Makalah Filsafat Ilmu

Admin Friday, December 17, 2010

Makalah Ruang Lingkup Filsafat Ilmu

Sejarah Peradaban manusia yang terbentang panjang sejak zaman klasik dengan peradaban yang masih sangat sederhana hingga zaman kontemporer yang begitu canggih dan serba digital tentu tidak dilahirkan secara instant dan dalam garis linear. Peradaban tersebut dibangun dengan kompleksitas perkembangan ilmu pengetahuan—baik sosial, agama dan alam—yang dialektis dan konstruktif satu sama lain yang berlangsung secara evolutif.
image / pixabay.com
Secara historis, ilmu pengetahuan yang saat ini berkembang begitu pesat, merupakan “buah” dari ‘pohon’ filsafat karena pada awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada secara sistematis, rasional dan intergratif.

Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan dilihat dari berbagai perspektif diklasifiksian secara beragam oleh para pakar sesuai dengan sudut pandang masinng-masing . Namun jika dilihat dari objek dan subjeknya, ilmu pengetahuan dalm hal ini dapat dibagi kedalam tiga (3) kelompok besar, yaitu Ilmu alam (natural science) ilmu sosial (social science) dan humaniora yang di dalamnya termasuk ilmu agama (religious science). Ketiga ilmu tersebut disamping memiliki beberapa persamaan juga memiliki perbedaan dilihat dari objek dan metode sesuai dengan lapangan masing-masing. Makalah ini memaparkan secara singkat cara kerja sekalgus problematika yang dihadapi masing-masing ilmu pengetahuan tersebut.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Ilmu sebagaimana dijelaskan oleh Peter R Senn merupakan salah satu hasil dari usaha manusia memperadab dirinya. Perkembangan ilmu dari masa lampau hingga masa kini merupakan jawaban dari rasa keinginan manusia untuk mengetahui kebenaran. Jadi, dengan rasa keingintahuan (curiosity) tersebut manusia akhirnya mampu menggunakan potensi intelektualnya untuk melakukan kreatifitas yang menjadi kunci utama lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai pintu peradaban.

Pada Periode filsafat Yunani terjadi sebuah perubahan yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia yang ditandai dengan perubahan pola pikir manusia dai mite-mite menjadi lebih rasional. Perubahan revolusioner dalam pola pikir ini secara formal ditandai oleh lahirnya filsafat Yunani pada abad ke-6 SM. Pada masa ini orang mulai mencari berbagai jawaban rasional tentang problem yang diajukan oleh alam semesta dimana imu pengetahuan dicirikan berdasarkan know how yang dilandasi pengalaman empiris.

Dalam perkembangan berikutnya di abad pertengahan, ilmu pengetahuan tampaknya mengalami stagnasi (kalau tidak ingin dkatakan sebuah kemunduran) disebabkan adanya campur tangan kaum agamawan (Kristen) yang mengajarkan bahwa wahyu Tuhan lah yang merupakan kebenaran sejati. Adanya intervensi dan hegemoni Gereja dalam dunia pengetahuan, menyebabkan ilmu pengetahuan, khsusunya imu alam, mengalami ‘mati suri’.

Namun, abad kegelapan (dark age) tersebut kemudian berlalu dengan lahirnya zaman Renaissans. Periode ini ditandai dengan kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma kembali. Dengan menggeliatnya kembali dunia pemikiran yang rasional dan ilmiah, maka zaman ini menjadi titik balik kebangkitan ilmu pengetahuan yang banyak melahirkan tokoh-tokoh terkenal seperti Roger Baccon, Copernicus, Rene Descartes, Joannes Keppler, Charles Darwin, dan Galileo Galilei. Abad ini kemudian dikenal juga sebagai abad “revolusi ilmu pengetahuan”. Hal ini dimulai oleh ilmuan Galileo Galilei (1564-1642) di awal tahun 1500-an yang terkenal dengan teori heliosentris-nya dan mencapai puncaknya ketika ilmuan Isaac Newton (1642-1727) mengebohkan dunia ilmu dengan akurasi teori fisikanya.

Selanjutnya, di zaman modern ilmu pengetahuan berkembang dengan begitu pesat. Perkembangan ini ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Salah satu penemuan fenomenal adalah ditemukannya teori Relativitas oleh albert Einstein dan juga Mesin Uap oleh Jamess Watt.
Di zaman kontemporer, perkembangan mengalami perkembangan yang sangat mengagumkan. Hal ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih muali dari komputer, satelit komunikasi, intrenet dan sebagainya. Kesemuanya adalah hasil kerja metode ilmiah ilmu pengetahuan yang bekerja secara koperatif dan interkonektif.

Berangkat dari fakta di atas, dapat dilihat betapa urgen dan krusial peranan filsafat dalam membangun peradaban pengetahuan manusia. Melalui metode ilmiah yang terus berkembang, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan dan percepatan yang sangat mengagumkan. Dengan perkembangan tersebut tentu saja manusia mengambil banyak keuntungan dan kemudahan dalam menjalankan aktifitasnya.

CARA KERJA ILMU SOSIAL

Ilmu sosial yang merupakan salah satu bagian ilmu pengetahuan, memiliki beberapa definisi. Ada yang mendefnisikan ilmu sosial sebagai ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia. Ilmu sosial juga didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan relasi antar manusia.
Dari beberapa definsi di atas dapat diambil suatu ikhtisar bahwa ilmu sosial merupakan rumpun ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia.

Berkaitan dengan kedudukannya diantara rumpun keilmuan, ilmu sosial menurut Auguste Comte (1791-1857) menduduki urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu pengetahuan. Mengapa demikian? Sebab Ilmu sosial menurut Comte berhadapan dengan gejala-gejala yang paling kompleks, paling konkret dan khusus, yaitu gejala yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia dalam berkelompok.

Dilihat dari cara kerja, terlihat secara jelas bahwa ilmu sosial memiliki cara kerja yang lebih komplek, interkonektif dan integratif. Dalam hal ini ilmu sosial memiliki tugas mempelajari manusia baik selaku individu maupun kolektif. Disamping itu variabel dalam penelaahan ilmu sosial relatif banyak sehingga terkadang membingungkan bagi para pengkaji ilmu sosial. Dalam hal ini Van Dalen memberikan contoh jika seorang ahli ilmu alam mempelajari suatu ekplosi kimiawi maka hanya beberapa faktor fisik yang berhubungan dengan kejadian tersebut yang akan dikaji. Namun berbeda ketika seorang ahli ilmu sosial mempelajari suatu eksplosi ilmu sosial berupa huru hara atau kejahatan maka terdapat sekian banyak faktor yang haris dikaji secara kohesif dan korelatif seperti senjata yang digunakan, kekuatan dan arah tusukan, urat darah yang tersayat, si pembunuh yang meluap-luap, dendam kesumat pertikaian, faktor biologis keturunan, tekanan dari kalangan masyarakat, kurangnya perlindungan keamanan, masalah ketegangan rasial atau agama dan lain-lain. Jadi, ilmu sosial disamping mengkaji faktor yang bersifat fisik-empirik, namun juga menelaah aspek-aspek lain yang menjadi faktor penyebab sebuah persitiwa seperti aspek psikologis, sosiologis, antropologis, biologis. Gejala-gejala tersebut dapat diterangkan melalui berbagai pola pendekatan seperti perkembangan, waktu, tipe, tempat, kegiatan, motivasi, atau kecendrungan.

Dilihat dari sisi objek yang diteliti, sebagaimana telah dideskripsikan di atas, maka agaknya antara ilmu sosial dan ilmu alam secara jelas memiliki perbedaan yang siginifikan. Ilmu sosial menjadikan manusia sebagai objek kajian dengan segala aspeknya, sementara ilmu alam meneliti fenomena alam (kecuali manusia) sebagai kajiannya.

Secara epistimologis, menurut Jujun S Suriasumantri , metode ilmiah (scientific method) yang digunakan antara ilmu sosial dan ilmu alam tidak memiliki perbedaan atau dengan kata lain memiliki kesamaan, meskipun objek yang diteliti tidaklah sama.

Terkait denga hal tersebut, dalam dunia keilmuan, setidaknya ada 2 (dua) metode keilmuan yang digunakan yang berlaku secara general untuk mengambil kesimpulan. Yang pertama, metode induktif yaitu suatu metode pengambilan keputusan dimana kesimpulan secara umum (generalisasi) dilakukan dengan mengambil dari data-ata yang bersifat khusus atau individual. Metode kedua adalah metode deduktif yakni suatu proses penarikan kesimpulan yang bersifat logis yang diambil dari premis yang bersifat umum. Kedua metode tersebut yakni logika induktif dan deduktif merupakan landasan epsitimologis yang sangat diperlukan dalam metode ilmiah dalam memperoleh sebuah ilmu atau teori yang baru.

Metode ilmiah sebagai landasan epsitimplogis bagi pengembangan ilmu (science) menurut Jujun, merupakan gabungan logika deduktif dan logika induktif berupa pengujian hipotesis. Kerangka berpikir ilmiah berupa proses logico-hypotetico-verifikasi ini, sebagaimana dijelaskan Jujun , secara fundamental memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perumusan masalah, merupakan proses pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terdapat di dalamnya.
2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan berbagai faktor yang saling berkaitan dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empirik yang relevan.
3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan kerangka berpikir yang telah dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis, merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperhatikan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis atau sebaliknya. Dengan kata lain langkah ini merupakan langkah verivikatif terhadap hipotesis.
5. Penarikan kesimpulan (conclution), merupakan tahap akhir dimana sebuah hipotesis akan dinilai antara diterima atau ditolak.

Dalam tahapan selanjutnya, hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah (science) jika telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni memiliki kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian “kebenaran” disini menurut Jujun harus dipahami secara pragmatis. Maksudnya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.

Keunikan (uinqeness) dan kesulitan lain ilmu sosial dibandingkan dengan ilmu alam dapat dilihat dari sisi pengamatan terhadap objek. Dalam melakukan penelitian, ilmu sosial tidak mungkin melihat, mendengar, meraba, mencium atau mendeteksi suatu gejala atau kejadian yang telah terjadi di masa lampau.

Lebih jauh lagi terkait dengan komplekisitasnya, sebagaimana dinyatakan oleh Rihard S Rudner , ilmu-ilmu sosial telah menjadi arena bagi sejumlah kritik, dimana kritik yang dikemukakan adalah bermacam-macam, mulai dari keraguan tentang kegiatan ahli ilmu-ilmu sosial karena “ilmu-ilmu sosial adalah tidak mungkin” sampai kepada rasa ngeri terhadap kegiatan ahli ilmu-ilmu sosial karena “terlalu banyak pengetahuan sosial akan membahayakan kebebasan manusia.” Alasan dari kritik tersebut adalah karena menurut mereka ilmu sosial sangat rumit untuk diselidiki karena sifatnya yang hanya berupa probabilitas dan bersifat relatif, berbeda dengan kajian ilmu alam yang lebih aplikatif dan bersifat ‘pasti’. Apalagi manusia sebagai objek kajian ilmu sosial dianggap oleh para kritikus sebagai sesuatu yang terlalu rumit dan kompleks untuk dikaji.

Pendapat di atas agaknya relevan dengan pernyataan peraih Nobel asal Prancis ahli fisika, Alexis Carrel penulis sebuah buku yang berjudul Man: The Unknown. Buku tersebut ingin menunjukkan kepada pembacanya bahwa manusia sebagai mikrokosmos ternyata makhluk yang sangat misterius dan kompleks untuk dikaji, karena disamping struktur biologis dan fisiologis, manusia dengan sifat psikologis dan spiritulitasnya lebih sulit untuk diketahui secara komprehensif. Masih banyak misteri dalam diri manusia yang belum terungkap secara nyata.

Oleh sebab itu, dibandingkan dengan ilmu lain seperti ilmu alam, ilmu sosial, menurut Deobold B van Dalen memang lebih sulit untuk dikaji karena gejala-gejala sosial berkembang secara dinamis sehingga sangat sulit untuk dikontrol dan diamati. Jika ilmu alam hanya mengkaji objek atau gejala yang bersifat fisik, maka ilmu sosial mengalami hal yang lebih kompleks, karena disamping meneliti hal-hal yang bersifat fisik, ia juga dituntut untuk menerangkan penyebab internal atau psikologis dari gejala fisik tersebut.

Berpijak dari kenyataan tersebut, ilmu sosial memiliki beberapa sifat tersendiri. Pertama, eksperimen terhadap fenomena sosial tidak dapat diverifikasi atau dilakukan berulang-ulang karena manusia sebagai objeknya selalu mengalami perubahan. Kedua, kebenaran ilmu sosial tidak dapat diberlakukan secara umum karena sifatnya yang sangat prediktif dan spekulatif. Ketiga, ilmu sosial hanya mampu mengkaji kejadian empirik yang berlaku pada saat ini. Kejadian-kejadian masa lalu, karena tidak bisa dideteksi secara empirik, menjadi permasalahan tersendiri bagi kajian sosial.

CARA KERJA ILMU ALAM

Secara terminologis, ilmu alam (natural science) atau ilmu pengetahuan alam didefinisikan sebagai ilmu mengenai aspek-aspek fisik & non-manusia tentang Bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni. Adapun cabang-cabang dari ilmu alam antara lain astronomi, biologi, ilmu bumi , fisika, dan kimia. Dalam konteks ini, matematika tidak dianggap sebagai ilmu alam, akan tetapi digunakan sebagai penyedia alat/perangkat dan kerangka kerja yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu alam juga digunakan untuk mengenali "ilmu" sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah .

Sifat Ilmu Pengetahuan dan metode ilmiah memiliki karekateristik tersendiri, yakni:
1. Logis atau masuk akal. Maksudnya ilmu harus sesuai dengan logika atau aturan berpikir yang ditetapkan dalam cabang ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Definisi, aturan, inferensi induktif, probabilitas, kalkulus, dan lain-lain merupakan bentuk logika yang menjadi landasan ilmu pengetahuan. Logika dalam ilmu pengetahuan adalah obyektif atau sesuai dengan fakta. Fakta sendiri adalah informasi yang diperoleh dari pengamatan atau penalaran fenomena.
2. Obyektif; maksudnya pengetahuan berkenaan dengan sikap yang tidak tergantung pada suasana hati, prasangka atau pertimbangan nilai pribadi. Atribut obyektif mengandung arti bahwa kebenaran ditentukan oleh pengujian secara terbuka yang dilakukan dari pengamatan dan penalaran fenomena.
3. Sistematis, yaitu adanya konsistensi dan keteraturan internal. Kedewasaan ilmu pengetahuan dicerminkan oleh adanya keteraturan internal dalam teori, hukum, prinsip dan metodenya. Konsistensi internal dapat berubah dengan adanya penemuan-penemuan baru. Sifat dinamis ini tidak boleh menghasilkan kontradiksi pada azas teori ilmu pengetahuan.
4. Andal, yaitu dapat diuji kembali secara terbuka menurut persyaratan yang ditentukan dengan hasil yang dapat diandalkan. Ilmu pengetahuan bersifat umum, terbuka dan universal.
5. Dirancang (by design),Ilmu pengetahuan tidak berkembang dengan sendirinya. Ilmu pengetahuan dikembangkan menurut suatu rancangan yang menerapkan metode ilmiah. Rancangan ini akan menentukan mutu keluaran ilmu pengetahuan.
6. Akumulatif; maksudnya Ilmu pengetahuan merupakan himpunan fakta, teori, hukum, dan lain-lain yang terkumpul sedikit demi sedikit. Apabila ada kaidah yang salah, maka kaidah itu akan diganti dengan kaidah yang benar. Kebenaran ilmu bersifat relatif dan temporal, tidak pernah mutlak dan final, sehingga dengan demikian ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan terbuka.

Berbeda dengan ilmu sosial, ilmu alam membatasi diri dengan hanya membahas gejala atau fenomena alam yang bersifat fisikal-material yang dapat diamati secara empirik (inderawi). Dalam upaya mengamati fenomena dimaksud, manusia tidak saja menggunakan panca indera, namun dalam banyak hal dibantu dengan teknologi untuk melakukan pengamatan dan penelitian, sebab adakalanya manusia dengan segala keterbatasan inderanya tidak mampu mengamati atau mendeteksi objek yang ukurannya sangat kecil seperti virus atau mikroba.

Dalam dunia ilmu alam, tampaknya juga berkembang suatu keyakinan umum bahwa masing-masing gejala alam tidaklah berdiri secara independen, namun satu sama lain memiliki korelasi dan kohernesi yang mengambil pola “sebab akibat”. Pola sebab akibat (causality) tersebut sebagaimana dijelaskan oleh B. Suprapto , jika diteliti dapat dirangkum dalam suatu wadah dimana masing-masing gejala alam tersebut dapat diletakkan pada jalur yang berkaitan menurut penalaran yang serasi dari atauran sebab akibat yang disebut hukum alam (natural law). Dengan kata lain ilmu-ilmu alam memiliki kepastian hukum yang mudah dideteksi secara empirik.

Selanjutnya secara epistimologis, berkenaan dengan meode yang digunakan dalam meneliti objeknya, tidak ada perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial. Metode ilmiah, menurut Jujun , pada prinsipnya dapat diterapkan (applicable) bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu alam maupun ilmu sosial. Jika pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok keilmuan tersebut, maka perbedaan (diference) tersebut tidak terletak pada aspek metodologis-epistimologis, melainkan sekedar terletak pada aspek-aspek teknis. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, metode deduktif dan induktif juga menjadi metode yang dipakai dalam rangka menggali dan meneliti fenomena alam.

Namun terkait dengan ilmu alam, metode induktif merupakan metode paling kuat dan paling tepat untuk diterapkan. Dengan pendekatan induktif yang dilakukan secara berulang-ulang, kemudian diperoleh sebuah teori ilmiah yang digeneralisasikan untuk diambil kesimpulan deduktif.

Dalam ilmu alam, terdapat beberapa karakteristik tersendiri yang tidak ditemukan dalam ilmu sosial. Pertama, kebenarannya dapat diverifikasi dimana dan kapan saja. Kedua, hasil eksperimen yang telah berlku mejadi teori dapat digeneralisasi atau dengan kata lain berlaku secara umum. Ketiga, Ilmu alam bersifat objektif dimana ia tidak mengalami perubahan.

Cara Kerja Ilmu Agama

Agama-agama manusia, terutama agama-agama semitik atau ibrahimik, merupakan ajaran yang lahir dari kitab suci yang diklaim oleh setiap pemeluknya sebagai kalam Tuhan (word of God), Hampir, jika tidak ingin dikatakan seluruhnya, semua agama terbentuk berdasarkan wahyu. Pembuktian terhadap teks atau wahyu itu sendiri dilakukan dengan pendekatan deduktif karena bagi pemeluknya teks suci diyakini kebenarannya secara absolut.

Sedangkan ilmu agama merupakan hasil interpretasi terhadap wahyu tersebut. Dengan kata lain, ilmu agama, sebagaimana halnya ilmu sosial dan ilmu alam, merupakan pengetahuan agama yang telah tersusun secara sistematis.

Dalam kaitannya dengan pengkajian agama khususnya yang berhubungan dengan teks, pendekatan yang tepat agaknya adalah pendekatan induktif. Misalnya untuk melihat apakah Al-Quran memberikan posisi yang setara antara laki-laki dan perempuan, diambil beberapa ayat yang berbicara tentang hal terkait. Dari beberapa ayat tersebut dapat diambil kesimpulan secara deduktif bagaimana pandangan Al-Quran terhadap wanita.

Sementara, dalam mengkaji fenomena keagamaan yang bersifat empirik, pendekatan deduktif merupakan cara yang tepat untuk mencapai hasil yang objektif, walaupun fenomena empirik memiliki kompleksitas tersendiri.

Berbeda dengan ilmu alam dan sosial, secara ontologis agama diyakini sebagai suatu ajaran yang bersumber dari Tuhan (wahyu), sementara ilmu sosial dan alam bersumber dari pengalaman empirik-rasional. Jika ilmu, baik alam dan sosial memfokuskan kajiannya pada ruang lingkup pengalaman manusia yang bersifat empiris, maka agama mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar pengalaman manusia, baik sebelum manusia berada di muka bumi maupun kejadian pasca-kehidupan manusia yang dikenal dengan akhirat . Dengan kata lain, disamping mengkaji hal-hal yang bersifat fisik-emiprik, agama (ilmu agama) juga menjadikan hal-hal yang bersifat metafisik-transendental sebagai objek kajiannya. Oleh karena itu, endekatan ilmiah megalami problematika ketika ingin membuktikan secara empiris bagaimana pengalaman keagamaan seseorang atau hal-hal lain dari agama yang bersift spiritual.

Menurut Mukti Ali , metode yang paling baik dalam menggali ilmu agama (khususnya Islam) adalah dengan menggunakan 2 (dua) yakni pendekatan ilmiah dan pendekatan doktriner-dogmatis. Namun kedua metode atau pendekatan tersebut harus digunakan secara sintesis.

Beranjak dari pembahasan di atas, tampaknya masing-masing rumpun ilmu memiliki karakteristik tersendiri, sehingga pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh ilmu pengetahuan pada masing-masing cabang juga berbeda. Namun demikian dalam beberapa hal juga terdapat pendekatan yang sama dalam beberapa hal yang memiliki kondisi yang sama.

INTERDEPENDENSI ILMU

Walaupun ilmu alam, sosial dan agama memiliki landasan tersendiri, namun kesemuanya diharapkan mampu berjalan secara kondusif, konstruktif serta interkonektif. Agama diharapkan mampu memberikan landasan moral bagi aksiologi kelimuan agar ilmu mampu menjadi alat membangun kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Dengan kata lain ilmu diharapkan mampu berjalan dengan nilai-nilai agama sehingga ia tidak bebas nilai (free value) Sebaliknya, aksiologi keilmuan, diharapkan mampu meningkatkan spiritulitas, mempertebal keimanan serta membantu dan memepermudah umat manusia dalam menjalankan agama dan aktivitas yang terkait dengannya. Jadi, ada hubungan simbiosis mutualistik, konstruktif serta interkonektif antara ilmu alam dan sosial di satu sisi dengan (ilmu) agama di sisi lain.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Nurkholis Majid sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarok, ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya sebagai manifestasi dari tugas manusia sebagai khalifah.

Dalam konteks ini pula menurut Komaruddin Hidayat salah satu pesan fundamental, bahkan fungsi agama, adalah agar pemahaman dan penghayatan nilai-nilai transendental itu sanggup membimbing manusia untuk menumbuhkan nilai-nilai luhur pada kehidupan individual maupun sosial sehingga manusia baik sebagai individu maupun kolektif tidak terjerat pada kebanggaan materi dan Prestasi dalam bidang ilmu pengetahuan belaka.

PENUTUP

Walaupun secara ontologis ilmu alam dan sosial memiliki kajian yang berbeda, Secara epistimologis, yakni metode yang digunakan dalam mengambil kesimpulan, secara umum antara ilmu sosial dan ilmu alam tidak memiliki perbedaan, karena keduanya menggunakan metode ilmiah (scientific method) yang sama. Walaupun demikian secara teknis boleh jadi akan terjadi perbedaan sesuai dengan dunia empirik yang dihadapi.

Di sisi yang lain, agama yang bersumber dari wahyu memiliki pendekatan yang berbeda dengan ilmu (alam dan sosial), sebab agama dalam satu sisinya harus didekati dengan pendekatan yang doktriner-dogmatif, sementara di sisi yang lain ia dapat didekati dengan pendekatan rasional ilmiah.
Antara ilmu sosial dan alam di satu sisi dan ilmu agama di sisi lain memiliki perbedaan, baik secara ontologis, episitimologis maupun aksiologis. Walaupun demikian ketiganya sebenarnya harus bekerja secara sintesis-mutualistis-interkonektif demi membangun peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

8 komentar

Write komentar
March 25, 2015 at 8:45 PM delete

informsi yang menarik dan bermanfaat sekali nih gan...
di tunggu info selanjutnya, thanks

Reply
avatar
April 26, 2015 at 8:31 PM delete

Infonya menarik jadi dapat ilmu tambahan,,makasih gan saya tunggu informasi selanjutnya

Reply
avatar
June 19, 2015 at 9:27 PM delete

informasi nya sangat menarik sekali
dan bermanfaat
ditunggu update selanjut nya

Reply
avatar
September 17, 2015 at 8:39 PM delete

bagus info nya
menarik dan menambah wawasan
terimakasih

Reply
avatar
August 10, 2016 at 9:47 PM delete

ijin nyimak artikelnya gan
terimakasih atas informasinya

Reply
avatar
October 11, 2016 at 7:10 PM delete

dengam membaca dapat menambah wawasan
terimakasih gan info nya

Reply
avatar
October 11, 2016 at 7:47 PM delete

dengam membaca dapat menambah wawasan
terimakasih gan info nya

Reply
avatar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar