KONTROVERSI JILBAB DALAM PERSPEKTIF QURAISH SHIHAB

Admin Thursday, December 16, 2010
Oleh : Moh. Thohir, S.Sos.I

A. Pendahuluan
Ada banyak kontroversi mengenai jilbab dalam Islam. Sementara sebagian orang mu’min menganggapnya sebagai perintah Allah yang diberikan lewat Al Qur’an, sebagian lainnya, baik muslim maupun non muslim menganggapnya sebagai praktek yang menggelikan jika memang bukan praktek yang tidak beradap. Banyak muslim juga mengatakan bahwa apapun justifikasi burdah (jilbab) di masa lalu, di era modern ini tidak mempunyai relevansi sama sekali. Muslim ortodoks, khususnya ulama, di lain sisi, menganggap jilbab bagi perempuan itu benar-benar wajib dan memaksanya dengan segala kekakuan yang biasa mereka lakukan. Hal itu bisa dilihat seperti di Arab Saudi dimana hukuman berat bisa ditimpakan kepada perempuan jika keluar tanpa jilbab.
Pemakaian jilbab dalam arti pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan tangannya yang pernah mengendor dalam banyak masyarakat Islam sejak akhir abad XIX, kembali marak sekitar dua puluhan tahun terakhir ini dan kelihatannya dari hari ke hari semakin banyak peminatnya. Persoalan tersebut semakin marak dan terangkat ke dunia Internasional setelah pemerintahan Perancis melarang penggunaan simbol-simbol agama di sekolah-sekolah Perancis, dan salah satu diantaranya yang mereka nilai sebagai simbol agama adalah jilbab.
Pro kontra tentang kebijakan itu lahir bukan saja di Perancis, tetapi juga di belahan dunia. Salah satunya di Mesir yang dipicu oleh pendapat Sayyid Muhammad Thanthawi, Pimpinan Al-Azhar yang dikecam sangat pedas oleh banyak kalangan kaum muslimin akibat pandangannya yang menyatakan bahwa pemerintahan Perancis bebas mengambil kebijakan sesuai dengan apa yang dianggapnya baik, kendati, kendati berjilbab merupakan kewajiban bagi kaum muslimah. Di sisi lain, yang mengecam Pemerintahan Perancis berkaitan dengan kebijakan itu , bukan saja kaum muslimin yang berpendapat bahwa jilbab adalah kewajiban agama, tetapi mereka juga yang menilainya wajib, bahkan dari kalangan non muslim, antara lain dengan alasan bahwa kebijakan itu melanggar HAM.
Ada beberapa faktor yang diduga sebagai pendorong maraknya pemakaian jilbab antara lain , Pertama, faktor ekonomi. Dengan mahalnya salon-salon dan alat-alat kecantikan menjadikan sementara perempuan memilih jalan pintas dengan mengenakan jilbab. Kedua, sebagai bentuk sikap penentangan terhadap dunia barat yang seringkai menggunakan standar ganda sambil melecehkan umat Islam, termasuk hal jilbab. Ketiga, jilbab dianggap sebagai simbol identitas muslimah untuk membedakan dengan non muslim.
Maraknya pemakaian jilbab memang masih menjadi sebuah kontroversi di kalangan umat Islam sendiri, termasuk juga di Indonesia. Kontroversi ini dilatarbelakangi perbedaan pendapat dalam memahami teks-teks Al-Qur'an dan Hadis Nabi berkaitan dengan jilbab. Maka dalam makalah ini penulis mengangkat isu kontroversi jilbab dalam perspektif Quraisy Shihab, sebagai salah satu jawaban, walaupun wacana ini masih perlu diperdebatkan.
B. Profil Muhammad Quraish Shihab
Sosok Quraish Shihab dikenal sebagai seorang ulama, dan cendikiawan muslim Indonesia yang dikenal ahli dalam bidang tafsir Al Qur'an. Beliau lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Pebruari 1944. Ayahnya bernama Prof. KH. Abdurrahman Shihab, seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir juga.
Quraish Shihab memulai pendidikan formalnya dari Sekolah Dasar di Ujung Pandang, kemudian melanjutkan ke SLTP di Malang, sambil nyantri di Pondok Pesantren Darul Hadis Al Falaqiyah di kota yang sama. Setelah itu ia dikirim oleh ayahnya ke Al-Azhar Kairo pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua Tsanawiyah. Kemudian ia melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir & Hadits. Pada tahun 1967, ia meraih meraih gelar Lc (S1), dua tahun kemudian (1969), ia berhasil meraih gelar MA. pada jurusan yang sama dengan tesis Al I’jaz al-Tasyri’ li Al Qur’an Al karim. Dan gelar doktor dalam bidang tafsir baru ia selesaikan tahun 1983.
Sekembalinya ke Indonesia, ia mengabdi di tempat tugasnya semula IAIN Alaudin, kemudian pada tahun 1984 ia ditarik ke Jakarta sebagi dosen pada fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Selain itu, di luar kampus, ia juga dipercaya menduduki berbagai jabatan, diantaranya sebagai Ketua MUI pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashih Al Qur'an Depag (sejak 1989), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (Sejak 1989), pengurus perhimpunan ilmu-ilmu Syariah, pengurus konsorsium ilmu-ilmu Agama Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan dan asisten Ketua Umum ICMI, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN), Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII tahun 1998, Duta Besar Indonesia untuk Mesir serta jabatan-jabatan yang lain.
Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis cukup produktif, banyak karya yang telah ia terbitkan. Antara lain ; Membumikan Al Qur'an ; Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat (Bandung : Mizan, 1992), Wawasan Al-Qur'an ; Tafsir Maudhui Atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung : Mizan, 1992), Fatwa-Fatwa Quraish Shihab ; Seputar Al Qur'an dan Hadist (Bandung : Mizan, 1999), dan termasuk Tafsir Al Misbah ; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur'an (Jakarta : Lentera Hati, 2006), sebuah karya tafsir monumental dari salah seorang mufassir Indonesia yang menjadi kajian dalam makalah ini.

C. Asal Usul Jilbab
Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi pada permulaan tahun 1980 an lebih popular dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.
Jilbab dalam arti menutup kepala tidak hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa Negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, Pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di turki, hijab di beberapa Negara Arab-Afrika seperti Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke 4 H.
Terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep hijab bukanlah milik Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijab seperti tif'rit. Demikian pula dalam kitab injil yang merupakan kitab suci agama Nashrani juga ditemuakan istilah semakna. Misalnya istilah zammah., re'alah, zaif dan mitpahan.
Latar belakang penggunaan jilbab, kerudung, atau hijab pada setiap agama berbeda-beda. Tradisi penggunaan hijab dalam agamanya Yahudi contohnya berawal dari dosa asal. Yaitu dosa hawa yang menggoda suaminya adam. Dosa itu adalah membujuk Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, hawa beserta kaumnya mendapat kutukan untuk memakai hijab. Hal ini telah dijelaskan dalam Al Qur'an (Qs. Thaha, 20:121). Sedangkan dalam Islam, latar belakang penggunaan jilbab didasarkan pada pemahaman ayat-ayat Al-Qur'an (QS. Al Ahzab 33: 59 dan An Nur 24 : 31) yang melahirkan multitafsir di kalangan umat Islam.

D. Jilbab dalam Tinjauan Al Qur’an dan Hadis
Sebelum menguraikan panjang lebar seputar kontroversi jilbab dalam pandangan Quraish Shihab, penulis di sini akan uraikan sekilas tentang ayat-ayat Al Qur'an dan hadis Nabi yang menjadi landasan dalam penafsiran wajib tidaknya pemakaian jilbab bagi kaum muslimah yang berangkat dari teks-teks kitab suci. Ayat-ayat yang menjadi landasanan untuk berjilbab yaitu :
1. Al Ahzhab, ayat : 53
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمً
Artinya : " ….. Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kami menyakiti hati Rasulullah dan tidak pula mengawini istri-istrinya selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan adalah amat besar (dosanya) disisi Allah..
Kandungan ayat di sini berisi dua tuntutan pokok : Pertama, menyangkut etika yang patut diperhatikan kaum mukmin bila diundang menghadiri resepsi atau perjamuan yang diselenggarakan Nabi. Kedua, anjuran perlunya meletakkan hijab atau tirai, antara istri Nabi dengan kaum mukmin umumnya. Menyangkut hijab, ada sebuah riwayat bahwa ayat hijab ini turun karena usulan dari Umar ra. kepada Nabi agar ummahat mu'minin memasang hijab. Ketiga, larangan mengawini bekas istri-istri Nabi setelah setelah beliau wafat.
Menyangkut produk hukum pertama, konteks turunnya ayat tersebut dapat diceritakan sebagai berikut. Konon, ketika Nabi menikahi Zainab putri Jahsy (mantan istri Zaid putra Usamah, bekas anak angkat beliau). Karena kejadian itu, Allah menurunkan ayat ini, guna menasehati kaum mukmin agar tidak memasuki rumah Nabi ketika diundang dalam sebuah resepsi, kecuali setelah makanan matang, dan apabila telah selesai makan, hendaklah mereka segera pulang.
Konteks produk hukum kedua, yaitu perintah hijab yang khusus bagi istri-istri Rasul, berdasarkan masukan Umar ra. kepada Nabi, agar memasang hijab ketika istri-istri beliau sering didatangi banyak orang untuk berbagai keperluan. Oleh karena usulan Umar tersebut, maka ayat ini turun. Sebagian pendapat mengatakan, ketiga produk hukum diatas, turun bersamaan ketika resepsi pernikahan Nabi dengan Zainab berlangsung.
2. Surat Al Ahzab, ayat : 59
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya : "Hai Nabi! katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita orang-orang mu'min agar mereka mengulurkan atas diri mereka jilbab mereka. Itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu,. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ".
Kandungan ayat. Sebelumnya turunnya aayat ini, cara berpakaian wanita merdeka dan budak yang baik-baik atau yang kurang sopan hampir dikatakan sama. Karena itu, lelaki usil seringkali mengganggu wanita-wanita, khususnya yang mereka ketahui atau diduga sebagai hamba sahaya. Untuk menghindar dari gangguan tersebut serta menampakkan keterhormatan wanita muslimah, ayat diatas turun.
Konteks sejarah turunnya ayat ini berkenaan dengan tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa melakukan tabazzul, bersenang-senang. Mereka membiarkan muka mereka terbuka sebagaimana hamba sahaya perempuan, dan oleh kondisi tertentu, mereka terpaksa membuang hajat di padang pasir yang kadang-kang mendapat gangguan dari laki-laki usil yang menganggap mereka hamba sahaya. Akhirnya mereka melapor kepada Nabi, maka turunlah ayat ini untuk membedakan antara perempuan mukminah dan hamba sahaya. Tanda pembedaan itu dilakukan dengan memanjangkan pakaian sehingga mereka mudah dikenal.



3. Surat An- Nur, Ayat : 30-31
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَوَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْن بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون َ
Artinya : " Katakanlah kepada pria-pria mukmin : " hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. " Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah : " Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali yang nampak darinya dan hendaklah mereka menutup kain kerudung mereka ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali pada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau, atau putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat-aurat wanita dan janganlah mereka menghentakkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang mu'min, supaya kamu beruntung.
Kandungan ayat. Ayat ini mengandung anjuran kepada laki-laki muslim agar bisa menjaga pandangan mata agar terhindar dari berbuat maksiat dan juga anjuran kepada wanita-wanita muslimah agar menutup aurat. Turunnya ayat ini berkaitan dengan keberadaan wanita Yahudi, hamba sahaya dan wanita-wanita arab yang belum memeluk Islam yang tidak memakai jilbab/penutup wajah atau badan, maka dalam konteks inilah diperintahkan menutup aurat, untuk menjaga kesucian dan kehormatan.
Secara histories, ayat ini turun dalam kondisi dimana kaum perempuan di zaman Nabi sudah mempunyai tradisi menutup kepala mereka dengan khimar, yaitu tradisi menjambaikan kerudung ke bagian punggung, sementara, bagian sebelah atas dada dan leher tidak tertutup. Ayat ini lantas menganjurkan perempuan mukminah untuk meralat tradisi itu dengan menjumbaikan kerudung (justru) ke bagian dada. Atas anjuran itu, mereka menjumbaikan kerudung ke bagian dada agar tertutup.
Disamping itu, ada dua hadis yang biasa digunakan sebagai landasan kewajiban atas perempuan untuk menutup kepala dengan berjilbab. Hadis tersebut yaitu :
1. Hadis Pertama
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا يحل لإمرأة تؤمن بالله واليوم الأخر
إذا عركت أن تظهر إلا وجهها ويديها إلى ههنا (وقبض نصف الذراع)
Artinya : Nabi Saw bersabda, “ Tidak halal bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari kemudian dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajahnya dan tangannya sampai disini (lalu beliau memegang setengah tangan beliau).” Hadis tersebut diriwawatkan oleh Aisyah, istri Nabi.
2. Hadis kedua
عن عائشة رضي الله عنها : أن اسماء بنت أبى بكر دخلت على رسول الله (ص) وعليها ثياب رقاق, فأعرض عنها رسول الله (ص) وقال: يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيضة لم يصلح أن يري منها إلا هذا وهذا (وأشار الى وجهه وكفيه)
Artimya : Aisyah ra. berkata : bahwa Asma’ putri Abu baker ra. datang menemui Rasulullah saw. Dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah berpaling enggan melihatnya dan bersabda: “ Hai Asma’ sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan beliau). (HR. Abu Daud dan Al Baihaqi).
Kedua hadis diatas adalah hadis yang statusnya ahad, bukan hadis mutawatir, yakni hadis yang diakui dan diriwayatkan secara kolektif. Dalam apresiasi yang tepat, hadis ahad hanya dapat diterima sebagai hadis pembanding, yang tidak berhak dijadikan landasan ada atau tidak adanya suatu hukum syariat. Si sisi lain, meski hadis tersebut bersumber dari satu riwayat pokok (dari Aisyah, istri Nabi), tapi diantara kedua hadis tersebut terlihat adanya kontradiksi. Hadis pertama mengatakan bahwa Nabi menggenggam setengah lengannya ketika menyabdakan hadisnya. Artinya bahwa organ tubuh yang boleh dilihat dari perempuan adalah wajah dan setengah lengan (tentu termasuk dua telapak tangan). Sementara hadis kedua, hanya membolehkan terlihatnya muka dan telapak tangan saja (tidak termasuk setengah lengan). Lebih dari itu hadis pertama menggunakan kata halal haram (la yahillu, tidak halal), sementara hadis kedua menggunakan kata boleh-tidak boleh (la yashluh, tidak boleh).
E. Kontroversi Jilbab Dalam Perspektif Quraish Shihab
Menurut Quraisy Shihab dalam konteks hukum jilbab, memang telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, kendati semuanya menjadikan Al Qur'an dan Hadist sebagai rujukan. hal itu terjadi dikarenakan beberapa faktor yaitu ; Pertama, adanya kosa kata yang digunakan dalam beberapa ayat mengandung dua makna atau lebih. Kedua, Adanya pemahaman terhadap ayat secara tekstual dan kontekstual. Ketiga, Adanya perbedaan periwayatan antara yang satu dengan yang lain. Keempat. Adanya perbedaan dalam kaedah-kaedah ushul fiqih yang digunakan oleh masing-masing ulama.
Menurut Quraish Shihab sendiri, adanya kontroversi jilbab di kalangan masyarakat Islam sebenarnya berangkat dari perbedaan pandangan dan pemahaman mereka tentang makna dan hakekat jilbab serta batasan aurat wanita antara seluruh badan atau sebatas muka dan telapak tangan. Disamping itu, adanya beberapa ayat-ayat Al Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita yang masih mengandung aneka interpretasi, dan beberapa hadis yang merupakan rujukan utama dan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, tidak meyakinkan pihak lain, baik karena dinilai lemah oleh kelompok yang menolaknya atau diberi interpretasi yang berbeda.
Dalam Pandangan Quraish Shihab, Kata jilbab bentuk jamak dari jalabib berarti pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang selalu dipakai, yang dalam bahasa Al-Qur'an disebut juga hijab mempunyai arti sesuatu yang menghalangi. Seseorang yang menghalangi orang lain sehingga tidak dapat bertemu dengan siapa yang diinginkannya untuk dia temui, dinamai hajib. Kata ini juga berarti penutup atau tabir. Dalam perkembangan lebih jauh wanita yang menutupi diri atau seluruh badannnya dengan pakaian, dinamai mutahajjibah. Jadi hijab disini berkaitan erat dengan batasan-batan menutup aurat (bagian anggota badan).
Mengenai batasan aurat wanita, menurut Quraisy Shihab ada dua kelompok besar ulama masa lampau. Yang pertama menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat. Sedangkan kelompok kedua mengecualikan wajah dan telapak tangan. Perbedaan pendapat para ulama masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang keshahihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas-batas aurat wanita dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanni yakni dugaan. Seandainya ada hukum yang pasti yang bersumber dari Al-Qur'an atau As-Sunnah , tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula akan menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-batas itu.
Menurut Quraisy Shihab, perbedaan para pakar hukum tersebut adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah jilbab yang berkaitan erat dengan aurat wanita merupakan masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan.
Quraisy shihab mengakui bahwa kebanyakan ulama masa lampau bahkan hingga kini, cenderung berpendapat bahwa aurat wanita mencakup seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Akan tetapi, harus pula diakui bahwa ada pendapat lain yang lebih longgar memaknai batasan aurat wanita, terbukti banyak keluarga ulama yang tidak memakai jilbab. Karena perintah jilbab atau menutup aurat baginya masih bersifat khilafiyah.
Mengenai perintah jilbab atau hijab, Quraish shihab mengutip pandangan beberapa ulama. Ulama yang berpendapat bahwa hijab berlaku untuk umum, dengan alasan 1). Bahwa kenyataan bahwa pada masa Nabi bukan hanya istri-istri beliau tetapi wanita-wanita muslimah memakai hijab. 2). Adanya larangan memasuki rumah Nabi, tanpa izin, bukannya berarti larangan itu tertuju hanya buat rumah Nabi, tetapi juga buat rumah semua orang. Ini berarti perintah menggunakan hijab itu, walaupun secara redaksional tertuju kepada istri-istri Nabi, namun juga mencakup semua wanita muslimah. 3). Fir'man Allah " … itu lebih suci bagi hati kamu dan hati mereka". Kesucian hati di sini tidak hanya bagi istri-istri nabi tapi juga bagi semua wanita muslimah.
Berkaitan dengan hal pakaian termasuk jilbab , menurut Quraisy Shihab ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar pakaian tersebut tidak dinilai bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yaitu : Pertama, hendaklah tidak bertabarruj, artinya tidak boleh memakai sesuatu yang tidak wajar alias berlebih-lebihan. Kedua, hendaknya tidak mengundang perhatian yang menumbuhkan gaerah syahwat. Ketiga, hendaklah tidak memakai pakaian yang transparan. Keempat, hendaklah tidak memakai pakaian yang menyerupai jenis kelamin lawan jenis.
Bagi Qurais Shihab, wanita yang menutup seluruh badannya atau kecuali wajah dan telapak tangannya, telah menjalankan bunyi teks ayat-ayat Al Qur’an bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama baginya tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai jilbab atau yang menampakkan setengah tangannya, bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama. Bukankah Al Qur’an tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat. Namun bagi Quraish Shihab kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakaian lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian juga pakaian batin, apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia sebagai hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik buat manusia.
Mengenai kontroversi jilbab antara wajib dan tidaknya, nampaknya Quraisy Shihab memandang hal itu masih khilafiyah, tetapi ia menyatakan perlunya kehati-hatian dalam melaksanakan tuntunan agama, dan ia mengajak setiap muslim dan muslimah dengan menganjurkan pemakaian jilbab sesuai dengan pendapat mayoritas ulama, apalagi pemakaian tidak terhalangi untuk melakukan aneka aktivitas positif baik di dalam atau diluar rumah, baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, bangsa dan masyarakat luas.
Sosok Quraish Shihab termasuk tokoh tafsir moderat, penulis Muslim Indonesia yang tetap memelihara tradisi Islam Sunni, dimana secara konsisten ia selalu bersandar pada sumber tradisi tersebut, yakni Al Qur’an, Sunnah Nabi, dan karya-karya para ulama dari sepanjang sejarah Islam. Hal itu dapat dibaca dari sikap beliau mengenai kontroversi jilbab khususnya dalam kontaks keindonesiaan.

F. Penutup
Dari penjelasan di atas tentang kontroversi jilbab dalam perspektif Quraisy Shihab dapatlah penulis ambil beberapa poin kesimpulan yaitu :
1. Bahwa istilah jilbab secara umum diidentikkan dengan identitas wanita muslimah termasuk di Indonesia, dan nama jilbab memiliki bermacam nama sesuai dengan konteks negara yang menamainya.
2. Adanya kontroversi jilbab apakah wajib atau tidak bagi setiap wanita muslimah sebenarnya berangkat dari perbedaan pendapat dalam memahami batasan aurat wanita dan makna tersirat dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi yang menimbulkan multitafsir dikalangan ulama.
3. Mengenai kontroversi jilbab, nampaknya Quraisy Shihab memandang hal itu masih khilafiyah, tetapi ia menyatakan perlunya kehati-hatian dalam melaksanakan tuntunan agama, untuk itu beliau menganjurkan setiap muslim dan muslimah untuk pemakaian jilbab sesuai dengan pendapat mayoritas ulama, demi menjaga keselamatan hidup dan kehormatan diri.
4. Quraish Shihab sebagai salah seorang tokoh tafsir terkemuka Indonesia saat ini dalam penafsiran ayat-ayat Al Qur’an terutama berkaitan dengan masalah jilbab lebih banyak memberikan diskripsi pandangan para ulama dan tokoh tertentu dan tidak memberikan pendapat tegas mengenai hal tersebut. Bagi penulis barangkali hal itu merupakan bentuk sikap beliau yang berusaha memaparkan secara komprehensip tentang pandangan wajib tidaknya jilbab berdasarkan tinjauan teks-teks kitab suci. Di sisi lain beliau berupaya mengkontekstualkan masalah jilbab dalam konteks Indonesia yang mayoritas beragama Islam dengan tetap menganjurkan berjilbab sebagai bentuk kehati-hatian dan mencari mashlahat yang lebih besar bagi umat Islam, walaupun masalah jilbab masih menjadi kontroversi di kalangan ulama akibat perbedaan pemahaman yang melahirkan multitafsir dalam memahami teks Al Qur’an dan Hadis Nabi.
5. Sosok Quraish Shihab termasuk seorang mufassir moderat, penulis Muslim Indonesia yang tetap memelihara tradisi Islam Sunni, dimana secara konsisten ia selalu bersandar pada sumber tradisi tersebut, yakni Al Qur’an, Sunnah Nabi, dan karya-karya para ulama dari sepanjang sejarah Islam. Termasuk sikap beliau mengenai kontroversi jilbab yang berusaha mengkontekstualkan dengan masyarakat Indonesia yang pluralis.
Demikian uraian singkat dari penulis berkaitan dengan kontroversi jilbab dalam perspektif Quraish Shihab, kurang lebihnya mohon maaf dan atas saran dan masukan dalam penyempurnaan makalah ini, penulis ucapkan terima kasih.
.






DAFTAR REFERENSI
- Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta:Depag, 1971. - Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan,1994.
- Abbas Mahmud Al Akkad, terj. Chadijah Nasution, Wanita Dalam Al Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
- Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki Transformasi Al Qur’an Perempuan dan Masyarakat Modern, Jogjakarta: IRCiSoD,2003.
- Howard M. Federspiel, Kajian Al Qur’an di Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, Bandung : Mizan, 1996.
- Lutfi As Syaukani, Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jakarta : JIL, 2002.
- Said Al Asymawi, Kritik Atas Jilbab, Jakarta , JIL, 2003.
- Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, JogjakartaL LKiS, 2004
- Quraisy Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur'an,
Jakarta : Lentera Hati, 2006.
- ………., Membumikan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999).
- ………., Pandangan Ulama Masa Lalu & Kontemporer Jilbab Pakaian Muslimah, Jakarta : Lentera Hati, 2004


KONTROVERSI JILBAB
DALAM PERSPEKTIF QURAISH SHIHAB




loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 komentar

Write komentar
April 30, 2015 at 7:35 PM delete

informasi baru,,dan artikelnya bervmanfaat banget gan,,terimakasih

Reply
avatar
April 25, 2018 at 6:31 PM delete

semua muslimah wajib menggunakan hijab saat sudah baliq

Reply
avatar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar