HADIS CARA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN TANPA KORUPSI

Admin Thursday, December 16, 2010

CARA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN TANPA KORUPSI

Tema korupsi merupakan wacana yang sudah tidak asing lagi dan telah menjadi perhatian para pengamat dan masyarakat budaya di seluruh dunia. Korupsi telah mengganggu stabilitas kehidupan manusia disepanjang zaman. Sampai-sampai Negara Romawi, Mogul, Turki, dan keruntuhan VOC di Indonesia sebagai perusahaan konglomerat di dunia juga runtuh salah satunya disebabkan maraknya praktek korupsi.[1]

Diakui atau tidak, tingkat korupsi di Indonesia sungguh fantastis. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya temuan-temuan tentang penyelewengan dan penyalahgunaan uang rakyat yang kita jumpai hampir terjadi pada setiap sektor di seluruh tingkat birokrasi baik tingkat nasional maupun lokal. Setiap tahunnya negara dirugikan ratusan triliun rupiah. Banyak nada yang menyatakan ironi mengingat wabah penyakit korupsi justru terjadi di negara yang mayoritas penduduknya -para eksekutif maupun legislatif- penganut agama Islam. Sehingga menurut hemat penulis umat Islam –sebagai mayoritas penduduk Indonesia- dituntut untuk lebih bertanggungjawab atas mewabahnya korupsi yang telah menjadi budaya negatif bangsa ini.

Dewasa ini masyarakat Indonesia begitu responsif dalam menanggulangi praktek korupsi, dimana salah satu bentuk riil-nya adalah mulai bermunculan pernyataan-pernyataan yang mengutuk pelaku korupsi serta adanya kebijaksanaan hukum yang kuat dari pemerintah melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Hal ini dituangkan dalam ketentuan pasal 43 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, badan tersebut dinamakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, dan penuntutan kasus-kasus korupsi yang berimplikasi merugikan keuangan Negara.

Tulisan ini mencoba melakukan kajian terhadap sejarah korupsi dan usaha pemberantasannya dalam konteks ke-Indonesia-an melalui kontekstualisasi kandungan hadis nabi sebagai acuan utamanya, karena praktek korupsi dalam sejarah Islam telah ditemukan sejak periode yang relatif dini, yaitu sejak zaman nabi s.a.w.

Telaah Hadis Tentang Korupsi

Jika diteliti dengan seksama, maka akan dapat diketahui bahwa praktek korupsi telah berakar jauh ke masa silam, tidak hanya masyarakat Indonesia, akan tetapi semua bangsa diseluruh dunia. Karena itu tidaklah mengherankan jika sejarah mencatat bahwa pada priode Madinah telah muncul kasus korupsi seperti yang terjadi pada masa perang Khaibar, adanya isu praktek korupsi pada masa perang Uhud, dan semakin maraknya praktek korupsi pada masa Mu’adz bin Jabal ketika ditugaskan ke Yaman dan sebagainya. Namun pada kajian ini kami akan mengurai hadis-hadis yang berkenaan dengan praktek korupsi pada tahun ke-9 H dimana terdapat satu kasus korupsi yang berupa hadiah untuk sang pemimpin dari seorang petugas, seperti yang terjadi pada kasus sahabat ‘Abdullah Ibnu al-Lutbiyyah (Ibnu al-Atbiyyah) yang diangkat oleh rasulullah s.a.w. sebagai pejabat penarik zakat di Distrik Bani Sulaim pada tahun 9 H . Berikut ini penjelasannya.

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْأُتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ تَعَالَى يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصُرَ عَيْنِي وَسَمِعَ أُذُنِي

Abu Kuraib telah menyampaikan kepada kami, dari Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Abi Humaid as-Sya’idi, ia berkata: Rasulullah s.a.w ,mengangkat seorang laki-laki dari suku al-Azd yang bernama al-Atbiyyah untuk menjadi koordiator penerimaan zakat di bani Sulaim. Ketika ia datang (menghadap nabi s.a.w. untuk melaporkan hasil pemungutan zakat), beliau memeriksanya. Ia berkata: ini harta zakatmu (nabi/negara) dan yang ini adalah hadiah. Lalu rasulullah s.a.w. berkata: jika engkau benar, maka apakah kalau engkau duduk di rumah ayahmu atau di rumah ibumu, hadiah itu datang kepadamu? Kemudian nabi s.a.w. berpidato, sambil mengucapkan tahmid dan memuji Allah, lalu ia berkata: selanjutnya, saya mengangkat seseorang di antaramu untuk melakukan suatu tugas yang merupakan bagian dari apa yang telah dibebankan Allah kepadaku. Lalu orang itu datang dan berkata: ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku. Jika ia memang benar, maka apakah kalau ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, hadiah itu datang kepadanya? Demi Allah, begitu seseorang mengabil sesuatu dari hadiah itu tanpa hak, maka nanti di hari kiamat ia akan menemui Allah dengan membawa hadiah (yang diambilnya tersebut), lalu saya akan mengenali seseorang dari kamu kerika menemui Allah itu, ia memikul di atas pundaknya unta melengkik, sapi melengkuh, atau kambing yang mengembik… [HR Al-Bukhari].

Korupsi dalam hadis di atas  mempunyai beberapa “Pesan Inti” bahwa: pengertian “ghulul” (korupsi) tidak hanya terbatas kepada penyelewengan harta rampasan perang akan tetapi arti ghulul lebih diperluas dan mencakup semua kekayaan publik yang diambil oleh seorang pejabat secara tidak benar. Ia menegaskan bahwa mengeluarkan sedekah kepada orang lain atas hasil perbuatan korupsi tidak akan diterima, bahakan Tuhan akan melaknat para pelaku dan penerima hasil korupsi serta perantaranya. Selanjutnya pesan moral yang tersirat adalah tentang betapa besar dosa bagi para koruptor sampai-sampai nabi pernah tidak menyalatkan jenazah sahabat yang pernah mengambil harta rampasan perang pada waktu penaklukan Khaibar sebagaimana telah digambarkan oleh hadis nabi sebagai berikut:[2]

حدثنا مسدد أن يحي بن سعيد و بشير بن المفضل حدثاهم عن يحي بن سعيد عن محمد بن يحي بن حبان عن أبي عمرة عن زيد ين خالد الجهني أن رجلا من أصحاب النبي صلعم توفي يوم خيبر فذكروا ذلك لرسول الله صلعم فقال صلوا على صاحبتكم فتغيرت وجوه الناس لذلك فقال اٍن صاحبتكم غل في سبيل الله ففتشنا متاعه فوجدنا خرزا من خرز يهود لا يساوى درهمين.

Konteks Historis Mikro dan Makro Munculnya Hadis

Konteks Historis Mikro

Hal ini dapat kita ketahui dari matan hadis, dimana Pada waktu rasulullah mengangkat Abdullah ibn al-Atbiyah sebagai penarik zakat di distrik Bani Sulaim pada tahun ke9 H. Sekembalinya ia melaksanakan tugas tersebut, ia melaporkan hasil penarikan zakat yang diperolehnya kemudian dari beberapa hasil zakat tersebut dihadiahkan kepada rasul. Maka berdasarkan peristiwa tersebut rasul tidak berkenan dan mengumumkan bahwa hal seperti itu adalah termasuk dalam kategori Ghulul (korupsi) yang tidak diperbolehkan oleh agama Islam karna menggunakan hak orang lain dengan cara tidak sah.

Konteks Historis Makro

Kejadian atau peristiwa yang diilustrasikan dalam hadis tersebut terjadi pada masa kepemimpinan Mu’adz bin Jabal ketika di utus oleh rasul ke Yaman sebagai pejabat negara atau kepala daerah. Pada tahun ke-9 H ini praktek korupsi telah banyak terjadi diberbagai lini pemerintahan. Korupsi pada masa ini tidak hanya berkisar pada harta rampasan perang saja, melainkan cakupannya sudah meluas, termasuk praktek korupsi yang diambil dari hasil pengumpulan dana zakat dengan modus hadiah seorang petugas yang menangani bidang tersebut untuk kemudian  diberikan kepada seorang pemimpin dengan adanya tujuan tertentu. Maka yang demikian itu juga termasuk dalam kategori korupsi. Oleh karena itu seorang pegawai yang menggunakan jabatannya untuk memberikan hadiah kepada seorang pejabat dengan jalan yang tidak sah itu diharamkan keberadaannya. Dan apabila dilacak lebih jauh pengertian hadiah (pemberian) yang dimaksudkan dalam hadis di atas tersebut mencakup pula masalah suap (risywah), karena pada dasarnya risywah adalah merupakan bagian dari tindak pidana korupsi.

Kontekstualisasi Pesan Hadis dalam konteks ke-Indonesia-an

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu bahwa secara konseptual tentang bagaimana seharusnya memahami hadis nabi, memahami hadis secara utuh mempunyai tolak ukur tersendiri, diantaranya adalah:[3]

Ø  Memposisikan hadis sebagai penjelas al-Qur’an. Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa sesungguhnya al-Qur’an adalah tempat bermuaranya seluruh hukum Islam, sedangkan hadis diposisikan sebagai penjelas kandungan al-Qur’an yang masih global. Maka sangat tidak rasional apabila hadis yang merupakan keterangan penjelas bertentangan dengan al-Qur’an.

Ø  Mengupayakan penghimpunan hadis dalam satu kesatuan tema yang bertujuan untuk menjelaskan hadis-hadis yang kurang jelas, bersifat mutlak, dan mempunyai keumuman makna dengan hadis-hadis yang lain. Cara ini ditempuh untuk menghilangkan kemungkinan hadis dipahami secara parsial yang akhirnya melahirkan pertentangan kandungan denan hadis-hadis lain.

Ø  Adanya upaya memahami hadis sesuai dengan latar belakang dan tujuan utama munculnya hadis. Hal ini didasari oleh fakta bahwa hadis-hadis yang disabdakan beliau lahir mengikuti situasi dan kondisi pada masa itu sehingga diperluakan upaya kontekstualisai pemaknaan hadis. Hal ini bertujuan agar esensi  dan nilai-nilai yang di kandungnya selalu relevan untuk diterapkan dalam setiap masa demi mewujudkan kemaslahatan bersama dan menjawab tantangan zaman.

Apabila ketiga langkah ini diterapkan secara simulatan bagi hadis yang sedang kita bahas kali ini, tidak kan pernah terjadi kebekuan pemaknaan terhadap hadis-hadis nabi yang menyebabkan semangat kandungannya tidak bisa diaplikasikan sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga kontekstualisasi pesan esensial hadis yang terkandung di dalamnya akan kita ketahui.

1.      Korupsi
a.      Pengertian
Dalam kamus besar bahasa Indonesia di jelaskan bahwa “Korupsi” mengandung pengertian tentang penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau urang lain.[4]

Secrara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Oleh karenanya jika kita membicarakan tentang korupsi maka secara tidak langsung akan membahas sesuatu yang berhubungan dengan moralitas, sifat dan perbuatan curang yang merugikan pihak orang lain.[5]

Namun, penulis lebih sepakat dengan definisi korupsi yang diajukan oleh M. Jaspan sebagai berikut:

Korupsi adalah istilah yang mencakup hal-hal yang formal, tidak sah, atau mekanisme tersembunyi tentang manipulasi ekonomi, penekanan, hal memperoleh dan manipulasi kedudukan yang menguntungkan, yang berlaku pada tingkat tinggi atau dalam semua lapisan masyarakat.[6]

Dari beberapa penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa pembahasan tentang korupsi tidak bisa terlepas dari tiga unsur pokok; 1). Korup yakni sifat busuk, buruk; suka menilep barang atau sesuatu untuk kepentingan pribadi.[7]; 2). Korupsi (perbuatan yang merugikan orang lain dengan menyalahgunakan kedudukannya, seperti penggelapan uang, penerimaan suap dan sebagainya); 3). Koruptor (orang yang melakukan korupsi).

b.     Sejarah Korupsi di Indonesia
Jika kita teliti dengan seksama korupsi akan senantiasa terjadi jika dalam satu masyarakat tidak ada nilai yang memisahan secara tajam antara milik masyarakat dengan milik perorangan. Sedangkan yang dapat mengaburkan antara kepemilikan pribadi dan masyarakat tentulah seorang penguasa.

Pada masa Feodalisme tepatnya di masa para bangsawan kerajaan dan kesultanan seperti yang terjadi pada masa kerajaan Singosari, Demak, Majapahit dan kerajaan lain yang pernah menguasai nusantara, tanah-tanah luas adalah milik raja, yang dalam penguasaannya diserahkan kepada para pangeran bangsawan yang menjadi pengikut setianya yang dikemudian hari bertugas untuk memungut pajak, sewa dan upeti dari rakyat yang menduduki dan mengerjakan tanah. Pajak, sewa dan upeti yang sudah ditentukan harus diserahkan oleh para pangeran dan pembesar kerajaan kepada sang raja dan sisanya untuk para pangeran bangsawan dan pembesar kerajaan.

Di masa itu, rakyat diharuskan membayar dalam bentuk uang akan tetapi sering pula  mereka di paksa membayar dengan tenaga kasar untuk memenuhi berbagai keperluan pembesar kerajaan dan sang raja. Kewajiban-kewajiban demikian menyiksa rakyat kecil berlangsung turun-temurun dan dianggap perbuatan yang “patut” dan sebagai hal yang wajar-wajar saja.[8]

Korupsi yang kini merajalela di Indonesia menurut Mochtar Lubis berakar pada masa feodal tersebut, ketika kekuasaan bertumpu pada apa yang disebut kekuasaan “birokrasi patrimonoial” yang berkembang dalam kerangka kekuasaan feodal. Dalam struktur seperti ini, penyimpangan, korupsi dan pencurian tentu saja akan dengan mudah berkembang.[9]

c.       Macam-macam Korupsi dan Ciri-cirinya.
Korupsi memang merupakan persoalan yang sangat rumit yang sudah mengakar di Indonesia, karena saat ini korupsi tampaknya sudah menjadi cara hidup dan budaya yang telah merambah ke hampir semua lapisan pihak-pihak tertentu dengan tujuan untuk memperkaya diri dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa harus bersusah payah terlebih dahulu.

Indonesia telah dikenal sebagai negara hukum dengan penduduk mayoritas muslim, akan tetapi yang menuai beberapa pertanyaan adalah, mengapa praktek korupsi, kolusi, nepotisme dan main hakim sendiri menjadi trend di tengah masyarakat, seolah-olah praktek hukum rimba menjadi sebuah fenomena ditengah-tengah negara hukum sehingga cita-cita bangsa untuk menjadi negara adil, makmur dan sejahtera semakin jauh dari kenyataan.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Tranparancy International (TI) bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia untuk tahun 2005 adalah 2.2, tahun 2006 adalah 2,4 , tahun 2007 IPK Indonesia adalah 2,3. Melihat hasil survey organisasi masyarakat internasional yang menyoroti korupsi ini mulai tahun 2005 sampai 2007 mengalami masa pasang surut dalam penanganan pemberantasan korupsi. Menurut antasari Azhar IPK bukan merupakan gambaran tentang tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia, tetapi merupakan gambaran buruknya pelayanan publik. Pimpinan KPK berpendapat bahwa rendahnya IPK Indonesia ini antara lain disebabkan oleh tidak diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam praktik tata kelola pemerintahan pada umumnya dan khususnya dalam praktik pelayanan publik. Dalam kondisi inilah KPK merasa sangat berkepentingan karena korupsi itu terjadi bukan karena adanya bad people tetapi juga terjadi karena adanya bad governance/bad system.[10] Dan yang menggembirakan pada tahun 2008 IPK Indonesia mengalami peningkatan yaitu dengan memperoleh skor sekitar 2.6 yang menempatkan Indonesia berada di peringkat 126 dari 180 negara sementara Negara dengan IPK tertinggi adalah Denmark dengan nilai IPK 9,3 sementara Negara dengan IPK terendah adalah Somalia dengan 1,0.[11]

Dalam laporannya TI mengemukakan bahwa adanya peningkatan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dikarenakan adanya reformasi administrasi perpajakan dan kepabeanan serta kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkapkan adanya kasus-kasus korupsi, hal ini disebutkan dalam laporannya sebagai berikut:

 “Indonesia's score of 2.6 continues to reflect perceptions of rampant corruption,but represents an improvement over its score of 2.3 in the 2007. CPI bold reform in the tax and customs administration and the ability of corruption eradication commission to bring forward high profile cases have recently bolstered the perception that corruption is being addressed more aggressively, even though the problem remains widespread”

Namun Indonesia masih tergolong dalam negara-negara yang memiliki kasus korupsi yang cukup serius. Dari 32 Negara di Asia Pasifik hanya 10 Negara yang memilki skor diatas 5, dan sebanyak 22 Negara memiliki skor dibawah 5 yang mengindikasikan adanya masalah korupsi yang sangat serius di sektor publik.[12]

Dari beberapa potret korupsi yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain, biasanya ditandai dengan modus operrandi yang sangat beragam dengan pola yang variatif sehingga sulit dideteksi dan diungkap melalui jalan hukum yang berlaku.

Praktik korupsi dapat dikelompokkan dalam tujuh pola yang dideskripsikan sebagai berikut:[13]

1.      Korupsi transaktif, adalah korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara seorang donor dan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.

2.      Korupsi eksortif (exortive), adalah korupsi yang dipaksakan kepada satu pihak yang bisaanya disertai ancaman terhadap kepentingan, orang-orang dan hal yang dimilikinya.

3.      Korupsi investif, yaitu memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan dimasa mendatang.

4.      Korupsi perkerabatan (nepotistic), yakni korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat.

5.      Korupsi otogenik (autogenic), yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri

6.      Korupsi suportif (supportive), yaitu korupsi dengan pola rekanan melalui kerja sama untuk mewujudkannya.

Bertitik tolak dari fakta di atas, tampak betapa pelik masalah korupsi yang ada di hadapan kita, sehingga untuk menegakkan hukum bagi koruptor di Indonesia haruslah diupayakan sekuat tenaga dan menjadi skala prioritas, dengan mengagendakan dua hal yang sangat urgent, yaitu menciptakan sistem kontrol penegak hukum yang jujur dan adil (kontrol dari luar), serta kontrol dari dalam, yakni membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya merealisasikan pemberantasan korupsi yang banyak merugikan masyarakat pada umumnya.

2.      Agenda Untuk Menuntaskan Pemberantasan Korupsi
a.      Menciptakan Sistem Anti Korupsi
Tidak diragukan lagi, Islam menegaskan bahwa harta benda merupakan salah satu dari lima kemaslahatan utama, sedangkan hifz al-mal (menjaga harta benda) merupakan salah satu asas dari maqasid as-syari’ah. Dengan kata lain, Islam benar-benar memperhatikan hak milik seseorang dan oleh karenanya Islam mengharamkan cara-cara yang tidak benar dalam penguasaan harta bagi seseorang:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah, 2:188)

Sudah sejak lama Indonesia telah mengupayakan pemberantsan korupsi, namun pada kenyatannya dinamika korupsi di Indonesia selalu meningkat dari masa-kemasa, hukum pidana sering kali hanya merupakan “tongkat yang patah” sehingga kurang efektif dalam upaya memberantas korupsi. Fenomena ini pada hakikatnya disebabkan karena kurangnya kontrol terhadap kekuasaan ataupun kedudukan yang dimiliki oleh seseorang, serta adanya dorongan intuitif yang berasal dari setiap individu untuk segeera memperoleh materi yang sebanya-banyaknya serta pengakuan akan status sosial dengan menghalalkan segala cara asalkan tercapai keinginnnya.

Untuk menegakkan pemberantasan tindak pidana korupsi secara sistematis dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam, ada beberapa langkah yang perlu diambil terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sekaligus sebagai analisa dari pemaparan masalah korupsi:

1)      Dalam perspektif hukum positif setidaknya ada tiga langkah :

a)      Menciptakan sistem yang kondusif dalam pemerintahan yang bersih disertai sistem pengawasan dan hukum yang kuat. Begitu juga kontrol masyarakat sebagai balance atas birokrasi juga sangat dibutuhkan, disamping itu kesiapan sarana dan prasarana dalam rangka penegakan hukum.

b)     Melakukan reformasi birokrasi, jika tidak, berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah akan kandas begitu saja tanpa ada pengaruh sedikitpun dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan demikian posisi-posisi strategis yang berkenaan dengan hukum harus diserahkan kepada orang-orang yang jujur, bersih, tegas, berani, dan mampu dijadikan teladan. Dari survei di beberapa negara maju, ada efek strategis ketika orang-orang seperti itu ditempatkan pada posisi kunci di birokrasi.[14]

c)      Melakukan kontrol dari dalam diri sendiri yang bermuara pada hati nurani setiap individu, karena pada kenyataannya baik buruknya perbuatan seseorang ditentukan oleh kualitas hatinya. Jika hatinya bersih tentu prilaku dan kepribadiannya juga akan mencerminkan kebaikan. Begitu pula sebaliknya, jika hatinya kotor, tentu perbuatannya akan mencerminkan kondisi hatinya yang buruk. Fungsi hati itu digambarkan oleh rasul s.a.w

“…ketahuialah, bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Akan tetapi apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (H.R Bukhari dan Muslim).



Terciptanya kesadaran masyarakat akan pentingnya menguasai hawa nafsu dengan cara mengontrol diri mereka masing-masing dapat diupayakan, salah satunya adalah dengan melalui sistem pendidikan yang intinya mendidik anak bangsa menjadi jujur terhadap diri sendiri, masyarakat, dan Tuhan. Untuk itu maka kegiatan pendidikan secara sadar harus mengandung nilai-nilai baru yang selanjutnya dikembangkan secara terarah dan sistematis.

Kegiatan pendidikan harus mencakup aspek rasionalitas (kognitif)[15] dan apresisi (afektif)[16] yang memungkinkan bertumbuhnya pengetahuan menjadi sikap yang selanjutnya tercermin dalam perbuatan. Kondisi obyektif kegiatan pendidikan harus bersifat menunjang terkaitnya pengerahan, sikap dan perbuatan tersebut dengan menciptakan aturan main yang relevan.[17] Dengan demikian cita-cita pendidikan tersebut sesuai dengan Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional menyatakan bahwa ia berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa

2)      Dalam perspektif hukum Islam ada beberapa langkah yang dapat di baca dari kebijakan-kebijakan khalifah ‘Umar bin Khattab ra. Pada masa pemerintahannya, untuk menanggulangi tindak pidana korupsi antara lain:[18]

a)      Memberi gaji yang cukup bagi biaya hidup karyawan dan keluarga.Para pejabat/birokrat/pegawai tetaplah manusia biasa yang memiliki kewajiban menafkahi keluarganya.Agar mereka bekerja dengan tenang dan tak tergoda berbuat korup, mereka harus diberikan gaji, tunjangan dan fasilitas lain yang layak. Rasulullah SAW bersabda,

“siapapun yang menjadi pegawai kami, hendaklah mengambil seorang istri. Jika dia tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil seorang pelayan. Jika tidak memiliki tempat tinggal, hendaklah mengambil rumah.” (HR Abu Dawud).[19]

b)     Dilakukan wajib daftar kekayaan bagi para pegawai. Untuk mencegah tindakan korup, perhitungan kekayaan para pejabat harus dilakukan di awal dan akhir jabatannya. Jika ada kenaikan jumlah harta yang tidak wajar, pihak bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh dari sumber yang halal.Inilah yang selalu dilakukan oleh khalifah Umar Bin Khaththab ketika beliau mengangkat pejabat negara seperti wali/gubernur atau amil.

c)      Merealisasikan pesan dari pada surat al-Hasr ayat7. yaitu memperhatikan rakyat miskin sehingga tidak ada kesenjangan sosial diantara masyarakat:

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Al-Hasyr, 59:7)



d)     Larangan menerima hadiah, Dalam islam, pejabat negara atau pegawai negeri ataupun orang-orang yang diberi otoritas untuk menjalankan amanat Negara sama sekali dilarang untuk menerima hadiah dari orang lain. Hal ini dikarenakan hadiah seseorang kepada pejabat Negara rentan untuk digunakan sebagai tunggangan untuk menyuap demi melancarkan usaha atau rencana-rencana dari orang yang memberikan hadiah.

“Rasulullah SAW bersabda,'siapa saja yang kami(negara)beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rizki/gaji,maka apa yang diambilnya selain dari itu(gaji)adalah ghulul-(kecurangan/korupsi)”(HR Abu Dawud).

e)      Melakukan “al-Taftisi” (pengawasan yang ketat) kepada bawahannya, sehingga tidak terjadi praktek suap ataupun korupsi yang tidak di inginkan.

b.     Peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya memerangi Korupsi.
Termaktub dalam hukum positif Indonesia, dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi yang ketentuannya telah diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Badan khusus tersebut dinamakan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, dan penuntutan.[20]

Adapun undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut memuat peraturan dan sangsi hukuman yang berbeda-beda sesuai dengan jenis tindak pidana korupsi.[21]

Diakui atau tidak, kehadiran KPK merupakan harapan baru sekaligus tantangan sebagai upaya memberantas korupsi di Indonesia sebab wewenang yang diberikan kepadanya berbeda dengan ssebelumnya.[22] KPK adalah lembaga independen yang diberi wewenang luas untuk melaksanakan tugasnya yang dalam perekrutan anggotanya harus benar-benar bersih dan memiliki professional tinggi serta perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari masalah merajalelanya korupsi.[23]

Sehingga tak berlebihan jika sepanjang tahun 2008 KPK seolah menjadi aktor utama dalam pemberantasan korupsi, diawali dengan terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Burhanudin Abdullah mantan gubernur BI, dan selanjutnya disusul dengan terungkapnya kasus korupsi yang lain yang dilakukan oleh para elit politik di berbagai instansi pemerintah baik dari pemerintahan tingkat daerah hingga tingkat pemerintahan pusat.

Bahkan melalui KPK, uang Negara yang telah dikorupsi sebagian telah berhasil dikembalikan. Hal ini sesuai dengan data Kejaksaan Agung yang menyebutkan, jumlah keseluruhan uang negara yang  kembali sejak 2004 sampai November 2008 mencapai Rp 8 triliun dan US$ 18 juta. Sebanyak Rp 4,927 triliun serta US$ 18 juta telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sementara Rp 2,933 triliun dikembalikan saat proses penyelidikan dan penyelidikan, Rp 139,882 miliar adalah barang rampasan.  Komisi Pemberantasan Korupsi  berhasil mengembalikan Rp 476,456 miliar uang negara dan Kepolisian Rp 859,762 miliar.[24]

Namun disisi lain, keluasan wewenang KPK tersebut menjadi mimpi buruk bagi para elit politik, sehingga menimbulkan kekhawatiran dalam membuat program-program kerja pada instansi yang terkait. Melihat fenomena ini, Antasari Azhar selaku ketua KPK membeberkan[25] bahwa ada tiga rambu-rambu yang harus dipatuhi dengan tertib dan disiplin:

1.      Jangan merugikan keungan Negara

2.      Jangan menguntungkan pribadi

3.      Jangan menguntungkan orang lain/pribadi

Lebih lanjut, dia mengatakan, jika tiga rambu-rambu diatas dipatuhi maka KPK tidak akan melakukan tindakan yang intensif yang selanjutnya bisa menyeret pejabat terkait.

Terbentuknya KPK dilandasi dengan upaya memberantas korupsi yangtelah menjadi penyakit akut di Indonesia. Sehingga diharapkan dengan terbentuknya KPK Indonesia bisa terbebas dari korupsi sesuai dengan visi KPK:[26] “Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi”.Sedangkan untuk mencapai visi tersebut KPK memiliki misi “Penggerak Perubahan untuk mewujudkan Bangsa yang anti Korupsi”Dengan misi tersebut jelas bahwa KPK dibentuk bukan sekedar bukan pemain atau pelaku dalam pemberantasan korupsi, tetapi lebih sebagai agen penggerak (motor) atau lebih tepat dirijen dalam pemberantasa korupsi. Peran penggerak ini bisa juga dilihat dalam lima tugas KPK yang meliputi

1.        Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

2.        Supervise terhadap instansi yang berwenang melaukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

3.        Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

4.        Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

5.        Melukukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Dengan paparan visi, misi dan tugas tersebut diatas, maka terlihat bahwa peran penindakan KPK dengan menangkap koruptor merupakan satu bagian dari mandat lainnya yang harus dijalankan KPK. Lima manadat diatas mengandung pesan besar bahwa dalam mewujudkan Indonesia yang bersih dan bebas korupsi, KPK harus mampu menggerakkan berbagai instrument yang ada sehingga harus berdaya guna. Untuk itu KPK mesti melakukan koordinasi, supervise, dan monitoring terhadap semua instrument pemberantasan korupsi.

Berdasarkan hal di atas tentang dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi, penulis berpendapat bahwa hal tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam, karena telah mengutamakan kemaslahatan umat dengan menjunjung tinggi hak, harkat dan martabat mereka tanpa terkecuali. Menurut penulis apapun bentuk hukuman yang dibebankan bagi koruptor asalkan bertujuan untuk kemaslahatan umat tentulah tidak bertentangan dengan syriat Islam yang selalu menjunjung tinggi hak-hak manusia secara kaffah.

c.       Membangun Kesadaran Masyarakat Anti Korupsi
KPK, Timtastipikor, dan lembaga anti korupsi lain tidak akan bisa bergerak lebih efektif apabila mereka hanya berjalan sendiri tanpa ada dukungan dari berbagai pihak. Oleh karenanya adanya peran serta masyarakat dalam rangka ikut memberantas tindak pidana korupsi, merupakan hal penting dan sangat diharapkan, Terutama dalam bentuk laporan dan informasi yang diperkuat dengan data-data yang akurat. Dalam hal ini kesadaran masyarakat untuk mengawasi dan melaporkan berbagai macam tindak pidana korupsi kepada para penegak hukum yang terkait akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk mempercepat proses pemberantasan korupsi di indonesia.

Upaya membangun kesadaran masyarakat anti korupsi ini bisa dilakukan melalui beberapa cara.
1)      Sosialisasi Gerakan Anti Korupsi Melalui Pendidikan.
    Pendidikan dalam sejarah peradaban manusia adalah salah satu komponen kehidupan yang paling dominan dalam mengantarkan kepada sebuah kesadaran. Kesadaran itu pada gilirannya akan membuatnya melakukan hal-hal tertentu yang dapat menghindarkan manusia dari ancaman dan bahaya yang ada di balik tindakan tertentu. Ia akan membuat prosedur dan teknik tertentu demi menghindari ancaman tersebut. Rasa takut akan membuatnya taat pada aturan dan prosedur yang telah ditetapkan.

Sebagai contoh apabila ada dua orang mendapati sebuah kabel tanpa isolator di tepi jalan, mungkin keduanya akan mengambil sikap yang berbeda berdasarkan pengertahuannya. Bila yang satu memiliki ilmu (baca: tahu) bahwa kabel itu dialiri listrik sehingga membahayakan, maka ia akan menghindari kabel itu atau menyingkirkannya dengan teknik khusus demi menghindari ancaman setrum. Ini berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu tentang itu.

Dari analogi yang sederhana ini sebagai manusia yang berilmu, maka ia seharusnya sadar betul akan efek negative, bahaya, dan ancaman yang bisa timbul bila malakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji dan mempunyai dampak buruk bagi kehidupan. Oleh karena itu dengan mensosialisasikan gerakan anti korupsi yang dimulai melalui pendidikan nantinya diharapkan akan mampu menelorkan individu-individu yang solid untuk membangun dan mewujudkan Negara yang bermartabat dan bersih dari segala tidakan korupsi.

2)      Sosialisai Gerakan Anti Korupsi Melalui Peran Media massa
Salah satu agenda reformasi 1998[27] yang telah diamanatkan oleh rakyat untuk kepemerintahan selanjutnya setelah lengsernya Soeharto dari panggung kekuasaan adalah memberantas KKN demi terciptanya Negara yang bebas –minimal angkanya berkurang dari sebelumnya- korupsi.

Dalam hal ini kita membutuhkan media sebagai “mediator” yang berperan sebagai penghubung antar komponen bangsa untuk bersama-sama memberantas korupsi dan berfungsi sebagai alat kontrol dalam rangka mencegah, mengawasi dan mengevaluasi kasus-kasus korupsi. Tugas ini membutuhkan keseriusan dan optimalisasi peran media dalam menyadarkan masyarakat tentang perlunya memerangi dan memberantas korupsi secara jujur dan transparan dalam memberitakan ataupun mengungkap kasus-kasus yang disajikan kepada masyarakat. Oleh karena itu pengungkapan kasus-kasus korupsi seputar Indonesia oleh sejumlah media cetak dan elektronik akhir-akhir ini, seperti kasus BLBI, dan kasus korupsi lainnya patut diapresiasi secara positif oleh semua pihak. Sebab diakui atau tidak, hal itu mendorong terwujudnya perubahan seperti yang telah diamanatkan dalam agenda reformasi 1998 yang lalu oleh rakyat Indonesia.

Secara fungsional media mempunyai tiga poin utama: yaitu fungsi informasi, fungsi pendidikan, dan fungsi kontrol sosial. Oleh karena itu lewat peran strategisnya, media massa diharapkan mampu menjadi jembatan mewujudkan kehidupan berbangsa yang lurus dan bersih dari praktik penyimpangan yang tidak terpuji. Namun sekali lagi korupsi adalah sebuah kejahatan yang terorganisir tak mungkin diperangi seorang diri atau hanya oleh satu lembaga. Ia hanya bisa dilawan jika ada komitmen dari semua komponen masyarakat termasuk media massa untuk kerja bareng memperbaiki citra dan nasib bangsa Indonesia.

3)      Melibatkan Peran Masyarakat
Mengikut sertakan mayarakat dalam mengkampanyekan gerakan anti korupsi dengan cara mengawasi dan melaporkan berbagai macam tindakan yang diduga keras terdapat praktek korupsi kepada pihak-pihak terkait adalah sebuah langkah yang tidak kalah penting dalam mengagendakan gerakan anti korupsi.

Hal ini mengacu kepada dasar hukum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 41 menyebutkan, bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. peran serta masyarakat itu diwujudkan dalam bentuk memiliki hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, serta memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Masyarakat juga punya hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi dan memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari.

Selain itu masyarakat juga berhak untuk memperoleh perlindungan serta penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.[28]

E.     Penutup
Korupsi adalah sebuah bentuk pelanggaran yang merugikan banyak pihak (baca:masyarakat), sebab tujuan korupsi adalah memperkaya diri sendiri dan merugikan orang lain, dalam konteks ini, penulis beranggapan, korupsi bisa dikategorikan dalam salah satu bentuk pelanggaran HAM. Adapun fenomena korupsi dalam masyarakat Islam telah ada sejak masa rasulullah dan akan terus menjadi penyakit dalam setiap Negara jika dalam satu masyarakat tidak ada nilai yang memisahan secara tajam antara milik masyarakat dengan milik perorangan serta kesadaran diri untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Dalam menyikapi korupsi ini rasulullah lebih menekankan kepada sangsi moral dengan cara memberikan peringatan untuk selalu berusaha menjauhi praktek korupsi. Jika pada masa Rasulullah, beliau lebih menekankan kepada sangsi moral adalah hal yang wajar karena praktek korupsi tersebut pada waktu itu tidak terlalu marak dan membudaya seperti zaman sekarang.

Menurut hemat penulis dalam rangka memberikan hukuman terhadap koruptor, maka sansi-sangsi yang sudah ditentukan oleh KPK [yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervise, termasuk melakukan penyelidikan] kiranya sudah sesuai apabila diterapkan di negara Indonesia. Namun tentunya harus disertai dengan komitmen yang tinggi dari berbagai pihak termasuk aparat kemanan negara. Dalam kaitannya terhadap penegakan hukum terhadap para koruptor, bangsa Indonesia mestinya mampu menjaga komitmen dan mempunyai kesungguhan untuk berpihak pada yang benar dan menindak yang salah.

Oleh karena itu penulis sangat setuju dengan ketentuan yang sudah diatur oleh KPK dengan berdasarkan beberapa hal berikut ini:

1.      Tidak bertentangan dengan ajaran Islam, walaupun pada dasarnya hukuman tersebut adalah sebuah hukum positif hasil kreasi manusia, namun tetap mempunyai tujuan untuk menjaga dan menghormati hak-hak manusia demi mewujudkan kemaslahatan umat.

2.      Adanya unsur yang memberikan aspek jera bagi sang pelaku apabila diterapkan secara proposional dengan tidak memandang bulu dan pilih kasih terhadap koruptor.

3.      Sudah banyak Negara-negara lain yang menerapkan hukum positif mampu –bisa dikatakan barhasil-  memberantas tindak pidana korupsi asalkan ada kemauan untuk bersatu dari berbagai pihak yang berwewenang termasuk para penegak hukum. Seperti yang terjadi  Nigeria, dimana pemerintahannya berhasil menarik kembali, sedikitnya 800 juta dollar dari yang telah dikorupsi oleh Sani Abacha. Pemerintahan Pakistan juga mampu menguasai 500 rekening milik mantan Perdana Menteri Benazir Butto. Dan Negara-negara yang lain.[29] Nah jikalau Negara lain bisa memberantas –minimal bisa mengurangi-  besarnya praktek kurupsi yang terjadi di Negara mereka, lalu mengapa di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam belum mampu melakukan perbaikan dalam menegakkan hukum terutama dibidang tindak pidana korupsi?

Akhirnya, bila saja semua lapisan masyarakat dan pemerintah secara serius dan bijaksana melakukan pengusutan dan menindak para koruptor, maka penulis yakin pada akhirnya hal ini akan memberikan implikasi politik dan hukum secara signifikan, serta memberikan peneguhan ke arah suatu pemerintahan yang bersih dan demokratis.

DAFTAR PUSTAKA
Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar el-Fikr, 1994.
Gusmian, Islah, Pantat Bangsaku: Melawan Lupa di Negeri Para Tersangka, Yogyakarta: Galang Press, 2004.
Hartiani, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Jaspan, M., Bunga rampaiKorupsi, Jakarta: LP3ES, 1995.
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan, kamus Besar Bahasa Indonesia,, Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
Korupsi, Komisi Pemberantasan, Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: KPK, 2006.
Lubis, Mochtar, dalam pengantar Bunga rampaiKorupsi, Jakarta: LP3ES, 1995.
Qaradhawi, Yusuf al-, Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiah, Kairo: Dar al-Syuruq, 2005.
Suriasumantri, Jujun S., Masalah Sosial Budaya Tahun 2000, Kumpulan karangan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.
Thomthomi, Badar, “Antologi Kajian Islam” Pascasarjana IAIN Sunan Ampel,  2006.
Agus Hutabarat, “Peran KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, www.agushutabarat.wordpress.com
Hamid Chalid, “Pemberantasan Korupsi antara Popularitas dan Strategi”, www.transparansi.or.id, Diakses Tanggal 31 Januari 2009
“Peran Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi”, http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTM4NTg=, diakses tgl 04 Pebruari 2009.
“Mengurai Benang Kusut Korupsi”, http://khoirzahra75id.multiply.com/journal/item/145
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1267, diakses tanggal 29 Januari 2009
 “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Menigkat”, http://bc-temas.blogspot.com/2008/10/indeks-persepsi-korupsi-indonesia.html, diakses tgl 04 Pebruari 2009.
 “Pemberantasan Korupsi Menuju Tata Pemerintahan yang baik”,http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=3265, diakses tgl 04 Pebruari 2009.
Abdul Rahman Saleh, “Pemberantasan korupsi di Indonesia”, http://www.alasrof.com/indonesia/profile/artikel_detail.php?id=13&, diakses tgl 04 Pebruari 2009.
http://www.kapanlagi.com edisi Minggu, 17 Juni 2007, diakses tanggal 29 januari 2009.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/05/21/brk,20040521-12,id.html. Diakses tgl 17 Nopember 2008.
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2008/12/09/brk,20081209-150248,id.html, diakses tanggal 29 Januari 2009.
“KPK Beri Semangat Daerah” , Harian Jawa Pos, edisi Kamis, 29 Januari 2009.
[1]Peringkat Indonesia sebagai salah satu negara terkorup se-Asia pada tahun 2005, kini turun menjadi peringkat dua Asia pada tahun 2007,  http://www.kapanlagi.com edisi Minggu, 17 Juni 2007, diakses tanggal 29 januari 2009.
[2] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar el-Fikr, 1994), hlm. 626.
[3] Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2005), hlm. 111.
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm 527.
[5] Evi Hartiani, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 9.
[6] Korupsi di Indonesia memang telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ia seakan telah menjadi budaya yang menyebar ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam. Tidak ada bidang kehidupan yang tak tercemar virus korupsi baik yang kecil maupun besar. Sampai-sampai dibidang pendidikan dari tingkat TK sampai perguruan tinggi juga tercemar oleh wabah korupsi. Sebagai contoh kecil terdapat yayasan sekolah dan penyelenggara sekolah menilep uang siswa atau mahasiswa untuk keperluan lain di luar sekolah. Di banyak kantor pemerintah kita juga tahu, meski dalam aturan dilarang menerima suap, tetapi dalam kenyataan bila orang ingin urusan cepat, harus "tahu sama tahu". M. Jaspan, Bunga rampaiKorupsi, (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 26.
[7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus…, hlm. 488
[8] Mochtar Lubis, dalam pengantar Bunga Rampai Korupsi, (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. xvi
[9] Ibid…,  hlm. xvii
[10] http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1267, diakses tanggal 29 Januari 2009
[11] “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Menigkat”, http://bc-temas.blogspot.com/2008/10/indeks-persepsi-korupsi-indonesia.html, diakses tgl 04 Pebruari 2009.
[12] Ibid.
[13] Dikutip dari “Pemberantasan Korupsi Menuju Tata Pemerintahan yang baik”,http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=3265, diakses tgl 04 Pebruari 2009. Bandingkan dengan, Abdul Rahman Saleh, “Pemberantasan korupsi di Indonesia”, http://www.alasrof.com/indonesia/profile/artikel_detail.php?id=13&, diakses tgl 04 Pebruari 2009.
[14] Badar Thomthomi, “Antologi Kajian Islam” Pascasarjana IAIN Sunan Ampel,  (2006), hlm. 108.
[15] Menekankan aspek untuk mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide-ide dan materi baru.
[16] Menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu
[17] Jujun S. Suriasumantri, Masalah Sosial Budaya Tahun 2000, Kumpulan karangan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), hlm. 60.
[18] Badar Thomthomi, “Antologi…, hlm. 109.
[19] Mengurai Benang Kusut Korupsi, http://khoirzahra75id.multiply.com/journal/item/145
[20] Evi Hartiani, Tindak…, hlm. 69-70.
[21] Diantaranya adalah upaya melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara, maka dalam hal ini setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koperasi yang dapat merugikan keuangan negara ataupun perekonomian negara , maka sangsingya adalah dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda pailing sedikit Rp 200.000.000,00. dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00. dalam kasus ini pidana mati juga dapat diberlakukan dalam keadaan tertentu. Lebih lanjut lihat Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pdana Korupsi yang telah disusun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: KPK, 2006), hlm. 25-27.
[22] Sebelum terbentuknya KPK, di Indonesia telah ada beberapa tim komisi untuk memberantas korupsi, namun tidak sesuai dengan namanya, korupsi masih menjadi masalah besar yang menghinggapi bangsa Indonesia.
[23] Agus Hutabarat, “Peran KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, www.agushutabarat.wordpress.com
[24] Hasil Pemberantasan Korupsi Diklaim Sudah Nyata,
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2008/12/09/brk,20081209-150248,id.html, diakses tanggal 29 Januari 2009.
[25] KPK Beri Semangat Daerah , Harian Jawa Pos, edisi Kamis, 29 Januari 2009.
[26] Hamid Chalid, “Pemberantasan Korupsi antara Popularitas dan Strategi”, www.transparansi.or.id, Diakses Tanggal 31 Januari 2009
[27] Enam agenda reformasi 1998 yang menjadi tuntutan massa rakyat waktu itu adalah “pencabutan dwifungsi TNI/Polri, penegakan supremasi hukum, pemberantas kolusi, korupsi dan nepotisme, pemberian otonomi daerah, pembangunan budaya demokrasi yang egaliter dan amandemen konstitusi." Lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/05/21/brk,20040521-12,id.html. Diakses tgl 17 Nopember 2008.
[28] “Peran Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi”, http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTM4NTg=, diakses tgl 04 Pebruari 2009.
[29] Sebagaimana dikutip oleh Islah Gusmian, Pantat Bangsaku: Melawan Lupa di Negeri Para Tersangka, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hlm. 252.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar