Hadis Tentang Patung dan Lukisan

Admin Saturday, December 25, 2010
 Pendahuluan
Larangan pembuatan lukisan dan patung sudah sering sekali terdengar di kalangan umat Islam. Hal ini diperoleh dari hadis Nabi sebagai sumber hukum kedua dan kewajiban kita sebagai umat Islam adalah mengikuti dan mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan yang terdapat di dalamnya. Di antara ulama’ ada yang bersikeras melarang membuat lukisan/patung dan ada pula yang memberikan kelonggaran.
Redaksi hadis yang melarang keras membuat lukisan dan patung ini sebenarnya tidaklah lepas dari sosio-historis masyarakat Arab zaman dahulu. Mereka menjadikan patung-patung berhala sebagai sesembahan dan keinginan Nabi saw adalah menghapuskan segala hal yang dapat membawa manusia menyekutukan Tuhan.
Tidak jauh berbeda dengan budaya di Indonesia sebelum kedatangan Islam, masyarakat saat itu juga mempercayai adanya kekuatan dari ruh-ruh nenek moyang yang menempel atau menjelma ke dalam batu-batu besar. Sehingga mereka menjadikan batu-batu tersebut sebagai Tuhan dan berkeyakinan bahwa manusia akan mendapat berkah jika memujanya. Setelah kedatangan Islam, budaya menyembah patung/batu lambat laun mulai hilang  karena peran ulama’ yang mengislamisasikan budaya tersebut.

Redaksi Hadis Seputar Larangan Lukisan dan Patung
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ قَالَ كُنَّا مَعَ مَسْرُوقٍ فِي دَارِ يَسَارِ بْنِ نُمَيْرٍ فَرَأَى فِي صُفَّتِهِ تَمَاثِيلَ فَقَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Aku suatu ketika berada bersama Masruq di rumah Yasar bin Numair, maka Masruq melihat di serambi rumah beberapa buah patung, lalu Masruq berkata:”Aku mendengar dari Abdullah sabda nabi kepadanya: “Bahwa sesungguhnya manusia yang paling keras diadzab pada hari kiamat ialah pembuat sesuatu rupa.”[1]
Setelah ditelusuri melalui CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, maka hadis di atas juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih Muslim no. 3943, 3944, Sunan an Nasa’i no. 5269, dan Musnad Ahmad bin Hanbal no. 3377 dan 3845. Jalur periwatan hadis diatas bersambung dan kualitas para perawi adalah shahih.

Kondisi Islam Arab; sebuah perjumpaan
                                Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut yang mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Kepercayaan ini diwarisi turun-menurun sejak nabi Ibrahim dan Ismail. Al-Qur’an menyebutnya dengan Hanif, yaitu kepercayaan yang mengakui ke-Esaan Allah sebagai pencipta alam, Tuhan menghidupkan dan mematikan, Tuhan yang member rizki dan sebagainya. Kepercayaan terhadap Allah tersebut tetap diyakini oleh bangsa Arab samapai kerasulan Muhammad SAW. Hanya saja keyakinan itu dicampuradukan dengan tahayyul dan kemusyrikan, menyekutukan Tuhan dengan sesuatu dalam penyembaan kepada-Nya, seperti jin, roh, hantu, bulan, matahari, tumbuh-tumbuhan, berhala dan sebagainya. Kepercayaan yang menyimpang dari agama Hanif itu disebut agama Watsaniyah.
                                Watsaniyah, yaitu agama yang memperserikatkan Allah dengan mengadakan penyembahan kepada: Aushab (batu yang belum memiliki bentuk), Autsan (patung yang dibuat dari batu) dan Ashaam (patung yang terbuat dari kayu, emas, perak, logam dan semua patung yang tidak terbuat dari batu.[2] Penyimpangan itu terjadi perlahan-lahan. Mereka menyatakan berhala-berhala itu sebagai perantara terhadap Allah. Allah tetap diyakini sebagai yang Maha Agung. Tetapi antara Tuhan dan makhlukNya dirasakan ada jarak yang mengantarinya. Berhala-berhala berlambang malaikat, putara-putra Tuhan. Berhala menjadi kiblat atau penentu arah dalam penyembahan dan peribadatan. Berhala diyakini sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang mereka yang harus dihormati dan dipuja. Demikian juga diantara mereka ada yang mempertuhankan binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai anasir yang memberi pengaruh terhadap alam semesta dan kehidupan manusia.
                Kondisi semacam ini terus berlangsung dan berkelanjutan hingga kehadiran Muhammad putra Abdullah. Nabi yang dijanjikan tersebut datang untuk membersihkan syirik yang telah mengakar pada keyakinan mereka dan mengembalikannya kepada garis tauhid. Kerasulan Muhammad SAW dengan misi tauhid tersebut harus dihadapkan pada kondisi masyarakat Arab yang telah kental dengan berhala, patung, lukisan dan segala macam objek ritual-relegious dengan wajah syirik dan penyimpangan. Beberapa masyarakat Arab telah mahir melukis, memahat dan segala macam usaha demi menciptakan sesembahan yang diinginkan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjadikannya sebagai punggung pendapatan sehari-hari mengingat banyaknya order dari para masyarakat. Sebuah cerita menggelitik datang dari al-Qurthubi bahwa ia menceritakan:
وَذَكَرَ الْقُرْطُبِيّ أَنَّ أَهْل الْجَاهِلِيَّة كَانُوا يَعْمَلُونَ الْأَصْنَام مِنْ كُلّ شَيْء حَتَّى أَنَّ بَعْضهمْ عَمِلَ صَنَمه مِنْ عَجْوَة ثُمَّ جَاعَ فَأَكَلَهُ.[3]
                “ al-Qurthubi menyebutkan bahwa sesungguhnya orang jahiliyyah adalah mereka yang membuat berhala-berhala, bahkan sebagaian dari mereka membuat berhalanya dari roti kemudian ketika ia lapar maka ia memakannya”.
                                Tampak bahwa masyarakat arab pada waktu itu sedang terjangkit virus syirik yang telah melembaga dan membudaya. Nabi, dengan inspirasi wahyu mencoba dan berusaha menjauhkan mereka dari kegiatan keji tak berdasar itu. Bukan hal yang mudah memang, akan tetapi sedikit demi sedikit orang-orang “lulusan” syirik arab mulai menerima ajakan adan ajaran Muhammad SAW. Ajaran tauhid yang menetapkan ke-Esaan Allah tidak serta merta mereka pahami dan yakini. Terlebih, banyak diantara musyrik arab yang terus melanjutkan peninggalan nenek moyang itu. Sebagai Nabi, merupakan tugas utama bahkan sebuah kewajiban untuk menghindarkan umatnya dari belenggu penyimpangan dan keingkaran. Perjumpaan seperti inilah yang terjadi diantara Nabi, umat muslim, dan para musyrik arab.

Urgentisitas Pelarangan Pembuatan Lukisan dan Patung
                Hadis yang menyebutkan bahwa “sesungguhnya manusia yang paling keras diadzab pada hari kiamat ialah pembuat sesuatu rupadan beberapa hadis lain yang menyebutkan larangan melukis, secara redaksional menegaskan larangan berbagai bentuk lukisan dan seni pahat (patung). Jika kita terburu-buru dan hanya memaknai hadis tersebut secara tekstual, maka larangan lukisan dan patung akan menjadi sebuah keharaman mutlak yang berlaku kapan dan dimanapun itu. Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komperhnensif alangkah baiknya jika kita menelisik kembali sejarah dan dalam konteks bagaimana hadis itu disabdakan.
                                Beranjak dari setting sosio-historis kondisi masyarakat arab pada waktu itu, ternyata umat Islam belum lama sembuh dari penyakit-penyakit syirik yakni menyekutukan Allah dengan menyembah berhala,  patung dan sebagainya. Sejarah menyebutkan bahwa awal mula penyembahan patung sebenarnya bermula dari sikap orang-orang pada zaman Nuh alahissalam yang berlebihan dalam mengagungkan orang shalih. Setelah meninggal,  mereka kemudian membuat patung orang-orang shalih tersebut. Karena semasa hidupnya diagung-agungkan oleh masyarakat, maka setelah meninggal, patung-patung orang salih tersebut  lama-kelamaan dijadikan sebagai sesuatu yang suci bahkan sebagai sesembahan.  Dalam kapasitasnya sebagai rasul. Nabi SAW berusaha keras agar masyarakat umat Islam waktu itu benar-benar sembuh dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan fatwa larangan melukis, memproduksi, atau memajang lukisan atau berhala (patung). Bahkan disertai dengan ancaman yang sangat keras. Imam al-Thabari mengatakan: yang dimaksud dengan lukisan (patung) pada hadis ini adalah segala sesuatu yang diciptakan untuk  disembah.[4] Dengan demikian, larangan adanya lukisan atau patung tidak terlepas dari wujud penghambaan dan pengkultusan terhadapnya. Meski umat Islam telah menadapkan ajaran tauhid, Nabi tetap merasa khawatir terhadap umatnya jika dibiarkan membuat dan memampang patung. kondisi semacam ini sesuai dengan sabab wurud hadis ini.[5]

Resepsi Masyarakat terhadap Hadis
Masyarakat kita berbeda-beda dalam menanggapi hadis seputar larangan lukisan dan patung. Mereka memiliki argumen masing-masing untu mempertahankan pendapatnya. Kelompok pertama, melarang keras segala rupa patung dan gambar dengan alasan patung dan gambar dapat menjadi sarana kesyirikan, karena awal mula dari kesyirikan dan kekufuran adalah adanya pemujaan terhadap patung dan berhala. Selain itu terdapat hadis yang menyatakan dengan jelas larangan menciptakan sesuatu yang menyerupai ciptaan Allah. Kelompok kedua, membolehkan pembuatan lukisan dan patung karena di masa sekarang tauhid telah melekat dalam jiwa umat Islam dan tidak dikhawatirkan lagi terjadi syirik disebabkan patung-patung tersebut. Kelompok ketiga, membolehkan patung dan lukisan hanya pada benda-benda tertentu. Yaitu, pada makhluk yang tidak bernyawa atau pada makhluk bernyawa yang tidak disempurnakan bentuknya.

Respon Muslim Indonesia terhadap Larangan Lukisan dan Patung
Sebelum Islam datang ke wilayah Indonesia, masyarakat kita pun telah mempercayai adanya kekuatan “di luar” kekuatan manusia. Kepercayaan mereka dikenal dengan sebutan Animisme (kepercayaan terhadap ruh-ruh yang memiliki kekuatan gaib) dan Dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan karena ditempati atau merupakan perwujudan dari ruh). Ruh-ruh tersebut dapat melekat pada benda-benda alam seperti batu-batu besar, pohon, danau, dan lain sebagainya. Agar ruh-ruh tersebut dapat memberikan berkah serta kesejahteraan bagi manusia, memberikan kesuburan tanah untuk bercocok tanam, dan berkembangnya hewan-hewan ternak mereka, maka diadakan upacara-upacara khusus disertai dengan sesaji. Hal ini bisa dilihat dengan adanya bangunan-bangunan batu besar di masyarakat sekitar kita. Bangunan tersebut digunakan sebagai sarana penghormatan dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
Upacara pemujaan ini masih tetap berlangsung sampai akhirnya Islam tersebar di nusantara. Namun, budaya masyarakat yang telah melekat sedemikian lama tentu tidak serta merta bisa dihapuskan begitu saja. Karena Islam datang dengan kedamaian, budaya masyaraat kita tidak seluruhnya dihapuskan oleh para ulama’ yang menyebarkan agama melainkan diimbangi dengan ritual-ritual islami. Dengan harapan, agar masyarakat lebih cepat menerima ajaran Islam. Salah satu contohnya adalah wayang yang dibawa oleh Sunan Kalijaga. karena pada waktu itu masyarakat masih mengagumi patung-patung, maka Sunan Kalijaga menjadikan wayang sebagi media dakwah Islam. Dan keberhasilan beliau terbukti dengan tersebar luasnya Islam di tanah Jawa.                                                                                  

Daftar Pustaka
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis Hukum. Bandung: al Ma’arif, 1976.
al-Husaini, Ibnu Hamzah al-Dimsyaqi. al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis al-Syarif. Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt.

Wargadinata, Wildana dan Laily Fitriani. Sastra Arab dan Lintas Budaya. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Bukhari, Imam. Shahih Bukhari CD ROM Mausu’ah al Hadis al Syarif Global Islamic Software.
Al-Asqalany, Ibnu Hajar. Fathu al-Bary fi Syarh Shahih Bukhari CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.


[1] Imam Bukhari, Shahih Bukhari dalam CD Mausu’ah al Hadis al Syarif , Kitab al Libas, Bab. Adab al Mushawirin yaum al Qiyamah, no. 5494.

[2]  Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, (Malang: UIN Malng Press, 2008), hlm.44.
[3] Al-Asqalany, Fathu al-Bary fi Syarh Shahih Bukhari, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Juz 17 hlm. 56.
[4]  Al-Asqalany, Fathu al-Bary fi Syarh Shahih Bukhari, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Juz 17 hlm. 56.

[5] Diceritakan bahwa suatu saat Ibnu Shubaih bersama Masruq memasuki rumah yang didalamnya terdapat patung Maryam. Maka Masruq pun mengingatkan bahwa Ibnu mas’ud telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah mengancam orang-orang pembuat patung. lihat: Ibrahim bin Muhammad Kamaluddin yang terkenal dengan Ibnu Hamzah al-Dimsyaqi al-Husaini, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis al-Syarif. (Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt), juz II, hlm. 40.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar