Oleh: M. Su’ud.[1]
A. Al-Kasyaf Produk Tafsir Zamakhsyari
1. Sosok Zamakhsyari.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Umar bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmi, salah satu ulama Mu’tazilah yang bermadzhab Hanafi. Ia dilahirkan pada hari Rabu 27 Rajab 467 H. atau 18 Maret 1075 M. di Zamakhzyar, sebuah kota kecil diwilayah Khawarizmi. Dari nama desa itulah nama beliau di nisbahkan dengan sebutan Zamakhsyari.[2]
Sejak usia menjelang remaja, beliau sudah pergi merantau ke Bukhara, yang pada masa itu menjadi pusat kegiatan keilmuan dan terkenal dengan para sastrawan. Dimasa hidupnya ia banyak berguru kepada ulama-ulama terkemuka, diantaranya Abu Mudar al-Nahwi (w. 508). Berkat bimbingan beliau ia berhasil menjadi murid yang mengusai bahasa dan sastra Arab, logika, filsafat dan ilmu kalam.[3] Beliau wafat pada malam Arafah 538 M. di desa Jurjan di Wilayah Khawarizm sekembalinya dari kota Makkah.[4]
2. Tafsir al-Kasyaf
- Latar Belakang Penulisan.
Dalam Mukaddimah tafsir al-Kasyaf, beliau menjelaskan bahwa tafsir ini adalah wujud atas permintaan teman-temanya untuk mengarang kitab tafsir yang menjelaskan tentang hakikat makna al-Qur’an dan semua kisah yang terdapat didalamnya, termasuk segi-segi penta’wilannya[5]
Buku ini dikarang setelah beliau melakukan percobaan dalam tafsir, yang mana percobaan itu menghasilkan natijah yang sukses. Yaitu dengan mencoba meng-imla’-kan tafsir beliau ini kepada orang lain. Penafsiran Zamakhsari ini nampaknya berhasil dan mendapat sambutan hangat diberbagi negeri, maka kamudian orang-orang berdatangan baik dari dalam, maupun luar negeri untuk menimba ilmu kepadanya.[6]
- Metodologi Tafsir Zamakhsyari
Metodologi penulisan tafsir ini adalah disusun denan tartib Mushafi, yaitu berdasarkan urutan surat dan ayat dalam Mushaf Usmani, ia mengawali dengan basmalah ketika hendak mengawali penafsirannya dalam satu surat, kecuali pada surat at-Taubah.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Zamakhsyari terlebih dahulu menuliskan ayat-ayat al-Qur’an yang akan ditafsirkannya, kemudian menfsirkannya dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung dengan dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan asbabunnuzul. Meskipun demikian dalam menafsirkan al-Qur’an ia akan tetap menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an walalupun tidak ada riwayat yang memperkuat argumennya.[7]
Jika di teliti dengan cermat, maka akan dapat kita ketahui bahwa sesungguhnya metode yang dipergunakan Zamakhsyari dalam penafsirannya menggunakan metode Tahlili (analitik), yaitu meneliti makna kata-kata dan kalimat-kalimat dengan cermat.[8]
- Plus Minus tafsir al-Kasyaf
Tafsir ini bercorak sastra kebahasaan (adaby) yang sangat mem-perhatikan nilai bahasa Arab, baik dari segi I’jazul qur’an, balaghah dan ilmu bayan. Dalam menjelaskan ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum (ayat ahkam) beliau sangat objektif dalam menafsirkannya, tanpa adanya keberpihakan kepada salah satu madzhab fiqih. Disamping itu ia sangat teliti terhadap Israiliyat -walaupun kenyataanya sedikit sekali ditemukan dalam tafsirnya- dengan memberikan penjelasan secara rinci tentang kesahihan dan kedaifan riwayat tersebut, lebih-lebih jikalau berkenaan dengan akidah atau ke-ma’sum-an para nabi-nabi.
Namun, disisi lain zamakhsyari akan berusaha untuk berdamai dengan al-Qur’an dengan mengupayakan pen-ta’wil-an yang menyimpang terhadap ayat-ayat yang sekiranya tidak sejalan dengan aliran mu’tazilah, atau dengan megasumsikan bahwa ayat-ayat tersebut adalah sekedar tamtsil (perumpamaan), majaz (metaforis), atau bahkan sebagai dogeng belaka.[9] Seperti pada surat (al-Qiyamah:22-23)[10]
nqã_ãr 7‹Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R . 4’n<Î) $pkÍh5u‘ ×ot�Ïß$tR
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
Dalam menafsirkan ayat ini zamakhsyari menyatakan bahwa ayat tersebut hanyalah merupakan pengharapan karma pada kenyataannya manusia tidak akan mungkin untuk bisa melihat Allah didunia maupun diakhirat berdasarkan firman Allah:
žw çmà2Í‘ô‰è? ã�»|Áö/F{$# uqèdur à8Í‘ô‰ãƒ t�»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#‹Ïܯ=9$#
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.
Akan tetapi, menurut hemat penulis bagaimanapun keistimewaan dan kekurangan dari tafsir ini, kita harus mengakui bahwa tafsir al-kasyaf adalah sebuah sumbangan istimewa terhadap tafsir al-Qur’an demi memahami pesan Tuhan.
B. Ibnu ‘Arabi pelopor Tafsir Simbolis
1. Sosok Ibnu ‘Arabi
Ibnu ‘Arabi mempunyai nama langkap Abu Bakr Muhammad bin a-‘Arabi al-Hatimi al-Tha’i, dilahirkan di Mursiya, Andalusia (sekarang menjadi Murcia, bagian dari wilayah Spanyol). Beliau lahir pada 560 H/1165 M, dari keluarga terhormat, karena pamannya (dari pihak ibu) adalah penguasa Tlamcen, Algeria. Sedangkan ia sendiri, dikemudian hari dekat dengan raja-raja di sekitar wilayah kediamannya.
Pada tahun 590 H/ 1172 M, beliau meninggalkan Spanyol menuju Tunis untuk kali partamanya. Tujuh tahun kemudian dia pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji atas anjuran seorang arif. Dari sana ia melakukan perjalanan ke berbagai pusat wilayah Islam, singgah di Mesir, Iraq, Syiria, dan Rum (sekarang Turki) dalam jangka waktu yang sangat lama. Dan Pada tahun 620 H/ 1223 M, dia tinggal di Damaskus, dimana dia dan sejumlah murid-muridnya menetap di sana hingga akhir hayatnya pada tahun 638 H/ 1234 M.[11]
2. Latar Belakang Pemikiran Ibnu ‘Arabi
Adapun latar belakang pemikiran Ibnu ‘Arabi banyak dipengaruhi oleh para sufi dan filosof sebelumnya, hal ini dapat kita cermati, bahwa dalam tradisi Islam, Ibnu ‘Arabi sepenuhnya mengikuti para sufi sebelumnya, khususnya Hallaj, yang berbagai pendapatnya banyak di mewarnai karya-karyanya. Ia juga mengikuti Hakim al-Turmudzi, Bayazid al-Busthami, serta al-Ghazali. Kita juga melihat doktrin-doktrin milik kaum stoik, Philo, Neoplatonis dan Madzhab kono lainnya yang ditafsirkan secara metafisik dan diintegrasikan ke dalam panorama teosofi Ibnu ‘Arabi yang luas.[12]
Ia juga banyak mengambil gagasan-gagasan kosmologi dari para filosof, khususnya Ibnu Sina dan sering menggunakan dialektika para teolog. Disamping itu, pengaruh tulisan-tulisan Hermenetik Islam sebelumnya juga sangat mempengaruhi cakrawala pemikiran beliau, seperti dalam korpus Jabirian, juga Epistles-nya Ikhwan al-Shafa, serta tulisan-tulisan yang dinisbatkan kepada Isma’iliyah.[13]
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa seorang Ibnu ‘Arabi mempunyai banyak pengalaman dibidang keilmuan, pemikiran beliau juga banyak dipengaruhi oleh para sufi dan filosof dan pada akhirnya pemikiran ini banyak mewarnai karya-karyanya seperti tafsir yang dinisbatkan kepada beliau dengan nuansa sufistik
3. Contoh Penafsiran Ibnu ‘Arabi terhadap Al-Qur’an
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari penjelasan di atas berikut ini dikemukankan salah satu contoh penafsiran kelompok sufi nadzari semisal Ibnu ‘Arabi dalam menafsirkan ayat al-Qur’an: [14]
إياك نعبد وإياك نستعين: Ini adalah tahap melahirkan rasa syukur. Artinya hanya kepada-Mu sendiri kami menyatakan tunduk beribadah (menghambakan diri) tiada sekutu bagi-Mu. Hanya dari-Mu kami harapkan pertolongan bukan dari yang lain.
Dengan memahami ayat ini dia meyakini bahwa secara tegas tidak ada sekutu bagi-Nya. Huruf ى pada إياك yang melambangkan hamba secara utuh terkurung di antara dua alif “tauhid” sehingga ia tidak dapat mengklaim melihat yang lain; dan akhirnya ia diliputi oleh rasa kesatuan (tauhid). Sedangkan ك adalah kata ganti dari Allah, huruf ك dan dua alif itu merupakan satu kesatuan yang menunjuk kepada satu zat.
Kemudian lafal نعبد adalah menjelaskan bentuk perbuatan yang dilakukan oleh ي (hamba) dengan menggunakan kata ganti nun (نحن), sementara lafal عبد adalah penjelasan bagi perbuatan Allah. Sehingga segala sesuatu yang wujud dalam alam ini tiada lain dari adalah bayangan dari wujud Allah semata.
Sedangkan makna إياك نستعين adalah dilihat dari sisi selain Allah adalah untuk makhluk-Nya yang berasal dari kekuasaan-Nya. Dan pada makhluk-Nya itulah terletak rahasia khalifah. Maka sesungguhnya pada lafadz إياك نستعين para malaikat sujud, kecuali mereka yang angkuh.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa penafsiran Ibn ‘Arabi didominasi oleh paham wahdat al-wujud yang dianutnya, dalam penafsirannya ini ia berupaya mencarikan takwil-takwil yang kira-kira rasional agar terkesan bahwa penafsiran yang diberikannya tidaklah mengada-ada, melainkan benar-benar sejalan dengan pemahaman ayat itu sendiri.
C. Raghib al-Ashfihani mengurai Ma’na al-Qur’an dengan Sistem Kamus
1. Sekelumit tentang Sosok Raghib al-Ashfihani
Ia berasal dari penduduk Asbihan atau Ashfihan. Manakala ia telah mempunyai ilmu yang cukup maka ia menimba separuh ilmu Baghdad, karena Baghdad merupakan tempat terpandang di kalangan ulama dan ia menjadi sangat terkenal dengnnya.
Kami tidak mengetahui secara yakin kapan ia dilahirkan akan tetapi wafatnya sekitar tahun 502 H, 1108 M. Dalam karyanya al-Mufradat Fi Al-Fadz al-Qur’an juga dijelaskan bahwa beliau hidup di Baghdad akan tetapi tidak diketahui tahun kelahirannya. Nama lengkapnya Abu Qosim Husein Ibnu Muhammad Ibnu Mufaddol.[15]
Dalam bidang sastra, Ar-Raghib adalah seorang sastrawan terkemuka, seorang ulama dari para pemimpin ulama, seorang faqih dari para fuqaha pilihan. Akan tetapi disiplin ilmu yang didalaminya dan menjadikannya terkenal adalah: Alquran.
2. Karya-karya ar-Raghib al-Ashfihani
Sungguh ia menyelam dalam cahaya-cahaya Al-quran dan dijadikannya sebagai lentera pemikiran-pemikiranya dan akhlaqnya. Ia telah mengarang dalam bidang ilmu yang berkaitan dengan Alquran:
a. Jami’ at-Tafasir, yaitu kitab tafsir yang, sekalipun ia tidak sempurna dalam mukaddimahnya tentang kelebihan pengarang dalam bidang ilmu Alquran dan apa yang sepantasnya dimiliki oleh seorang penafsir (Alquran).
b. Hillu Mutasyabihat Alquran.
c. Tahqiq al-Bayan fi Ta’wil Alquran
d. Al-Mufradat. Kitab ini biasanya disebut dengan: al-Mufradat Li ar-Raghib al-Ashfihani
Kebanyakan karangan-karangannya yang lain diambil dari Al-quran al-Karim, dan mengikuti cahaya-cahayanya, di antaranya seperti kitab: adz-dzariah fi Makam asy-Syarii’ah.
3. Metodologi Penafsiran dalam al-Mufradat li Alfadz al-Qur’an
Kitab seperti dikatakan banyak orang ini sangat berharga sekali, karena merupakan sebuah kitab tafsir yang cara penyusunannya dengan sisitim kamus, yaitu mengumpulkan lafaz-lafaz Alquran menurut susunan huruf-huruf hijaiyah, dimulai dari alif kemudian ba dan seterusnya, sehingga sangat mempermudah bagi orang yang mau mencari makna-makna al-Qur’an. Menurut hemat penulis, seorang raghib yang hidup pada abad ke VI sudah mencetuskan ide cemerlang dengan menciptakan terobosan yang bisa dianggap sama sekali baru dalam kajian ke-Islam-an khususnya yang berhubungan dengan al-Qur’an, dimana beliau sudah mengupayakan sedemikian rupa untuk lebih mempermudah bagi siapa saja yang ingin mengkaji al-Qur’an dengan menggunakan kitab al-Mufradat li Alfadz al-Qur’an. Dan kenyataannya di masa sekarangpun sungguh karya raghib ini masih sangat membantu demi tumbuh-kembangnya khazanah keislaman dimana tak jarang tokoh-tokoh muslim terkenal sering menjadikan karya tersebut sebagai kitab rujukan atas pemikiran mereka.
Kitabnya al-mufradat yang kita bahas hari ini termasuk kitab-kitab yang sepantasnya dimiliki oleh seorang ulama dari para ulama Islam. Ia dalam kitab tersebut berbicara tentang mufradat (makna kata-kata) Al-quran: ia meneliti dan menjelaskan lafaz yang ada dalam ayat-ayat Al-qur’an, membahas tentang maksud-maksudnya dalam berbagai macam tempat, yang diselinginya dengan hadis atau syair-syair Arab, sungguh telah menghasilkan sebuah karya yang indah sehingga menyampaikannya kepada puncaknya yaitu tafsir lafaz-lafaz Al-quran.
Adapun Contoh Penafsiran Raghib al-Asfihani diantaranya adalah tentang kata ar-Rizq kadang-kadang digunakan untuk pemberian yang mengalir secara terus-menerus, baik di dunia ataupun di akhirat. Selain makna di atas kadang-kadang digunakan untuk makna keberuntungan, dan kadang-kadang untuk makna sesuatu yang sampai ketenggorokan lalu dimakan[16]
[1] Disampaikan pada acara diskusi HSQ, 06 April 2008.
[2] Muhammad Hussein az-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Cairo: Maktabah Wahbah, 2003), hlm. 304.
[3] Studi kitab tafsir, kumpulan karangan, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 44-45
[4] Muhammad Hussein az-Dzahabi, al-Tafsir…, hlm. 305.
[5] Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fii Wujuh al-Ta’wil (T.kt: Intisyarat Aftab,t.th) hlm. 17-20.
[6] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian,Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 225.
[7] Nasaruddin baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 50.
[8] Studi Kitab Tafsir, hlm. 52.
[9] Jamal Mustafa Abdul Hamid an-Najjar, Tabaqat wa Ittijahat at-Tafsiriah, (Cairo: T.p, tt), hlm 217-218.
[10] Maktabah Shamela, Terbitan ke II.
[11] William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge, Hermeneutika Al-Qur’an Ibnu Al-‘Arabi, terj. Achmad Nidjam, dkk, (Yogyakarta: QALAM, 2001), hlm. 4-5.
[12] Sayyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, (Yogyakarta: IRCISoD, 2006), hlm. 173-174.
[13] Sebagaimana dikutip oleh Sayyed Hossein Nasr, Tiga…, hlm. 173-174.
[14] Sebagaimana dikutip oleh Nashruddin Baidan dalam bukunya Tasawuf dan krisis, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 62-63.
[15] Raghib al-asfahani, al-Mufradat li Alfadz al-Qur’an, (Birut: Dar al-Fikr, tt), Dalam Mukaddimah.
[16] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi…, hlm. 310.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar