MEMAHAMI KOMPLEKSITAS MAKNA

Admin Thursday, December 16, 2010

MEMAHAMI KOMPLEKSITAS MAKNA

Definisi tentang makna telah diperdebatkan tanpa adanya kesepakatan di kalangan filsuf bahasa, sehingga melahirkan banyak teori: Teori semantik, teori fungsi, dan teori hubungan. Bagi kaum tekstualis, baik yang klasik maupun modern, teori referensi menjadi suatu hal yang dominan dan selalu relevan, sehingga makna suatu teks terletak pada objek. Akibatnya, bahasa dan maknanya menjadi sesuatu yang determinatif dalam memaknai teks. Bagi mereka, pendapat bahwasanya makna suatu objek adalah tunggal merupakan sesuatu yang ideal. Alasannya adalah bahwasanya Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab dan seseorang dapat memastikan makna yang objektif dari Al-Quran.
image / pixabay.com
Sementara dalam pandangan kaum kontekstualis, pemaknaan terhadap suatu teks bersifat subyektif dan tidak dapat dipastikan kebenarannya dalam satu pandangan saja, sebab dalam memaknai suatu teks seorang penafsir harus melihat situasi, tempat, perbedaan masa teks diturunkan serta semangat moral teks tersebut. Bagi kalangan kontekstualis, usaha penafsiran dilakukan dengan cara kerja seorang sejarawan, karena Al-Quran merupakan dokumen historis  yang menuntut adanya pengetahuan tentang situasi tertentu. Dalam hal ini, setiap pembaca memiliki nilai-nilai tersendiri yang mempengaruhi cara membaca suatu teks.

Memahami kompleksitas makna

Dalam tradisi tafsir klasik, isu tentang keragaman makna telah dikenal oleh Ath-Thabari, Ibn Qutaibah dan Qurthubi. Sebaliknya, pada saat ini di kalangan kaum tekstualis, dalam tingkat yang paling populer, terdapat tingkat kekakuan yang tinggi dalam memahami makna al-Quran. Kelompok tekstualis bahkan beranggapan bahwa tidak ada otoritas bagi generasi berikutnya (setelah Nabi dan Sahabat) untuk menemukan makna lain dari Al-Quran. 

Menyangkut bahasa Arab, seperti halnya bahasa lain,  banyak tipe-tipe kata, dan tidak semua dari kata-kata tersebut dapat diperlakukan dengan cara yang sama dalam memahami makna. Faktor lain menyangkut kompleksitas makna adalah bahwasanya makna bukanlah objek yang konkrit yang dapat diambil seperti buku dari rak, sebab makna merupakan entitas yang berkaitan dengan mental. Yang lebih penting lagi adalah bahwa, situasi pengungkapan teks menentukan makna suatu teks.

Dalam tradisi kontekstualis, ide tentang “makna tidak langsung” merupakan pendekatan yang relevan bagi mereka. “Makna tidak langsung” muncul menjadi hal yang utama pada level diskursif dan penting untuk dipegang dan penting untuk dipahami dalam memahami teks. Dalam hal ini, makna “langsung’ dan “tidak langsung” memiliki hubungan yang dekat. Makna langsung muncul dari teks dan makna tidak langsung muncul dari konteks. Dalam mencari ‘makna tidak langsung’ tersebut, maka perlu dipahami teks (makna yang langsung) dalam hal situasi, cara, serta segala hal yang berkaitan dengan pelafalan teks (pembicara dan lawan bicara). Bagi seorang kontekstualis, konsep tentang ‘makna tidak langsung’ melahirkan  keragaman ide tentang makna yang sederhana dan objektif dari teks Quran.

Dalam hal ini pula, “konteks’ merupakan ide yang secara dekat memiliki hubungan dengan ‘makna tidak langsung’ dari suatu teks. Konteks memiliki 2 (dua) implikasi: yaitu makna luas dan makna yang sempit. Makna luas dari teks adalah seluruh isi  Al-Quran, yang diturunkan dengan melihat  sisi historis dan situasi kehidupan Nabi selama turunnya Al-Quran . Makna sempit dari suatu konteks berkaitan dengan kalimat  atau kata yang mengisyaratkan pokok pikiran dalam bagian yang terberi dalam Quran.

Memahami Perubahan Makna
Dalam pandangan kaum kontekstualis, makna suatu kata tidaklah statis. Ia berubah dengan perkembangan lingustik dan lingkungan budaya  suatu masyarakat. Pemahaman seseorang akan suatu kata tentu berbeda sesuai situasi dan kondisinya, seperti halnya pemahaman tentang makna “buku” yang berkembang. Jadi, makna inti suatu kata/ kalimat ditentukan oleh pengalaman dan perubahan definsi suatu kata.

Mempertimbangkan moralitas-hukum teks sebagai wacana ilmiah

Bagi kelompok kontekstualis, teori Tzevetan Todorov (ahli bahasa dan kesusastraan) tentang dua tingkatan dalam memahami teks (yakni bahasa dan situasi) merupakan sesuatu yang penting. Bahasa merupakan sesuatu yang abstrak, sementara situasi merupakan sesuatu yang konkrit. Menurut mereka, sebauh teks seperti Al-Quran hanya bisa dianggap sebagai bahasa yang tepat ketika ia dipahami sebagai hal yang abstrak. Lahirnya suatu teks sebagai sebuah wahyu  dalam sebuah sosio-historis tertentu menegaskan suatu fakta bahwa Al-Quran secara mutlak diturunkan dalam sebuah situasi (bahasa dalam suatu konteks tertentu). Jadi, Dalam memahami sebuah teks harus dipahami secara kontekstual (situasi historis dan budaya). Sebaliknya, kebanyakan kalangan tekstualis, baik yang klasik maupun modern,  melihat Al-Quran sebagai bahasa, bukan dari sisi situasi pewahyuannya.

Sisi lain untuk menemukan makna Al-Quran dalam konteks tafsir kontekstual adalah dengan melihat asbab al-Nuzul (peristiwa kontekstual yang mengiringi turunnya wahyu).

Memahami Pembatasan Makna Teks

Kalangan tekstualis percaya bahwa Nabi Muhammad  telah menentukan batasan makna suatu teks, karena Beliau adalah sosok yang paling dekat dengan “pencipta teks’ yaitu Tuhan, dan penafsiran Nabi terhadap Al-Quran merupakan sesuatu yang final (tidak terdapat kemungkinan untuk lahirnya tafsir baru). Ha ini melahirkan beberapa permasalahan: Pertama, tidak ada suatu keterangan apa pun dari Al-Quran melalui Nabi bahwa beliau adalah penafsir tunggal terhadap Al-Quran; kedua, terkait dengan pembatasan makna, adalah konteks (sosial budaya) dimana teks dilahirkan atau diwahyukan; ketiga, adalah pembaca teks. Hal lain yang perlu diperhatikan penafsir adalah sifat dasar dari teks itu sendiri.

Makna suci teks dapat diketahui
Dalam persepktif kaum kontekstualis, makna Al-Quran dapat diketahui melalui kesatuan, waktu, tempat dan suasana. Dengan demikian makna tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan berkembangnya ilmu, politik, ekonomi, sosial budaya dalam suatu masyarakat.

Isu klasik pertama yang diperdebatkan di kalangan mufasir adalah tentang “yang dapat diketahui” dan “yang tidak dapat diketahui” dari makna Al-Quran terutama sekali berkaitan dengan istilah muhkam (makna yang diketahui dengan jelas melalui eksplanasi dan elaborasi) dan mutasyabih (ayat yang maknanya tidak diketahui secara jelas dan mengandung berbagai kemungkinan makna). Isu klasik yang kedua adalah tentang cara mengidentifikasi atau menentukan makna muhkam dan mutasyabih. Isu yang ketiga adalah, bahwasanya ayat muhkam tidak mengakui adanya lebih dari 1 (satu) penafsiran. Isu yang keempat, bahwasanya ayat-ayat   mutasyabih maknanya hanya dapat diketahui oleh Tuhan (hal ini bermula dari pemahaman dalam memaknai QS. Ali Imran: 7 ).

Pendapat di atas disanggah oleh beberapa kalangan (diantaranya mutaqaddimin) yang berargumentasi bahwanya makna ayat-ayat mutasyabih adalah sesuatu yang dapat diketahui maknanya. Sebab manusia dan Tuhan memiliki ‘otortitas’ yang sama dalam mengetahui makna ayat, disamping itu mustahil Allah swt menurunkan ayat Al-Quran yang maknanya tidak diketahui oleh manusia, padahal ia adalah petunjuk.

Kebenaran dari Keragaman Pemahaman

Bagi kelompok kontekstualis masa kini, penafisiran dengan multi makna merupakan sesuatu yang diterima walaupun hal tersebut ditentang oleh kelompok tekstualis. At-Tahabari misalnya, sangat familiar dengan konsep multi interpretatif terhadap suatu ayat. Sebaliknya, kelompok tekstualis masa kini, menetapkan bahwa suatu teks hanya dapat dipahami dengan satu makna, tidak dengan banyak makna.

Untuk mengatasi permasalahan ini, pembacaan terhadap teks Al-Quran seharusnya memperhatikan aspek tekstual, sejarah dan konteks suatu ayat. Hal ini akan membawa kepada pemahaman yang seimbang terhadap suatu ayat.

Makna Tekstual sebagai titik pijak  bagi Penafsiran

Titik kunci dalam menafsirkan teks Al-Quran adalah keaslian bahasa  dalam mana Al-Quran diwahyukan. Seorang Penafsir harus mahir dalam bahasa dan mampu membaca, menulis dan memahaminya tidak saja dalam aspek fungsional akan tetapi juga dalam aspek linguistik  serta aspek kebahasaan dan kesusteraan. Sebuah pemahaman kebahasaan yang terlalu kaku akan melahirkan konflik antara teks dan semangat agama itu sendiri.

Ada beberapa keuntungan dalam mengikuti pembacaan yang literal terhadap teks. Pertama, pembacaan yang literal merupakan pembatas terhadap  langkah yang tidak terbatas terhadap pemaknaan baru. Kedua, membantu dalam mengembangkan doktrin teologis dan sistem dalam basis suara.

Validitas dan Otoritas dalam Penafsiran.

Dalam pendekatan penafsiran terhadap Al-Quran, persoalan otoritas dan produk tafsir yang dapat digunakan oleh komunitas muslim adalah sesuatu yang penting. Ada 2(dua) level penting yang harus diperhatikan oleh seorang penafsir jika penafsirannya ingin dianggap otoritatif dan valid serta diterima. Tingkat pertama,  adalah nilai fundamental agama yang menjadi konsensus umat, yakni kepercayaan terhadap keesaan Tuhan, Muhammad  seagai Nabi-Nya, Al-Quran sebagai wahyu Tuhan, dan juga kepercayaan dasar lainnya. Tingkat yang kedua, adalah ajaran Islam yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusian universal, pertanggungjawaban terhadap Tuhan, hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, kebutuhan dan pentingnya agama dalam pengembangan kemanusiaan,  dan implikasi hukum dari Al-Quran.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar