Seputar Pro-Kontra akan Pelarangan Bermusik

Admin Saturday, December 25, 2010

A.                 PENDAHULUAN
Pernah salah satu stasiun televisi menayangkan satu acara yang menceritakan sejarah perjuangan nabi Muhammad saw pada zaman jahiliyah dahulu. Satu ketika saat kedatangan nabi hijrah dari kota Makkah ke Madinah, beliau diiringi dengan alunan musik dengan lantunan lagu thala’al badru.
Sehubungan dengan itu, dapat ditarik secuil kesimpulan bahwasanya musik telah ada, atau bahkan “tidak dilarang” pada jaman rasul dahulu. Lantas dikaitkan dengan musik yang saat ini beredar, apa pengertian musik yang sebenarnya dengan istilah-istilah yang dimilikinya? Bagaimana hadis nabi berbicara tentang musik? Dan seperti apa pemaknaan terhadap aplikasi hadis-hadis yang berkenaan dengan musik serta bagaiman langkah solutifnya?.
B.                 MENGENAL SEKILAS BERBAGAI ISTILAH TERKAIT MUSIK
Sebelum melakukan pemahaman akan hadis baik itu yang redaksinya melarang atau membolehkan bermusik, ada baiknya kita mengenal beberapa istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan music. Dalam literature Arab, ada beberapa ungkapan yang mengindikasikan sesuatu yang terkait music, yaitu:
a.                   الغناء  dengan kasrah berarti sesuatu yang didengar. Kemudian Umar menjelaskan bahwa yang dimaksud   غناء الأعراب  adalah suara yang didendangkan.[1]           
b.                   المزمار  Dalam literature Arab, kata tersebut dimaknai alat yang ditiup, berasal dari kata زمرا  -زمر - يزمر    . Mashdarnya sering diartikan seruling, sedangkan kata زمار   dimaksudkan bagi orang yang meniup seruling tersebut. Dalam sebuah hadis di sebutkan bahwa Nabi memuji suara merdu Abu Musa Al-Asy’ari beliau mendengarnya ketika sedang membaca Al-Qur’an seraya melagukannya dan beliau bersabda kepadanya : “Telah dikaruniakan kepadanya seruling seperti seruling keluarga Dawud.” [2]
c.                   القينة  berarti para biduan, para penyanyi yang sering diminta bernyanyi pada acara-acara tertentu, khusus ungkapan ini disebutkan untuk para biduan wanita.     
d.                   المعازف  berasal dari kata  عزف – يعزف - عزفا yang artinya bermain.   المعزف  merupakan bentuk mufradnya, biasanya diartikan sebagai alat musik yang ditabuh, termasuk didalamnya rebab atau tambur bahkan duff (rebana).[3]                  
e.                   ضرب الدف  artinya menabuh rebana.
C.                  REDAKSI HADIS YANG MENYATAKAN PELARANGAN
Diantara hadis yang disepakati oleh para ulama dan dijadikan dasar pelarangan bermusik adalah
-                      HR. al-Bukhari Kitab al-Asyribah Bab Ma Ja’a Fiman Yastahillu al-Khamr Wa Yusammihi bi Ghairi Ismihi
وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الْكِلَابِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمْ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ[4]
-                      HR. Ibn Majah Kitab al-Fitan Bab al-‘Uqubat No. 4010
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ حَاتِمِ بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمْ الْأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ[5]
-                      HR. Muslim Kitab al-Libas wa al-Zinah Bab Karahah al-Kalb wa al-Jaras fi al-Safar No.3950.
و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ[6]
-                      HR. Abu Daud Kitab al-Adab Bab Karahiyah al-Ghina wa al-Zamr No. 4279
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا سَلَّامُ بْنُ مِسْكِينٍ عَنْ شَيْخٍ شَهِدَ أَبَا وَائِلٍ فِي وَلِيمَةٍ فَجَعَلُوا يَلْعَبُونَ يَتَلَعَّبُونَ يُغَنُّونَ فَحَلَّ أَبُو وَائِلٍ حَبْوَتَهُ وَقَالَ سَمِعْتْ عَبْدَ اللَّهِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ[7]
D.                 PRO-KONTRA; SEBUAH BENTUK RESEPSI
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ditemukan banyak hadis yang dianggap sebagai legaslasi keharaman bermusik. Dari segi pengungkapan hadis, dapat disimpulkan beberapa kategori  music yang dilarang yaitu:
1.                   Alat musik seperti rebab.[8]
2.                   Nyanyian sebatas suara mendendangkan. Profesinya disebut penyanyi atau biduan.[9]
3.                   Nyanyian yang diiringi alat music spesifikasi tiupan, bisa itu seruling, clarinet atau lainnya yang ditiup.[10]
Berdasarkan kesimpulan yang didapat dari hadis itu, para ulama salaf sepakat menyatakan segala bentuk music makruh. Sementara dalam pandangan ulama mutaqaddimin, segala yang makruh itu mutlak haram. Berikut ini adalah perkataan para salafus-shalih (orang-orang shaleh dulu) yang menyatakan musik itu haram hukumnya:
-  Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata: “Lagu dan music adalah seruling setan”.
-  Imam Malik bin Anas berkata: “Lagu-lagu itu hanya dilakukan oleh orang-orang fasik di antara kita”.
-  Imam Ahmad berkata: “Lagu itu menimbulkan kemunafikan dalam diri saya, jadi saya tidak tertarik”.
-  Sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah berkata: “Menyimak lagu adalah suatu kefasikan”.
-   Umar bin Abdul Aziz berkata: “Lagu tiu awalnya dari setan dan akhirnya dapat murka Allah swt”.
-   Imam Qurthubi berkata: “Lagu itu dilarang berdasrkan al-Qur’an dan Sunnah”.
- Imam Abu Sholah berkata: “Lagu yang disertai alat musik diharamkan berdasarkan ijma’”.[11]
Demikian beberapa pendapat yang menyatakan keharaman bermusik. Namun, perlu digarisbawahi bahwa fenomena menyatakan sebaliknya. Sejak dahulu, music selalu digemari baik karena keindahan nadanya atau kemampuannya memberi efek ketenangan dalam jiwa pendengarnya atau juga karena alasan-alasan lainnya. Apalagi di era sekarang ini, dimana seni music berkembang pesat, lagu-lagu dan nyanyian menjamur, baik itu dengan atau tanpa iringan alat music, teraplikasi dalam berbagai aliran, sebut saja qasidah yang tren di Arab, nasyid, pop, dan lain-lain. Di Indonesia saja, yang mayoritas penduduknya muslim, hampir semua masyarakatnya menyukai lagu-lagu dan nyanyian. Ini terbukti dari beragamnya kesenian lokal berupa lagu-lagu daerah dari beragam suku, selain itu tren dunia music Indonesia juga semakin semarak dengan bermunculannya penyanyi-penyanyi, bermacam band musik dengan beragam aliran yang diusung, dan lainnya. Jika memang musik dan segala hal yang terkait haram mutlak, maka bagaimana para ulama melihat fenomena tren music yang terjadi sekarang. Dengan fakta-fakta seperti ini penulis merasa perlu meninjau dalil-dalil yang menyatakan keharamannya itu.
Dari hadis-hadis yang menyatakan keharaman bermusik, semuanya dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu:
a.                   Hadis yang matannya jelas menyatakan keharaman, tapi sanadnya dhaif
b.                   Hadis yang sanadnya shahih tapi matannya tidak jelas mengharamkan music
c.                   Hadis yang sanadnya shahih tetapi meragukan.
Ketiga jenis hadis di atas jelas bukan dalil qath’i dalam pengharaman music, ditambah lagi dengan kenyataan ditemukannya hadis-hadis lain yang membolehkan music. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menuraikannya satu per satu.
a.                  Hadis yang matannya jelas menyatakan keharaman tapi sanadnya dha’if
Termasuk dalam kategori hadis ini adalah riwayat Abu Daud  Kitab al-Adab Bab Karahiyah al-Ghina wa al-Zumr No. 4279.[12] Perkataan ini seringkali dijadikan sandaran pengharaman music, padahal pernyataan ini tidak bersumber dari Rasulullah SAW. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla telah mendhaifkan hadis ini karena dalam sanadnya terdapat perawi majhul atau tak dikenal (diriwayatkan dari seorang syaikh dari Ibnu Mas’ud, siapa syaikh ini tidak disebutkan). Dalam Sunan Baihaqi hadis ini adalah hadis mauquf atau hanya merupakan kata-kata Abdullah bin Mas’ud ra dan bukan sabda Rasulullah SAW. Ibnu Thahir justru berpendapat bahwa ini adalah perkataan Ibrahim An Nakha’i. Yang jelas hadis ini tidak bersumber dari Rasulullah SAW jadi tidak bisa dijadikan hujjah.
Hadis senada yang matannya jelas mengharamkan music adalah hadis yang diriwayatkan Ahmad sendirian dalam Musnad Ahmad Kitab Baqi’ Musnad al-Muktsirin Bab Hadis Abu Umamah al-Bahili No. 21275
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَنْبَأَنَا فَرَجُ بْنُ فَضَالَةَ الْحِمْصِيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكَبَارَاتِ يَعْنِي الْبَرَابِطَ وَالْمَعَازِفَ وَالْأَوْثَانَ الَّتِي كَانَتْ تُعْبَدُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَأَقْسَمَ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ بِعِزَّتِهِ لَا يَشْرَبُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي جَرْعَةً مِنْ خَمْرٍ إِلَّا سَقَيْتُهُ مَكَانَهَا مِنْ حَمِيمِ جَهَنَّمَ مُعَذَّبًا أَوْ مَغْفُورًا لَهُ وَلَا يَسْقِيهَا صَبِيًّا صَغِيرًا إِلَّا سَقَيْتُهُ مَكَانَهَا مِنْ حَمِيمِ جَهَنَّمَ مُعَذَّبًا أَوْ مَغْفُورًا لَهُ وَلَا يَدَعُهَا عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي مِنْ مَخَافَتِي إِلَّا سَقَيْتُهَا إِيَّاهُ مِنْ حَظِيرَةِ الْقُدُسِ وَلَا يَحِلُّ بَيْعُهُنَّ وَلَا شِرَاؤُهُنَّ وَلَا تَعْلِيمُهُنَّ وَلَا تِجَارَةٌ فِيهِنَّ وَأَثْمَانُهُنَّ حَرَامٌ لِلْمُغَنِّيَاتِ قَالَ يَزِيدُ الْكَبَارَاتِ الْبَرَابِطُ[13]
Hadis ini dhaif karena terdapat Ali ibn Yazid dan Faraj ibn Fadhalah. Dalam Tahzib Al Kamal no 3663, Ali bin Yazid Abu Abdil Malik Al Al Hany Ad Dimasyqy telah dinyatakan dhaif oleh Ibnu Main, Ali bin Madini, Al Ajli, Ibnu Hibban, Abu Mashar, Yaqub bin Sufyan. Bahkan Daruquthni berkata, “Ia itu matruk(ditinggalkan hadisnya)”. Imam Al-Bukhari dalam kitabnya Adh Dhu’afaa As Shaghiir No. 25 berkata : “Ali bin Yazid adalah rawi munkarul hadits“. Dalam Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim jilid 6 hal 208, Abu Zur’ah berkata “Ali bin Yazid itu tidak kuat”. Dalam Adh Dhua’faa Wal Matrukiin No. 455 An Nasa’i berkata “Ali bin Yazid meriwayatkan dari Qasim bin Abdur Rahman, ia matrukul hadits.
b.                  Hadis yang sanadnya shahih tapi matannya tidak jelas mengharamkan musik.
Diantara hadis yang termasuk dalam kategori ini adalah riwayat Abu Daud Kitab al-Asyribah Bab al-Nahy ‘an al-Muskir No. 3200:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ وَالْغُبَيْرَاءِ وَقَالَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ قَالَ أَبُو دَاوُد قَالَ ابْنُ سَلَامٍ أَبُو عُبَيْدٍ الْغُبَيْرَاءُ السُّكْرُكَةُ تُعْمَلُ مِنْ الذُّرَةِ شَرَابٌ يَعْمَلُهُ الْحَبَشَةُ[14]
Hadis ini secara sanad bernilai shahih Walaupun begitu, hadis ini matannya tidak jelas mengharamkan musik. Mereka yang mengharamkan musik dengan dalil hadis ini selalu mengartikan al-kubah dengan alat musik perkusi atau tabuh dan al-ghubaira dengan alat musik petik. Padahal terjadi perbedaan di kalangan ulama dalam penafsiran kata al-kubah dan al-ghubaira.
Ali bin Budzaimah mengatakan bahwa al-kubah diartikan sebagai tambur, sedangkan dalam kitab Gharib Al Hadis Ibnu Arabi, Al-Khatib dan Abu Ubaid mengatakan al-kubah adalah permainan dadu. Perbedaan pendapat juga terjadi di kalangan ulama dalam menafsirkan al-ghubaira, sebagian ada yang mengatakan alat musik sedangkan sebagian yang lain mengatakan al-ghubaira adalah khamr yang terbuat dari jagung atau gandum, begitu pendapat Ibnu Atsir dalam kitab An Nihayah tentang Gharibul Hadis.
Menurut penulis al-kubah lebih tepat diartikan sebagai permainan dadu dan al-ghubaira sebagai minuman khamr dari jagung dan gandum. Hal ini karena beberapa hal, yaitu:
-                      Penafsiran seperti ini lebih sesuai dengan teks hadis yang mengharamkan khamr dan judi. Al-ghubaira berkaitan dengan khamr dan al-kubah berkaitan dengan judi.
-                      Menafsirkan al-kubah sebagai alat musik tabuh jelas bertentangan dengan hadis shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan menabuh duff (sejenis alat musik tabuh atau perkusi) dan rebana.
c.                   Hadis yang sanadnya shahih tetapi meragukan.
Yang tergolong hadis ini adalah riwayat al-Bukhari Kitab al-Asyribah Bab Ma Ja’a Fiman Yastahillu al-Khamr Wa Yusammihi bi ghairi Ismihi[15]. Hadis ini terdapat dalam Shahih Bukhari, jadi memiliki sanad yang shahih. Sayangnya terdapat keraguan pada sanad hadis ini. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari secara Muallaq artinya terputus sanadnya. Oleh karena itu Ibnu Hazm dalam Al Muhalla menolak hadis ini. Selain itu keraguan juga terletak pada perawi tunggal, Hisyam bin Ammar. Dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 218, Mizan Al Itidal jilid 4 hal 302 no 9234, Tahdzib At Thadzib jilid 11 hal 51-54 dan Tahdzib Al Kamal no. 6586 didapat keterangan tentang Beliau. Hisyam bin Ammar dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Daruquthni dan An Nasa’i mengatakan “hadisnya tidak masalah”. Sayangnya terdapat keraguan terhadap beliau yang mesti dipertimbangkan, yaitu:
§     Abu Dawud menyatakan bahwa Hisyam meriwayatkan empat ratus hadis yang tidak ada dasarnya.
§     Abu Hatim berkata “Dia shaduq (dipercaya) tetapi kemudian berubah, maka setiap yang datang darinya mesti dikaji kembali dan setiap yang disampaikannya mesti dipertanyakan lagi”
§     Ibnu Sayyar menyatakan, “ini bencana besar yang membuat kita bertawaqquf (berdiam diri) terhadap apa yang diriwayatkan darinya karena mungkin apa yang disampaikannya telah terjadi perubahan.”
§     Ahmad bin Hanbal menyatakan penolakan terhadap Hisyam. Beliau berkata “dia kurang ingatannya” selain itu Ahmad berkata “ia seorang yang picik dan sederhana pemikirannya” atau dari kata-kata Ahmad terhadap Hisyam “jika kalian shalat di belakang Hisyam maka hendaknya kalian mengulangi shalat kalian”.
§     Sebagian Ulama mengecam Hisyam dengan mengatakan bahwa dia tidak mengeluarkan hadis kecuali menuntut upah.
§     Adz-Dzahabi berkata “Ia dapat dipercaya tetapi banyak yang mengingkari hadisnya”. Selain itu Adz-Dzahabi berkata “perkataan Hisyam dapat dipertimbangkan akan tetapi orang tidak dibenarkan memutlakkan perkataannya”.
Oleh karena keraguan terhadap Hisyam bin Ammar maka hadis ini dipermasalahkan oleh sebagian ulama. Yang jelas dengan keraguan pada sanadnya maka hadis ini bukanlah hujjah yang kuat dalam mengharamkan musik dan lagu. Ibnu Qayyim dalam kitab Ighatsatul Lahfan Min Mashaidis Syaithan membawakan hadis lain dari Sunan Ibnu Majah Kitab al-Fitan Bab al-‘Uqubat No.  4010[16] dan Ibnu Qayyim menshahihkannya.
Ibnu Qayyim menyatakan hadis ini shahih padahal terdapat perawi yang majhul dalam sanadnya yaitu Malik bin Abi Maryam. Ibnu Hazm berkata “Tidak diketahui siapa dia”. Adz-Dzahabi juga berkata bahwa Malik bin Abi Maryam adalah majhul (tidak diketahui). Seandainya hadis ini shahih maka arti yang benar dari hadis ini adalah mengabarkan sekelompok manusia yang tenggelam dalam kehidupan hura-hura dan kemaksiatan, meminum khamar diringi musik dan penyanyi wanita (bisa diperkirakan kalau tipe musiknya adalah musik yang diiringi maksiat). Untuk memahami hadis ini, penulis bersandar pada pendapat Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual Bab Perihal Nyanyian, “Mungkin yang dimaksud Bukhari adalah gambaran yang menyeluruh dari sebuah pesta yang diisi dengan acara –acara minuman khamr serta nyanyian-nyanyian yang diiringi dengan perbuatan kefasikan. Pesta seperti ini jelas haram sesuai ijma’ kaum muslimin”.[17] Pendapat ini bisa diterima dan cukup menjelaskan kenapa Bukhari sendiri memasukkan hadisnya dalam Bab Akan Datang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan Menamakan Dengan Bukan Namanya dan beliau tidak sedikitpun menyebutkan tentang pengharaman musik dan lagu. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam masalah ini adalah musik dan lagu itu haram jika diiringi dengan perbuatan maksiat(tarian seronok) apalagi disertai dengan minuman khamr.
Setelah gugurnya berbagai hadis yang dijadikan dasar pelarangan bermusik, ditemukan hadis lain yang lebih shahih menyatakan kebolehan bermusik, diantaranya adalah HR. al-Bukhari Kitab Fadha’il al-Qur’an Bab Husn al-Shauth bi al-Qira’ah li al-Qur’an No. 4660
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى الْحِمَّانِيُّ حَدَّثَنَا بُرَيْدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ[18]
Hadis ini muncul ketika suatu ketika Nabi SAW mendengar Abu Musa membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan melagukannya, beliau memuji suara merdu Abu Musa sehingga bersabda demikian. Oleh karena itu, seandainya Nabi menganggap seruling sesuatu yang tidak disukai, maka beliau pasti tidak akan mengatakan hal demikian.[19]
Hadis lain yang menyatakan bolehnya music adalah riwayat al-Bukhari Kitab al-Jum’ah Bab Sunnah al-‘Id’ain li Ahl al-Islam No. 899
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا[20]
Hadis ini juga menjadi dasar bolehnya bernyanyi dan memainkan gendang atau rebana. Hal ini tampak jelas dari kata-kata Nabi SAW ”Biarkanlah”. Tidak mungkin Nabi SAW membiarkan yang haram. Dalam hari raya tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang haram. Bagaimana mungkin sesuatu yang haram menjadi halal karena hari raya. Oleh karena itu tidak beralasan menyatakan nyanyian itu haram. Sedangkan anggapan sebagian orang bahwa yang dibolehkan hanya pada hari raya sedangkan selain hari raya itu dilarang adalah anggapan yang tidak benar. Pada saat pernikahan pun, Nabi menyuruh untuk menabuh rebana (duff atau ghirbal) sebagaimana yang disabdakannya dalam riwayat al-Tirmidzi Kitab al-Nikah Bab Ma Ja’a fi I’lan al-Nikah No. 1009.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ[21]
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pun hadis shahih yang benar-benar shahih sehingga dapat dijadikan hujjah mutlak pengharaman bermusik. Sementara hadis yang menyatakan kebolehannya jelas-jelas lebih shahih dan lebih kuat.

E.                  ALTERNATIF PEMAHAMAN HUKUM; ANALISA SOLUTIF
Sebagaimana kita ketahui sebelumnya bahwa tidak ada dalil kuat yang dapat dijadikan hujjah keharaman music. Apabila kemudian sebagian orang mengharamkan semua bentuk nyanyian dengan menyatakan dalil firman Allah: “Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6), dengan kata “lahw al-hadis” (perkataan yang tidak berguna) disini dimaksudkan dengan nyanyian, maka biarkan Ibn Hazm berkomentar: “Itu tidak ada hubungannya dengan nyanyian. Nash ayat itu sendiri menjelaskan apa yang dimaksud olehnya, yakni bahwa orang yang hendak menyesatkan (manusia) dari jalan Allah dan menjadikan al-Qur’an sebagai bahan olok-olok, ia adalah kafir dengan kesepakatan kaum Muslim.[22]
Dalam kenyataanya, Allah SWT tidak pernah mencela seseorang yang menghibur dirinya dengan suatu jenis hiburan agar dapat membantunya –setelah itu- dalam mengerjakan kewajibannya secara serius. Semua pekerjaan itu dinilai sesuai dengan niat yang menyertainya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan.”
Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk lahwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang dimaafkan.  
Pada hakikatnya nyanyian sama saja dengan omongan. Yang baik darinya adalah baik, dan yang buruk darinya menjadi buruk. Memang banyak terdapat nyanyian sarat dengan dosa, tapi tidak sedikit pula yang dinyanyikan dengan cara yang sehat, kata-katanya mengandung makna-makna yang mulia, kadang menggambarkan perasaan-perasaan yang halus atau bersifat religious, dan kadang juga dapat menimbulkan semangat perjuangan.[23] Dan jika yang dimaksud adalah nyanyian atau lagu yang bernuansa demikian, maka sah-sah saja untuk dibawakan atau didengarkan.
Walaupun terdapat dalil yang lebih shahih membolehkan musik, mengingat trend musik dan lagu-lagu yang semakin mewabah, diperlukan penyebutan kriteria khusus demi meng-counter berbagai jenis music itu, mana yang dibolehkan untuk dibawakan dan didengar dan mana yang tidak boleh.  Dalam hal ini, penulis coba mengemukakan syarat-syarat yang diajukan oleh Yusuf Qaradhawi dalam memilih music yang sesuai dengan jiwa Islam, yaitu:
1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam.
Nyanyian yang berisi kalimat “dunia adalah rokok dan gelas arak” bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar.
Begitupun nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:
“Ka        takanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya …” (An Nur: 30)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya …” (An Nur: 31)
Dan Rasulullah saw. bersabda:
“Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan.
Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak “kotor,” tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.:
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya …” (Al Ahzab: 32)
3. Tidak berlebih-lebihan
Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa’: “Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan.”
Bagi pendengar – setelah memperhatikan ketentuan dan batas-batas seperti yang telah saya kemukakan – hendaklah dapat mengendalikan dirinya. Apabila nyanyian atau sejenisnya dapat menimbulkan rangsangan dan membangkitkan syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya tenggelam dalam khayalan, maka hendaklah ia menjauhinya. Hendaklah ia menutup rapat-rapat pintu yang dapat menjadi jalan berhembusnya angin fitnah ke dalam hatinya, agamanya, dan akhlaknya.
Tidak diragukan lagi bahwa syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan ini pada masa sekarang sedikit sekali dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya, temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan nilai-nilai yang ideal. Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka dan ikut mempopulerkan mereka, atau ikut memperluas pengaruh mereka. Sebab dengan begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.
Karena itu lebih utama bagi seorang muslim untuk mengekang dirinya, menghindari hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri dari sesuatu yang akan dapat menjerumuskannya ke dalam lembah yang haram – suatu keadaan yang hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.
Barangsiapa yang mengambil rukhshah (keringanan), maka hendaklah sedapat mungkin memilih yang baik, yang jauh kemungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian saja begitu banyak pengaruh yang ditimbulkannya, maka menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena masuk ke dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos dengan selamat (terlepas dari dosa).
Khusus bagi seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih besar. Karena itu Allah mewajibkan wanita agar memelihara dan menjaga diri serta bersikap sopan dalam berpakaian, berjalan, dan berbicara, yang sekiranya dapat menjauhkan kaum lelaki dari fitnahnya dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari mulut-mulut kotor, mata keranjang, dan keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:
“Hai Nabi katakanIah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu …” (Al Ahzab: 59)
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya…” (Al Ahzab: 32)
Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan dirinya untuk memfitnah atau difitnah, juga berarti menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram. Karena banyak kemungkinan baginya untuk berkhalwat (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya dengan alasan untuk mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita yang ber-tabarruj serta berpakaian dan bersikap semaunya, tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar haram menurut syariat Islam.[24]
F.                  KESIMPULAN DAN PENUTUP
Lantas dari apa yang telah dipaparkan di atas terdapat beberapa hal yang dapat diambil, sebagai pegangan bagaimana hadis nabi berbicara tentang boleh atau diharamkannya musik dan nyanyian. Sebagaimana yang terangkum dalam fatwa seorang Yusuf Qaradhawi:
-                      Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam.
-                      Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan.
-                      Tidak berlebih-lebihan.
Disamping itu, dalil-dalil yang dipaparkan di atas dirasa cukup kuat untuk memberikan legitimasi diperbolehkannya bernyanyi juga bermain musik*.
Dan akhirnya, telah sampailah makalah ini pada penghujungnya. Terima kasih penulis sampaikan kepada bapak Drs. M. Yusup, M.Si selaku dosen pengampu dan teman-teman yang senantiasa memberikan dukungan serta bantuannya. Makalah ini tentulah sangat jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, penulis juga mengharap kritik dan sarannya guna perbaikan makalah ke depan. Terima kasih.


[1] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab juz 10 (Beirut: Alam al-Kutub), hlm. 135
[2] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab juz 6, hlm.79.
[3] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab juz 9, hlm. 189.
[4] Artinya: Diriwayatkan dari Hisyam bin Ammar dengan sanadnya sampai ke Abu Malik Al Asy’ari, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda “Akan ada dari umatku yang menghalalkan kemaluan(zina), sutera, khamr dan al ma’azif (alat-alat musik). Kemudian sebahagian dari ummatku akan ada yang turun dari gunung. Lalu datang orang yang membawa ternak-ternak mereka dan mendatangi untuk satu keperluan. Mereka berkata, “Datanglah lagi kemari besok.” Maka malam itu Allah menghancurkan mereka, Allah meruntuhkan gunung itu dan merubah sebahagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”.
[5] Artinya: Dari Abu Malik al-Asy’ari berkata, Nabi SAW bersabda: "Sungguh akan ada manusia dari ummatku yang meminum khamar, mereka menamakannya bukan dengan namanya, kepala mereka dipenuhi dengan alat alat musik dan biduanita (lagu-lagu dan artis). Sungguh Allah akan memasukkan mereka ke dalam tanah dan akan mengganti rupa mereka dengan kera dan babi." (Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud Kitab al-Asyribah No. 3203 dan Ahmad ibn Hanbal Kitab Baqi’ Musnad al-Anshar No. 21867). Kualitas hadis ini Hasan.
[6] Artinya: Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Lonceng adalah alat musik dari setan.” (Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud Kitab al-Jihad No. 2193 dan Ahmad ibn Hanbal Kitab Baqi’ Musnad al-Muktsirin No. 8428 dan 8496). Kualitas hadis ini Hasan.
[7] Artinya: Dari Abdullah ibn Mas’ud berkata, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya lagu bisa menumbuhkan kemunafikan dalam hati” (Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Abu Daud sendiri). Kualitas hadis ini dhaif karena sanadnya terputus (munqathi’)
[8] Alat music yang dimaksud dalam hadis menggunakan kata المعازف yang dikenal dalam istilah Arab untuk menyebut alat music yang dimainkan dengan cara dipukul. (Lihat:Ibn Manzhur, Lisan al-Arab jilid 9, hlm. 189)  
[9] Lafal hadis yang digunakan adalah الغناء و المغنيات . Dilihat dari aspek bahasa, yang dimaksud hadis adalah para penyanyi wanita. (Lihat:Ibn Manzhur, Lisan al-Arab jilid 10, hlm. 154-158)
[10] Lafal hadis yang digunakan adalah المزامير , artinya alat yang dibunyikan dengan ditiup. (Lihat: Ibn Manzhur, Lisan al-Arab jilid 6, hlm.79)
[11] Dalil yang membolehkan Nyanyian dan Musik Pembawa Maslahat dalam Islam dan Kehiduipan Di Dunia dalam http://2i2h.multiply.com/notes/item/931
[12] Lihat hadis di halaman sebelumnya.
[13] Artinya: Diriwayatkan dari Abu Umamah, dari Rasulullah bahwa beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk bagi seluruh alam, dan memerintahku untuk membinasakan seruling, genderang, alat-alat musik petik dan patung-patung (berhala) yang disembah di masa jahiliyah.”
[14] Artinya: Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr, judi, Al Kubah dan Al Ghubaira. Setiap yang memabukkan adalah haram.
[15] Lihat teks hadis pada pembahasan sebelumnya.
[16] Lihat teks hadis di halaman sebelumnya.
[17] Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual terj. Muhammad al-Baqir(Bandung: Mizan, 1994), hlm. 91.
[18] Artinya: Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, Nabi SAW berkata padanya: “ Telah dikaruniakan padamu suara seruling seperti seruling keluarga Daud” (Hadis ini ditakhrij juga oleh Muslim Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashriha No. 1321 dan 1322, al-Tirmidzi Kitab al-Manaqib No. 3790). Kualitas hadis ini shahih.
[19] Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW …, hlm. 105.
[20] Artinya: Dari Aisyah ra Suatu hari Abu Bakar ra masuk ke rumah Rasul SAW disana ada dua jariyah yang sedang bernyanyi dengan memainkan rebana, mereka sudah biasa bernyanyi, sedangkan Rasulullah SAW terhalang dengan tirainya. Abu Bakar melarang keduanya sehingga Rasulullah SAW membuka tirai sambil bersabda ”Wahai Abu Bakar biarkanlah(mereka bernyanyi) karena hari ini adalah hari Id(hari raya)”. (Hadis ini ditakhrij juga oleh Muslim Kitab Shalat al-‘Ida’ain No. 1479-1484, al-Nasa’I Kitab Shalat al-‘Id’ain No. 1575-1577 dan1579, Ibn Majah Kitab al-Nikah No. 1888, Ahmad Kitab Baqi’ Musnad al-Anshar No. 22920, 23161, 23392, 23400, 23541, 23709, 23804, 23879, 24168, 24358, 24769, 24906, 25123). Kualitas hadis ini Shahih masyhur.
[21] Artinya: Dari Aisyah, Nabi SAW bersabda “Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana.” (Hadis ini ditakhrij oleh Ibn Majah Kitab al-Nikah No. 1885 dengan menggunakan lafadz al-ghirbal yang artinya semakna dengan al-dufuf jamak dari al-duff).
[22] Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW …, hlm. 91.
[23] Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW …, hlm. 92.
[24] Hukum Musik/Nyanyian: Halal (Fatwa Yusuf Qaradhawi) dalam http://shodiq.com/2009/03/29/hukum-musik-nyanyian-halal-fatwa-yusuf-qardhawi/.
*                Lihat hadis nabi: al-Bukhari Kitab al-Jum’ah Bab Sunnah al-‘Id’ain li Ahl al-Islam No. 899 dan al-Tirmidzi Kitab al-Nikah Bab Ma Ja’a fi I’lan al-Nikah No. 1009.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar