Freire sbagai parktisi pendidikan melakukan konseptualisasi dan aplikasi revolusi dan perubahan social melalui “sekolah pembebasan”. Dalam hal ini ia mempergunakan sekolah atau pendidikan sebagai instrument pembebasan dan perlawanan, keyakinannya bahwa sekolah sebagi media yang satartegis untuk penyadaran dengan melakukan pendekatan koumnikatif serta pembacaan atas relaita sekitar. Perjalan dan perjuangan yang dilakukan Freire untuk melakukan penyadaran dan pemebrdayaan masyarakat menggunakan pendekatan partisipatoris. Kesadaran yang terbentuk bukan karena hasil dari indoktrinasi yang dilakukan oleh Frire, karena dalam pandangannya itu merupakan bentuk penindanasan atau menjadikan manusia sebagi benda terkendali (automation). Masyarakat dalam pembelajaran untuk pembebasan dilakukan secara bersama dan Freire dalam menyajikan materi atau bahasan yang akan dibicarakan bukan berangkat dari pengamatan dan observasi atas realitas Freire sendiri, akan tetapi itu hasil dari pembacaan masyarakat untuk kemudian dianalisis dan akhirnya masyarakat akan sadar bahwa selama ini ketertindasannya karena faktor struktur yang memang menindas.
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa tema sentaral dunia kita adalah dominasi. Dehumanisasi yang terjadi bukan takdir yang diberikan kepada manusia secara begitu saja oleh Tuhan. Penindasan, marjinalisasi, dan dominasi akan terus berlanjut karena dalam perjalanan sejarahnya itu merupakan suatu hal yang terpola dan sistemik serta akan selalu diwariskan dari generesi-kegenerasi. Dalam dominasi atau penindasan maka akan ada yang namanya penindas dan tertindas, dominator dan orang yang terjajah. Penindasan bukan berarti selalu dalam bentuk fisik an sich, penindasan sering terwujud dalam pembagian wilayah kerja, siswa yang tidak diberikan kekbebasan untuk perpendapat atau diberi kesempatan untuk mengenal dunianya bahkan ketika materi yang diberikan oleh guru merupakan bentuk refleksi, pemikiran dan obserfasi yang dilakukaknya yang kemudian ditransfer dan dihafal oleh siswa juga merupakan bentuk penindasan (verbalistik). Pendidikan yang anti komunikasi akan lebih dekat pada bentuk pendidikan untuk penjinakan (domestifikasi) dan mematikan kesadarn kritis.
Dehumanisasi dan peindasan yang terpola oleh para penindas untuk tujuan satus quo akan selalu mengunakan berbagai cara dan metode termasuk memalui dunia pendidikan dengan mematikan kreatifitas siswa dan kurikulum ideologis hasil paketan penguasa (penindas). Bagi Ferire sendiri menyatakan bahwa sekolah memainkan peran yang sangat fital sebagi alat kontrol sosial yang efisien untuk menjaga satatus quo (Ferire, 2002; 159). Selain itu keonsep pendiakan gaya bank yang dijalankan dalam proses pembelajaran. penindasan yang diciptakan oleh penindas sering kali tidak disadari oleh orang yang tertindas. Kalupun ia tahu bahwa selama ini dirinya hanya dijadikan budak dan manuisa terkendali (Automation), namun ia tidak mampu untuk melakukan perubahan dan hanya dalam tataran idealitas, bahkan yang sangat disayngkan adalah keberanian untuk bebas justru tidak ada.
Manusia yang ideal dan yang harus terbentuk dalam proses pendidikan adalah manusia yang mampu menjawab setiap yang terjadi dalam masyarakat dan memilki solusi alternatif dalam memescahkan masalah tersebut. Setelah kita memahami dunia pendidikan sebagai tempat perebutan kekuasaan terutama dalam pelanggengan kekuasaan dengan bentuk kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), proses komunikasi yang dimatikan dan tidak terjadi dialog kritis karena dalam prosesnya hanya pembelajaran yang monoton, dogmatis dan pasif. Bukan menjadi hal yang luar biasa karena itu seringkali terjadi dalam lemabaga penididikan, oleh kerenanya pendidikan bukan suatu hal yang netral (netralitas pendidikan). Pendidikan seharusnya dijadikan instrument humanisasi dan sistem yang dijalankan adalah sistem yang akan menghasilakan individu yang tidak terasing dari diri dan dunianya.
PETA PEMIKIRAN PAULO FREIRE.
Pertanyaan awal yang perlu kiat telusuri adalah pendidikan humanis seperti apa yang diidelakan, diharapkan bahwa dalam melakukan kajian dan penulisan akan suatu hal bukan hanya dilandasi dai bangunan epistemology yang sifatnya subjektifitas. Keharusan dalam pengungkapan sesuatu harus berdasar akan relaita objektif yang ada dalam masyarakat. Pendidian yang humanis dalam hal ini memiliki makna bahwa pendidikan yang tertuju untuk kaum terindas dan terjajah, pendidikan humanis menginginkan sebuah sisitem pendikan untuk meruntuhkan struktur penindas, serta merubah kebudayaan bisu. Pendidikan yang berkeadilan merupakan cita-cita yang nantinya menjadi kenyataan yang itu terbetuk dari hubungan dialektis antar kesdaran manuisa dan dunia.
Selama ini kesadaran dan budaya yang kita rasakan dalam lembaga sekolah sama sekali belum terjadi proses untuk pemberdayaan manusia. Keyakian yang tertanam dalam ruang kognitif masyarakat bahwa lemaba pendidikan sebagi alat untuk peningkatan derajat atau satarata sosial bahakan untuk memperbaiki kehidupan dalam sektor ekonomi dan mampu terlepasa dari belenggu kemiskinan. Dehumanisasi dalam pandangan Freire merupakan bentuk pendidikan yang hanya dijadikan alat untuk transfer pengetahuan (transfer of knowledge), budaya yang selama ini terjadi bahwa guru sebagai seorang yang paling tahu dan satu-satunya sumber ilmu penegtehuan, sedangkan musrid hanya dujadikan objek pasif (banking system), keinginan untuk membentuk pendidikan yang humanis dan sebagi bentuk perlawanan maka manusia berkesadaran kritis menjadi keniscayaan, dan dalam pembentukan manuisa berkesadaran kritis meniscayakan proses pendidikan yang dialogis berbasiskan relaita.
Tahap yang perlu diperhataiakan dalam pendidikan untuk kaum tertindas dan pembentukan manusia yang seutuhnya sebagai manusia humanis perlu adanya kesadaran hasrat (intention) bukan kesadaran kosong yang justru akan membelenggu dan justru mematikan kesadaran aktif, karena tidak akan ada dalam ruang dehumanisasi yang namanya pemberdayaan dan nilai humanis sebagai fitrah manusia. Pertama adalah membuka tabir dunia penindasan dengan tujuan untuk praksis dalam perubahan, keterkaitan dan dialektika kesadaran diri harus diimbangi dengan berangkat secara bersamaan dengan kesadaran dunia dan salah satunya tidak ada yang boleh dikesampingkan. Hal yang perlu diperhataiakan dalam membuka tabir ini sang terindas harus menyadari terlebih dahulu adanya penindasan karena penindas seringkali mengukuhkan lewat mitos sosial, selain itu membahas kesadaran kaum tertindas dan penindas yang mencakup prilaku, pandangan dunia dan etik. Kedua adalah metedologi penyadaran, penyadaran ini bukan berangkat dari hasil refleksi dan obserfasi seorang pendidik dalam melakukan analisis tentang sesuatu atas sesuatu yang nantinya dari kajian yang telah ia laukakan dengan dasar asumsi dan kajian tersebut baru diinformasikan pada para murid atau orang lain, akan tetapi metodologi penyadaran ini dapat dilakukan denagan cara bagaiman si murid melakukan observasi secara langsung atas dunia yang ia rasakan sehingga proses dilektika kesadarn diri dan kesadarn objektif akan timbul bukan karena hasil dari orang lain akan tetapi dari dirinya dan lingkungannya sendiri. Dalam memahami kesadarn kita harus memahami kenyataan kultuiral-historis sebagai suprastruktur hubungan dengan minfrasyruktur. Ketiga. Dari proses gtersebut nantinya diharapkan kan membentuk manusia nertindak dan berfikir kritis yaitu manusia yang tidak terpisah dengan dunia realitas juga tidak dalam relaitas yang terpisah dari manusia.
Dalam konsep pendidikan pembebasan juga membutuhkan komunikasi kritis yaitu manusia yang sadar yang itu bias dilakukan denagan menggunakan metode pendidikan hadap masalah yang endingnya akan membentuk manusia dalam proses menjadi (becoming) yang tak pernah berakhir. Jadi harapan yang diinginkan dalam pendidikan humanis dan pembebasan adalam manusia yang refleksi situasionalitas yaitu denagan pemikiran kritis dan tindakan kritis menuju kesararn sejarah (kesadaran eksisitensi diri)
Proses perubahan apapaun dalam konsep pendidikan humanis partisipatoris tidak akan pernah melepaskan konsep dialogis sebagi bentuk untuk prosses pembelajaran bersama, selain itu sifat dasar manusia adalah komunikatif, berarti ketika proses komunikasi dan dialogis kritis ditiadakan sama saja sebagi bentuk penindasan, komunikasi subjek-subjek akan mengasilkan intersubjejektifitas. Dalam malakukan perubahan dan pembebasan dari belenggu dominator penindas harus selalu memadukan antara refleksi dan tindakan. Refleksi situasionalitas dalam hal ini harus selalu mengaitkan dengan pemikiran kritis dan tindakan kritis yang akhirnya mampu membentuk manusia berkesadaran sejarah yaitu manusia yang berkesadaran eksisitensial diri. Pendidikan pendddikan humanis mengidealkan manusia reflektif katif sebagai pencipta dan agen tarnsformasi.
PERJUMPAAN SESAMA
MANUSIA
REFLEKSI DIALOG TINDAKAN
MERUBAH DUNIA
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar