MEMBALIK SEJARAH PENGUMPULAN DAN PENULISAN AL-QURAN

Admin Thursday, December 16, 2010
Oleh : Ali Akbar
Abstrak
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam, dimana redaksi maupun susunannya tidak
pernah berobah dan tetap terpelihara sepanjang zaman. Dari awal hingga akhir turunnya al-Quran,
Abeliau masih hidup. Di samping itu seluruh ayat-ayatnya dinukilkan atau diriwayatkan secara
mutawatir baik secara hafalan maupun tulisan. Selanjutnya sesudah masa kenabian
pengkodifikasian Al-Quran disempurnakan, sehingga sampai kepada yang kita saksikan hari ini.
Pendahuluan
Al-Quran merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan tuntunan
komprehensif guna mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. Ia merupakan kitab
otentik dan unik, yang mana redaksi, susunan maupun kandungan maknanya berasal
dari wahyu, sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman.
Al-Quran turun kepada Nabi Saw. tidak sekaligus, melainkan secara berangsurangsur
dalam masa yang relatif panjang, yakni dimulai sejak zaman Nabi Saw. diangkat
menjadi Rasul dan berakhir pada masa menjelang wafatnya. Justru tidak heran bila Al-
Quran belum sempat dibukukan seperti adanya sekarang, karena Al-Quran sendiri
secara keseluruhan ketika itu belum selesai diturunkan.
Meskipun demikian, upaya pengumpulan ayat-ayat Al-Quran pada masa itu
tetap berjalan. Setiap kali Nabi selesai menerima ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan
kepadanya, Nabi lalu memerintahkan kepada para shahabat tertentu untuk
menuliskannya di samping juga menghafalnya. Penulisan ayat-ayat al-Quran tidaklah
sepertimana yang kita saksikan sekarang. Selain karena mereka belum mengenal alatalat
tulis, al-Quran hanya ditulis pada kepingan-kepingan tulang, pelepah korma, atau
batu-batu tipis, sesuai dengan peradaban masyarakat waktu itu.
2
Tulisan yang akan dituangkan ini mengupas tentang sejarah pengumpulan dan
penulisan al-Quran, yang menitikberatkan bahasannya mengenai upaya pemeliharaan
al-Quran sejak masa Nabi Saw., masa shabahat hingga sampai kepada tahap
penyempurnaan dan pengkodifikasiannya.
Pengertian Pengumpulan Al-Quran
Untuk menyatukan persepsi tentang istilah pengumpulan Al-Quran, setidaknya
ada dua pengertian yang terakomodasi di dalamnya. Kedua pengertian itu merujuk
kepada kandungan makna jam’u Al-Quran (pengumpulan al-Quran), yaitu :
Pertama : Kata pengumpulan dalam arti penghafalannya di dalam lubuk hati, sehingga
orang-orang yang hafal Al-Quran disebut jumma’u al- Quran atau huffadz al-
Quran.
Kedua : Kata pengumpulan dalam arti penulisannya, yakni perhimpunan seluruh Al-
Quran dalam bentuk tulisan, yang memisahkan masing-masing ayat dan
surah, atau hanya mengatur susunan ayat-ayat Al-Quran saja dan
mengatur susunan semua ayat dan surah di dalam beberapa shahifah yang
kemudian disatukan sehingga menjadi suatu koleksi yang merangkum
semua surah yang sebelumnya telah disusun satu demi satu.1
Terhadap kedua pengertian pengumpulan di atas dipahami dari firman Allah
dalam surat al-Qiyamah ayat 17 :
إن علینا جمعه وقرأنه فإذا قرأناه فاتبع قرأنه
Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah untuk mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya”.
Dan juga firman-Nya dalam surat al-Hijr ayat 9 :
إنّانحن نزّلنا الذّكر وإنّاله لها لحافظون
Artinya : “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Dzikra (Al-Quran), dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya”.
1 Lihat Shubhi al-Shaleh, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Beirut : Dar al-‘Ilm, li al-Malayin, 1977, hal. 71
3
Pengumpulan Al-Quran dalam arti penghafalan, sebenarnya telah terproses
pada masa Nabi Muhammad Saw., yaitu ketika Allah Swt. menyemayamkannya ke
dalam lubuk hati Nabi secara mantap sebelum orang lain menghafalnya terlebih
dahulu.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Saw. yang ummi (tidak pandai membaca dan
menulis). Demikian itu, memang diakui karena beliau memang tidak pernah belajar
membaca dan menulis kepada seoarang gurupun. Oleh karena itu, perhatian Nabi
hanyalah tertumpu pada cara yang lazim dilakukan oleh orang-orang yang ummi, yaitu
dengan cara menghafal dan menghayatinya, sehingga dengan cara demikian beliau
dapat menguasai Al-Quran persis sebagaimana halnya diturunkan. Kemudian setelah
itu, ia lalu membacakannya kepada sejumlah shahabatnya, agar mereka dapat pula
menghafal dan memantapkannya di dalam lubuk hati mereka. Allah Swt. berfirman
dalam surat al-Jumu’ah ayat 2 :
اب 􀑧 م الكت 􀑧 زكّهم ویعلّمه 􀑧 ه وی 􀑧 یهم أیت 􀑧 وا عل 􀑧 نهم یتل 􀑧 ولا م 􀑧 ین رس 􀑧 ى الأمّی 􀑧 ث ف 􀑧 ذى بع 􀑧 و ال 􀑧 ه
والحكمة وإن كانوا منقبل لفى ضلال مبین
Artinya : “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka,
yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (al-Sunnah). Dan mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Dengan demikian, Nabi Saw. dikenal sebagai sayyid al-huffaz dan awwalu jumma’a
(manusia pertama penghafal Al-Quran), yang selanjutnya beliau berperan sebagai
transpormator Al-Quran terhadap sejumlah sahabat pilihan yang hidup sezamannya.
Ibnu Jazri mengatakan bahwa penghimpunan Al-Quran lewat pengahafalan di
dada adalah ciri termulia yang merupakan karunia Allah Swt. kepada umat ini. Justru
dengan cara inilah Al-Quran akan tetap terbaca dalam keadaan bagaimanapun, baik
ketika tertidur maupun terjaga, yang tidak akan luntur karena air seperti lunturnya
tulisan bila kena air.
Sementara itu, upaya pengumpulan Al-Quran dalam arti penulisan juga sudah
ada masa itu, meskipun belum dalam kondisi yang seperti sekarang. Penulisannya
masih bervariatif dan dalam lembaran-lembaran yang terpisah atau dalam bentuk
4
ukiran pada beberapa jenis benda yang dapat mereka jadikan sebagai alat tulis-menulis
ketika itu.
Pengumpulan Al-Quran pada masa Rasulullah Saw.
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Quran diturunkan kepada Nabi Saw. tidak
sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur dalam masa yang relatif panjang, yakni
dimulai sejak zaman Nabi Saw. diangkat menjadi Rasul dan berakhir pada masa
menjelang wafatnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Al-Quran belum
sempat dibukukan seperti kondisi sekarang, karena Al-Quran sendiri secara
keseluruhan ketika itu belum selesai diturunkan.
Akan tetapi, upaya pengumpulan ayat-ayat Al-Quran pada masa itu tetap
berjalan, baik secara hafalan seperti yang dilakukan oleh Nabi sendiri dan diikuti juga
para shahabatnya. Demikian pula secara penulisan yang dilakukan oleh para shahabat
pilihan atas perintah Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini, setiap kali Nabi selesai
menerima ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan kepadanya, Nabi lalu memerintahkan
kepada para shahabat tertentu untuk menuliskannya di samping juga menghafalnya.
Selain itu, perlu diakui pula bahwa bangsa Arab pada masa turunnya Al-Quran
berada dalam budaya Arab yang begitu tinggi, ingatan mereka sangat kuat dan
hafalannya cepat serta daya fikirannya begitu terbuka. Begitu datang Al-Quran kepada
mereka dengan struktur bahasa yang indah dan luhur serta mengandung ajaran yang
suci, mereka merasa amat kagum, dan karenanya mereka mencurahkan kekuatan untuk
menghafal ayat-ayat Al-Quran. Mereka putar haluan hafalannya dari bait-bait sya’ir
kepada Al-Quran yang menyejukkan dan membangkitkan ruh dan jiwa mereka.
Mereka saling berlomba dalam membaca dan mempelajari Al-Quran. Segala
kemampuannya dicurahkan untuk menguasai dan menghafal ayat-ayat Al-Quran.
Kemudian juga mengajarkannya kepada semua anggota keluarga (isteri dan anak) serta
anggota masyarakat lainnya.
5
Adapun terhadap umat Islam yang lokasi perkampungannya jauh dari
Rasulullah, diadakan utusan untuk mengajar dan membacakan ayat-ayat Al-Quran yang
diwahyukan serta kandungan ajarannya. Mereka itu terdiri dari ahli Al-Quran, antara
lain seperti Mush’ab bin Umair dan Ummi Maktum. Keduanya diutus Nabi Saw.
kepada penduduk Madinah pada masa sebelum hijrah. Begitu pula Mu’adz bin Jabal
diutus Nabi Saw. kepada penduduk kota Mekkah pada masa sesudah hijrah.
Rasulullah Saw. senantiasa membakar semangat umatnya untuk menghidupkan
gerakan pemasyarakatan Al-Quran, hingga tidak seorangpun dari kalangan shahabatnya
yang awam terhadap Al-Quran yang menjadi pedoman bagi hidup dan kehidupannya.
Ubadah bin Shamit menceritakan : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, maka
Rasul segera menetapkan seorang daripada shahabatnya untuk menjadi pengajar Al-
Quran baginya”.
Dengan usaha seperti demikian, hampir seluruh shahabat Nabi hafal Al-Quran,
dan sebagian dari mereka telah menguasai Al-Quran dengan benar sesuai dengan
makna dan maksudnya yang diajarkan Rasul kepada mereka. Demikianlah Allah Swt.
mengkaruniakan kepada generasi pertama dari umat Islam itu kekuatan yang luar biasa.
Di samping itu semua, Al-Quran juga telah dijadikan Allah Swt. sebagai bacaan yang
mudah untuk diingat dan dihafal, sebagaimana disebutkan-Nya dalam surat al-Qamar
ayat 17 :
ولقد یسّرنا القرأن للذكر فهل من مدّكر
Artinya : “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah
orang-orang mengambil pelajaran…?”.
Dengan demikian, maka memudahkan para shahabat pilihan yang hidup
sezaman dengannya sebagai penghafal Al-Quran, yang jumlah mereka tidak sedikit. Al-
Qurthuby mengatakan : “Tujuh puluh orang di antara mereka itu gugur di dalam
peperangan Bi’ir Ma’unah, sedangkan pada masa hidupnya Rasulullah sebanyak itu
pula yang gugur”.2
2 Ibid, hal. 73
6
Berdasarkan kepada beberapa riwayat yang diketengahkan oleh al-Bukhari
dalam shahihnya yang mengatakan bahwa jumlah para shahabat yang hafal Al-Quran
pada masa hidup Rasulullah tidak lebih dari tujuh orang. Mereka itu adalah Abdullah
bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu Zaid bin
Sakan dan Abu Darda’.
Meskipun demikian, penyebutan tujuh orang huffaz (para penghapal) Al-Quran
yang nama-namanya disebut dalam beberapa riwayat itu tidak berarti pembatasan,
karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab syarah lainnya menunjukkan bahwa para
shahabat berlomba-lomba menghafalkan Al-Quran, dan mereka memerintahkan anakanak
dan isteri-isteri mereka untuk menghafalkannya di rumah masing-masing. Mereka
membacanya dalam sholat di tengah malam, sehingga alunan suara mereka terdengar
bagaikan suara kumbang. Rasulullah pun sering melewati rumah-rumah orang Anshar
dan berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang membaca Al-Quran di
rumah-rumahnya.
Bukhary meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Musa al-‘Asy’ary bahwasanya
Rasulullah Saw. bersabda kepadanya :
لو رأیتنى البارحة وأنا أستمع لقرأتك لقد أعطیت مزمارا من مزامیر داود
Artinya : “Andaikan engkau melihat aku tadi malam ketika aku mendengarkan bacaanmu,
sungguh kau telah menghiasi pendengaranku dengan sebuah tiupan seruling dari
seruling Nabi Daud”.
Demikian antusiasisme para shahabat untuk mempelajari dan menghafal Al-
Quran, sehingga Rasulullah pun mendorong mereka ke arah itu dan memilih orangorang
tertentu yang akan mengajarkan Al-Quran kepada yang lainnya.
Akan tetapi perlu disadari, menurut pemahaman dan pentakwilan para ulama
yang dapat diterima mengemukakan bahwa pembatasan tujuh orang hafiz seperti yang
disebutkan di atas, tidak lain adalah kelompok shahabat yang menghimpun Al-Quran
di dalam dadanya masing-masing dan menghafalnya secara baik. Bahkan mereka itu
telah menguji pembacaan dan ketepatan hafalannya masing-masing di hadapan
Rasulullah Saw. serta isnad-nya sampai kepada kita.
7
Kecuali itu, sebenarnya masih banyak lagi jumlah para shahabat Nabi yang hafal
Al-Quran, tetapi belum teruji ketepatan hafalannya di hadapan Rasulullah, terutama
karena para shahabat Nabi waktu itu telah bertebaran di berbagai wilayah, di samping
sebahagian mereka itu ada yang menghafal Al-Quran dari orang lain, bukan kepada
Rasulullah sendiri.
Dengan demikian betapa banyaknya para penghafal Al-Quran di masa
Rasulullah. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan dan prioritas yang luar biasa
yang diberikan Allah kepada umat ini, sehingga ia terpelihara dari perubahan dan
penyelewengan. Berbeda halnya dengan Ahli Kitab, mereka tak seorangpun yang hafal
Taurat dan Injil. Dalam mengabadikannya mereka hanya berpedoman dengan bentuk
tulisan, tidak membacanya dengan penuh penghayatan seperti halnya Al-Quran. Oleh
karena itu, masuklah unsur-unsur perubahan dan penggantian terhadap kedua kitab
suci tersebut.
Sementara itu pula, kegiatan dalam soal tulis-menulis di kalangan bangsa Arab
pada zaman Rasulullah Saw. merupakan kegiatan yang masih relatif langka, disebabkan
alat tulis-menulis ketika itu masih dalam keadaan sangat sederhana, tidak seperti
halnya pada zaman sekarang. Selain itu, bangsa Arab sendiri dalam artian umum adalah
bangsa yang ummi, mereka yang tidak pandai membaca dan menulis, seperti yang
diisyaratkan Allah Swt. dalam surat al-Jumu’ah ayat 2 :
هوالّذى بعث فى الأمّیین رسولا منهم
Artinya : “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan
mereka”.
Pengumpulan ayat-ayat Al-Quran dalam bentuk hafalan merupakan metoda
yang dominan dibandingkan dengan metoda tulisan, hingga hafalan itulah yang
menjadi pegangan umat Islam dalam penukilan Al-Quran. Meskipun demikian,
pengumpulan ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan juga dilakukan dengan metoda
tulisan. Begitu satu rangkaian ayat-ayat Al-Quran selesai diwahyukan, Rasulullah Saw.
lalu memerintahkan kepada para shahabatnya yang terpilih untuk mencatatnya guna
memperkuat hafalan mereka. Di antara para penulis wahyu Al-Quran terkemuka
8
adalah shahabat pilihan yang ditunjuk Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan
indah tulisannya seperti empat orang yang kemudian menjadi khalifah rasyidin (Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Mu’awiyah, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan
Mua’dz bin Jabal. Apabila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskannya
dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan Al-Quran
pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati, atau Al-Quran yang
terhimpun di dalam dada akhirnya menjadi kenyataan tertulis.
Selain dari yang disebut diatas, masih banyak lagi para pencatat wahyu dari
kalangan shabahat yang menuliskan Al-Quran atas kemauan sendiri, tanpa diperintah
Nabi. Mereka pada saat itu menuliskannya pada lembaran kulit, daun-daunan, kulit
kurma, permukaan batu, pelepah kurma, tulang-belulang unta atau kambing yang telah
dikeringkan, dan mereka jadikan sebagai dokumen pribadinya. Diriwayatkan dari Zaid
bin Tsabit r.a bahwa ia berkata :
كنّاعند رسول الله صلى الله علیه وسلّم نؤلف القرأن من الرّقاع (أخرجه الحكیم)
Artinya : “Kami dahulu menulis (menyusun) ayat-ayat Al-Quran di hadapan Rasulullah pada
riqa’“.
Kata riqa’ pada hadits tersebut berarti lembaran kulit, lembaran daun atau
lembaran kain. Keadaan ini menunjukkan betapa sederhananya alat-alat tulis yang
digunakan untuk mencatat wahyu ketika Rasulullah masih hidup. Para shahabat Nabi
ketika itu mencatat ayat-ayat di permukaan batu, di atas pelepah kurma, lempengan
batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang-belulang unta dan
kambing yang telah kering dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena alat-alat tulis di
kalangan orang Arab tidak cukup tersedia, yang ada baru di negeri-negeri lain seperti
Parsi dan Romawi tetapi masih sangat terbatas dan tidak disebar luaskan.
Adapun yang dimaksud “menyusun ayat-ayat Al-Quran pada riqa’ “ pada hadits
tersebut adalah mengumpulkan atau menyusun surah-surah dan ayat-ayat berdasar
petunjuk yang diberikan Rasulullah sesuai menurut apa yang dipesankan Allah
kepdanya. Ibnu Abbas berkata :
9
ال : 􀑧 ب فق 􀑧 كان رسول الله صلى الله علیه وسلّم إذا نزلت علیه سورة دعا بعض من یكت
ضعوا هذه السورة فى موضع الذى یذكر فیه كذا وكذا
Artinya : “Adalah Rasulullah apabila turun ayat, beliau segera memanggil penulis, lalu bersabda :
“Letakkanlah ayat ini dalam susunan yang disebutkan di dalamnya ini …dan ini
…!”.
Penertiban dan susunan ayat-ayat Al-Quran langsung diatur oleh Nabi Saw.
sendiri berdasar bimbingan Jibril a.s yang menjadi pesuruh Allah. Dalam hal ini, para
ulama sepakat mengatakan bahwa cara penyusunan Al-Quran yang demikian itu adalah
tauqify, artinya susunan surah-surah dan ayat-ayat-ayat Al-Quran seperti yang kita
saksikan di berbagai mushaf sekarang adalah berdasarkan ketentuan dan petunjuk yang
diberikan Rasulullah sesuai perintah dan wahyu dari Allah Swt. Dengan demikian,
tidak ada tempat dan peluang ijtihad dalam penertiban dan penyusunannya.
Meskipun semua urutan surah dan ayat-ayatnya disusun berdasarkan kehendak
dan petunjuk Rasulullah, namun Nabi tidak memandang perlu untuk menghimpun
ayat-ayat yang ada pada setiap surah dalam berbagai shahifah karena jumlahnya tidak
terhitung, di samping juga tidak perlu menghimpun semua cara pencatatan Al-Quran
di dalam satu mushaf.
Dengan demikian, penulisan Al-Quran pada masa Nabi itu tidak terkumpul
dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain.
Akan tetapi yang jelas bahwa di saat Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Al-Quran
telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan di atas.
Ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan
setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah, dan penulisannya supaya
dipertimbangkan mencakup “ tujuh huruf ” yang menjadi landasan turunnya Al-Quran.
Persoalan Al-Quran diturunkan dalam “tujuh huruf” akan dibahas pada bahagian
tersendiri pula.
Bilamana wahyu turun, para qurra segera menghafal dan ditulis oleh para
penulis. Pada waktu itu belum dirasa perlu membukukannya dalam satu mushaf, sebab
Nabi masih menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu, kalau-kalau ada ayat yang
10
menasakh beberapa ketentuan hukum yang telah turun sebelumnya.3 Al-Zarkasyi
menyebutkan juga bahwa Al-Quran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman
Nabi, guna mencegah kemungkinan terjadinya perubahan pada suatu waktu.4
Penulisan Al-Quran secara tertib dilakukan kemudian sesudah Al-Quran selesai turun
semua, yaitu pada saat wafatnya Rasulullah.
Dengan wafatnya Rasulullah, maka berakhirlah masa turunnya Al-Quran.
Kemudian Allah mengilhamkan penulisannya kepada para khulafah al-rasyidin sesuai
dengan janji-Nya yang benar kepada umat tentang jaminan pemeliharaan Al-Quran
sepanjang zaman.5 Dalam hal ini terjadi pertama kalinya pada masa khalifah Abu Bakar
atas pertimbangan usulan Umar bin Khattab yang sangat meyakinkan.
Pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar
Setelah Rasulullah wafat, atas suara mufakat menunjuk Abu Bakar menjalankan
urusan agama Islam. Maka dalam awal masa menjalankan tampuk kepemerintahan,
khalifah Abu Bakar banyak menghadapi pristiwa-pristiwa besar terutama pristiwa yang
berkenaan dengan orang-orang yang menyeleweng dari ajaran Islam, yang dikenal
dengan murtad.
Untuk menghadapi pristiwa demikian, ia segera menyiapkan pasukan dan
mengirimkan tentera untuk memerangi orang-orang yang murtad yang dipimpin oleh
Musailamah al-Kadzdzab (yang mengaku dirinya Nabi), maka terjadilah peperangan
Yamamah pada tahun 12 hijrah. Pada masa pertempurtan tersebut, banyak menelan
korban yang diperkirakan tidak kurang dari 70 orang shahabat yang masyhur sebagai
huffadz Al-Quran.
3 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan, Beirut : Darul Fikr, Jilid I, 1399/1979, hal. 98. Lihat juga Muhammad
Ibn Abdillah Al-Zarkasy; Al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, Kairo : ‘Isa al-Babi al-Halabi wa Syirkah, Jilid I, 1972, hal.
235.
4 Al-Zarkasy, Ibid, ,hal. 262.
5 Seperti yang diisyaratkn-Nya dalam surat al-Hijr ayat 9 : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-
Quran dan Kami pula yang akan menjaganya”.
11
Dengan adanya pristiwa yang tragis itu, membuat Umar bin Khattab menjadi
gundah gelisah, dikarenakan kekhawatirannya terhadap gugurnya para shahabat yang
hafal Al-Quran.
Pada sisi lain, Umar juga merasa khawatir kalau-kalau terjadi pula peperangan
ditempat lain yang lebih dahsyat dan akan mengorbankan lebih banyak lagi para
pengahafal Al-Quran, sehingga Al-Quran akan hilang dan musnah begitu saja. Adanya
kekhawatiran seperti itu, ia datang menemui khalifah Abu Bakar dan mengajukan
usulan supaya segera dilaksanakan pengumpulan Al-Quran dalam bentuk kodifikasi
(pembukuan) agar ia tetap terpelihara dan terjamin sepanjang masa.
Pada mulanya Abu Bakar merasa ragu untuk menerima gagasan dan saran dari
Umar bin Khattab itu. Sebab ini merupakan suatu pekerjaan yang tidak pernah
dilakukan oleh Nabi Saw. Akan tetapi, atas pandangan dan pertimbanganpertimbangan
yang diberikan Umar sehingga terbukalah hati kahlifah Abu Bakar
menerima usulan yang baik itu. Lalu ia memutuskan bahwa pekerjaan yang
monumental itu diserahkannya kepada Zaid bin Tsabit untuk melaksanakannya,
mengingat kedudukannya sebagai pendamping setia Rasulullah, juru tulis wahyu yang
kenamaan, berakal cerdas dan senantiasa mengikuti pembacaan Al-Quran dari
Rasululllah.
Pada mulanya Zaid bin Tsabit merasa ragu dan menolak melaksanakan tugas
berat itu, khawatir kalau-kalau terjerumus ke dalam perbuatan yang menyimpang dari
ajaran Al-Quran dan sunnah Rasul-Nya, sama halnya dengan Abu Bakar sebelum itu.
Akan tetapi, karena terus-menerus dihimbau, diberi dorongan dan semangat oleh para
shahabat besar lainnya, terbukalah pintu hatinya untuk menerima tugas yang suci itu.
Akhirnya Zaid bin Tsabit memulai tugas yang berat ini dengan bersandar pada hafalan
yang ada dalam hati para huffaz (penghafal Al-Quran) dan menelusuri catatan ayat-ayat
yang ada pada para penulis lainnya, di samping mengkompromikan antara hafalan dan
catatannya sendiri. Dengan sangat teliti dan penuh kehati-hatian, akhirnya Zaid
berhasil menghimpun catatan-catatan yang berserakan itu ke dalam satu naskah yang
kemudian disebut dengan “Mushaf Al-Quran”. Setelah selesai mngerjakan pekerjaan
12
berat itu, Zaid menyerahkan mushaf itu kepada khalifah Abu Bakar, yang kemudian
mushaf itu di pegang oleh khalifah sendiri hingga wafatnya.
Setelah ia wafat pada tahun 13 hijrah, mushaf Al-Quran yang satu itu
selanjutnya dipegang oleh khalifah Umar bin Khattab, dan sepeninggal khalifah Umar
mushaf Al-Quran itu disimpan di rumah salah seorang putrinya yang bernama Siti
Hafsah r.a, isteri Nabi Muhammad Saw. Kemudian pada permulaan pemerintahan
khalifah Utsman, mushaf itu dimintanya dari tangan Hafasah r.a.
Penggandaan Al-Quran pada masa Utsman
Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin ‘Affan, penyebaran Islam
bertambah luas sampai ke berbagai kota dan daerah. Maka seiring dengan
perkembangan umat Islam, gerakan pengajaran Al-Quran pun semakin berkembang.
Para qura’ (para ahli bacaan) pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk di setiap
wilayah itu mempelajari Al-Quran dari qari yang dikirim kepada mereka. Misalnya
penduduk negeri Syam mendapatakan pengajaran bacaan Al-Quran dari Ubay bin
Ka’ab r.a, penduduk Kaufah dibimbing oleh Abdullah bn Mas’ud r.a, dan sebagian
penduduk yang lain belajar Al-Quran kepada Abu Musa al-‘Asy’ary r.a. Mereka
mengajarkan Al-Quran dengan bacaan yang beaneka ragam sesuai dengan tuntutan
dialek penduduk masing-masing daerah, dan sejalan pula dengan perbedaan “huruf”
yang dengannya Al-Quran diturunkan.
Dengan adanya perbedaan bunyi huruf dan bentuk bacaan tersebut, maka
sebahagian mereka ada yang merasa heran, dan sebahagian lagi merasa puas karena
mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah.
Kondisi yang seperti ini semakin hari semakin menajam, pada gilirannya menimbulkan
pertikaian, mengakibatkan permusuhan dan perbuatan dosa karena satu sama lainnya
saling kufur- mengkufurkan karena soal bacaan Al-Quran.
Di sisi lain, perbedaan itu juga disebabkan karena pada masa itu penulisan Al-
Quran tanpa titik-titik (di atas atau di bawah huruf) dan tanpa syakl (tanda bunyi,
13
seperti fathah, kasrah, dhammah, saknah dan lain-lain), dan juga karena cara orang
membaca Al-Quran tidak sama, tergantung cara pencatatan Al-Quran pada masingmasing
orang. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing
tetap mempertahankan dan berpegang pada bacaannya.
Melihat keanekaragaman bacaan Al-Quran tersebut, akhirnya pada suatu
pertemuan atau di suatu medan peperangan antara pasukan Syam bersama pasukan
Irak berperang membela dakwah agama Islam di Armenia dan Adzerbeidzan, Huzaifah
bin al-Yaman datang menghadap khalifah Utsman mengutarakan kekhawatirannya
tentang perbedaan bacaan Al-Quran yang semakin menajam dan hampir-hampir
menimbulkan pertengkaran fisik di kalangan kaum muslimin, seraya katanya : “Ya !
Amirul Mukminin….., perasatukanlah segera umat ini sebelum mereka berselisih
mengenai Kitabullah sebagaimana yang terjadi di kalangan Yahudi dan Nasrani”.
Tampaknya bukan Huzaifah al-Yaman saja yang memendam rasa kekhawatiran
tersebut, bahkan banyak lagi shahabat Nabi yang turut memprihatinkan kenyataan itu,
karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan
perubahan, termasuk khalifah Utsman sendiri pun turut merasa cemas.
Akhirnya khalifah Utsman melakukan tindakan preventif untuk mengatasi
perbedaan bacaan yang sangat mengkhawatirkan itu, sehingga umat Islam diharapkan
tetap pada bacaan yang satu huruf. Untuk mengatasi kondisi demikian, khalifah
mengumpulkan para shahabat-shahabat terkemuka dan cerdik cendikiawan untuk
bermusyawarah guna mengantisipasi perselisihan dan perpecahan sebagai akibat dari
perbedaan bacaan tersebut, seraya berkata :
عندى أنتم تحتلفون، فمن ناى عنى من الأمصار أشد إختلافا (أخرجه أبو داود)
Artinya : “Anda semua dekat denganku malah berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang
bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Di dalam musyawarah tersebut, mereka sependapat agar Amirul Mukminin
menyalin dan mereproduksi mushaf kemudian mengirimkannya ke berbagai kota dan
wilayah Islam, dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushaf14
mushaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian
dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Quran.
Untuk merealisasikan keputusan tersebut, maka khalifah Utsman mengirim
sepucuk surat kepada Hafsah, berisi permintaan agar Hafsah mengirimkan mushaf
(yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar) yang disimpannya untuk disalin menjadi
beberapa naskah. Selanjutnya khalifah Utsman menugaskan kepada komisi berempat
yang terdiri dari shahabat pilihan yang bacaan dan hafalannya dapat dihandalkan, yaitu
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubeir, Said bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits
untuk bekerjasama menyempurnakan bacaan Al-Quran yang tertulis dalam mushaf
Abu Bakar serta menyalinnya menjadi beberapa naskah. Mereka itu semuanya berasal
dari suku Quraisy Muhajjirin kecuali Zaid bin Tsabit. Ia berasal dari kaum Anshar
Madinah.
Pelaksanaan gagasan yang mulia ini dilakukan pada tahun ke-25 hijrah. Namun
sebelum komisi bekerja, khalifah Utsman terlebih dahulu memberikan pengarahan
antara lain katanya :
زّل 􀑧 ا ن 􀑧 ریس فإنم 􀑧 سان ق 􀑧 اكتبوه بل 􀑧 ران ف 􀑧 ن الق 􀑧 یئ م 􀑧 ى ش 􀑧 ت ف 􀑧 دبن ثاب 􀑧 تم وزی 􀑧 تم أن 􀑧 إذاختلف
بلسانهم (أخرجه البخارى)
Artinya : “Bila anda sekalian (bertiga, kaum Quraisy) ada perselisihan pendapat tentang bacaan
dengan Zaid bin Tsbait, maka tulislah berdasarkan bacaan (dialek) Quraisy, karena
Al-Quran (pada pokoknya) diturunkan dengan bahasa Quraisy”.6
Setelah pekerjaan berat team ini selesai, lalu khalifah Utsman menyerahkan
kembali mushaf yang asli itu kepada Hafsah. Dan selanjutnya beberapa naskah
salinannya dikirim ke berbagai kawasan Islam. Di samping memerintahkan supaya
catatan tentang ayat-ayat Al-Quran atau mushaf-mushaf lainnya yang bertebaran
dikalangan kaum muslimin, segera dibakar.7 Sebab, jika semua mushaf dengan
bermacam-macam cara penulisannya itu dipertahankan, maka sudah barang tentu akan
menambah tajamnya pertengkaran dan permusuhan. Apalagi kehidupan kaum
muslimin ketika itu sudah agak jauh dari kehidupan semasa Rasulullah masih hidup.
6 Riwayat Imam Bukhari dengan bersumber kapada Anas….
7 Subhi Sholeh, Op. Cit., hal. 90.
15
Adapun mengenai jumlah salinan naskah yang dikirim ke berbagai daerah Islam
itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Abu ‘Amr ad-Dani
mengatakan bahwa khalifah Utsman mereproduksi mushaf Hafsah menjadi empat
naskah. Satu naskah dikirm ke Kaufah, Basyrah dan Syam, satu naskah lagi disimpan
Utsman sendiri. Sementara ada pula sebahagian ulama mengatakan bahwa naskah
salinan berjumlah tujuh buah. Selain dikirim ke tiga daerah disebut diatas, tiga naskah
lainnya dikirim ke Mekkah, Yaman dan Bahrein. Lain halnya as-Suyuti, ia berpendapat
bahwa menurut riwayat yang masyhur naskah itu berjumlah sebanyak lima naskah.8
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai jumlah mushaf yang disalin, yang
jelas dan pasti adalah setiap naskah itu mencakup seluruh Al-Quran. Ia memuat 114
surat yang ditulis tanpa titik dan syakl, tanpa nama surat dan tanpa pemisah persis sama
dengan penulisan mushaf pada masa khalifah Abu Bakar r.a. Di samping itu, ia juga
bersih dari tambahan catatan tafsir, atau rincian catatan umum, atau tulisan lain yang
berfungsi untuk melestarikan makna yang dimaksud. Dan juga mushaf Utsman
tersebut, tidak terpengaruh oleh catatan yang dibuat orang-seorang, dan susuan surat
serta ayat-ayatnya sama seperti mushaf-mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini.
Penyempurnaan Tulisan Mushaf Utsman
Penulisan ayat-ayat Al-Quran, dari sejak pengumpulan, pembukuan serta
penggandaan dapat dikategorikan sebagai “Tulisan Kufi”, yaitu salah satu jenis khat
(tulisan) yang dibangsakan kepada nama kota Kaufah.
Penulisan Al-Quran tersebut belum diberi tanda-tanda perbedaan huruf berupa
titik-titik (titik satu, dua, dan tiga baik di atas ataupun di bawah) dan berupa syakl
(tanda-tanda bunyi; seperti fathah, kasrah, dhammah, saknah dan lain sebagainya), dan
juga tanpa pemisah satu ayat dengan ayat lainnya, dan lain-lain tanda baca seperti yang
telah sempurna dalam mushaf-mushaf Al-Quran yang ada sekarang ini.
8 Jalaluddin al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 104.
16
Oleh karena itu, cara penulisan demikian membuka peluang dan kemungkinan
terjadinya beraneka ragam bacaan yang berkembang di berbagai kota dan negeri yang
berlainan dialek dan bahasanya, serta mempunyai kekhususan adat kebiasaan masingmasing.
Padahal waktu itu banyak orang-orang yang menulis Al-Quran pada lembaranlembaran
kertas dan akhirnya tersebar luas.
Sementara itu, umat Islam sudah semakin berkembang dan mereka banyak
berbaur dengan orang-orang yang bukan Arab. Akhirnya bahasa-bahasa ‘ajam (non
Arab) mulai menyintuh kemurnian serta keaslian bahasa Arab, sehingga banyak orang
yang keliru membaca lafadz (kata-kata) Al-Quran dan huruf-hurufnya karena watak
pembawaan orang-orang Arab yang masih murni mulai mengalami kerusakan.
Dengan demikian, muncul kekhawatiran terjadinya perubahan nash-nash Al-
Quran jika penulisan mushaf dibiarkan tanpa tanda-tanda bacaan Al-Quran (berupa
syakl, titik dan lain-lain) tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 65 hijrah (empat puluh
tahun sesudah masa penggandaan mushaf Utsman) tampillah generasi yang terdiri dari
beberapa orang pembesar pemerintahan untuk memelihara umat dari kekeliruan dalam
membaca dan memahami Al-Quran. Mereka berusaha memikirkan tanda-tanda
tertentu yang dapat membantu dan memelihara pembacaan Al-Quran yang benar.
Dalam hal ini, beberapa sumber riwayat menyebut nama dua orang tokoh yang telah
meletakkan dasar tanda-tanda bacaan Al-Quran, yaitu :
1. Ubaidillah bin Ziyad (wafat 76 H), diriwayatkan bahwa ia memberi perintah kepada
seorang yang berasal dari Persia untuk menambahkan huruf alif ( ا ) tanda bunyi
panjang atau mad. Misalnya kata “ انت 􀑧 ك “ ditulis tanpa huruf alif (tanda madd atau
suara panjang) sehingga menjadi “ ت􀑧 كن ”. Semua diubah penulisannya menjadi
انت “ 􀑧 ك “. Demikian pula pada kata “ ت􀑧 قال “ yang ditulis dengan “ ت􀑧 قل “ diubah
menjadi “ .“ قالت
2. Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafy (wafat 95 H), diberitakan pula bahwa ia berupaya
memperbaiki penulisan Al-Quran pada sebelas tempat, dan setelah diadakan
perbaikan ternyata bacaan menjadi lebih jelas dan lebih mudah difahami maknanya.
17
Usaha ke arah perbaikan membaca Al-Quran itu tidak merobah bacaan dan
penulisannya, karena nash Al-Quran sudah terkodifikasi di dalam dada para ulama,
satu sama lain saling mencocokan secara lisan maupun cara lain yang diyakini
kebenarannya.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, upaya perbaikan bentuk penulisan tidak
terjadi sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dari generasi ke generasi hingga
mencapai puncak keindahannya pada akhir abad ke-3 hijrah.
Di samping itu, para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang
dicurahkan untuk hal perbaikan cara membaca Al-Quran itu. Banyak orang
berpendapat bahwa orang peletak batu pertama yang melakukan usaha itu adalah Abul
Aswad ad-Duali. Sebenarnya Abul Aswad ad-Duali dikenal karena dialah orangnya
yang pertama kali meletakkan kaedah tata bahasa Arab, atas perintah Ali bin Abi
Thalib. Justru tidaklah masuk akal kalau ada orang yang mengatakan bahwa Abul
Aswad ad-Duali sendiri yang meletakkan dasar tanda-tanda baca berupa syakl dan titik
dalam penulisan Al-Quran. Pekerjaan berat itu tentu dilakukan oleh beberapa orang
dan kesempurnaannya tidak dapat dicapai selama satu generasi, melainkan beberapa
generasi. Sehingga dalam perkara perbaikan itu selalu saja disebut nama tiga orang
tokoh selainnya, yaitu Hasan al-Basri, Yahya bin Ya’mar dan Nashr bin ‘Ashimal-
Laitsi. Dengan demikian, banyak orang yang berpendapat bahwa penemuan akan cara
penulisan Al-Quran dengan huruf-huruf bertitik merupakan kelanjutan dari kegiatan
Abul Aswad ad-Duali, sebab menurut riwayat Abul Asawd-lah terkenal dalam hal ini.
Sedangkan orang-orang lain disebutkan itu, mereka mempunyai upaya-upaya lain dan
menaruh andil yang dicurahkannya dalam perbaikan cara pembacaan Al-Quran
tersebut. Az-Zarkasyi mengutip pendapat al-Mabrad yang mengatakan bahwa orang
pertama yang meletakkan titik-titik pada mushaf ialah Abul Aswad ad-Duali.9
Sedangkan Hasan al-Basri sebenarnya tidak dikenal mempunyai kagiatan positif dalam
menemukan cara penulisan berupa titik, tetapi hanya saja ia tidak menolak cara
penulisan seperti itu, karena itu dia tidak bersikap sekeras para ulama pada zaman awal
9 Al-Zarkasy, Op. Cit., hal. 250; Lihat juga Muhamad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-
Quran, Jilid I, Mekkah, t.th. hal. 107.
18
pertumbuhan Islam. Sehingga dengan sikapnya yang demikian itu, barangkali itu
dijadikan oleh para peneliti sejarah bahwa dia termasuk orang pertama yang
menemukan cara penulisan Al-Quran berupa tanda titik-titik tersebut.
Lain pula halnya Yahya bin Ya’mar, sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia
termasuk orang pertama yang meletakkan tanda-tanda baca berupa titik-titik pada
mushaf. Namun sampi sa'at ini tidak ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa Yahya
bin Ya’mar adalah benar orang pertama yang meletakkan tanda-tanda baca itu, kecuali
jika yang dimaksud itu adalah Yahya bin ‘Amar, karena dialah yang mula meletakkan
tanda-tanda baca iru di kota Muruw. Peranannya itu dibuktikan ketika Ibn Khalkan
mengatakan; Ibnu Sirin memupunayi mushaf yang huruf-hurufnya sudah bertitik
sebagai tanda-tanda baca yang dilektakkan oleh Yahya bin ‘Amar.10
Adapun tentang tokoh Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi, tidaklah mustahil kalau
pekerjaannya dalam meletakkan dasar tanda-tanda bacaan Al-Quran merupakan
kelanjutan dari pekerjaan dua orang gurunya, yaitu Abul Aswad ad-Duali dan Ibn
Ya’mar.
Meskipun tidak dapat dipastikan, apakah Abul Aswad ad-Duali ataukah Yahya
bin Ya’mar yang merupakan orang pertama meletakkan tanda-tanda baca pada mushaf,
namun tak ada alasan untuk mengingkari andil mereka dalam upaya memperbaiki cara
penulisan mushaf dan memudahkan bacaannya bagi segenap kaum muslimin. Selain
itu, tidak diragukan pula peranan al-Hajjaj. Terlepas dari penilaian orang tentang
dirinya dan niat pribadinya - yang cukup besar dan tak dapat diingkari aktifitasnya
dalam mengawasi pekerjaan peletakan tanda-tanda baca dalam mushaf serta
penjagaannya yang ketat.
Diriwayatkan, kononnya Abul Aswad ad-Duali pernah terperanjat mendengar
seseorang membaca firman Allah dalam surat at-Taubah ayat ن “ : 3 􀑧 رئ م 􀑧 إن الله ب
وله 􀑧 شركین ورس 􀑧 الم “ (Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mmutuskan hubungan dengan orang
10 Al-Zarkasy, Op. Cit., hal. 250.
19
musyrikin). Orang lain lagi membacanya “ وله 􀑧 شركین ورس 􀑧 ن الم 􀑧 رئ م 􀑧 إن الله ب " (Sesungguhnya
Allah mmutuskan hubungan dengan kaum musyrikin dan dari rasul-Nya). Kesalahan qari itu
terjadi pada pembacaan “kasrah” pada kata “ وله 􀑧 رس “. Lalu hal ini mengejutkan Abul
Aswad dan mengatakan : “Maha Suci Allah dari pemutusan hubungan dengan Rasul-
Nya”. Dengan adanya pristiwa itu, beberapa hari kemudian Abul Aswad berangkat ke
Basrah untuk menemui Ziyad, penguasa daerah itu. Abul Aswad berkata : “Kini aku
bersedia memenuhi apa yang pernah anda minta kepadaku”. Sebab jauh sebelumnya
Ziyad memang pernah meminta Abul Aswad supaya membuatkan tanda-tanda baca
agar orang-orang lebih dapat memahami Kitabullah dengan baik dan benar.11
Akan tetapi, Abul Aswad tidak segera memenuhi permintaan Ziyad tersebut. Ia
mengulur-ulur waktu sampai akhirnya ia dikejutkan oleh pristiwa salah baca tersebut.
Sejak itu mulailah ia bekerja giat dan dengan ijtihadnya berhasil membuat tanda fathah
berupa satu titik di atas huruf, kasrah berupa satu titik di bawah huruf, dhammah berupa
satu titik di antara bagian yang memisahkan huruf, dan saknah berupa dua titik.12
Al-Suyuthi menyebutkan Abul Aswad ad-Duali adalah orang pertama yang
melakukan usaha membuat tanda bacaan berupa titik-titik atas dasar perintah Abdul
Malik bin Marwan, bukan atas perintah Ziyad.13 Terlepas dari persoalan itu, kita tidak
tahu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu didorong oleh kemauannya sendiri
ataukah hanya memenuhi suatu perintah, namun yang jelas dialah orang pertama yang
melihat adanya keperluan yang amat besar itu.
Pada perkembangan selanjutnya, perhatian orang kepada usaha memudahkan
penulisan Al-Quran semakin besar. Perbaikan mushaf rasm Utsmani berjalan secara
bertahap. Pada tahap mulanya upaya difokuskan membuat tanda fathah berupa satu
titik di atas huruf, kasrah berupa satu titik di bawah huruf, dhammah berupa satu titik di
antara bagian yang memisahkan huruf, dan saknah berupa dua titik, maka kemudian
terjadi perubahan penentuan dengan mengambil berbagai macam bentuk ke arah
11 Ibid, hal. 250-251 disebut, Abul Faraj mengatakan; yang memerintahkan Abu Aswad meletakkan
titik-titik pada mushaf ialah Ziyah bin Abi Sufyan, Lihat juga Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op. Cit., hal. 108.
12 Muhammad Abd al-’Azim Al-Zarqany, Manahilul Irfan, Beirut : Dar al-Fikr, 1988, Jilid I dan II, hal.
401, Lihat Shubhi al-Shaleh, Op. Cit., hal. 108.
13 Jalaluddin al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 167.
20
perbaikan selanjutnya. Al-Kholil misalnya, membuat perubahan harakat yang berasal
dari huruf, fathah adalah dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah berupa sempang
di bawah huruf, dhammah dengan waw kecil di atas huruf, dan tanwin dengan tambahan
tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan
warna merah. Hamzah yang dihilangkan, dituliskan berupa hamzah dengan warna
merah tanpa huruf. Pada “nun” dan “tanwin” sebelum huruf “ba” diberi tanda iqlab
berwarna merah. Sedangkan "nun" dan "tanwin" sebelum huruf tekak (halaq) diberi
tanda "sukun" dengan warna merah. "Nun" dan "tanwin" tidak diberi tanda apa-apa
ketika idgham dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda
sukun dan huruf yang diidghamkan tidak diberi tanda sukun, tetapi huruf yang
sesudahnya diberi tanda syaddah, kecuali huruf “ta” sebelum “ta”, maka sukun tetap
dituliskan, misalnya 14 .فرّطت
Pada akhir abad ke-3 hijrah, ketika Abu Hatim as-Sajistani menulis buku
tentang tanda baca titik dan syakl bagi Al-Quran, maka cara penulisan mushaf sudah
mendekati kesempurnaan, bahkan penulisan mushaf sudah mencapai pada puncak
keindahannya. Kaum muslimin pun berlomba-lomba menulis mushaf dengan khat
(tulisan) seindah mungkin dan menemukan tanda-tanda yang khas. Begitu juga dalam
hal menciptakan tanda baca yang istimewa, misalnya mereka memberikan untuk huruf
yang musyaddadah (bertasydid) dengan membubuhkan sebuah tanda setengah lingkaran
di atasnya, membuat tanda alif washl (huruf alif di depan penghubung di depan nama
benda dan tidak dibaca) dengan membubuhkan garis tarik di atasnya, di tengahnya
sesuai dengan harakah (bunyi suara) huruf sebelumnya; fathah, kasrah, atau dhammah.15
Selanjutnya secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama
surah dan bilangan ayat-ayat, dan rumus-rumus yang menunjukkan kepala ayat dan
tanda-tanda waqaf (berhenti). Tanda waqaf lazim adalah ( م), waqaf mamnu’ ( لا ), waqaf
jaiz yang boleh waqaf atau tidak ( ج ), waqaf jaiz tetapi washal-nya lebih utama ( لى 􀑧 ,( ص
waqaf jaiz tetapi waqafnya lebih utama ( ى􀑧 قل ), waqaf mu’anaqah yang bila telah waqaf
pada suatu tempat tidak dibenarkan waqaf di tempat yang lain diberi tanda ( .. .. ),
14 Ibid, hal. 168.
15 Lihat al-Zarqani, Op. Cit. hal. 104, Lihat Manna’ Kaolil Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran,
Beirut : Al-Syarikah al-Muttahidah li al-Tauzi, 1973, hal. 222.
21
selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan-penyempurnaan
lainnya.
Pada mulanya memang banyak orang yang merintangi dan menghalangi ke arah
perbaikn cara penulisan Al-Quran, karena dikhawatirkan akan terjadi penambahan
dalam Al-Quran, berdasarkan ucapan seorang shahabat terkemuka Abdullah bin
Mas’ud yang diriwayatkan Abu Ubaid : “Murnikanlah Al-Quran, dan jangan
dicampuradukkan dengan apapun juga”.16 Akan tetapi pada zaman berikutnya, banyak
kaum muslimin menyukai sesuatu yang dahulunya ditolak dan ditentang mengenai
penggunaan tanda-baca titik dan syakl pada penulisan mushaf. Mereka yang dahulunya
mengkhawatirkan terjadinya perubahan nash Al-Quran karena ditulis dengan tandatanda
syakl dan titik, sekarang malah mengkhawatirkan terjadinya salah baca pada
orang-orang awam yang tidak mengerti, jika penulisan mushaf tanpa dibubuhi tandatanda
baca. Justru prinsip menjaga nash Al-Quran dengan seketat-ketatnya itulah yang
merupakan sebab pokok yang membuat orang pada suatu masa tidak menyukai
penggunaan titik dan syakl dalam penulisan Al-Quran, sedang pada masa yang lain
menyukai penggunaannya. An-Nawawi saja misalnya, berkata : “Penulisan mushaf
dengan membubuhkan titik dan syakl adalah suatu hal yang mustahab (lebih disukai),
karena itu merupakan pencegahan bagi kemungkinan terjadinya salah baca dan
pengubahan Al-Quran”.17 Dengan demikian, peletakan tanda baca tidak berlawanan
dengan prinsip kemurnian Al-Quran.
Hal-hal baru yang mulanya tidak disukai para ulama, tetapi kemudian dianggap
baik adalah penulisan tanda-tanda pada tiap-tiap kepala surah, peletakan tanda yang
memisahkan ayat, pembahagian Al-Quran menjadi juz-juz, dari juz-juz dibagi menjadi
ahzab (kelompok ayat) dan dari ahzab dibagi lagi menjadi arba’ (perempatan). Semua itu
ditandai dengan isyarat-isyarat khusus. Tanda permulaan tiap ayat merupakan soal yang
paling cepat diterima oleh kaum muslimin, sebelum tanda-tanda lainnya. Sebab
mereka membutuhkan pengertian tentang pembagian ayat-ayat, terutama setelah
adanya kebulatan pendapat bahwa urutan ayat-ayat Al-Quran adalah ketentuan dari
16 Al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 290, Lihat juga Muhammad Ali al-Shabuni, Op. Cit., hal. 111
17 Ibid.
22
Rasulullah Saw.18 Mereka meberikan tanda-tanda dengan cara berbeda-beda. Dengan
tanda-tanda seperti itu, kadang-kadang mereka dapat mengingat jumlah ayat dalam
sebuah surah, meskipun adakalanya mereka juga lupa. Karena itu ada di antara mereka
yang membutuhkan tulisan ‘asyr (sepuluh) dengan huruf depannya, yaitu ‘ain pada tiaptiap
akhir sepuluh ayat.19 Ada juga yang menggunakan tanda berupa tulisan kata depan
khams (lima), kha pada akhir tiap lima ayat.
Sedangakan mengenai dekorasi pada awal setiap surah, yang di dalamnya
tertulis nama-nama surah yang bersangkutan dan keterangan yang menunjukkan surah
itu Makkiyah atau Madaniyah, pada masa itu memang ditentang oleh kaum konservatif
di kalangan ulama dan kaum muslimin awam. Mereka berkeyakainan kuat bahwa
semuanya itu bukan tauqifi (bukan kehendak dan bukan atas persetujuan Rasulullah),
tetapi berdasarkan contoh perbuatan atau kehendak para shahabat Nabi. Jika kita tidak
dapat menerima penempatan surah-surah Al-Quran itu sebagai hasil ijtihad, tetapi
tauqifi maka berarti kita tidak mempunyai dalil yang kuat untuk membuktikan bahwa
nama-nama surah itu pun tauqifi juga.
Kemudian setelah banyak orang menandai mushafnya dengan berbagai tanda
untuk memisahkan ayat yang satu dari ayat yang lain, lalu mereka semakin berani
mencantumkan nama-nama surah pada awal tiap surah, sehingga sulit dicegah upaya
orang untuk memperindah dan memperelok bentuk susunan mushaf. Kononnya,
khalifah al-Walid (berkuasa tahun 86-96 H) menunjuk Khalid bin Ubai al-Hayyaj
sebagai penulis mushaf, karena ia dikenal dengan tulisannya yang indah, dan juga ia
yang menghiasi mihrab Rasulullah Saw. di masjid Madinah dengan tulisan-tulisan yang
indah. Sejak sa'at itu hingga akhir abad ke-4 hijrah para penulis (kaligrafer) giat menulis
mushaf dengan huruf Kuufi (hurub Arab yang lazim digunakan penduduk Kufah), yang
kemudian lambat-laun tergeser oleh huruf Nasakh yang indah pada permulaan abad
ke-5 Hijrah, termasuk penggunaan titik dan bunyi suara (harakah) sebagaimana yang
kita kenal sekarang.
18 Shubi al-Shalih, Op. Cit., hal.90
19 Al-Zarkasy, Op. Cit., hal. 25, Lihat juga Subhi Shaleh, Op. Cit., hal. 115
23
Penutup
Pada masa Rasulullah Saw., setiap ayat yang turun langsung beliau ajarkan
kepada para shahabatnya. Selain menyuruh mereka untuk menghafal, Rasulullah Saw.
juga memerintahkannya untuk mencatat guna memperkuat hafalan mereka. Di antara
para penulis Al-Quran terkemuka, baik dan indah tulisannya yang ditunjuk Rasul
adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit dan Mua’dz bin Jabal. Namun karena keterbatasan alat-alat tulis, maka ayat-ayat
al-Quran pada masa itu mereka tulis pada lembaran kulit, daun-daunan, kulit kurma,
permukaan batu, pelepah kurma, tulang-belulang unta atau kambing yang telah
dikeringkan dan sebagainya.
Selanjutnya seiiring dengan perkembangan, secara berangsur-angsur dari
generasi ke generasi upaya perbaikan bentuk penulisan al-Quran terus dilakukan.
Sebagai peletak batu pertama tentang dasar tanda-tanda baca berupa syakl dan titik
dalam penulisan Al-Quran adalah Abul Aswad ad-Duali.
MEMBALIK SEJARAH PENGUMPULAN
DAN PENULISAN AL-QURAN
24
Oleh
Drs. Ali Akbar, MIS
Dosen Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam NegeriSultan Syarif Kasim Riau
2008
25
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar