SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM POSTMODERN

Admin Friday, December 17, 2010

SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM POSTMODERN

Perjalanan sejarah umat manusia telah memasuki apa yang disebut zaman Postmodern. Namun demikian nampaknya belum ada kesepakatan tentang konsep Postmodern tersebut. Dalam studi Postmodernisme mengisyarakatkan adanya dua hal. Pertama, Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman Modern. Dalam pengertian ini era modern telah dianggap berakhir dan dilanjutkan dengan zaman berikutnya, yaitu Postmodern. Kedua, Postmodernisme dianggap sebagai gerakan intelektual yang mengkritik dan mendekonstruksi paradigma pemikiran pada zaman modern.

Sebagaimana diketahui bahwa modernisme yang sangat mengagungkan kekuatan rasionalitas, mengusung pandangan hidup saintifik, sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikotomis, pragamatisme, penafian kebenaran metafisis meskipun telah menghasilkan berbagai sains modern dan teknologi akan tetapi telah menyisakan problem serius, yakni membawa manusia pada absolutisme, alienasi serta cenderung represif. Oleh karenanya Postmodern muncul sebagai gugatan atas worldview zaman modern yang bersifat absolut dan represif ini. Postmodern membawa dan mewacanakan Pluralisme, relativisme dan penolakan terhadap kebenaran tunggal seperti yang terjadi di zaman modern.

Dalam sejarahnya, pemikiran Islam mengalami dinamika yang variatif, pasang-surut. benturan dengan peradaban Barat -yang selama ini menguasai peradaban dunia- telah membuat umat Islam malakukan rethingking (berfikir ulang) atas pemahaman  agamanya. Corak-corak pemikiran yang bersifat konservatif, tradisionalis mulai ditinggalkan pada masa Postmodern. Kecenderungan-kecenderungan kritik terhadap kemapanan, moderisme dan tradisonalisme semakin menggejala dalam era ini. Seiring benturan arus peradaban Barat., muncullah kemudian nama-nama yang memiliki pemikiran bercorak dekonstruktif seperti Muhammad Arkoun, Ashghar Ali Engineer juga Hassan Hanafi. Merekalah yang biasa disebut-sebut berada pada garda depan dalam pemikiran Islam Postmodern.

Oleh karena itu perlu diketahui bagaimana arah pemikiran  Islam era Postmodernisme agar dapat diketahui pula arah gerakan Islam dalam menghadapi era ini.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah yang berupa:
1.      Bagaimakah deskripsi Postmodernisme secara umum?
2.      Bagaimanakah gambaran Posmodernisme dalam Islam jika dipahami sebagai mode pemikiran.?
3.      Bagaimanakah gambaran Posmodernisme dalam Islam jika dipahami sebagai periode kesejarahan?

Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan historis-filosifis. Pendekatan historis digunakan dalam upaya eksplorasi kesejarahan pemikiran Islam selama ini.[1] Bagaimana pola-pola pemikiran yang ada dalam peradaban Islam akan ditelusuri secara historis melalui sumber-sumber yang relevan. Pendekatan filosifis digunakan untuk mencari ide fundamental yang menjiwai persoalan yang sedang dipecahkan.

Telaah Pustaka

Kajian tentang Islam dan era Postmodern nampaknya mulai menjadi perhatian umat Islam. paling tidak disana telah ada karya yang berbicara tentang Postmodern dengan Islam. literatur tersebut adalah karya dari intelektual Muslim Akbar S. Ahmad. Yang berjudul: Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam. Bahasan dalam buku ini lebih menekankan pada besarnya peran media massa dalam arus Postmodern, juga bagaimana media membentuk peta mental tentang hubungan Barat dan Timur. Bahkan Akbar menyebutkan bahwa tidak bisa memahami umat Islam tanpa memahami watak media Barat. Dan inilah yang ia coba lakukan. Buku ini dibahas dengan metode tematik, yaitu dengan mengusung isu-isu/problem-problem yang terjadi di era Postmodern, seperti tentang media sebagai “majikan”, kasus Salman Rusdi dan sebagainya.[2]

Karya selanjutnya yang mengkaji Postmodernisme adalah tulisan Amin Abdullah yang berjudul Dialog Peradaban Menghadapi Era Postmodernisme: “Sebuah Tinjauan Filosofis Religius”. Berawal dari paper yang disampaikan dalam seminar nasional Postmodernisme dalam pro dan kontra serta relevansinya terhadap perkembangan budaya di Indonesia” makalah ini kemudian dikumpulkan dengan artikel-artikel yang lain dalam sebuah buku berjudul Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Dalam tulisan ini lebih ditekankan pada urgensi pemahaman alur pemikiran Postmodernisme yang diarahkan pada persoalan hubungan antar kebudayaan dan peradaban. Metode yang digunakan juga tematis dengan pendekatan filosifis.[3]

Sedangkan paper yang disusun di sini akan mencoba menelusuri kesejarahan pemikiran Islam, serta mengeksplorasi bagaimana  kesejarahan pemikiran Islam di era Postmodern ini. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dilakukan Akbar S. Ahmad yang cenderung membahas isu-isu Postmodern secara umum tanpa menyinggung secara luas tentang mode pemikiran muslim era postmodernise, ataupun karya Amin Abdullah yang tulisannya lebih ditekankan pada urgensi pemahaman alur pemikiran Postmodernisme tanpa memberian porsi penjelasan tentang Postmodernisme Islam yang dipahami sebagai periode kesejarahan.

Oleh karena itu tulisan ini mencoba untuk membahas dua dimensi makna dan semangat posmodernisme dalam dunia Islam agar bisa memberikan pemahaman yang utuh tentang era Postmodern.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Yaitu dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan, baik dari sumber primer maupun sekundernya yang kemudian dideskripsikan secara komprehensif. Pendekatan sejarah menilik pada telaah kesejarahan pemikiran Islam selama ini. Bagaimana pola-pola pemikiran yang ada dalam peradaban Islam akan diteliti dengan historical approach.[4]

Sistematika Pembahasan

Kajian ini terdiri dari 4 (empat) bab. Supaya diperoleh pembahasan yang runtut, maka sistematisasi logis yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Bab I : Merupakan bab pendahuluan berisi segala kerangka mendasar dari kajian dituangkan dalam bab ini. Oleh karenanya, bab ini akan memuat: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Pendekatan, Kajian Pustaka serta Sistematika Pembahasan.
Bab II : Akan membahas tentang deskripsi Postmodernisme secara umum.
Bab III : Akan membahas pola pemikiran Islam era Postmodern sebagai mode pemikiran yang melingkupi 4 hal. Yaitu, pertama Sejarah dan Karakteritis Pemikiran Postmodernisme. Kedua, tentang wacana Dekonstruksi Bahasa Agama. Ketiga, adalah Kajian wacana dekonstruksi peradaban barat (Oksidentalisme) yang merupakan hasil pemikiran intelektual postmodern Hassan Hanafi. Keempat, tentang dekonstruksi hukum Islam.
Bab IV : Akan membahas pola pemikiran Islam era Postmodern sebagai perioe kesejarahan, yang melingkupi 4 hal. Yaitu, pertama tentang ciri Postmodernisme. Kedua, gambaran umat Islam ketika memasuki fase sejarah Posmodernisme. Ketiga, tentang warisan seni Islam.
Bab  V : Bab penutup berisi kesimpulan dan saran-saran.

PENGERTIAN DAN DESKRIPSI POSTMODERNISME

                Postmodernisme berasal dari kata  post dan modern. “Post” atau” pasca” secara literal mengandung arti sesudah, jadi istilah Postmodernisme berarti era pasca modern berupa gugatan kepada modernisme. Berkaitan dengan definisi Postmodernisme itu sendiri, belum ada rumusan yang baku sampai saat ini, karena Postmodernisme sebagai wacana pemikiran masih terus berkembang sebagai reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19.[5]

                Istilah Postmodernisme digunakan dalam berbagai arti, dan tidak mudah untuk membuat dan merumuskan satu definisi yang dapat mencakup atau menjangkau semua dimensi arti yang dikandungnya.  Istilah postmodernsme pertama kali muncul sebelum tahun 1926, yakni tahun 1870 an oleh seniman Inggris bernama John Watkins. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah Postmodernisme telah dibuat pada akhir tahun 1040 oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni asal Amerika, Charles Jenck untuk menjelaskan gerakan anti modernisme.[6]

                Istilah postmdernisme pertama-tama dipakai dalam seni arsitektur. Diantara ciri utama arsitektur modern adalah gedung-gedung tinggi menjulang yang sangat teratur tanpa banyak variasi. Dari seni arsitektur, istilah Postmodernisme dipakai juga untuk bidang teori sastra, teori social, gaya hidup, filsafat, bahkan juga agama.

                Dalam kajian Postmodernisme mengisyaratkan pada dua hal. Pertama. Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern. Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang akan digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu postmodern. Kedua. Postmodern dianggap sebagai gerakan intelektual (intellectual movmen) yang mencoba menggugat, bahkan  mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan pilar utamanya kekuatan rasionalitas manusia, hal ini ingin digugat karena telah menjebak manusia kepada absolutisme dan cenderung represif, [7] yang keduanya akan kami bahas dalam bab-bab selanjutnya.

                Adapun inti pokok alur pemikiran Postmodernisme adalah menentang segala hal yang berbau kemutlakan, baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber. [8]

POSTMODERNISME: SEBAGAI MODE PEMIKIRAN

Ciri-ciri Pemikiran Postmodernisme                                                                     

Dalam upaya pemetaan wilayah Postmodernisme, menurut Amin Abdullah ada tiga fenomena dasar yang menjadi tulang pungung arus pemikiran  postmodernsme yang ia istilahkan dengan  ciri-ciri strukur fundamental pemikiran Postmodernisme, yaitu:

1.      Dekonstruktifisme
Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga dalam ilmu-ilmu kealaman yang selama ini dianggap baku –yang biasa disebut dengan grand theory- ternyata dipertanyakan ulang oleh alur pemikiran Postmodernisme. Hal itu terjadi karena grand theory tersebut dianggap terlalu skematis dan terlalu menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya serta dianggap menutup munculnya teori-teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan masalah.       Jadi klaim adanya teori-teori yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh para pemikir Postmodernisme.

Para protagonis pemikiran Postmodernisme tidak meyakini validitas “konstruksi”bangunan keilmuan yang ” baku” , yang “standar” yang telah disusun oleh genarasi modernis. Standar itu dilihatnya terlalu kaku  dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih rumit.  Dalam teori sosiologi modern, para ilmuan cenderung untuk melihat gejala keagamaan sebagai wilayah pengalaman yang amat sangat bersifat individu. Pengalaman keagamaan itu tidak terkait dan harus dipisahkan dari kenyataan yang hidup dalam realitas social yang ada.

Era Postmodernisme ingin melihat suatu fenomena social, fenomena keberagamaan, realitas fisika apa adanya, tanpa harus terkurung oleh anggapan dasar atau teori baku dan standar yang diciptakan  pada masa modernisme. Maka konstruksi bangunan  atau bangunan keilmuan yang telah dibangun susah payah oleh generasi modernisme ingin diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernis. dalam istilah Amin Abdullah dikenal dengan “ deconstructionism” yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih relevan dalam memahami kenyataan masyarakat, realitas keberagamaan, dan realitas alam yang berkembang saat ini.[9]

2.      Relativisme
    Thomas S. Kuhn adalah salah seorang pemikir yang men-dobrak  keyakinan para ilmuan  yang bersifat positivistik. Pemikiran positivisme memang lebih menggarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan social yang bersifat universal yang dibangun oleh rasio.

Manivestasi pemikiran Postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai-nilai, kepercayaan agama, tradisi, budaya dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin antropologi. Dalam pandangan antropolog, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan budaya Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latarbelakang sejarah, geografis, demografis dan lain sebagainya. Dari sinilah nampak, bahwa nilai-nilai budaya bersifat relatif, dalam arti antara satu budaya dengan budaya yang lain tidak dapat disamakan seperti hitungan matematis. Dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran postmdernisme yaitu bahwa wilayah budaya, bahasa, cara berpikir dan agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat kebiasaan masing-masing.

Dari sinilah nampak jelas, bahwa para pemikir Postmodernisme menganggap bahwa segala sesuatu itu sifatnya relative dan tidak boleh absolut, karna harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada. Namun konsepsi relativisme ini ditentang oleh Seyyed Hoessein Nasr, seorang pemikir kontempor. Baginya tidak ada relativisme yang absolut lantaran hal itu akan menghilangkan normativitas ajaran agama. Tetapi juga tidak ada pengertian absolut yang benar-benar absolut, selagi nilai-nilai yang absolute itu dikurung oleh historisitas kemanusian itu sendiri. [10]

3.      Pluralisme
    Akumulasi dari ciri pemikiran Postmodernisme yaitu pluralisme. Era pluralisme  sebenarnya sudah diketahui oleh banyak bangsa sejak dahulu kala, namun gambaran era pluralisme saat itu belum dipahami sepeti era sekarang. Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era pluralisme budaya dan agama telah semakin dihayati  dan dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada. Adanya pluralitas budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi, social, suku, pendidikan, ilmu pengetahuan, militer, bangsa, negara, dan politik merupakan sebuah realitas. Dan berkaitan dengan paradigma tunggal  seperti yang dikedepankan oleh pendekatan kebudayaan barat modernis, develop, mentalis, baik dalam segi keilmuan, maupun lainnya telah dipertanyakan keabsahannya oleh pemangku budaya-budaya di luar budaya modern. Maka dalam konteks keindonesiaan khususnya, dari ketiga ciri pemikiran Postmodernisme, nampaknya fenomena pluralisme lebih dapat diresapi oleh sebagian besar masyarakat. [11]

Munculnya Kesadaran Baru Pemikiran Islam

Di tengah arus global Postmodernisme, di mana agama dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman maka pemikiran rasionalisme menjadi keharusan sejarah (historical necessity) dalam mendekonstruksi –salah satu ciri Postmodernisme- kembali wacana agama, pada setiap wilayah kajian keagamaan.

1.      Dekonstruksi Pemahaman Terhadap Teks: dari Transmisi menuju Kreasi
Teks adalah kodifikasi semangat zaman dari baik pengalaman pribadi dan kolektif dalam berbagai situasi tertentu. Tujuan dalam mengkodifikasi sejarah adalah mewariskan pengalaman-pengalaman setiap generasi kepada generasi-generasi selanjutnya, demi mengkontinyukan kekuatannya atau paling tidak demi membimbing dan mengorientasikannya menuju masa depan.[12]

Dalam tradisi Islam, sejak awal diyakini bahwa teks itu tidak hanya terbatas pada kitab suci Al-Quran. Juga alam raya adalah teks, bahkan perilaku (tradisi) kenabian itu sendiri juga merupakan teks yang kesemuanya menyimpan dan hendak mengkomunikasikan makna dan pesan yang dikandungnya. Terdapat korelasi yang dialogis antara subyek (seorang muslim), teks Al Quran, tradisi kenabian, dan realitas alam raya dengan huku-hukumnya. Sejak pertama kali Al Qur’an diwahyukan, ia sudah melakukan dekonstruksi radikal terhadap epistemologi serta syair-syair jahiliyyah waktu itu. Ayat pertama yang diturunkan bunyinya adalah : “bacalah! Bacalah atas nama Tuhanmu apa-apa yang telah Dia ciptakan”(Q.S.96:1) jadi,sejak pertama umat Islam sudah ditantang untuk membaca teks berupa alam raya. Alam itu sendiri artinya “tanda” yang menunjuk kepada realitas di luarnya. Kemudian Al Quran memperkenalkan “ada” (being) yang mendasari “semua yang ada” (beings) dengan berbagai cara yang bersifat dialogis dan relasional, bukannya definitive positivistik.

Kita perlu melakukan dekonstruksi terhadap teks dikarenakan beberapa alas an dibawah ini :

Pertama kitab suci sebagai firman Tuhan diturunkan dalam penggalan ruang dan waktu, sementara manusia yang menjadi sasaran atau “pemakai jasa” senantiasa berkembang terus dalam membangun peradabannya. Dengan warisan kulminasi peradaban yang turun temurun masyarakat modern bias berkembang tanpa rujukan kitab suci sehingga posisi kitab suci bias saja semakin assign meskipun secara substansial dan tanpa disadari berbagai ajarannya dilaksanakan oleh masyarakat.

Kedua bahasa apapun juga, termasuk bahasa kitab suci, memiliki keterbatasan yang bersifat lokal karena bahasa adalah realitas budaya. Sementara itu pesan dan kebenaran agama yang termuat dalam bahasa lokal tadi mempunyai klaim universal. Disini sebuah bahasa agama akan diuji kecanggihannya untuk menyimpan pesan agama tanpa harus terjadi anomali atau terbelenggu oleh kendaraan bahasa yang digunakannya.

Ketiga ketika bahasa agama “disakralkan”, maka akan muncul beberapa kemungkinan. Biasa jadi pesan agama terpelihara secara kokoh, tetapi bias juga justru makna dan pesan agama yang fundamental malah terkurung oleh teks yang telah disakralkan tadi.

Keempat kitab suci – disamping kodifikasi hukum Tuhan – adalah sebuah “rekaman” dialog Tuhan dengan sejarah Diana kehadiran Tuhan diwakili oleh RasulNya. Ketika dialog tadi dinotulasi, maka amat mungkin telah terjadi reduksi dan pemiskinan nuansa sehingga dialog Tuhan dengan manusia tadi menjadi kehilangan “ruh”-nya ketika setelah ratusan tahun kemudian hanya berupa teks.

Kelima ketika masyarakat dihadapkan pada krisis epistemologi, kembali pada teks Kitab suci yang disakralkan tadi akan lebih menenangkan ketimbang mengambil faham dekonstruksi yang mengarah pada relativisme-nihilisme.

Keenam semakin otonom dan berkembang pemikiaran manusia, maka semakin otonom manusia untuk mengikuti atau menolak ajaran agama dan kitab sucinya. Lebih dari itu, ketika orang membaca teks kitb suc,bisa jadi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah proses dialog kritis antara dua subyek. Dengan demikian,orang bukannya menafsirkan dan minta fatwa pda kitab suci sebagai teman dialog yang bebas dari dominasi.[13]

Oleh karena itu ketika membaca teks, seorang pembaca tidaklah pergi menuju sejarah teks-teks sejak awal dibukukan untuk memahami makna-makna historisnya dan perkembangan kata-kata yang membutuhkan berhari-hari bahkan bertahun-tahun berkutat dalam berbagai rujukan, referensi induk, kamus bahasa, serta ensiklopedia. Akan tetapi membaca teks adalah proses memahami makna yang digunakan sebagai argmen sesuai dengan semangat zaman. Teks dalam pengertian ini tidak memiliki faktor-faktor permanen, akan tetapi adalah kumpulan faktor yang berubah, dimana setiap zaman membaca dirinya karena zamanlah yang menafsirkan teks dalam pembacaan. Ketika zaman-zaman berubah maka pembacaan terhadap teks pun berubah sesuai dengan tuntutan perubahan. Oleh karena itu teks bukanlah dokumen yang layak untuk ditimbun karena ke-kuno-annya, akan tetapi ia adalah realitas yang hidup dalam keadaan diam yang akan bangkit melalui pembacaan sehingga hidup kembali dalam berbagai bentuk yang menarik.

2.      Dekonstruksi Terhadap Barat: Upaya Pembebasan Diri Demi Berkreasi
Pada era posmodernisme narasi-narasi besar mulai dikritik orang dan sekarang narasi kecil semakin memperoleh perhatian. Implikasi trend ini di dalam dunia antropologi sangat terasa. Dimana Barat mulai sadar dan memperhatikan adanya ”the other world” yang memiliki eksistensi dan hak hidup sebagaimana “dunia barat”. Tren ini sekaligus merupakan kritik terhadap arogansi Barat yang menganggap mereka sebagai wakil dari dunia yang paling beradap, paling demokratis, dan paling digdaya sehingga merka merasa berhak menjadi pemimpin dan polisi dunia.[14]

Klaim-klaim semacam ini mempunyai alasan tersendiri, walaupun pada tataran operasional mereka sering melanggar dan merusak prinsip-prinsip yang telah mereka bangun sendiri. Dan pada akhirnya sikap seperti ini akan menyudutkan posisi mereka sendiri dimata Negara-negara lain, terutama bagi Negara yang memiliki faham agama, ideologi dan kebudayaan yang berbeda.

Oleh karena itu Hassan Hanafi merupakan salah satu dari sekian banyak intelektual Muslim telah memulai untuk melakukan pengawalan terhadap kesadaran peradaban umat Islam yang selama ini sedikit banyak masih dibawah pengaruh Barat. Perhatian terhadap peradaban Islam itu ia buktikan melalui bukunya Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat yang merupakan wajah lain dan tandingan Orientalisme. Dimana orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas pada ego dengan kompleksitas superioritas. Dengan bahasa yang lebih sederhana Orientalisme lama adalah pandangan ego eropa terhadap the other non eropa; subyek pengkaji muncullah kompleksitas superioritas dalam ego eropa, sedangkan akibat posisinya sebagai obyek yang dikaji juga mengakibatkan munculnya kompleksitas inferioritas dalam diri the other non eropa.[15]

Sedangkan dengan adanya kajian tentang Oksidentalisme telah menyeimbangkan peran yang selama ini berlaku, dimana ego eropa yang kemarin berperan sebagai pengkaji, kini berubah arah menjadi obyek yang dikaji. Sedangkan the other non eropa yang kemarin menjadi objek yang dikaji, kini berperan sebagai subyek pengkaji. Oleh karena itu adanya kajian tentang Oksidentalisme ini sebagai upaya untuk menumbangkan superioritas Barat dalam bidang bahasa, kebudayaan, ilmu pengetahuan, madzhab, teori, dan pendapat. Teugas lain dari Oksidentalisme di sini adalah mengembalikan keseimbangan kebudayaan umat manusia, memperbaiki keseimbangan yang selama ini hanya menguntungkan kesadaran eropa dan merugikan kesadaran non eropa.

Meskipun demikian, dengan sikap rendah hati, Hassan Hanafi menyatakan bahwa Oksidentalisme sesungguhnya bukan merupakan lawan dari Orientalisme, melainkan hanya sebuah hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu dengan yang lain sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan dominatif dari dunia barat atas timur.

Menurut Hassan Hanafi, jika Oksidentalisme telah selesai dibangun dan dipelajari oleh para peneliti dari berbagai generasi, lalu menjadi arus utama pemikiran di Negara kita serta memberikan andil dalam membentuk kebudayaan tanah air, maka akan terdapat hasil-hasil pokok sebagaimana di bawah ini:[16]

a.       Kontrol atau pembendungan atas kesadaran Eropa dari awal sampai akhir. Dengan demikian terror kesadaran eropa akan berkurang, sebab kesadaran Eropa kini bukan lagi menjadi pihak yang berkuasa.

b.      Mempelajari kesadaran Eropa dalam kapasitas sebagai sejarah bukan sebagai kesadaran yang berada di luar sejarah.[17]

c.       Mengembalikan barat ke batas alamiahnya, mengakhiri perang kebudayaan, menghentikan ekspansi tanpa batas, mengembalikan filsafat Eropa ke lingkungan di mana ia dilahirkan, sehingga partikulasi barat akan terlihat.

d.      Menghapus mitos “kebudayaan kosmopolit”; menemukan spesifikasi bangsa di seluruh dunia, dan bahwa setiap bangsa memiliki tipe peradaban serta kesadaran tersendiri.

e.       Membuka jalan bagi terciptanaya inovasi bangsa non Eropa dan membebaskannnya dari “akal” Eropa yang menghalangi nuraninya.

f.       Dengan Oksidentalisme, manusia akan mengalami era baru di mana tidak ada lagi penyakit rasialisme terpendam seperti yang terjadi selama pembentukan kesadaran Eropa yang akhirnya menjadi bagian dari strukturnya.

Dari semua penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Oksidentalisme ini diharapkan posisi Timur yang selama ini menjadi obyek kajian Barat bisa berubah bentuk relasinya menjadi sebuah titik keseimbangan antara Barat dan Timur. Selain itu, yang ingin diwujudkan oleh Hassan Hanafi adalah mendobrak dan mengakhiri mitos Barat yang selama ini memegang supremasi dunia.

3.      Dekonstruksi Hukum Islam
Pada pertengahan 1980-an, Prof. Dr. Muanawir Sjadzali, MA. Melemparkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam. Salah satu gagasan beliau adalah tentang perlunya pemikiran ulang mengeni pembagian harta waris yang selama ini menggunakan hukum lama dalam pelaksanaannya.[18] Terlepas setuju atau tidak dengan gagasan pembaruan itu, pak munawir telah ikut merangsang dan mendorong umat Islam khususnya di Indonesia untuk mebicarakan kembai aspek tertentu hukum Islam sehingga tetap relevan digunakan dalam setiap masa. Berangkat dari penulis beranggapan, bahwa masalah hukum Islam akan selalu menjadi perbincangan, perdebatan, dan pembahasan yang tidak akan pernah berakhir, karena problematika social akan terus berkembang seiring dengan laju dan semangat zaman.

Pada dasarnya para ulama membagi hukum menjadi dua macam, yaitu hukum syari’at yang bersumber dari nash agama yaitu al-Qur’an dan Hadis yang sifatnya mengikat dan tidak berubah. Hanya saja dalam melaksanakannya Allah selalu meberikan kemudahan dan keringanan disaat menemukan kesulitan. Allah berfirman (al-Baqarah, 2:185). Sedangkan hukum fikih dalah hasil ijtihad dari para mujahid. Ijtihad di sini akan menghasilkan hukum yang berbeda karena setiap mujahid bisa jadi mempunyai pandangan yang berbeda dengan yang lain sesuai dengan tingkatan intelektual, lingkungan, serta latar belakang pemikirannya. Oleh karena itu hukum fikih adalah produk pemikiran manusia yang tidak berrsifat “sakral” (bisa berubah) dan kebenarannya terikat oleh waktu.[19]

Oleh Karena itu,dalam suatu masalah terkadang terjadi perbedaan pendapat dalam penerapan hukumnya, misalnya masalah hukum potong tangan sebagai akibat perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan. Dalam kaitannya dengan masalah potong tangan di atas ulama tradisional serta modern dihadapkan dengan realitas zaman yang berbeda sehingga dalam penerapannya tidak berada dalam satu warna.

Menurut hemat penulis perbedaan pendapat di atas lahir karena perbedaan pemahaman teks nash serta tuntutan untuk bisa menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada, sehingga dalam kerangka Postmodernisme perlu diupayakan untuk melakukan dekonstruksi hukum Islam yang sudah tidak relevan dengan semangat zaman melalui pemahaman kontekstual terhadap nash-nash yang ada sesuai dengan realitas masyarakat. Sehingga akhirnya muncul cendekiawan muslim kontemporer seperti Fazlurrahman yang dalam kasus pencurian perlu diterapkan teori gradasi. Artinya, pencuri yang baru pertama kali mencuri tidak harus dipotong tangan, melainkan hukum ta’zir. Sementara Muhammad Syahrur, memahami hukuman potong tangan dalam al-Qur’an sebagai hukum yang tertinggi . artinya kita boleh  berijtihad mengurangi hukuman tersebut dan tidak boleh melebihi ketentuan hukum yang ada dalam al-Qur’an.[20]

Sebagai catatan akhir, pembaruan hukum Islam mutlak diperlukan. Pendekatan-pendekatan model apa pun dalam  mengimple-mentasikannya berhak untuk diketengahkan, kemudian dibahas serta  diuji kelayakannya. Untuk itu jika dekonstruksi hukum Islam merupkan sebuah keniscayaan maka tentu tidak pada tempatnya kalau ia hanya diserahkan kepada Fazlurrahman ataupun Muhammad Syahrur, karena dalam hal ini semua kalangan bisa ambil bagian asalkan pendapatnya sesuai dengan proporsinya dan bisa dipertanggung jawabkan.

POSTMODERNISME: SEBAGAI PERIODE KESEJARAHAN

A.    Ciri Posmodernisme

Dalam analisa sosio-historis, kaitan antara Postmodernisme dan Islam sampai sejauh ini sedikit sekali mendapat perhatian. Diantara yang sedikit itu adalah karya Akbar S. Ahmed Postmodernisme bahaya dan Harapan Bagi Islam. Dalam analisanya terdapat cirri-ciri Postmodernisme yang sangat menonjol, diantaranya sebagai berikut:[21]

1.      Berusaha memahami era posmodernis berarti mengasumsikan pertanyaan tentang, hilangnya kepercayaan pada proyek modernitas; memudarnya kepercayaan keapada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya semangat pluralism.

2.      Meledaknya industri media massa, dimana kekuatan media massa menjelma bagaikan “agama”, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, dan tanpa disadari telah diatur oleh media massa, seperti televise dan sinema yang menjadi instrument ikut dalam memproyeksikan kultur dominan dari peradaban global.

3.      Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan yang diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia.

4.      Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta ketertarikan romantisme dengan masa lalu.

5.      Semakin menguatnya wilayah perkotaan sebagai sentral kebudayaan

6.      Semakin terbukanya peluang bagi kelas-kelas untuk mengemukakan pendapat dengan bebas, karena demokrasi adalah syarat mutlak bagi perkembangan era posmodernisme

7.      Semakin terbukanya peluangakan berkembangnya eklektisme dan percampuran berbagai wacana.

8.      Ide tentang bahasa sederhana terkadang terlewatkan oleh ahli posmodernis, meskipun mereka mengklaim dapat menjangkaunya.

B.     Kaum Muslim Memasuki Fase Sejarah Posmodernisme

Untuk mendapatkan penjelasan tentang apa yang sedang terjadi dalam masyarakat muslim, kita perlu menganalisis posmodernisme sebagai ilmu sosial. Sebagai langkah awal kita lihat apakah trend posmodernisme telah mempengaruhi pemikiran muslim kontemporer. Terlepas dari membanjirnya literatur di barat-tentang seni, arsitektur, sastra- posmodernisme belum cukup berkesan di mata kaum muslim.

Lalu apa makna Postmodernisme bagi umat Islam? Adakah perbedaan antara posmodernisme dengan modernisme? Atau jangan-jangan Postmodernisme –secara esensial- merupakan bentuk lain dari modernisme? Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas kita harus memperjelas apa yang dimaksud dengan modernisme menurut kacamata umat Islam.

Bagi umat Islam, modernisme adalah salah satu fase sejarah yang ditandai dengan maraknya aktivitas mulai dari maraknya pemikiran Islam hingga tindakan politik, dari arsitektur hingga mode berpakaian. Fase modernis Muslim pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kolonialisme Eropa, sehingga dalam beberapa hal umat Islam banyak unsur kesamaannya dengan Negara Eropa. Oleh Karena itu jika fase modern berarti mengejar pendidikan Barat, teknologi dan industrialisasi pada fase pertama periode pasca kolonial, maka postmodern bias diartikan sebagai upaya kembali kepada nilai-nilai tradisional Muslim dan menolak modernisme yang nantinya akan membangkitkan respon kaum muslim dalam segala bidang, termasuk politik, arsitektur, serta mode pakaian.[22] Oleh karena itu Postmodernisme dalam dunia Islam mempunyai arti peralihan menuju identitas Islam yang sejati yang bertentangan dengan identitas Barat.[23]

C.    Warisan Seni Islam

Tradisi yang secara sadar mengikat spritualitas dengan seni terus berjalan di kalangan muslim. Seni bertindak sebagai jembatan yang membawa inspirasi, trend, gaya dan ide-ide diantara kultur Islam. Selama beberapa periode di negara-negara muslim seni dihambat dan sulit mencari pelindung. Karena itu, ekspresi seni di  negara Muslm diaprisiasi secara steril. Bakat-bakat seni muslim kontemporer telah menemukan ekspresinya. Salah satu buktinya bayaknya seni film yang disutradari oleh seniman muslim, antara lain kontribusi muslim dalam sinema India yang memiliki industri perfilman terbesar di dunia.[24]

KESIMPULAN

Dari data yang telah diungkapkan diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa :

gambaran tentang Postmodernise jika dipahami sebagai mode pemikiran, maka akan ditemukan adanya karakteristik yang diantaranya:
a.       Dekonstruktif

b.      Relativisme

c.       Pluralisme

Dengan adanya dekonstruksi dalam berbagai bidang, sebgai upaya kontekstualisasi ajaran agama Islam agar mampu menjawab tantangan zaman diantaranya:

a.       Dekonstruksi pembacaan terhadap teks

b.      Dekonstruksi peradaban Barat yang diwujudkan sebagai kajian Oksidentalisme

c.       Dekonstruksi hukum Islam

Gambaran tentang Postmodernise jika dipahami sebagai periode kesejarahan, maka akan ditemukan adanya karakteristik diantaranya :
a.       Timbulnya sikap kritis terhadap proyek modernitas

b.      Meledaknya industri media massa.

c.       Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan sebagai reaksi  terhadap kegagalan proyek modernitas.

d.      Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas baru.

e.       Semakin menguatnya wilayah perkotaan sebagai sentral kebudayaan

f.       Semakin terbukanya pintu demokrasi

dengan adanya indikasi bahwa:
a.       Postmodern diartikan sebagai upaya kembali kepada nilai-nilai tradisional Muslim dan menolak modernisme yang nantinya akan mebangkitkan rospon kaum muslim dalam segala bidang, termasuk politik, arsitektur, serta mode pakaian.

b.      Warisan seni Islam di era ini menemukan semangat baru sehingga mampu berkembang dengan pesat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Ahmed, Akbar S., Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam terj. M. Sirozi, Bandung: Mizan, 1993

Hanafi, Hassan, Membumikan Tafsir Revolusioner, terj. Yudian Wahyudi dkk, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, tt.

Hanafi, Hassan, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.

Hidayat, Komarudin, “Melampaui Nama-nama; Islam dan Postmodernisme”, Kalam,  Jurnal Kebudayaan edisi 1 (1994).

Hum, Makhrus Munajat, M., Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

Kamal, Zainul, Islam Negara dan Civil society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Kumpulan Karangan, Jakarta: Paramadina, 2005.

Nata,  Abuddin , Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 2002.

Nazir, Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, terj. M. Imam Aziz dkk., Yogyakarta: LKiS, 1993.

Suyoto dkk. Postmodernisme dan Masa depan Peradapan, Yogjakarta: Penerbit Aditya Media, 1994.

[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 2002), hlm. 46

[2] Lihat Akbar S. Ahmed, Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam terj. M. Sirozi (Bandung: Mizan, 1993).

[3] Lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

[4] Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 56-57.

[5] Postmodernisme sebagai wacana pemikiran harus dibedakan dengan postmodernitas sebagai sebuah kenyataan social. Posmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sector jasa nebjadi factor yang menentukan. Sedangkan postmodewrnisme adalah wacana pemikiran baru sebagai alternatife terhadap modernisme yang digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subyek yang sadar, rasional, dan otonom.  Dikutip dari  internet. http ://aryaverdimandhani.blospoth.com.

[6] Dari beberapa sumber yang penulis telusuri mengenai  awal munculnya istilah postmdernisme dan pemakaiannya, nampaknya masih terjadi silang pendapat, Dan data diatas penulis kutip dari internet. http :/aryaverdimandhani.blospoth.com.

[7] Lihat makalah Dr. Agussalim Situmpol, “Sejarah dan Peradapan Islam”, hal. 5 dikutip dari  Suyoto dkk. Postmodernisme dan Masa depan Peradapan, (Jogjakarta: Penerbit Aditya Media, 1994), hlm. Vi.

[8] Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Posmodernisme, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 96.

[9] Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 99-101.

[10] Ibid., hlm. 103-104

[11] Ibid., hlm. 104-105

[12] Hassan Hanafi, Membumikan Tafsir Revolusioner, terj. Yudian Wahyudi dkk, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, tt), hlm. 45.

[13] Komarudin Hidayat, “Melampaui Nama-nama; Islam dan Postmodernisme”, Kalam,  Jurnal Kebudayaan edisi 1 (1994),  hlm. 57-58. Lihat juga Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, terj. M. Imam Aziz dkk. (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 150- 152.

[14] Komaruddin Hidayat dalam kata pengantarnya Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000).

[15] Hassan Hanafi, Oksidentalisme…, hlm. 26.



[16] Ibid., hlm. 51-59.

[17] Walaupun pada kenyataannya dapat dibenarkan bahwa kesadaran Eropa adalah sejarah yang terbentuk melalui beberapa fase yang tidak mungkin diabaikan fase pertengahannya, namun demikiania tetap merupakan eksperimentasi manusia dan merupakan perjalanan sebuah peradaban sebagaimana negara lain.

[18] Walaupun gagasan ini mendapat reaksi pro dan kontra dari beberapa kalangan muslim Indonesia.

[19] Zainul Kamal, Islam Negara dan Civil society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Kumpulan Karangan, (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm. 62-63.

[20] Sebagaimana dikutip oleh Makhrus Munajat, M. Hum, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm. 113.

[21] Akbar S. Ahmed, Postmodernisme…, hlm. 21-41.

[22] Ibid., hlm. 46.

[23] Ibid., hlm. 47.

[24] Ibid., hlm. 210.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar