Perjuangan bangsa-bangsa tertindas demi pembebasan nasional, masih merupakan persoalan yang hangat di dunia saat ini. Banyak sudah bangsa-bangsa yang telah memperoleh hak untuk menentukan nasib sendiri. Namun, di samping kemerdekaan formal, mereka masih menjadi korban penindasan modal internasional dan bank-bank imperialis. Perjuangan pembebasan nasional telah bergeser secara besar-besaran kepada tuntutan penolakan terhadap dominasi dan pendiktean Bank Dunia dan IMF, penolakan terhadap rancangan penghematan yang disusun oleh oleh lembaga-lembaga yang dikontrol oleh imperialis, dan tuntutan untuk penghapusan hutang luar negeri. Hasilnya, gerakan buruh dan gerakan sosialis lebih memperoleh tempat sentral pada perjuangan pembebasan nasional daripada sebelumnya.
Karena perjuangan pembebasan nasional masih penting, kaum sosialis perlu mengerti persoalan nasional jika mereka ingin dapat mengerti dunia, menyiapkan kepemimpinan dan secara tepat menentukan sikap dan respon terhadap berbagai peristiwa-peristiwa internasional.
image / pixabay.com |
Leon Trotsky, seorang pemimpin Revolusi Rusia, pernah menjelaskan perjuangan nasional sebagai "salah satu bentuk perjuangan kelas yang paling berliku-liku dan kompleks, tapi sekaligus sangat penting ."
Pengenalan budaya bahwa perjuangan nasional bangkit dari, dan refleksi, perjuangan kelas yang dipimpin gerakan Marxis, dimulai oleh Marx dan Engels, hingga ke pengembangan yang paling cermat dan konsisten teori persoalan nasional.
MARX dan ENGELS
Marx dan Engels sendiri memperkenalkan pilar hakiki dari teori Marxis tentang persoalan nasional dalam tulisan-tulisannya, walaupun uraian rinci dan pengembangan teorinya kemudian dilakukan oleh Lenin dan Kaum Bolshevik.
Dalam Manifesto Partai Komunis, yang ditulis pada akhir tahun 1847, Marx dan Engels menjelaskan munculnya bangsa-bangsa sebagai hasil dari perjuangan kelas, khususnya upaya kelas kapitalis dalam menumbangkan lembaga-lembaga kelas penguasa sebelumnya dan membangun kondisi ekonomi, politik dan sosial yang menguntungkan bagi kebutuhan-kebutuhan kelasnya. Sebelum kapitalisme, tidak ada yang namanya bangsa.
Inilah bagaimana Marx dan Engels mengungkapkannya:
Kaum Borjuasi, di manapun mereka mendapat posisi yang menguntungkan, telah mengakhiri seluruh hubungan-hubungan yang feodal, patriarkal, dan tidak berguna. Ia dengan kejam menyobek hingga luluh hubungan feodal yang mengikat manusia dengan "penguasa alamnya," dan tiada lagi ikatan yang tinggal antara manusia dengan kepentingannya yang telanjang, selain daripada "pembayaran tunai" yang tak berperasaan…
Kaum Borjuasi tidak dapat hadir tanpa secara terus-menerus merevolusionerkan alat-alat produksi, dan dengan merevolusionerkan hubungan-hubungan produksi, dan bersamanya merevolusionerkan seluruh hubungan dalam masyarakat…
Kaum borjuasi… telah mengumpulkan seluruh populasi, memusatkan alat-alat produksi dan telah memusatkan kepemilikan ke dalam beberapa tangan. Akibat yang sewajarnya adalah pemusatan politik. Propinsi-propinsi yang independen, atau terhubung secara longgar, dengan kepentingan, hukum, pemerintahan dan sistem pajak yang terpisah, ditumpuk menjadi satu bangsa, dengan satu pemerintahan, satu kode hukum, satu kepentingan kelas nasional, satu batas wilayah, dan satu tarif cukai.1
Revolusi 1848-1849
Tulisan-tulisan awal Marx dan Engels, tentang persoalan nasional - seperti dalam Manifesto - dilatarbelakangi keterlibatan aktif mereka dalam revolusi demokratik yang menyapu seluruh Eropa dalam 1848-1849.
Pada bulan Februari 1848, rakyat Perancis menumbangkan raja mereka dan mendirikan sebuah Republik. Dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa di Perancis, sebuah pergolakan pecah di Vienna, ibukota Kekaisaran Austria, pada tanggal 13 Maret. Tanggal 18 Maret, di Berlin, ibukota Prusia, juga terjadi pemberontakan. Kekaisaran Austria dipaksa menjanjikan konstitusi. Pemerintahan oposisi kapitalis mengambil alih kekuasaan di Prusia. Rakyat Vienna dan Berlin kemudian makin mengentalkan gerakan revolusioner di negara-negara Jerman lain juga.
Di Italia, juga dalam bulan Maret, rakyat Milan berhasil mengalahkan tentara Austria. Massa rakyat Venice, Piedmont dan Roma bangki dalam pemberontakan juga.
Akhir dari revolusi 1848-1849, terletak pada pertentangan yang semakin menajam antara kapitalisme yang sedang bangkit dengan tatanan sosial feodal yang masih bertahan di sebagian besar Eropa Tengah dan Timur. Wakil-wakil yang paling perkasa dari tatanan lama adalah kekaisaran Austria di Habsburg, Prusia, dan di belakangnya, otokrasi Rusia.
Tujuan utama dari revolusi adalah menumbangkan monarki absolut, menghapuskan feodalisme, mengusir kekuasaan asing dan menyatukan negara-negara-bangsa dimana kelas kapitalis berkuasa.
Pada saat itu, Marx dan Engels percaya bahwa borjuasi secara historis memainkan peran progresif dengan menyapu bersih feodalisme, di samping ada kecenderungan nyata kompromi dengan tatanan lama karena ketakutan akan tumbuhnya kekuatan kelas buruh yang merupakan kawan aliansinya dalam perjuangan anti feodal.
Marx dan Engels menekankan, bahwa kelas buruh juga memainkan peran dalam penumbangan tatanan lama, dan dalam mengeraskan hati kaum borjuasi. Penyebabnya adalah, Manifesto Komunis dengan tegas menekankan: "Kaum Komunis berjuang demi tercapainya tujuan-tujuan mendesak bagi pelaksanakan kepentingan sementara kelas buruh; tetapi dalam gerakan jangka dekat ini, mereka juga mewakili dan menjaga masa depan gerakan tersebut."2
Merujuk pada gerakan di Jerman saat itu, Marx dan Engels menjelaskan, bahwa ini berarti kelas buruh harus "berjuang (bersama) dengan borjuasi kapanpun mereka bekerja dengan cara-cara revolusioner dalam melawan monarki absolut, sisa-sisa feodal, dan borjuasi kecil."3
Penyatuan Jerman, yang terbelah secara politik dan ekonomi, adalah persoalan dasar revolusi. Adalah kepentingan kelas buruh untuk menjadi pendukung borjuasi yang paling militan pada tahap ini, karena ia akan membawa ke dalam kondisi-kondisi yang membuat tugas revolusi sosialis lebih mudah:
Dalam proporsi di mana kaum borjuasi – yaitu sebagai modal – berkembang, dalam proporsi itu juga proletariat, kelas buruh modern, turut berkembang – sebagai suatu kelas para pekerja, yang hidup hanya sepanjang mereka dapat menemukan pekerjaan, dan yang menemukan pekerjaan hanya jika kerja itu melipatgandakan modal.
Namun dengan perkembangan industri, kaum proletariat bukan saja bertambah jumlahnya; mereka juga menjadi semakin terkonsentrasi dalam kumpulan massa yang besar, kekuatannya bertumbuh, dan mereka semakin merasakan kekuatan itu… Tumburan antara pekerja secara individu dengan majikan secara individu semakin mengambil watak tumburan antara dua kelas…
Kemajuan industri, di mana kaum borjuasi tanpa sengaja menjadi promotornya, menggantikan isolasi kaum pekerja… Karena itu, apa yang terutama diciptakan oleh kaum borjuasi, adalah lubang kuburnya sendiri. Keruntuhan mereka dan kemenangan proletariat, keduanya sama-sama tak terelakkan.4
Pembebasan Nasional
Marx dan Engels menganggap, bahwa revolusi 1848 adalah revolusi borjuis demokratik dan perjuangan pembebasan nasional. Perjuangan utama berpusat pada perjuangan kelas kapitalis Jerman untuk mengambil kendali atas berbagai wilayah kepangeranan Jerman yang ada di bawah kekuasaan Kekaisaran Eropa Tengah, monarki Habsburg Austria, dan menciptakan negara Jerman bersatu. Kekaisaran Habsburg terancam oleh pecahnya gerakan separatis revolusioner di garis depan Italia dan Hungaria.
Kemerdekaan bagi Polandia adalah tuntutan utama Marx dan Engels dan kaum demokrat termaju lainnya. Polandia adalah sekat antara Prusia, Austria dan Rusia sejak tahun 1795. Tentara Kaisar menghancurkan revolusi di sana pada tahun 1830. Orang-orang Polandia di distrik independen Krakow, bangkit kembali tahun 1846, dan sebuah pemerintahan radikal memproklamirkan penghapusan hak-hak feodal dan pembagian tanah. Krakow direbut dan dicaplok kembali oleh Austria.
Marx dan Engels berjuang melawan lingkaran-lingkaran chauvinis dalam borjuasi Jerman yang kemudian berupaya mengklaim sebagian Polandia yang secara formal dikontrol oleh Prusia. Posisi mereka atas Polandia didasarkan pada anggapan mereka bahwa ada bangsa-bangsa penindas dan tertindas, dan bangsa tertindas harus diberikan hak untuk menentukan nasibnya sendiri untuk memperkuat perjuangan melawan reaksi.
Dalam pidatonya di London, bulan November 1847 – sebelum pecah revolusi – untuk memperingati Revolusi Polandia tahun 1830, Engels meminta ijin untuk berbicara sebagai orang Jerman. Ia kemudian melanjutkan:
Kita orang Jerman memiliki kepentingan khusus dalam pembebasan nasional Polandia. Pangeran-pangeran Jerman telah mendapatkan keuntungan dari pembagian Polandia dan tentara Jerman masih menindas Galicia dan Posen (bagian Polandia). Harus menjadi perhatian kita, orang Jerman, terutama, orang demokrat Jerman untuk menghapuskan noda dari bangsa kita. Sebuah bangsa tidak dapat bebas dan pada saat yang sama terus-menerus menindas bangsa-bangsa lain. Jadi, Jerman tidak dapat dibebaskan tanpa pembebasan Polandia dari penindasan Jerman. Dan untuk tujuan ini, Polandia dan Jerman harus memiliki kepentingan yang sama, untuk tujuan ini, kaum demokrat Jerman dan Polandia harus dapat bekerja bersama bagi pembebasan kedua bangsa.5
Walaupun Marx dan Engels dalam tahun 1848-1849 mengakui adanya bangsa penindas dan tertindas dan mendukung hak bangsa tertindas untuk menentukan nasibnya sendiri, dan yang paling konkret adalah Polandia, dukungan mereka bukan didasarkan pada gagasan-gagasan abstrak tentang keadilan universal. Dukungan mereka didasarkan pada analisa sejarah konkret terhadap setiap gerakan nasional pada saat itu dan peran apa yang dimainkan tiap gerakan itu dalam pertarungan hidup-mati yang terjadi antara dua kelompok kelas utama.
Bangsa-Bangsa dan Sejarah
Dalam pengantarnya untuk tulisan-tulisan Marx yang diterbitkan oleh Penguin Books, Revolusi 1848, David Fernbach menuduh Marx dan Engels – terutama Engels – sebagai mengidap "chauvinisme bangsa-besar". Tuduhannya didasarkan pada "kesalahan perhitungan bahwa sebagian kecil orang Eropa dihukum oleh logika sejarah, dan kehilangan otonominya tidak terelakkan."
Benarkah demikian? Marx dan Engels mendukung perjuangan nasional rakyat Jerman, Italia, Polandiadan Hungaria – apa yang dinamakan "bangsa-bangsa besar dalam sejarah" – karena bangsa-bangsa tersebut telah berkembang mencapai tahap di mana perjuangan mereka untuk persatuan nasional dan kemerdekaan dari kekuatan-kekuatan reaksioner dapat hidup dan progresif secara politik. Kemenangan mereka akan mempercepat kehancuran feodalisme dan mempercepat kelahiran kapitalisme.
Bangsa-bangsa, sebagaimana yang digambarkan oleh Marx dan Engels dalam Manifesto, terbentuk sebagai hasil dari proses internal yang tidak dapat sekedar diangankan. Dari berbagai rakyat yang terlibat dalam revolusi 1848, hanya orang-orang Jerman, Italia, Polandia dan Hungaria yang telah menyempurnakan proses internalnya.
Engels menekankan karakter dari proses tersebut dalam pidatonya tahun 1848 pada peringatan pergolakan Kwakow 1846 :
Perjuangan akhir Polandia melawan penindas asing didahului dengan perjuangan yang tersembunyi, tidak terlihat namun menentukan di dalam Polandia sendiri: perjuangan dari bangsa Polandia yang tertindas melawan banga Polandia yang menindas, demokrasi Polandia melawan otokrasi Polandia… Bangsawan Polandia secara penuh tersekat dari rakyatnya dan jatuh ke pelukan para penindas negeri; rakyat Polandia dimenangkan ke dalam perjuangan demokrasi; dan akhirnya perjuangan kelas melawan kelas, yang merupakan penggerak utama dari kemajuan sosial, dan yang membangun Polandia seperti sekarang ini.6
Rakyat lain yang juga terlibat dalam revolusi yang belum sempat melewati tahap proses pembangunan bangsa, secara politik dan ekonomi terbelakang dan berpihak pada kontra-revolusi. Orang-orang tersebut dirujuk sebagai orang-orang Slavia Selatan. Mereka termasuk Orang-orang Ceko, Slovakia, Serbia, Croasia dan Bulgaria. Kekuatan-kekuatan reaksioner mempromosikan gerakan nasionalis-palsu, "Pan-Slavisme", untuk mengeksploitasi dan menipu kelompok etnis dan bahasa tersebut untuk menentang revolusi. Tanggapan Engels tentang gerakan tersebut, dan orang-orang anarkhis, seperti Bakunin, yang berupaya mencari komponen-komponen demokratik dalam gerakan tersebut, dilakukan dengan penuh semangat:
'Keadilan,' 'kemanusiaan,' 'kebebasan,' persaudaraan' dan 'kemerdekaan' – sejauh kita dapat temukan – sejauh ini kami tidak menemukan apapun dalam manifesto pan-Slavia selain hal-hal yang kurang-lebih etis ini, yang sungguh terdengar baik, tetapi tidak membuktikan apa-apa dalam persoalan-persoalan sejarah dan politik. "Keadilan", "kebebasan", dll, mungkin menuntut ini atau itu lebih dari seribu kali; tetapi jika sesuatu hal tidak mungkin ia tidak akan terjadi dan, apapun yang terjadi, akan tinggal sebagai "isapan jempol dalam sebuah mimpi."7
Pandangan Engels didasarkan pada alasan-alasan materialis yang ketat, bahwa berbagai rakyat di Slavia Selatan belum merupakan sebuah bangsa – tidak ditindas sebagai bangsa – dan karenanya tidak dapat menjalankan kemerdekaan penentuan nasib sendiri dari Prusia-Austria-Rusia.
Revolusi 1848 memaksa seluruh rakyat Eropa untuk mendeklarasikan diri apakah mereka melawan atau berpihak kepadanya. Dalam satu bulan semua orang yang siap untuk revolusi telah berdiri di pihak revolusi, dan mereka semua yang tidak siap telah menghambakan diri menentang revolusi. Pada saat itu soalnya adalah bagaimana mengatasi kebingungan rakyat Eropa Timur. Persoalannya, adalah bangsa mana yang akan mengambil inisiatif revolusioner, dan bangsa mana yang akan mengembangkan enegeri revolusioner yang terbesar dan, dengan demikian, menjaminkan masa depannya. Orang-orang Slavia diam saja, orang-orang Jerman dan Magyars (Hungaria), setia terhadap posisi sejarah mereka yang sebelumnya, mengambil kepemimpinan. Hasilnya,. Orang-orang Slavia ditelan oleh pihak kontra-revolusi.8
Penilaian Engels atas keabsahan tuntutan nasional dari berbagai gerakan bukan didasarkan pada "chauvinisme nasional umum", seperti yang dituduhkan Fernbach, tetapi pada analisa konkret sejarah dan kondisi politik 1848-1849.
Tetapi, benar bahwa Engels menganggap rendah kemungkinan bahwa berbagai orang Slavia – dan kelompok-kelompok lain seperti orang-orang Breton, Basque dan Scotlandia – dapat berkembang menjadi bangsa di masa depan (pada persoalan ini, ia tidak meramalkan periode panjang perkembangan kapitalisme). Tulisan dalam Nueu Rheinische Zeitung dalam tahun 1849, ia meremehkan orang-orang Slavia Selatan sebagai "bukanlah apa-apa melainkan sisa-sisa orang-orang (yang) selalu menjadi pendukung fanatik kontra-revolusi dan akan tetap demikian sampai kehancurannya atau kehilangan karakter nasionalnya."9
Dalam artikel lain, ia melanjutkan:
Selain dari bangsa Polandia, bangsa Rusia dan setidaknya Slavia -Turki, tidak ada orang Slavia yang memiliki masa depan, karena alasan sederhana bahwa semua Slavia lain lemah dalam kondisi sejarah, geografi, politik dan industri yang diperlukan bagi kemerdekaannya.10
Walaupun Engels mengakui adanya tendensi kapitalis menuju sentralisasi dan pembangunan negara-negara besar, ia menganggap remeh tendensi yang sebaliknya dari bangsa-bangsa kecil untuk melawan penindasan nasional dan untuk mendirikan negara sendiri – bahwa jalan untuk menyingkirkan batas-batas nasional mungkin pertama-tama harus dengan membiarkan batas-batas itu tumbuh sebanyak-banyaknya – sebuah fakta yang kemudian dibenarkan oleh Lenin.
Bahwa pengingkaran Engels terhadap kemungkinan perkembangan masa depan nasional dari orang-orang Slavia adalah prematur, seharusnya sudah terbaca melalui kebangkitan Orang-orang Ceko, yang melancarkan pergolakan demokratik di Praha pada pertengahan tahun 1848. Engels sendiri dalam Neue Rheinsche Zeitung melaporkan bahwa pergolakan itu adalah revolusi demokratik yang diarahkan bukan hanya melawan penindasan Austrias, tetapi juga melawan para penguasa feodal Ceko. Ketika tentara-tentara Austria membantai orang-orang Ceko, tidak mengherankan kalau mereka dihalau ke arah tentara Rusia. Revolusi demokratik bukan hanya kehilangan sekutu potensialnya, tetapi juga musuh-musuh utamanya menjadi semakin kuat.
Engels menggunakan peristiwa Praha untuk menjelaskan mengapa kaum revolusioner harus mendukung hak untuk menentukan nasib diri:
Sebuah bangsa yang sepanjang sejarahnya (Jerman) membiarkan dirinya dipakai sebagai alat penindasan terhadap bangsa lain, pertama-tama harus membuktikan dirinya benar-benar telah merevolusionerkan diri… Bangsa Jerman yang terevolusionerkan harus meninggalkan seluruh masa lalunya, terutama sejauh menyangkut kepentingan bangsa-bangsa tetangganya. Bersama dengan proklamasi kebebasannya, ia harus memproklamirkan pula kebebasan dari bangsa-bangsa yang ditindasnya.
Dan, apa yang telah dilakukan oleh Jerman revolusioner ini? Ia telah sepenuhnya mengabsahkan penindasan yang sudah berlangsung lama atas Italia, Polandia dan sekarang Bohemia juga, oleh tentara Jerman…Dan Jerman, setelah ini, menuntut agar orang-orang Ceko untuk mempercayai mereka?
Apakah kita dapat menyalahkan orang-orang Ceko karena mereka tidak ingin bergabung dengan negeri yang menindas dan memperlakukan negeri-negeri lain dengan buruk, sambil membebaskan dirinya sendiri?11
Persoalan Irlandia
Aspek utama lain dari persoalan penentuan nasib sendiri yang dinyatakan oleh Marx dan Engels, adalah potensi korupsi politik atas kelas buruh bangsa penindas. Hal ini secara rinci digambarkan oleh pandangan Marx, tentang persoalan Irlandia yang sedang berkembang pada masa itu.
Irlandia telah dijajah oleh Inggris sepanjang berabad-abad, dan sejak 1801 secara paksa dimasukkan dalam wilayah union Inggris. Marx pertama-tama percaya bahwa Irlandia akan bebas bukan oleh gerakan nasional dari rakyat Irlandia yang tertindas, tetapi oleh gerakan revolusioner kelas buruh Inggris.
Tetapi, gerakan buruh Inggris ternyata terjebak di bawah pengaruh borjuasi liberal untuk jangka waktu yang lama dan secara politik terlumpuhkan. Sementara itu, penghisapan keji atas Irlandia oleh Inggris telah merangsang tumbuhnya gerakan pembebasan nasional borjuasi di Irlandia yang mulai mewujud sebagai momentum-momentum revolusioner.
Dalam suratnya kepada Engels di tahun 1867, Marx berkomentar: "Sebelumnya saya menganggap pemisahan Irlandia dari Inggris sebagai sesuatu yang tak mungkin…. sekarang saya pikir itu tak terhindarkan, walaupun federasi mungkin akan menyusul pemisahan itu."12
Pada April 1870, Marx menjelaskan bagaimana kolonisasi Irlandia menghambat perkembangan kesadaran kelas buruh Inggris:
Seluruh pusat industri dan perdagangan telah memiliki sebuah kelas buruh yang terpecah menjadi dua kamp yang bermusuhan: Proletariat Inggris dan Proletariat Irlandia. Buruh biasa Inggris membenci buruh Irlandia karena ia melihatnya sebagai saingan yang menurunkan standar hidupnya. Dibandingkan dengan buruh Irlandia ia merasa dirinya sebagai anggota bangsa penguasa dan untuk alasan ini membuatnya menjadi sebuah alat aristokrasi dan kapitalis melawan Irlandia dan memperkuat dominasi mereka terhadap dirinya.
(Karena itu)….adalah dalam arahan dan kepentingan mutlak kelas buruh Inggris untuk menyingkirkan hubungan saat ini dengan Irlandia….Saya percaya ada kemungkinan untuk menggulingkan rezim Irlandia dengan jalan pengaruh kelas buruh Inggris….Sebuah studi yang lebih dalam telah membuat saya percaya sebaliknya. Kelas buruh Inggris tak akan pernah mencapai apapun sebelum ia menyingkirkan Irlandia.13
Marx dengan jelas memahami bahwa kelas buruh Inggris yang mendukung kolonisasi yang dilakukan kelas penguasanya bersekutu dengan kelas penguasa itu dan tidak dapat dengan semestinya melancarkan perjuangan melawannya. Demi mempertahankan kepentingannya, pertama-tama ia harus menarik garis tegas dengan kelas penguasa dan dengan aktif mendukung perjuangan bangsa-bangsa tertindas. Kelas buruh dari bangsa penindas harus mendukung hak-hak bangsa tertindas untuk menentukan masa depannya sendiri, bahkan sampai pada titik pemisahan politik.
LENIN
Di atas pondasi yang dibangun oleh Marx dan Engels, Lenin dan Kaum Bolshevik mengembangkan teori Marxis tentang persoalan kemerdekaan ini.
Teori Kaum Bolshevik dirumuskan dan diperjelas selama perdebatan di kalangan kaum kiri internasional dalam dekade pertama abad ke-20 dan diuji dalam praktek setelah Revolusi Rusia 1917. Kaum reformis, seperti Otto Bauer dari Austria, menentang hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa tertindas dan mengedepankan argumen yang menghilangkan basis material bagi persoalan nasional.
Bauer mereduksi syarat-syarat bagi suatu bangsa menjadi sekedar identifikasi secara sederhana sebagai anggota budaya nasional, sebuah bangsa tidak membutuhkan teritori, ekonomi atau struktur kelas tertentu. Teori non materialis tersebut, yang sesuai dengan kebutuhan reformis Austria, diciptakan untuk meredam tuntutan berbagai gerakan nasional dalam Kekaisaran Austro-Hungaria – dengan mengakui "otonomi budaya nasional" – tanpa memunculkan tuntutan yang tidak menyenangkan, seperti hak untuk menentukan nasibnya sendiri, yang mungkin akan mengancam integritas imperium dan rejim penindas, satu hal di mana monarki Habsburg reaksioner akan bersatu dengan kelas penguasa Austria dan Hungaria.
Posisi Lenin adalah sebaliknya, yang menganggap suatu bangsa sebagai yang berkaitan erat dengan teritori, ekonomi dan struktur kelas. Ia menolak mengkeramatkan batas-batas negara yang secara historis memisahkan bangsa-bangsa pada masa itu.
Teori Lenin dikemukakan dengan jelas dalam karya Stalin: The Marxism and National Question, yang ditulis dalam kerjasama erat dengan Lenin dan menjelaskan argumen pihak Leninis dalam perdebatannya dengan kaum reformis. Definisi Leninis tentang sebuah bangsa diringkas sebagai "komunitas orang yang stabil dan terbentuk secara historis, dibentuk berdasarkan persamaan bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi dan kedok psikologis yang terwujud dalam satu budaya yang sama."
Kunci atas posisi Leninis, yang mengidentifikasikan sebuah bangsa melalui formasi dan keberadaan kondisi material obyektifnya, merupakan sebuah solusi terhadap persoalan nasional yang terletak dalam perubahan kondisi material tersebut.
Marxisme – yang dipandu oleh pandangan materialistik atas sejarah – meyakini bahwa kehidupan yang berkelanjutan dalam formasi ekonomi kapitalis adalah apa yang mendorong orang-orang dari berbagai latar belakang untuk bersatu dalam sebuah bangsa, dengan bahasa dan budaya yang sama.
Suatu bangsa tidak dapat direduksi menjadi kesamaan kesadaran subyektif belaka. Ia adalah sebuah entitas obyektif yang terdefinisikan melalui empat ciri yang diterakan oleh Stalin. Keempat ciri tersebut adalah syarat-syarat perlu. Kita akan jatuh dalam cara pandang yang idealis jika kita berbicara pembentukan sebuah bangsa tanpa melibatkan keempat ciri tersebut.
Hal ini berlaku pula bagi bangsa-bangsa yang berkembang sebagai produk dari kolonialisme dan imperialisme, sebagaimana layaknya bangsa-bangsa Amerika, Asia dan Afrika. Tanpa proses internal tersebut, sebuah jajahan atau neo-jajahan mungkin tidak akan menjadi sebuah bangsa, tetapi mungkin masih sebuah negeri yang terdiri dari kelompok-kelompok suku, mungkin menjadi negara multinasional, atau terleburkan menjadi sebuah bangsa yang lebih besar. Tidak semua jajahan atau wilayah menjadio bangsa ; ini ditentukan oleh watak dari formasi kelas internal yang terjadi dalam jalannya penetrasi kapitalis asing.
Bangsa tidaklah sama dengan Negara. Negara adalah sebuah ekspresi dari kekuasaan politik dari suatu kelas penguasa. Terkadang bangsa dan negara itu serupa, misalnya, United States dan bangsa Amerika, Australia dan bangsa Australia, atau Selandia Baru dan bangsa Selandia baru. Tetapi, lebih sering lagi, bangsa dan negara tidaklah mengambil rupa yang sama.
Terkadang bangsa-bangsa yang berbeda tergabung dalam satu negara – dirujuk sebagai negara multinasional – yang diperintah oleh kelas penguasa bangsa dominan, seperti United Kingdom, yang secara politis menyatukan bangsa Inggris, Skot, Welsh dan Irlandia di bawah kekuasaan kelas penguasa bangsa Inggris. Contoh lain adalah negeri Kanada, di mana tergabung bangsa Quebec, tetapi diperintah oleh kelas penguasa bangsa Kanada berbahasa Inggris. Spanyol juga masuk dalam kategori ini, menggabungkan bangsa Catalan dan Basque. Satu bagian bangsa Basque juga merupakan bagian dari negara Perancis.
Sering negara tidak serupa dengan bangsa, seperti pada awal berdirinya negara-negara negeri jajahan di Amerika, Asia dan Afrika dan beberapa negara-negara Afrika saat ini yang, sebagai sebuah hasil dari perbatasan yang dipancangkan secara sembarangan oleh kekuatan kolonial Barat, dengan paksa menggabungkan berbagai kelompok etnik dan bahasa ke dalam satu unit politik tunggal.
Seperti yang dicatat oleh Marx, gerakan borjuis nasional demokratik adalah promotor yang kuat atas kemajuan material, moral dan budaya. Penyempurnaan revolusi borjuis demokratik adalah sebuah kemajuan sejarah yang besar karena ekspansi kekuatan-kekuatan produktif dan kemudian kelas buruh modern, penyelesaian persoalan agraria dan membawa massa kaum miskin ke dalam kehidupan politik, ekonomi dan budaya yang lebih luas.
Imperialisme
Bagaimanapun, karakter dan kemampuan progresif dari kaum borjuasi menurun sangat cepat sejalan dengan pergerakannya ke dalam era kapitalisme industrial dan ekspansi dari sistem kapitalis ke seluruh dunia.
Pada akhir abad ke-19, kapitalisme telah mengalami perubahan yang menentukan. Kompetisi pasar bebas kelasik pada awal abad telah bertekuk lutut pada bagi monopoli-monopoli raksasa. Bank-bank dan perusahaan-perusahaan raksasa mendominasi kehidupan politik dan ekonomi di setiap negeri. Berbagai kekuatan kapitalis saling bertempur untuk mendominasi pasar dunia dan mengontrol daerah-daerah investasi dan sumber-sumber bahan mentah.
Bersama serbuan jaman imperialis ini, fase progresif sejarah kapitalisme telah berakhir.
Dalam tulisannya pada Kongres II Komintern tentang draft tesis persoalan nasional dan kolonial, Lenin, mengatakan :
Karakteristik imperialisme terkandung dalam pembagian seluruh dunia… ke dalam sejumlah besar bangsa-bangsa tertindas dan segelintir bangsa-bangsa penindas,yang belakangan ini memegang kekuatan senjata yang perkasa dan timbunan kekayaan. Mayoritas populasi dunia… tergabung dalam bangsa-bangsa tertindas, yang tergantung baik secara kolonial langsung atau secara semi-kolonial.14
Negeri-negeri jajahan dan semi-jajahan yang kini dikenal sebagai Dunia Ketiga telah dibawa kepada sistem kapitalis oleh imperialisme, tetapi mereka tidak menjalani proses perkembangan kapitalis yang independen sebagaimana yang dialami oleh kekuatan-kekuatan imperialis. Perkembangan kapitalisnya telah dikondisikan oleh kebutuhan borjuasi imperialis.
Dominasi imperialis terhadap Dunia Ketiga, adalah rintangan yang tak dahsyat bagi industrialisasi dan perkembangan yang mandiri. Imperialisme memblok revolusi demorkatik borjuis mereka. Sebagai hasilnya, di jaman imperialis, hakikat dari persoalan nasional adalah perjuangan melawan imperialisme oleh bangsa-bangsa tertindas, negeri jajahan dan neo-koloni. Gerakan nasional telah dimajukan oleh kelas buruh dan kaum miskin pedesaan. Mereka merupakan bagian dari perjuangan untuk menghancurkan kapitalisme dan membangun sosialisme.
Hak Menentukan Nasib Sendiri
Lenin dan Kaum Bolshevik, yang membangun di atas fondasi yang diletakkan oleh Marx dan Engels dan menggunakan prinsip-prinsip itu dalam sebuah jaman baru, meletakkan penekanan pada hak bangsa-bangsa tertindas untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bagian dari gerakan revolusioner, baik selama Revolusi Rusia maupun dalam perjuangan menentang imperialisme.
Tuntutan hak menentukan nasib sendiri hanya berlaku bagi bangsa-bangsa tertindas. Hal itu merupakan tuntutan politik demokratik dan berarti sebagai bangsa tertindas memiliki yhak untuk menentukan hubungan politik dengan bangsa penindas, termasuk hak untuk memisahkan diri dan membangun sebuah Negara-bangsa yang terpisah.
Kaum Marxis membela hak tersebut, tegas Lenin, karena "tidak ada satupun hal yang dapat mendorong perkembangan dan penguatan solidaritas kelas proletariat sedemikian besarnya seperti ketidakadilan nasional."
Persoalan nasional bagi Lenin dan Kaum Bolshevik bukanlah persoalan teoritis yang sederhana. Posisi yang benar tentang persoalan tersebut amat penting bagi keberhasilan gerakan proletariat. Rusia telah terbangun, bukan sebagai suatu negara nasional, tetapi negara yang dibentuk oleh bangsa-bangsa.
Trotsky menjelaskan dalam The History of Russian Revolution :
Tujuh puluh juta penduduk Rusia Raya menyusun massa dari negeri ini. Ada ditambahkan secara bertahap sekitar 90 juta "orang asing"… Jadi dibangunlah sebuah imperium, di mana bangsa penguasa hanya mencapai 43% dari seluruh jumlah penduduk. Sisanya yang 57% adalah bangsa-bangsa dari berbagai tingkat budaya dan taklukan, termasuk Ukraina 17%, Polandia 66% dan Rusia Putih 4,5%….Seumlah besar dari bangsa-bangsa tersebut terampas hak-haknya, dan tajamnya perampasan itu membangun tumpukan bahan peledak dalam Kekaisaran Rusia.15
Melalui tindakan mempertahankan hak dari bangsa-bangsa tertindas untuk menentukan nasibnya sendiri, Lenin dan Kaum Bolshevik menunjukkan bagaimana kaum buruh dari bangsa penindas dapat memperlihatkan kepada kaum buruh dari bangsa tertindas mereka menentang ketidakadilan nasional yang menimpa mereka, dan meletakkan dasar bagi aliansi internasional antara kaum buruh kedua bangsa dalam melawan musuh bersama - penguasa kapitalis dari bangsa penindas.
Apakah dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri berarti kaum Marxis mendukung pembentukan negara independen oleh setiap bangsa dalam segala hal? Sama sekali tidak. Kaum Marxis berjuang untuk penghapusan batas-batas nasional dan bagi integrasi seluruh bangsa ke dalam satu sistem sosialis dunia yang tersentralisir secara demokratik, dimana setiap bangsa dapat menikmati otonomi wilayah nasionalnya.
Seperti dijelaskan Lenin, "Ketimbang segala bentuk nasionalisme, Marxisme lebih mendukung internasionalisme, penyatuan semua bangsa dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi."16
Tetapi, Lenin mengakui bahwa penyatuan bangsa-bangsa seperti itu hanya dapat tercapai bila dilandasi oleh demokrasi sepenuh-penuhnya. Suatu penyatuan bangsa-bangsa harus sepenuhnya berlangsung secara sukarela.
Kami menuntut kebebasan untuk penentuan nasib sendiri, yakni kemerdekaan, yakni kebebasan untuk memisahkan diri (dari negara penindas) bagi bangsa tertindas, bukan karena kami telah memimpikan untuk memcah bangsa-bangsa secara ekonomi, atau karena kami mengangankan terciptanya negara yang kecil-kecil, justru sebaliknya, karena kami menginginkan negara-negara besar dan persatuan yang lebih erat dan bahkan suatu peleburan bangsa-bangsa yang landasannya benar-benar demokratis dan internasionalis. Ini tidak akan dapat tercapai tanpa adanya kebebasan untuk memisahkan diri.17
Dalam sebuah tulisan terdahulu, Lenin menjelaskan sebagai berikut:
Tuduhan pada mereka yang mendukung kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, yaitu kebebasan untuk memisahkan diri, sebagai pendukung separatisme adalah sama bodohnya dan sama munafiknya dengan menuduh bahwa mereka yang memperjuangkan kebebasan untuk bercerai sesungguhnya mendukung rusaknya ikatan keluarga. Jika dalam masyarakat borjuis mereka yang melindungi keuntungan-keuntungan dan penghisapan, yang mendasari perkawinan borjuis, menentang kebebasan untuk bercerai, begitu jugalah penolakan negara kapitalis terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan untuk memisahkan diri, semua itu hanyalah sebuah upaya melindungi keuntungan-keuntungan sepihak negara dominan dan cara administrasi polisi yang merusak jalan demokrasi.
Dari pengalaman mereka sehari-hari, massa mengerti betul betapa berharganya ikatan geografis dan ekonomis, dan keuntungan-keuntungan sebuah pasar dan Negara yang besar. Karena itulah mereka hanya akan memilih untuk memisahkan diri apabila perselisihan dan penindasan oleh negara telah membuat kehidupan bersama-sama benar-benar tak tertahankan dan menghambat interaksi ekonomi yang menguntungkan.18
Lenin beranggapan bahwa kebebasan seperti itu sangat penting sesudah revolusi sosialis:
Dengan menjelmakan kapitalisme menjadi sosialisme, kaum proletar menciptakan suatu kemungkinan untuk menghapuskan penindasan (oleh negara). Kemungkinan ini hanya akan terwujud menjadi kenyataan dengan adanya demokrasi penuh dalam semua bidang, termasuk penarikan batas-batas negara yang cocok dengan simpati para penduduk negeri, termasuk juga kebebasan untuk memisahkan diri. Pada gilirannya ini akan menjadi dasar peniadaan praktis akan perselisihan nasional dan ketidakpercayaan antar bangsa yang sekecil apapun, sehingga mempercepat menyatunya bangsa-bangsa yang akan selesai apabila negara melenyap.19
Apakah dukungan untuk tuntutuan merdeka ini bisa diartikan sebagai dukungan untuk nasionalisme, walaupun nasionalisme yang dimaksud adalah nasionalisme mereka yang tertindas? Inilah argumentasi yang diajukan oleh Rosa Luxemburg. Lenin berulangkali menjelaskan bahwa ini tidak benar:
Sejauh borjuasi dari bangsa tertindas melawan penindasnya, kami selalu, dalam keadaan apapun, lebih kuat daripada semua orang lain, memberikan dukungan kami, karena kitalah musuh penindasan yang paling ulet dan konsisten. Tapi, sejauh, kaum borjuis bangsa tertindasa berjuang untuk nasionalisme borjuisnya sendiri, kami menentangnya. Kita berjuang melawan penghisapan dan kekerasan bangsa penindas, dan tidak akan pernah mendukung upaya penindasan dari kalangan bangsa tertindas sendiri.20
Kelas buruh mendukung borjuasi (dalam persoalan nasional) hanya demi menjamin perdamaian nasional (dimana borjuasi tidak dapat menciptakannya secara sempurna dan di mana ia tidak dapat dicapai hanya dengan demokrasi yang penuh). Demi menjamin hak-hak yang setara dan untuk menciptakan kondisi yang baik bagi perjuangan kelas buruh… Apa yang ada dalam benak kaum borjuasi dalam persoalan nasional adalah hak-hak khusus untuk bangsanya sendiri….Proletariat menentang hak-hak istimewa tersebut, melawan segala bentuk eksklusifitas.
Tuntutan untuk "ya" atau "tidak" pada persoalan pemisahan diri dalam hal setiap kasus bangsa mungkin terlihat sangat "praktis." Dalam kenyataannya hal itu adalah absurd, metafisik. Dengan proletariat, tuntutan tersebut disubordinasikan pada kepentingan perjuangan kelas….Bagi borjuasi ini penting untuk menghalangi (perjuangan kelas) dengan mendorong tujuan dari bangsa "sendiri" di depan kepentingan proletariat. Itulah mengapa proletariat, dapat dikatakan, membatasi dirinya pada tuntutan negatif bagi pengakuan hak untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa memberikan jaminan pada setiap bangsa, dan tanpa upaya untuk memberikan apapun yang merugikan bangsa lain.21
Dalam tanggapannya terhadap keluhan Luxemburg, bahwa dukungan Lenin terhadap hak menentukan nasib sendiri telah memberikan keuntungan bagi kaum borjuasi dari negeri-negeri tertindas seperti Polandia, dimana ia aktif, Lenin mengulangi bahwa walaupun nasionalisne borjuis dari setiap bangsa tertindas memiliki hakikat umum yang demokratik, yang diarahkan untuk menentang penindasan, dan kaum revolusioner harus mendukung unsur ini tanpa syarat, setiap kecenderungan menuju eksklusifitas nasional harus dilawan. "Kita lawan kecenderungan borjuasi Polandia untuk menindas kaum Yahudi, dll," demikian tegas Lenin.22
Mengikuti jejak Marx dan Engels, ia bertanya :
Dapatkah sebuah bangsa bebas jika ia menindas bangsa lain? Tidak mungkin… Proletariat Rusia tidak dapat mencapai tujuan-tujuannya sendiri atau melapangkan jalan bagi kebebasan tanpa secara sistematis melawan prasangka-prasangka tersebut. ….Kita sedang berperang pada wilayah negara yang tertentu, kita menyatukan kaum buruh dari seluruh bangsa yang hidup dalam negeri ini, kita tidak dapat menjamin adanya satu jalan tertentu bagi sebuah perkembangan nasional, karena kita sedang berbaris menuju tujuan-tujuan kelas kita melalui semua jalan yang mungkin…Kita tidak dapat bergerak menuju tujuan tersebut jika kita tidak memerangi nasionalisme, dan menjamin kesetaraan dari berbagai bangsa. Apakah Ukraina akan merdeka atau tidak, misalnya, adalah suatu hal yang akan ditentukan oleh seribu faktor yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Kami tidak mau berteka-teki, kami memegang teguh suatu hal yang tidak diragukan: hak Ukraina untuk membentuk negara tersebut… Kami tidak mendukung keuntungan sepihak Rusia Raya terhadap Ukraina, kami mengajar massa dalam semangat pengakuan hak Ukraina tersebut dan dalam semangat penolakan keuntungan sepihak satu negara atas bangsa manapun.
Kami kaum proletar mengumumkan di muka bahwa kami menentang keuntungan sepihak Rusia Raya dan inilah yang akan memandu seluruh propaganda dan pergerakan kami….Inilah cara satu-satunya untuk memastikan perdamaian nasional di Rusia, jika ia tetap berdiri sebagai negara yang terdiri dari banyak bangsa (multinational state), dan pemisahan yang paling damai (dan juga paling aman bagi perjuangan kelas kaum proletar) untuk membentuk negara kebangsaan yang terpisah, apabila tuntutan tersebut muncul di masa yang akan datang….23
Nasionalisme
Kaum Marxis menentang semua nasionalisme karena nasionalisme adalah ideologi kapitalis. Elemen kapitalis mendorong buruh dan orang-orang miskin agar mereka mengesampingkan kepentingan kelas mereka untuk kebaikan "bangsa". Sebagai respon, kaum Marxis memperjuangkan internasionalisme kelas pekerja: solidaritas dan persatuan para pekerja dari semua bangsa dalam menentang penindasan kapitalis.
Tetapi, walaupun kami menentang nasionalisme kaum borjuasi dari semua bangsa, kami sadar bahwa nasionalisme bangsa tertindas, yang tercipta dari perjuangan melawan penindasan imperialis, mempunyai "hakikat umum yang demokratis." Kami mendukung perlawanan terhadap penindasan negara seperti itu.
Dengan majunya imperialisme, pembebasan riil bangsa yang tertindas hanya bisa dicapai apabila pelopor (vanguard) kelas buruh merebut kepemimpinan atas massa dari tangan kaum kapitalis dan memenangkan hak-hak kaum buruh dan kaum miskin. Kepemimpinan ini tidak bisa dimenangkan tanpa mengorganisir kaum buruh dan kaum miskin secara terpisah dari kaum borjuasi.
Pendekatan ini tertulis dalam "Supplementary Theses on the National Questions and Colonial Question" yang diangkat dalam Kongres II Communist International tahun 1920 dan sekali lagi dalam "Theses on the Eastern Question" yang diangkat oleh Kongres IV Commintern pada tahun 1922. Di sini kaum Kaum Bolsheviks menjelaskan :
Penolakan kaum Komunis di negeri-negeri jajahan untuk ikut serta dalam perjuangan melawan tirani imperialis, dengan dalih ingin "melindungi" kepentingan kelas yang tidak memihak, adalah tindakan oportunis yang paling buruk dan hanya akan merugikan revolusi proletar di Timur. Kaum Komunis dan para buruh di negara-negara jajahan dan semi-jajahan menghadapi tugas ganda: di satu pihak mereka berjuang untuk sebuah jawaban yang lebih radikal terhadap tuntutan revolusi borjuis demokratis, yang diarahkan pada usaha memenangkan kemerdekaan politik nasional, di pihak lain mereka mengorganisir massa kaum buruh dan tani untuk berjuang demi kepentingan kelas mereka sendiri, dengan sebaik-baiknya mempergunakan semua kontradiksi dalam kubu nasionalis borjuis-demokratik.24
Kaum Bolshevik mendorong kaum Marxis di tengah bangsa-bangsa tertindas untuk membentuk aliansi taktis dengan borjuasi nasionalis menentang dominasi imperialis, sambil menegaskan bahwa syarat prinsipil bagi pembentukan united front anti imperialis adalah kebebasan penuh bagi kaum Marxis untuk melakukan perjuangan ideologi dan politik menentang sekutu-sekutu nasionalisnya.
Isu-isu Mutakhir
Dalam tahun-tahun belakangan ini, Democratic Socialist Party telah menelaah kembali beberapa posisi yang diambilnya dengan dibimbing oleh penekanan kembali pada basis materialisme tentang persoalan nasional.
Di tahun 1979, Democratic Socialist Party – waktu itu masih bernama Socialist Workers Party – menerbitkan sebuah buku bekjudul Socialism or Nationalism?. Buku itu tetap menjadi ringkasan yang sangatberguna tentang posisi kaum Marxis atas persoalan nasional. Tapi beberapa bagian tidak terlalu tepat dan mengandung perumusan yang sangat boleh jadi akan membawa kebingungan atau, lebih buruk lagi, akan menempatkan kita pada posisi yang keliru. Dokumen itu menyatakan:
Kaum Marxis juga mendukung hak penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa tertindas… di Amerika Serikat, bangsa-bangsa kulit hitam dan Chicano tertindas bersama dengan bangsa minoritas Puerto Rico dan Indian Amerika. Di Kanada, bangsa Quebec ditindas oleh mayoritas bangsa Kanada yang berbahasa Inggris. Di Australia, kaum kulit hitam [mungkin merujuk pada orang-orang Aborigin dan para penduduk Selat Torres] ditindas secara nasional…
Lalu ada pula rejim-rejim pendatang kolonial. Di Zimbabwe dan Afrika Selatan sendiri, para penduduk anak-dalam ditindas secara nasional oleh para kolonialis yang secara terang-terangan menduduki negeri-negeri ini. Di Palestina, para kolonialis-pendatang telah dengan paksa mengusir para penduduk asli… 25
Di tahun 1979, kami mencampuradukkan semua bangsa-bangsa tertindas – Quebecois, Basque dan Catalan, orang-orang Irlandia, Puerto Rico, Palestina – dengan kelompok-kelompok rasial dan etnis yang tertindas – orang-orang Afro-Amerika, Chicano, Puerto Rico di daratan Amerika, suku-suku asli Amerika, Abrorigin, Maori, Lapps, Korea di jepang, orang kulit hitam Zimbabwe dan Afrika Selatan – dan mengusulkan satu strategi universal untuk melaksanakan hak-hak "menentukan nasib sendiri."
Posisi ini menelanjangi fakta bahwa kami belum memahami sepenuhnya basis material dari teori Marxis tentang persoalan nasional. Seperti yang telah saya terangkan dalam garis besar, definisi Marxis tentang bangsa telah diletakkan dengan tegas oleh Stalin dan Lenin:
Sebuah bangsa adalah komunitas orang yang stabil dan tersusun secara historis, dibangun di atas basis persamaan bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi dan kedok-kedok psikologis yang terwujud dalam sebuah budaya bersama… Hanya jika semua ciri ini muncul kita akan mendapati satu bangsa.26
Kelompok-kelompok ras dan etnik yang tertindas, kebanyakan, tidak memiliki satu wilayah bersama atau kehidupan ekonomi yang terpisah dari kelompok rasial yang menindas. Mreeka paling sering terkonsentrasi di dalam kelas pekerja atau terdapat dalam jumlah yang alang-kepalang di tengah kaum buruh yang menganggur (reserve army of labour). Dalam banyak kasus, bahasa-bahasa kesukuan atau kebangsaan mereka yang lama telah lenyap atau lebur. Tentu saja, banyak yang benar-benar memiliki satu budaya bersama dan kesadaran politik yang ditempa oleh pengalaman bersama dalam menghadapi penindasan.
Lenin menyatakan secara empatik di tahun 1914, "akan kelirulah kalau kita menginterpretasi hak penentuan nasib sendiri sebagai bermakna lain daripada hak untuk membentuk negara yang terpisah."27 Satu rakyat yang tidak memiliki wilayah atau kehidupan ekonomi bersama tidak memiliki matrial objektif yang disyaratkan untuk membangun satu Negara-bangsa yang terpisah.
Perjuangan kaum Afro-Amerika, Aborigin, Maori dan lain-lain bukanlah untuk membangun satu negara-bangsa yang terpisah – tuntutan politik mereka yang riil menunjukkan bahwa halnya benar demikian – tapi untuk mengakhiri satu penindasan rasial, yaitu, untuk memenangkan satu kesetaraan politik, ekonomi dan sosial yang penuh di dalam negeri di mana mereka telah menjadi bagian di dalamnya.
Di Australia, seperti yang dinyatakan dalam program Democratic Socialist Party tahun 1994, kaum Aborigin membentuk satu minoritas tertindas di dalam negeri Australia, yang didiskriminasi secara sistematik dalam hal pekerjaan, perumahan, pendidikan, kesehatan dan layanan masyarakat lainnya.
Gagalnya kita menggaunakan pemahaman sosialis atas definisi bangsa akan membawa kita pada konsekuensi-konsekuensi politik yang reaksioner. Contoh yang paling gemilang untuk menunjukkan hal ini adalah kolonisasi Zionis atas Palestina. Untuk menciptakan satu wilayah bersama agar dapat membangun satu kehidupan ekonomi bersama bagi kaum Yahudi yang terpencar-pencar itu, gerakan Zionis menentang perjuangan rakyat Palestina untuk membebaskan diri dari penjajahan kolonial Inggris dan kemudian menelan sebagian besar wilayah negeri Palestina.
Di Afrika Selatan, rejim apartheid menolak keanggotaan berbagai kelompok etnik kulit hitam Afrika Selatan pada kewarganegaraan Afrika Selatan. Mereka berpendapat bahwa masing-masing memiliki "hak" untuk berkembang secara terpisah. Ini adalah ideologi yang melatarbelakangi apartheid. Kini, geraekan Inkatha yang reaksioner terus mendasarkan diri pada klaim palsu bahwa orang-orang Zulu adalah sebuah bangsa. Demikian pula dengan kaum ekstrim kanan Afrikaner yang menyerukan satu hak "penentuan nasib sendiri" bagi mereka yang berbahasa Afrikaans. Begitu juga dengan di Irlandia Utara, di mana disuarakan klaim untuk "penentuan nasib sendiri" oleh orang-orang Protestan untuk mensahkan sistem kasta-keagamaan dukungan Inggris demi memelihara keistimewaan-keistimewaan yang mereka nikmati melalui diskriminasi terhadap orang-orang Katolik.
Di Australia, dalam skenario yang terburuk, pandangan-pandangan idealis mengenai apa yang membentuk satu bangsa mungkin akan digunakan oleh kaum rasis-segregasionis yang menganjurkan untuk kembali pada sistem cagar budaya atau pulau-pulau macam bantustan yang dipotong aksesnya pada layanan masyarakat dan infrastruktur dalam negara-bangsa Australia. Karena tidak ada satu wilayah yang jelas di mana "negara" macam itu dapat didirikan, skenario macam itu dapat saja melibatkan pengusiran-pengusiran dari Australia dan pembatalan-pembatalan hak kewarganegaraan.
Tapi, lebih mungkin kalau hal itu akan diarahkan pada pengabsahan konflik-konflik antar masyarakat Aborigin, yang disamarkan sebagai konflik antar "bangsa-bangsa" Aborigin, seperti yang sering salah dimengerti tentang orang-orang yang berkaitan dengan asal-usul suku dan wilayahnya itu. Konflik-konflik semacam ini sangat berpeluan dimanipulasi oleh pemerintah, perusahaan pertambangan dan perusahaan pertanian.
Bahaya yang lebih besar bagi para aktivis anti-rasis adalah jika mereka melihat para pemimpin Aborigin yang menggunakan retorika nasionalisme dan separatisme sebagai lebih "radikal" and "militan" dan meremehkan dinamika anti-kapitalisme dan potensi radikalisasi untuk menuntut kesetaraan sepenuh-penuhnya. Hal ini akan membaut kaum sosialis gagal berpartisipasi dalam perjuangan mencapai kesetaraan itu.
Tentu saja, banyak dari aktivis-aktivis yang paling militan dan radikal menggunakan pula ide-ide nasionalis dan separatis, karena mereka telah terpengaruh oleh gerakan pembebasan nasional di Dunia Ketiga dan ide-ide dari para pemimpin radikal seperti Malcolm X. walaupun kita menolak pandangan bahwa orang Aborigin adalah bangsa tertindas dan akrenanya menolak penentuan nasib sendiri sebagai sebuah hal yang utopian, bukan berarti semua ide yang mereka lontarkan keliru.
Hakikat sejati dari tuntutan mereka, yang sering keliru mereka rujuk sebagai "penentuan nasib sendiri," seringkali mendukung pembentukan organisasi dari dan untuk kaum Aborigin dalam sebuah gerakan politik yang independen untuk mengorganisir dan memenangkan kendali orang Aborigin atas persoalan-persoalan Aborigin, kendali demokratik atas komunitas-komunitas Aborigin dan pengakuan legal atas hak mereka atas tanah. Kami mendukung hal ini dan akan bekerja dekat dengan "kaum nasionalis" untuk memenangkan tuntutan-tuntutan itu. Seperti yang dinyatakan oleh program kami di tahun 1994:
Sebagai sebuah minoritas yang tertindas di dalam negeri Australia, kaum Aborigin hanya akan mampu memenangkan sepenuhnya hak-hak mereka melalui mobilisasi rakyat yang mandiri dan dengan memenangkan dukungan aktif dari populasi mayoritas non-Aborigin yang juga merupakan korban dari penghisapan dan penindasan kaum kapitalis. Perjuangan untuk memenangkan dukungan orang-orang non-Aborigin agar mendukung tuntutan progrresfi rakyat Aborigin merupakan pula satu hal yang mutlak perlu untuk perjuangan menyingkirkan pengaruh mematikan dari ideologi rasis di dalam kelas pekerja dan gerakan progresif itu sendiri.28
***
Catatan Akhir:
1 The Revolution of 1848, Penguin Books, Harmondsworth, 1973, pp. 70-72.
2 Ibid, p.97.
3 Ibid.
4 Ibid, p. 73-9.
5 Pidato tentang Polandia (29 November 1847), ibid, p. 100.
6 Pidato tentang Polandia (22 Februari 1848), ibid, pp.106-8.
7 Marx-Engels Collected Works, Vol. 8, p. 365
8 ibid, p.374.
9 ibid, p.234.
10 ibid, p.367.
11 MECW, vol.7, p. 92.
12 The First International and After. Pelican. 1974, p. 158.
13 Ibid, p. 169.
14 Workers of the World and Oppressed People, Unite! Proceedings and documents of the Second Congress, 1920, Pathfinder Press New York, 1991, p. 212.
15 Leon Trotsky, The History of the Russian Revolution, vol. 3, Monad, New York, 1980, p. 36.
16 V.I Lenin, Collected Works, vol. 20, p. 34.
17 Ibid, p. 413-4.
18 ibid, p. 422-3.
19 LCW, vol. 22, p. 325.
20 LCW, vol. 20, pp. 411-2.
21 Ibid, pp. 409-10
22 ibid, p. 412.
23 Ibid, pp. 413-4
24 Alan Adler (ed.), Theses, Resolutions and Manifestos of the First Four Congress of the Third International, Ink Links, London, 1980, pp. 414-5.
25 Socialism or Nationalism? Which Road for the Australian Labor Movement?, Pathfinder Press, Sydney, 1979, pp. 92-3.
26 Joseph Stalin, Marxism and the National Question, Foreign Language Publishing House, Moscow, 1980, pp. 13-4.
27 LCW, vol. 20, p. 397.
28 Program of the Democratic Socialist Party, New Course Publication, Sydney, 1994, p. 105. V.I. LENIN
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar