STUDI AL-QUR’AN TEORI DAN METODOLOGI

Admin Monday, December 20, 2010

Epistemologi al-qur’an ;tafsir bir ra’yi.
Tafsir Teoritis (Sumber Bahasa; pendekatan lingguistik dan sastra)

            A. Pendahuluan
            Interpretasi al-Qur’an, bagi umat Islam, merupakan tugas yang tak pernah henti. Ia merupakan upaya dan ikhtiar memahami pesan Ilahi. Namun demikian, sehebat apapun manusia, ia hanya bisa sampai pada derajat pemahaman relatif dan tidak bisa mencapai derajat absolut. Disamping itu, pesan Tuhan yang terekam dalam al-Qur’an ternyata juga tidak dipahami sama dari waktu ke waktu: ia senantiasa dipahami selaras dengan realitas dan kondisi sosial yang berjalan seiring perubahan zaman. Dengan kata lain, wahyu Tuhan dipahami secara sangat variatif, selaras kebutuhan umat Islam sebagai konsumennya. Pemahaman yang beragam ini, pada gilirannya, menempatkan interpretasi (exegesis) sebagai disiplin keilmuan yang tidak mengenal kering, bahkan senantiasa hidup bersamaan dengan perkembangan teori pengetahuan (Erkenntnisstheorie) para pengimannya. Para peneliti tafsir telah banyak menunjukan pelbagai model interpretasi semenjak awal kemunculan disiplin tersebut sampai dengan era kontemporer.
            Salah satu model interpretasi adalah interpretasi susastra. Pada mulanya, model ini muncul dikarenakan “kerinduan” para pengkaji dan penikmat susastra al-Qur’an yang dianggap the absolutle beauty. Gaya bertutur al-Qur’an yang komunikatif, dan pada saat yang sama sarat dengan simbol, mengundang pesona para pemerhati sastra Arab. Dengan demikian, motif awal penggemar susastra al-Qur’an adalah untuk menunjukan superioritas susastra al-Qur’an dibandingkan dengan karya-karya susastra non wahyu. Perhatian yang demikikan pada masa awal, menjadi salah satu pelecut perhatian beberpa sarjana di era kontemporer untuk mendekati al-Qur’an sebagai teks. Dalam bingkai pandangan ini, wahyu diletakan dalam kerangka linguistik yang bisa dikaji dalam bingkai teori komunikasi. Dalam kerangka komunikasi ini, wahyu al-Qur’an terdiri dari: Tuhan sebagai komunikator aktif yang mengirimkan pesan, Muhammad Saw sebagai komunikan pasif, dan bahasa Arab sebagai kode komunikasi.
            Penetapan al-Qur’an dalam bingkai teori komunikasi sekaligus menempatkannya sebagai teks, bukan berarti bahwa al-Qur’an sebuah teks biasa dan apalagi teks kemanusiaan seperti halnya teks-teks gubahan manusia pada umumnya. Sebaliknya, ia tetap teks ketuhanan yang dipercayai oleh kalangan muslim sebagai teks ilahia. Penetapan al-Qur’an sebagai teks hanyalah sebuah media untuk mendekatinya secara ilmiah saintifik dengan tidak memeperdulikan apakah yang mendekatinya tersebut seorang yang religius ataukah tidak.
            Interpretasi susastra al-Qur’an di era kontemporer, setidaknya pada paruh akhir abab ke dua puluh, mendapatkan perhatian yang lebih dan istimewah. Ini terlihat dari banyak karya kesarjanaan yang di hasilkan pada kurun waktu tersebut. Kekayaan karya yang demikian, bisa dirunut pada Amin al-Khuli (1895-1966) yang mengembangakan pemikiran al-manhaj al-adabi  dalam penafsiran al-Qur’an. Metode yang ditawarkan tersebut dikembangkan dan diaplikasikan dengan baik oleh M.A. Khalafallah, Aisha Abdurrahman bint Shati’ (w. 1998), M. Sukry Ayyad (w. 2001), dan Nasr Hamid Abu Zaid.
            Dalam konteks pembaharuan pemikiran, tawaran metoldologis al-Khuli dan  beberapa murid serta para pendukungnya, ternyata harus menghadapi problem yang cukup serius. Tesis yang dikedepankan bahwa al-Qur’an adalah teks sastra Arab yang paling agung, Kitab al-Arabiyya al-Akbar, memicu perdebatan intelektual yang intens, terutama di Mesir modern. Penetapan al-Qur’an sebagai teks sastra Arab paripurna tersebut dilibatkan diskusi tentang tekstualitas al-Qur’an yang meniscayakan pendekatan dan metode analisis susastra.
            B.Bahasa Agama dan Pemahaman Keagamaan
            Istilah bahasa agama tidak saja menimbulkan polemik di kalangan ahli linguistik, tetapi juga menjadi perdebatan di kalangan teolog dan filsuf. Karena itu, untuk memperoleh pengertian yang jelas terlebih dahulu kita harus memahami istilah dari dua kata tersebut, yaitu bahasa dan agama sekalipun sangat sulit dicarikan definisinya yang bisa diterima oleh berbagai pihak. Bahasa bukan hanya sekedar ucapan, tetapi di dalamnya terkandung perasaan, emosi, tata pikir bahkan juga muatan adat istiadat.
            Sementara konsep agama biasanya selalu diasosiasikan dengan konsep Tuhan. Persoalan makna agama akan berkembang menjadi lebih rumit lagi kalau diungkapkan dalam bahasa Inggris, yaitu religion. Dalam kata religion tercakup di dalamnya semua sistem nilai yang dijadikan pegangan atau pandangan hidup oleh suatu kelompok masyarakat. Sabagaimana bahasa selalu hadir dan menyertai di mana pun kita berada dan beraktivitas, maka agama akan pula menafasi setiap tindakan manusia, meskipun konsep agama dan intensitas keberagamaan seseorang akan berbeda-beda. Karena itu, dalam tradisi filsafat dan antropologi tidak semua yang dianggap dan dikategorikan ke dalam agama mesti memiliki kitab suci dan rasul seperti halnya dalam kelompok agama Nabi Ibrahim.
            Sebelum menjelaskan lebih lanjut pengertian bahasa agama, kiranya perlu diketahui dua macam pendekatan dalam memahami ungkapan-ungkapan keagamaan sebagaimana yang dijelaskan Komaruddin Hidayat (1996;75).
            Pertama, theo-oriented, menurut teori ini yang disebut dengan bahasa agama adalah kalam Ilahi yang kemudian terabadikan ke dalam kitab suci. Menurut teori ini istilah Tuhan dan kalam-Nya lebih ditekankan, sehingga pengertian bahasa agama yang paling mendasar adalah bahasa kitab suci.
            Kedua, antropo-oriented, yang dimaksud dengan bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial. Menurut pengertian yang kedua bahasa agama merupakan wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun sarjana ahli agama meskipun tidak selalu menunjuk serta menggunakan ungkapan-ungkapan kitab suci.
            Masing-masing teori di atas masih terdapat celah atau batasan yang kurang jelas. Teori yang pertama misalnya, pada akhirnya akan juga mengarah pada wacana keagamaan sehingga mencakup pengertian yang kedua, karena semua kitab suci pada urutannya akan melahirkan penafsiran baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Sedangkan pada teori yang kedua ada kemungkinan untuk melepaskan kitab suci, bahkan mengarah pada narasi filsafat dan ilmiah. Karena itu, kiranya perlu membuat karakterisasi tentang bahasa agama itu sendiri.
           


            Pertama, obyek bahasa agama adalah metafisis, berpusat pada Tuhan dan kehidupan baru di balik kematian dunia. Kedua, sebagai implikasi dari yang pertama, format dan materi pokok narasi keagamaan adalah kitab suci. Dan ketiga, bahasa agama mencakup ungkapan dan ekspresi keagamaan secara pribadi maupun kelompok, meskipun ungkapannya menggunakan bahasa ibu. Bahasa metafisik ialah bahasa ataupun ungkapan serta pernyataan yang digunakan untuk menjelaskan obyek yang bersifat metafisikal, terutama tentang Tuhan. Karena berbagai pernyataan tentang Tuhan tidak bisa diverifikasi atau difalsivikasi secara obyektif dan empiris, maka dalam memahami kitab suci seseorang cenderung menggunakan standar ganda. Yaitu, seseorang berpikir dalam kapasitas dan berdasarkan pengalaman kemanusiaan namun diarahkan untuk suatu obyek yang diimani yang berada di luar jangkauan nalar dan inderanya. Dengan ungkapan lain, dia berpikir dalam kerangka iman dan dia beriman sambil mencoba mencari dukungan dari pikirannya.

      C.Relasi Susastra al-Qur’an dengan I’jaz
            Ketika berbicara tentang penafsiran sastra (al-tafsir al-adabi), seorang tidak boleh menafikan konsep I’jaz al-Qur’an. Hal ini dikarenakan kepercayaan para pengkaji al-Qur’an yang muslim akan adanya aspek I’jaz tersebut, meski pendekatan yang digunakan beragam. Keragaman tersebut berpulang pada perbedaan keahlian dan spesialisasi dari sarjana muslim itu sendiri. Di antara mereka ada yang mengungkap aspek-aspek legal yang dimiliki al-Qur’an, sedang sebagian yang lain, mengkaji aspek keindahan bahasa serta ungkapan yang dipakai oleh al-Qur’an.
            Mereka yang menempuh perhatian pada aspek kei’jazan al-Qur’an, mencoba untuk membangun asumsi elemen-elemen sakral al-Qur’an dengan menjelaskan aspek-aspek kei’jazan yang dimiliki al-Qur’an. Menurut mereka, kei’jazan al-Qur’an setidaknya terletak pada tiga hal, yakni: (i) tantangan untuk menciptkan kata ataupun kalimat yang sama dan senada dengan al-Qur’an (al-tahaddi) (ii) keselarasan mukjizat dengan kemampuan lawan bicara (mula’amat al-mu’jizah li tabi’at al-mukhatabin); dan (iii) sasaran mu’jizat yang tidak dibatasi dimensi ruang dan waktu. 
            Konsep tentang I’jaz kemudian manjadi sasaran yang signifikan dari disiplin tafsir semenjak masa al-Zamarkhasyari (w.1118). Karya tafsirnya yang berjudul al-Kasysyaf, dinilai sebagai karya yang cukup pententing karena membidani tafsir sastra semenjak adanya anggapan akan kesamaan atau kedekatan antara pendekatan sastra dalam tafsir dengan pendekatan filologik.
            Pendekatan sastra menitikberatkan pada konsep al-bayan dengan bantuan perangkat lingguistik-sematik serta konteks dari teks al-qur’an itu sendiri. Sementara pendekatan filologik mengkhusukan diri pada ilmu bahasa arab, seperti nahwu, shorof dan ilmu balaghah. Dengan kata lain, dapat dikatan bahawa, analisis sastra terhadap al-Qur’an dan berpijak pada ilmu tata bahasa arab, seperti nahwu,shorof dan ilmu balagha. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa, analisis sastra terhadap al-Qur’an merupakan model pengembangan dari pendektan filologik. Hanya karena mazhab pemikiran yang dianut al-Zamakhsyari adalah mazhab Mu’tazilah, maka karya Zamakhsyari tersebut tidak diletakkan dibaris depan bersama karya-krya penting lainnya oleh kelompok Sunni.
            Di era modern, paling tidak sampai pada paruh akhir abad keduapuluh, menurut penelitian al-Syarqawi, wacana tafsir diwarnai tiga trend penafsiran, yakni: (i) penafsiran bercorak sosial (al-lawn al-ijtima i); (ii) penafsiran bercorak sastra (al-lawn al-adabi); dan (iii) penafsiran saintifik (al-lawn al-‘ilmi).  Trend pertama diwakili oleh proposal Abduh yang kemudian terlahir dalam karya tafsirnya al-Manar, sementara yang kedua terwakili oleh gagasan-gagasan Amin al-Khuli, sedang yang ketiga, terepresentasi oleh sebuah karya tafsir yang dengan pengadopsian penemuan-penemuan keilmuan.
            Pemisahan yang tegas antara “mazhab” sosial dengan “mazhab” sastra, seperti yang telah diuraikan al-Syarqawi di atas, dalam beberapa hal tidak tepat. Barangkat dari keyakinan Abduh bahwa kajian tehadap al-Qur’an dimaksudkan hanya mengungkap dan menangkap hidayah al-Qur’an, maka ia tidak menghendaki metode penafsirannya dipenuhi analisis lingguistik kebahsaan yang berlebihan. Analsis semantik Abduh tidak melebihi batas-batas kajian kebahasaan yang telah dilakukan oleh al-Mahalli (w.1459) dan al-Suyuthi (w.1505) dalam Tafsir al-Jalalyn miliknya. Meskipun Abduh  bersikap ekstra hati-hati terhadap analisis kebahasaan, kerangka penafsirannya tidak keluar dari bingkai metode analisis linguistik dan sastra (al-manhaj al-lughawi al-fanni). Hal ini bisa terlihat ketika ia selalu menekankan kontiunitas makna kata al-Qur’an semenjak diwahyukan sampai sekarang pada saat ia memberikan pemaknaan terhadap kata-kata individual al-Qur’an.
            Ketidaksetujuan al-Khuli terhadap Abduh terletak pada penempatan skala prioritas yang dilakukan Abduh, yakni, bahwa inti kajian al-Qur’an adalah menangkap hidayah kitab suci tersebut. Al-Khuli sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber hidayah, namun, menempatkan hidayah sebagai prioritas utama, tanpa memperhatikan perangkat yang tepat untuk mendapatkan hidayah tersebut, adalah sebuah kenaifan. Oleh karenanya, al-Khuli menekankan bahwa al-Qur’an harus ditempatkan sebagai kitab sastra Arab terbesar (kitab al-‘arabiyya al-akbar). Dengan langkah pertama yang seperti ini, al-Khuli kemudian menempatkan medan semantik dan linguistik terhadap teks tersebut agar hidayah dapat diungkap. Statemen “kitab sastra Arab terbesar” tadi memeiliki implikasi keterlibatan budaya dan perdaban Arab sebagai bagian yang tidak terpisahkan oleh wahyu. Dengan kata lain, unsur kearaban yang dimaksudkan al-Khulli dalam teks tersebut adalah meliputi akal, intelek, bahasa, budaya, dan peradaban. Dengan penekanan seperti ini, al-Khuli menegaskan bahwa teks al-Qur’an memiliki dimensi “efek seni dan sastra ilahiah yang sangat mendasar” (atsar fanniy badi’), sebagian kelanjutan dari status teks sebagai kitab sastra Arab terbesar (kitab al-‘arabiyya al-akbar).
            Jika ditelusuri lebih jauh, perlakuan al-Khuli terhadap teks al-Qur’an yang demikian sedikit banyak terdapat kedekatan dengan proposal Taha Huseyn (1889-1973). Kedekatannya terutama pada kajian-kajian Taha Huseyn sekitar sastra Arab dan hubungannya dengan teks al-Qur’an. Dalam salah satu karyanya yang berjudul Fi al-Syi’ir al-Jahili (1926), Huseyn memperlakukan teks al-Qur’an sebagai “dokumen” sastra suci. Hal ini ia lakukan ketika berhadapan dengan beberapa kisah yang tertuang dalam teks al-Qur’an.  Ia melihat bahwa narasi yang ada dalam teks al-Qur’an, tidak harus dipahami dan dipegangi faktualitas historisnya, akan tetapi lebih dilihat sebagai simbol-simbol religius yang harus ditangkap pesan moralnya. Sikap Huseyn yang demikian rupa, menjadi indikator “pemberlakuan”  teks al-Qur’an sebagai “kitab sastra Arab terbesar.” Baginya, teks al-Qur’an merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik psikologis yang luar biasa (atsar fanniy badi’). Penegasan status teks yang demikian, jelas memiliki kedekatan dengan penegasan al-Khuli bahwa al-Qur’an adalah “teks sastra terbesar.”
D : Penutup    
Dari uaraian diatas, tampak bahwa tafsir susastra yang dikedepankan al-Khuli merupakan pengembangan lebih lanjut dari sebagian sastrawan Abduh, yakni al-manhaj al-lughawi al-fani, yang terwujud dalam tafsir al-Manar, serta pengelaborasian Taha Huseyn terhadap gagasan Abduh dalam Fi al-syi’ir al-Jahili. Dengan demikian, proposal pembaharuan metode tafsir al-Khuli masih berhubungan dengan proposal Abduh, dan tidak seperti yang telah dianalisis al-Syarqawi sebagai trend dan kecenderungan yang terpisah secara tegas. Ketiga sarjana tersebut, dimulai dengan Abduh, al-Khuli dan Taha Huseyn, dapat dikatakan memiliki mata rantai intelektual yang menyatukan mereka, meskipun dalam beberapa hal terdapat perbedaan prioritas.
            Tafsir adabi (susastra) yang dikedepankan al-Khulli memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap diskursus studi al-Qur’an. Sayyid Qutb, misalnya, dalam dua karyanya, al-Tashwir al-Fanni fil al-Qur’an (1956) dan Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur’an (1962) memberikan ulasan-ulasan yang menonjol tentang pendekatan susastra. Dalam karya pertama, Qutb mengelaborasi doktrin I’jaz al-Qur’an seperti yang telah dilakukan oleh sarjana-sarjana pendahulu. Tentang kisah dalam al-Qur’an, Qutb berkeyakinan bahwa aspek terpenting dari kisah-kisah tersebut bukanlah faktualitas historisnya. Kisah-kisah tersebut merupakan simbol-simbol keagamaan yang harus ditangkap pesan moral dan hidayahnya. Sementara, dalam karya kedua, Qutb mengoleksi teks-teks al-Qur’an yang berbicara tentang eskatologi dan memberikan pemaknaan terhadapnya. Ia sampai pada kesimpulan bahwa eskatologi al-Qur’an bukan semata-mata bersifat material, akan tetapi lebih merupakan spirit keagamaan berupa peringatan dan berita gembira.
            Gambaran-gambaran nikmat dan siksa dipahami sebagai bentuk fisik, tetapi lebih bersifat spiritual. Perhatian Qutb yang demikian merupakan bukti bahwa ia merupakan salah seorang sarjana yang turut andil sebagai “terompet” tafsir sastra, hanya saja, karena dalam perjalanan kehidupannya iya menjadi ideolog gerakan Ikhwan al-Muslimin yang terkesan “radikal”, maka reputasinya sebagai penopang tafsir sastra tidak banyak terperhatikan oleh para peneliti.
            Meskipun Amin al-Khuli sendiri belum melahirkan karya tafsir secara utuh kecuali hanya trilogi Min Huda al-Qur’an dan sumbangan tujuh entri dari huruf Shad sampai Fa’  dalam Mu’jam Alfazh al-Qur’an, Ensiklopedia Mufradat al-Qur’an, namun beberapa murid setianya mengaplikasikan metode al-Khuli dengan penuh kecermatan sehingga tawaran metodologisnya menjadi trend yang cukup kuat dalam penafsiran al-Qur’an. Beberapa murid yang bisa dikemukan di sini adalah Muhammad Ahmad Khalaf Allah, Aisyah Abd al-Rahman bint al-Syati’, Syukri Muhammad Ayyad, dan Nasr Hamid Abu Zaid.

           
           


loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar