maka hubungan dengan umat Islam dapat dibina dengan akrab.

Belakangan, Snouck Hurgronje diketahui telah melakukan kejahatan Izharul Islam, meski ia bukan orang pertama karena sebelumnya seorang orientalis Perancis dengan Izharul Islam nya telah mencapai sukses melestarikan penjajahan Perancis atas bumi Afrika Utara.

Izharul Islam, sebagai metodologi, kini sudah tidak dipergunakan lagi, boleh dikata sejak Perang Dunia II berakhir, setelah bangsa-bangsa terjajah memerdekakan diri, maka "zaman keemasan" Izharul Islam berakhir. Para mantan penjajah yang masih ingin mempertahankan kepentingannya di bekas negeri jajahan, mempraktekkan penampilan baru, yaitu "bersimpati" kepada Islam, antara lain dengan memberi bantuan untuk kepentingan "pembangunan" Islam.

Berdasarkan observasi penulis, bukan berarti Izharul Islam mati total, bisa jadi  hanya mati suri saja. Sejarah akan berulang, Snouck jilid kedua bisa terjadi. Mengamati kenyataan di lapangan menunjukkan betapa banyak kasus ini menimpa umat Islam di bumi Nusantara. Mereka dihormati karena status sebagai muallaf, tetapi ternyata hal tersebut hanya sebagai kedok untuk melanggengkan misinya. Mulai dari maksud sederhana ingin mendapatkan hak zakat dan belas kasihan orang,  sampai kepada kepentingan besar dalam misi memurtadkan Muslimin dari agamanya..

Kasus populer di zaman ini beredarnya Qur'an Van Der Plas di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan (daerah Hulu Sungai). Harian Kalimantan Berjuang (23 Maret 1950) memberitakan keterangan Kyai Widjaja yang melaporkan beredarnya Qur'an palsu yang dibagikan oleh Van Der Plas. Van Der Plas adalah kuasa pemerintah Belanda yang ditempatkan di "daerah pendudukan". Qur'an palsu itu diberikan kepada para ulama, dan ternyata setelah diteliti isinya mengandung dongeng Israiliyat. Sudah barang tentu hal ini menghebohkan. Diduga Van Der Plas sengaja melakukan ini untuk mengacaukan pemahaman umat terhadap agamanya.

Pola Van Der Plas memang terlalu kotor, dibanding dengan pola yang dijalankan Snouck Hurgronje. Yang belakangan ini menjalankan misi spionasenya dengan berkedok penelitian ilmiah.
 
Agar memudahkan membina akses dengan informan Muslim, Snouck ber-Izharul Islam. Ternyata, menurut penelitian Dr. Van KoningsveId, Snouck membuat laporan penelitian ganda, misalnya tentang Aceh, Snouck menulis dua jilid buku tebal De Atjehers berisi laporan ilmiah mengenai masyarakat Aceh, dan buku ini dipublikasikan. Tetapi Snouck juga menulis Verslag Aceh sebagai laporan kepada Pemerintah Belanda tentang alasan mengapa Aceh harus diperangi. Verslag Aceh berbeda dengan The Atjehers.

Pendirian Snouck yang paling asli tentang Islam terdapat dalam Verslag Aceh. Di situ Snouck mencibiri orang Aceh dan Islam. Celaan terhadap Aceh dan Islam mewarnai laporannya itu sehingga memotivasi pemerintah Belanda untuk meneruskan perang menaklukkan Aceh.

Pada tahun 1906, Snouck Hurgronje kembali ke negeri Belanda setelah bertugas di Indonesia selama 17 tahun. Perpisahan dengan keluarga, menurut sumber terdekat penulis, berlangsung secara mengharukan, tentunya dengan tetap memiliki paradigma, papahku adalah sosok yang telah membela islam.

Keempat anaknya yang sudah besar diajaknya ke Stasiun Gambir. Sambil melihat-lihat peninggalan masa lalu, Snouck berkata kepada anaknya, "Anak-anakku,, papa akan kembali ke negeri Belanda buat selamanya, keperluan  kamu akan papa kirim dari negeri Belanda, dan kamu semua akan papa ikutkan dalam asuransi jiwa. Bila besar kelak, janganlah kamu menggunakan nama fam Hurgronje, itu mungkin dampaknya tidak bagus buat kamu."

Keempat anaknya itu terperangah belaka. Hanya air mata yang meleleh di pipi disaksikan area-area yang membisu. Snouck membujang di Belanda selama empat tahun. Pada tahun 1900 ia kawin lagi dengan seorang gadis Belanda beragama Roma Katolik, Maria Otter. Tahun 1922 ia dikaruniai seorang puteriyang diberi nama Christien. Christien rupanya menjadi puteri tunggal dari isteri Belanda satu-satunya itu. Menurut sumber-sumber penulis di negeri Belanda, ternyata Christien tidak pernah dididik secara Islam. Ia tumbuh dan berkembang sebagai gadis Katolik, sampai kelak ia bertemu jodoh dengan seorang Belanda mantan karyawan De Javasche Bank. Pernikahannya juga berlangsung secara Katolik.

Menjelang wafatnya, Snouck Hurgronje selama tiga bulan terbaring saja di kamar tidurnya di Leiden, Belanda. Ia tidak bercakap-cakap, sampai suatu hari ia memanggil isteri dan anaknya. Seraya terbaring di tempat tidur, Snouck meminta agar testamen yang telah dibuatnya diubah. la menginginkan agar anak-anaknya yang berada di Indonesia diberi bagian warisan. Konon, Christien terlongong-longong, dan baru pada detik itu ia mengetahui bahwa ia mempunyai saudara seayah di Indonesia. Snouck dimakamkan satu lahat dengan ibu kandungnya di TPU- Leiden.

Itulah seorang intelijen sebenarnya, kadang sampai masuk liang lahatpun, istri/suami, anak-anaknya dan orang-orang disekelilingnya tidak akan menyangka sosok yang sebenarnya yang mereka cintai tersebut.

Tatkala Sejarawan Ridwan Saidi pada tahun 1989 berkunjung ke Belanda, yang ditemani intelektual Belanda Dr. Kareel Steenbreenk dan Dr. Martin Van Bruinesen, menyempatkan diri menengok makam Snouck di Leiden. Tampaknya sangat jarang orang berziarah ke situ, kalau pun ada pengunjung, mereka lebih tertarik berziarah ke makam ibunda pelukis terkenal Van Gogh. Snouck Hurgronje tidak dimakamkan Secara Islam.

Spion Intelektual
 
Di negeri Beianda sekali pun, ajaran mikul duwur mendem jero ternyata diamalkan oleh sebagian ilmuwan Belanda, baik angkatan tuanya seperti         F. Schroder dan L.l Graaf maupun yang lebih muda seperti W.G.J. Ramelink. Karena itu ketika Van Koningsveld (VK) untuk pertama kalinya pada tanggal 16 November 1979 merobek topeng intelektual Snouck Hurgronje (SH), timbul polemik sengit sepanjang tahun 1980 - 1981 dalam pelbagai media massa Belanda.

VK sebagai sarjana ahli bahasa Arab dan keislaman yang lahir pada  tahun 1943, berasal dari almamater yang sama dengan Snouck Hurgronje (SH) yakni Universiteit Kerajaan Leiden. Seperti diketahui, Snouck Hurgronje (SH) -1857-1936- selama 17 tahun, 1869-1906, menjadi penasehat Islam pemerintahan Hindia Belanda. Selama itu SH bertindak selaku arsitek "politik Islam" Hicdia Belanda. Staatblad-staatblad yang dikeluarkan pemerintah jajahan "Perkara boemipoetera jang bersangkoetan dengan agama Islam" di sepanjang dasawarsa (akhir) abad ke 19 dan abad ke-20 sebelum masa Jepang, berasal dari pemikiran SH yang intinya menjadikan Islam sebagai agama "ibadat"  saja (Islam itu cukup di masjid saja)

Dan dengan politik asosiasie, SH menginginkan secara kultural boemipoetera beroreintasi kepada Belanda, "...cukup dengan kesatuan budaya antara kawulanegara Ratu Belanda di Pantai Laut Utara dan di Insulinde," sebagai cara untuk memecahhkan masalah Islam Belanda, kata SH dalam Nederland en de Islam. Semua peran yang dibawakannya ini, termasuk dalam Perang Aceh, meninggalkan luka bernanah pada relung hati umat Islam, sampai kini.

Lewat penelitian yang mendalam, sejumlah dokumen, baik Verslaag, catatan SH, surat-surat dari dan untuk SH, kepustakaan, dan wawancara, VK menuliskan kesimpulannya tentang SH dalam tujuh artikel yang dikumpulkan dalam buku ini.

Seperti yang diungkapkannya sendiri, minat meneliti SH bermuIa dari rasa ingin tahu remaja yang masih duduk di bangku sekolah lanjutan terhadap SH yang namanya ketika itu sudah didengarnya.

Dalam artikel-artikel yang ditulisnya, Van Koningsveld (VK) berkesimpalan bahwa SH adalah seorang ilmuwan yang tidak dapat dipercaya kejujurannya. Van Koningsveld (VK) membuktikan bahwa bagian kedua buku Mecca, in the letter part of the 19 th, century, seratus halaman di antaranya merupakan jiplakan mentah-mentah laporan pembantunya, Aboebakar Djajadiningrat, yaitu paman Husein Djajadiningrat, tanpa disebut namanya satu kali pun dalam buku ini. Juga foto ilustrasi dibuat oleh Abdul Gaffar, tabib terkenal di Mekkah, sedangkan SH dalam buku itu membubuhi namanya sendiri sebagai pembuat foto.

Kelancangan lain adalah SH mengaku menulis 1.500 pepatah Arab, padahal itu merupakan salinan pepatah Mesir yang dibuat seorang ulama bernama Abdurahman Effendi. Sementara itu, karya lain SH berjudul The Atjehers merupakan bentuk kelancangan lain. Di samping buku ini. SH menulis Verslag yang antara lain SH menulis bahwa manusia Aceh sebagai biadab, kotor, dan suka berhubungan seks liar.

Maka bagi yang mau belajar, salah satu tanda kebenaran seseorang adalah jejak-jejak tulisannnya dan coba bertanya yang mendalam tentang buku-buku yang ditulisnya, ada satu keadaan dimana yang  bersangkutan akan menjawab dengan tidak memuaskan atau dengan jawaban yang melenceng dari isi pertanyaan atau enggan memasusi situasi tanya jawab dengan berbagai alasan.

Sejak kunjungan ke Mekkah tahun 1883 SH telah membawa tugas politik, karena perjalanannya itu diatur dan diongkosi oleh pemerintahan kerajaan Belanda. Sejak di Mekkah, SH telah menyiapkan konsep "anti gerilya" melawan Aceh. Ia tinggal bertetangga dengan pemukiman orang Aceh di Mekkah. Dari tempat ini SH mulai memelihara akses dengan pribumi, seperti Hassan Mustafa, yang kelak menjadi informan pentingnya. SH sendiri pada 1 April 1889 tiba di Penang, dan bergaul dengan pelarian Aceh, dan dari sini berusaha memasuki Aceh secara gelap. Pemerintah Hindia Belanda menolak "operasi intelijen" ini. Akhirnya SH langsung berlayar ke Jawa.

VK berpendapat, bukan Jenderal Van Heuz sebagai penakluk Aceh, tetapi justeru SH sendiri. Di antara tahun 1898­-1902, SH melakukan perjalanan ke Aceh sebanyak tujuh kali dan menghabiskan waktu berdiam sebanyak 33 bulan. Selama itu SH mengambil bagian dalam sejumlah operasi militer, termasuk memimpin suatu dinas intelijen avan la lettre (secara tidak resmi). Hasilnya SH berjaya menawan 100 orang pejuang  Aceh. Sumbangan terpenting SH dalam penumpasan Aceh adalah merekonstruksi peta daerah Gayo yang berbukit­-berlembah berdasar informasi seorang cecunguk bernama Djambek alias Nyak Puteh yang menjadi pembantunya. Berdasarkan peta yang dibuat SH, Jenderal Van Daalen melumpuhkan perlawanan Aceh di sini.

SH tidak akan berhasil dalam misinya yang tidak terungkap sampai terakhir ia berada di Indonesia, tanpa bantuan orang pribumi seperti Habib Abdurrahman Al Zahir, Aboebakar Djajadiningrat, Hasan Mustafa, Habib Osman bin Jahja, Tengku Nurdin, dan Djambek. Orang-orang ini dengan setia membantu dan membala (tentunya tanpa disadari oleh para tokoh tsb) dari misi spionase SH yang dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.

Yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku Izharul Islam, berpura-pura Islam, yang dilakukan SH dalam rangka participating observation terhadap Islam, termasuk mengawini dua perempuan pribumi putri penghulu terkemuka. Bagi para penyusup, menikah dengan tokoh/aktif islam adalah semacam teori keharusan agar misinya benar-benar sulit dibongkar secara logika. Pernikahan ini tak pernah diakuinya pada kalangan kulit putih, termasuk kepada puteri Belandanya sendiri, sampai saat menjelang maut.

Izharul Islam sebagai "sarana riset" dilakukan SH, Seperti halnya Wyne Sergean kawin dengan Obahorok, dari Lembah Baliem, Irian Jaya, ketika yang bersangkutan meneliti perilaku seks suku terasing.

Dengan penelanjangan habis-habisan terhadap SH, tidak mengherankan VK menerima tuduhan berpaham nasionalisme Arab. Sebenarnya apa sih, motif VK sehingga tega. larane (tapi juga) tega patine terhadap SH.

Hal ini terjawab pada artikel kedelapan dalam buku ini. VK menginginkan review kebijaksanaan Belanda dewasa ini mengenai Islam. VK mengecam pembatasan terhadap kemungkinan pengembangan Islam di Belanda, sebagai akibat sistem hukum yang ada.

Ringkasnya, VK menginginkan keterbukaan seraya "klarifikasi intelektual" terhadap masa lampau generasi ilmuwan Belanda di tanah jajahan.

Dengan buku ini, VK juga ingin menjernihkan misi intelektual para ilmuwan yang bekerja di mana pun agar memegang etik intelektual dan tidak menjalankan tugas intelijen.

Berdasarkan penelitiannya, VK memastikan bahwa Snouck (SH) secara sadar beralih agama dan berperilaku lahiriah sebagai Muslim di Mekkah maupun di Indonesia untuk tujuan politik belaka.

Berikut ini petikan pendapat Van Koningsveld (VK) yang dikutip Kompas, 16 Januari 1983:

Snouck menilai, Al Qur'an bukan sebagai wahyu Turan, tetapi lebih sebagai "harya tulis" Nabi Muhammad SAW.yang mengandung gagasan-gagasannya tentang agama. "Menurut penilaian saya, disertasi Snouck merupakan karya ilmiahnya yang terbaik, karena di situ. ia bersikap sebagai ilmuwan,"ujar VK.  VK menambahkan keterangan tentang situasi budaya di negeri Belanda saat itu, yang amat berpengaruh terhadap sikap dan pandangan hidup Snouck kelak. Snouck berasal dari keluarga pendeta Protestan (domine) terkemuka yang konvensional dan semi ortodoks. Tetapi lingkungan dia belajar (Leiden) adalah liberal untuk zaman itu. Dan pada periode itu, ilmuwan perbandingan agama, dan perbandingan sejarah agama amat dipengaruhi teori euolusi dari Charles Darwin. Pengaruh itu melahirkan suatu teori kebudayaan bahwa budaya Eropa dan agama Kristen merupakan titik puncak proses perkembangan kebudayaan. Karena itu, agama Islam dianggap sebagai suatu bentuk "degenerasi" kebudayaan yang oleh kalangan Kristen di situ dianggap sebagai hukuman Tuhan YME atas segala dosa kaum Nasrani. Pendeknya, agama dan budaya Eropa lebih unggul daeipada agama dan budaya Timur (Oriental).

Teori atau konsep kebudayaan tersebut di atas amat mempengaruhi pandangan dan sikap Snouck selanjutnya, demikian VK Pada tahun 1876, semasa Snouck masih mahasiswa di Leiden pernah menyatakan: "Kita harus membantu. bangsa pribumi (maksudnya penduduk negara jajahan) untuk beremansipasi dari Islam". Sejak itu, memang Snouck tidak pernah beranjak jauh dari sikap, demikian.

SH kemudian mengajar pada "Leiden of Delf Akademie" tempat semua calon pejabat pemerintah kolonial Belanda dilatih sebelum berdinas di Hindia Belanda. Snouck sendiri belum pernah ke Hindia, namun di situlah dia mulai terlibat dengan urusan kolonial Hindia Belanda di mana perang Aceh sudah mulai berkobar.

Ketika tinggal di Jeddah, Snouck berkenalan dengan dua orang Indonesia yang kemudian menjadi amat penting baginya, yaitu Raden Aboebakar Djajadiningrat dan Haji Hasan Moestafa, keduanya berasal dari Priangan. Snouck belajar bahasa Melayu dari Aboebahar dan giat bergaul dertgan para jamaah dari Hindia untuk mencari keterengan yang diperlukan.

Semua kegiatan Snouck selama di Arab Saudi ini dicatat dalam buku harian yang teliti dan sampai kini masih tersimpan di arsip perpustakaan Universitas Leiden. Dari buhu harian itu, menurut VK banyak ulama di Jeddah yang menganjurkan SH beralih agama menjadi Muslim. Apalagi Snouck memang sudah banyak pengetahuannya tentang Islam. Dan ini memang dilakukan oleh SH, setelah ia tinggal di rumuh Aboebakar ds Jeddah pada 4 Januan 1885. Peralihan agama ini pasti, karena enam bulan sesudah itu ada sepucuk surat berbahasa Arab dari seorang penduduk Mekkah yang ditujukan kepada SH dengan nama Abdoel Gaffar. Salah satu surat itu, menurut penuturan VK berbunyi:

   "...karena anda telah beralih agama di depan khalayak ramai, maka juga para ulama di Mekkah dengan ini mengukuhkan keabsahan peralihan agama anda ke Islam."
   "Tetapi, meski Snouck telah melakukan upacara peralihan agama, tidaklah berarti. dia Muslim sejati," kata VK. "Ini  pernyataan saya, dan saya bisa membuktikannya berdasarhan. dokumen yang ada."

Kemudian Snouck alias Abdoel Gaffar tinggal selama enam bulan di Mekkah. Di situ dia diterima dengan kehormatan oleh ulama tertinggi di Mekkah, yaitu Wali Hejaz. Tahun 1885, Snouck kembali ke negerinya.

Jilid kedua berisi uraian tentang pelbagai segi kehidupan dan keluarga di Mekkah. Terutama tentang peri kehidupan dan pandangan kaum `eks Djawa' yaitu masyarakat Indonesia yang bermukim di Mekkah. Bahkan Snouck menguraikan kehidupan seks dalam keluarga di situ dan pelbagai segi pribadi hehidupan masyarakat seperti pendidikan agama, khitanan, upacara perkawinan, penguburan. dan sebagainya. Banyak kalangan ilmuwan yang mengagumi Snouck yang telah menjalankan metode pengamatan dan penelitian `modern' yakni dengan metode partisipasi.

Tetapi VK berpendapat lain, "Jilid kedua itu terbukti didasarkan pada laporan tertulis berupa surat-surat dari Aboebakar di Jeddah kepada Snouck," ujarnya. "Korespondensi ini berjalan terus setelah Snouck pulang melalui Konjen Belanda. Bahkan ada bagian-bagian dari buku Snouck itu yang merupakan jiplakan dari surat Aboebakar.!" Memang Aboebakar ketika itu dijadikan asisten Konjen Belanda atas rekomendasi Snouck.

Bukan itu. saja. Bahkan atas persetujuan Snouck, Aboebakar membuat sebuah buku catatan berisi biografi ulama Indonesia yang berada di Mekkah ketika itu. Buku (cahier) ini berjudul Risalah Tarjamah Ulama Djawa, antara lain memuat biografi An-Nawauwi Banten. Adanya risalah ini baru diketahui sekarang dan ditentukan oleh VK. "Ini dan semua surat-surat tadi sepatutnya diterbitkan atas nama Aboebakar Djajadidningrat karena Snouck tidak menggunakan seluruhnya," katanya.

Selama di Jeddah dan di Mekkah, Snouck memang tidak ber-hasil mendapatkan informasi yang bernilai politis bagi Belanda. Terutama pandangan terhadap Belanda. Keterangan ini diperoleh dengan mudah karena masyarakat di sana sudah rnenganggap Snouck alias Abdoel Gaffar sebagai akhu-fiddin (saudara seagama) mereka. Ketika di situ pula Snouck membina pertemuan dengan orang-orang Aceh.

SH lalu membuat langkah penting dalam hidupnya. Dia menawarkan diri untuk ditugaskan he Aceh. di mana Belanda sudah terlibat perang yang luas di situ. Apalagi dia masih berkorespondensi dengan beberapa ulama Aceh yang dikenalnya di Mekkah.

   "Snouck mengusulkan, dia akan pergi ke Aceh diam-diam dengan tujuan melakukan penetrasi ke Istana Sultan di Kumala, suatu tempat di mana Sultan menyingkir dari serbuan Belanda," tutur VK "Snouek akan mengusahakan suatu persetujuun antara Belanda dengan Sultan Aceh."

Kementerian Urusan Jajahan setuju. Snouck berangkat secara rahasia. Tetapi, sesampai di Penang, dia dicegat Konsul Belanda dan diperintahkan melapor ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ternyata pihah militer Belamda di Aceh tidak setuju dengan rencana Snouck. Snouck mendarat di Batavia tahun 1889. Gubernur Jenderal C. Pijnaker Hordijk secara segera menunjuk beberapa orang menjadi asisten Snouck.

Salah satu pembantu yang utama adalah yang terdahulu Sayyid Osman ibn Jahja ibn Aqil al-Alawi. Dia ulama keturunun Arab Hadramaut, dan pembantu penasihat pemerintah masalah Islam, yang terdahulu Mr. L.W.C. Van Den Bergh. Selain itu, Snouck juga dibantu kenalan lama di Mekhah, Haji Hasan Moestafa, yang dijadikannya penasihat utama untuk wilayah Jawa Barat.

Melalui perbincangan di Batavia dan korespondensi dengan Den Haag, Snouck  mendapat jabatan resmi dan tetap sebagai "Officieel Adviseur voor Oostersche Talen en Mohammedaans Rechts" (Penasehat Resmi Bahasa Timur dan Hukum Islam). Bahkan sesudah pulang kembali ke Leiden tahun 1906, dia tetap menjabat kedudukan itu dengan nama "Adviseur voor Inlandsche Zaken" yang berhubungan dengan kabinet Belanda.

Tugas penting pertama SH adalah mendalami cara menyelesaikan atau lebih tepat menumpas Perang Aceh. Setelah peninjauan lapangan selama hanya delapan bulan saja, dan dibantu banyak keterangan tertulis jaringan pembantunya.

Pada tahun 189 SH ditugaskan ke Aceh untuk menyusun saran penyelesaian Perang Aceh bagi Belanda, karena politik pemerintah gagal total. Snouck berangkat ke Ulee Lheue yang menjadi kubu militer Belanda. Di situ dia mendapat bantuan berharga dari Tengku Nurdin yang juga abang kepala pengulu Ulee Lheue bernama A'koeb. Kemudian Snouck membuat laporan telab "Atjeh Verslag" yang menjadi dasar kebijakan politik dan militer Belanda menghadapi persoalan Aceh.

Bagian pertama laporan. itu berupa uraian antropologis Aceh, pengaruh Islam, peranan ulama, dan uleebalang. Dalam bagian ini Snouck mengemukakan bahwa Perang Aceh dikobarkan oleh para ulama, sedang para uleebalang bisa menjadi calon sekutu Belanda karena kepentingabnya adalah berniaga. "Islam harus dinilai sebagai faktor yang sangat negatif karena membangkitkan fanatisme anti-Belanda di kalangan rakyat. Setelah para pemuka agama ditumpas, maka Islam akan menjadi tipis (superpicial di Aceh sehingga para uleebalang bisa dengan mudah menguasai situasi," demikian pendapat Snouck menurut penuturan VK.

Bagian kedua berisi saran dan tindakan strategis militer. Snouck menyarankan agar operasi militer ke pedalaman menumpas habis gerilya dan sumber kekuatan utama, dan setelah itu baru bisa ada peluang membina hubungan kerjasama dengan uleebalang.

Van Koningseteld (VK) menegaskan bahwa Snouck selalu dikelilingi suatu jaringan pembantu atau pemberi keterangan yang terdiri dari orang Indonesia. "Cara kerja Snouck di Hindia Belanda persis sama dengan ketika berada di Arab Saudi: mengadakan kontak dengan mendapatkan informasi lengkap tertulis."

Para ulama ini membantunya dengan sukarela dan dengan keyakinan Snouck itu Muslim. Kecuali beberapa orang seperti Sayyid Osman, yang memang digaji 100 Gulden sebulan oleh pemerintah Belanda.

VK menemukan sejumlah surat dari banyak ulama di Jawa kepada Snouck yang disebutnya, antara lain sebagai "al Sheikh al Allama Maulana Abdoel Ghaffar Moefti Ad-Dhiyar al ­Djawiya" yang artinya "Tuan Abdoel Ghaffar sarjana yang amat terpelajar pemimpin agama tertinggi di Jawa."

Lebih istimewa lagi, Sheikh Maulana Abdoel Ghaffar itu pada bulan Januari 1890 menikah dengan seorang puteri kepala penghulu Ciamis. Dari perkawinan ini lahir empat anak, dua perempuan dan dua laki-laki. Yaitu Salmah, Emah, Oemar, Aminah, dan Ibrahim.

Dan dekat dengan akhir abad he-19, Abdoel Ghaffar Snouck Hurgronje menikah lagi dengan Siti Sadiyah, putri ulama paling terkemuka di Bandung ketika itu yaitu Kalipah Apo. Perkawinan ini melahirkan seorang putra tunggal yaitu R. Joesoef.

Snouck dalam suatu korespondensi dengan Theodor Nuldeke, orientalis terkemuka Jerman yang juga gurunya di sebuah universitas Strassbourgh, mengaku terus terang bahwa perilakunya sebagai Muslim adalah untuk menembus masyarakat Islam dan mendapatkan keterangan. ",...saya melakukan idharul-Islam karena hanya dengan begitu saya bisa diterima di halangan primitif, seperti di Indonesia," begitu VK mengutip surat Snouck kepada Nuldeke.

VK juga menemukan surat lain Snouck, yang menyatakan bahwa dia juga seorang agnostik (selalu meragukan keberadaan Tuhan, tidak perduli dengan agama). Ini ternyata dari surat Snouck kepada Teolog Protestan terkenal pada zamannya, Herman Bravinck, rekan sekuliahnya di Universitas Leiden.
   "...anda memang seorang yang yakin kepada Tuhan. Sedang saya seorang yang skeptis terhadap segala hal...," tulis Snouck.

PENUTUP
Pada dasarnya. pola operasi orientalis angkatan Snouck menggunakan metode ilmiah untuk memisahkan umat Islam dari spirit ajarannya, baik yang bersifat politik maupun hukum. Snouck mengajukan gagasan politik asosiasi yang maksudnya mengubah orientasi budaya umat Islam ke arah kebudayaan Barat, yang diyakini Snouck sebagai paling luhur.

Snouck sudah meninggal, tetapi Snouckisme masih terasa bekas-bekasnya. Kini banyak sarjana Islam yang mempelajari agamanya lewat metodologi Barat di kampus-kampus ternama di dunia I3arat. Keislaman dilihat sepenuhnya sebagai gejala profan, metodologi yang berasal dari khasanah Islam dianggap sudah tidak aktual lagi sebagai perangkat memahami Islam. Secara tidak disadari apresiasi mereka terhadap Islam berubah, begitu pula terhadap "kitab kuning” yang merupakan produk khasanah lama. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari anggapan bahwa keberagamaan, dalam arti luas, adalah gejala profan. Jika pemahaman ini ditarik jauh, maka faktor wahyu Ilahi sebagai sumber keberagamaan (Islam) menjadi nisbi. Kesimpulan ini tidak terlalu jauh dengan catatan surat-surat Snouck Hurgronje seperti dikutip Koningsveld.


sumber : http://arimateapusat.blogspot.com/

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar