KEBEBASAN HIDUP DALAM ISLAM

Tuesday, December 21, 2010

KEBEBASAN HIDUP DALAM ISLAM

Dapat mengetahui apa makna atau arti dari kebebasan itu sendiri ?.
Memahami dari tiga makna kebebasan yang berkaitan dengan agama islam ?

Kebebasan adalah suatu perbuatan manusia individu yang mana dia bebas mengekspresikan keinginannya,mencurahkan isi hatinya entah itu dalam segi positif atupun negatif.Semisalnya orang yang ingin memiliki sesuatu,dia melakukannya dengan berbagai cara yang penting dia bisa memiliki apa yang menjadi keinginannya atau kemauannya entah dia itu mendapat dari jerih payah yang halal (positif) ataupun haram (negatif).

Akhir-akhir ini kebebasan menjadi lafaz sakti yang senantiasa kita dengar, sekabur apapun maknanya. Istilah kebebasan dan kemerdekaan umumnya dipahami sebagai padanan kata freedom dan liberty. Artinya keadaan dimana seseorang bebas dari dan untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Yang disebut pertama adalah kebebasan negatif, dimana segala bentuk pengaturan dan pembatasan berupa suruhan, larangan ataupun ajaran, dianggap berlawanan dengan kebebasan; manakala yang kedua (�bebas untuk�) dinamakan kebebasan positif, dimana seseorang boleh menentukan sendiri apa yang ia kerjakan. Demikian menurut Isaiah Berlin dalam Two Concepts of Liberty (1958).

Bagi seorang Muslim, kebebasan mengandung tiga makna sekaligus,yaitu sebagai berikut:

Pertama, kebebasan identik dengan �fitrah� �yaitu tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya. Seperti kata Nabi saw: �kullu mawludin yuladu �ala l-fitrah�. Setiap orang terlahir sebagai mahluk dan hamba Allah yang suci bersih dari noda kufur, syirik dan sebagainya. Namun orang-orang disekelilingnya kemudian mengubah statusnya tersebut menjadi ingkar dan angkuh kepada Allah.

Maka orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan belenggu syaitan.

Ahli tafsir abad keempat Hijriah, ar-Raghib al-Ishfahani, dalam kitabnya menerangkan dua arti �bebas� (hurr): pertama, bebas dari ikatan hukum; kedua, bebas dari sifat-sifat buruk seperti rakus harta sehingga diperbudak olehnya. Pengertian kedua inilah yang disinyalir Nabi saw dalam sebuah hadis sahih: �Celakalah si hamba uang� (ta�isa �abdu d-dinar�) (Lihat: Mufradat Alfazh al-Qur�an, hlm. 224).

Makna kedua dari kebebasan adalah daya kemampuan (istitha�ah) dan kehendak (masyi�ah) atau keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Apakah jalan yang lurus (as-shirath al-mustaqim) ataukah jalan yang lekuk. Apakah jalan yang terjal mendaki ataukah jalan yang mulus menurun. Apakah jalan para nabi dan orang-orang sholeh, ataukah jalan syaitan dan orang-orang sesat. �Siapa yang mau beriman, dipersilakan. Siapa yang mau ingkar, pun dipersilakan� (fa-man sya�a fal-yu�min, wa man sya�a fal-yakfur), firman Allah dalam al-Qur�an (18:29).

Kebebasan disini melambangkan kehendak, kemauan dan keinginan diri sendiri. Bebasnya manusia berarti terpulang kepadanya mau senang di dunia ataukah di akhirat. Firman Allah: �Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.� (QS al Isra�:18-19)

�Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.� (QS asy Syura:20). Terserah padanya apakah mau tunduk atau durhaka kepada Allah. Apakah mau menghamba kepada sang Khaliq atau mengabdi kepada makhluk. Sudah barang tentu, kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi dan pertanggungjawaban.

Dan benarlah firman Allah bahwa tidak ada paksaan dalam agama � �la ikraha fi d-din� (2:256). Setiap manusia dijamin kebebasannya untuk menyerah ataupun membangkang kepada Allah, berislam ataupun kafir. Mereka yang berislam dengan sukarela (thaw�an) lebih unggul dari mereka yang berislam karena terpaksa (karhan), apatah lagi dibandingkan dengan mereka yang kafir dengan sukarela.

Ketiga, kebebasan dalam Islam berarti �memilih yang baik� (ikhtiyar). Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya (Lihat: Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 33-34). Oleh karena itu, orang yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu sesungguhnya telah menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan sesuatu yang baik (khayr). Disini kita dapat mengerti mengapa dalam dunia beradab manusia tidak dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain.Jadi, dalam tataran praktis, kebebasan sejati memantulkan ilmu dan adab, manakala kebebasan palsu mencerminkan kebodohan dan kebiadaban. Kebebasan seyogianya dipandu ilmu dan adab supaya tidak merusak tatanan kehidupan. Supaya membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dalam kerangka inilah seorang Muslim memahami firman Allah: �Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhan-mu menganiaya hamba-hambaNya� (QS. Fushshilat:46). Maka janganlah kebebasan itu menyebabkan kebablasan.

Apabila kebebasan dapat terjamin maka ada beberapa implikasi postif dari hal itu, diantaranya:

Pertama, dengan kebebasan yang terjamin maka hak-hak individu seperti hak beragama dan berpendapat akan lebih terjamin (orientasi demokrasi).
Kedua, kebebasan yang terjamin akan memberikan stimulus atau rangsangan bagi setiap orang untuk berpikir dan bertindak lebih kreatif dan inovatif, karena tidak ada ketakutan kalau pikiran dan cara-cara �baru� itu mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri.

Ketiga, kebebasan (berpendapat) akan semakin memungkinkan terciptanya tatanan yang lebih berkeadilan karena memberikan kemungkinan yang semakin besar pada tiap masyarakat untuk menyampaikan gagasan dan aspirasinya, berpartisipasi secara lebih luas dalam pengambilan kebijakan-kebijakan publik (demokrasi deliberatif)
Keempat, kebebasan (berpikir) akan memberikan peluang yang lebih besar dalam pencarian kebenaran karena dengan adanya kebebasan berpikir bisa memperkuat atau merevisi kebenaran saat ini yang telah mapan atau bahkan menemukan kebenaran-kebenaran lain yang berada di �pinggiran�, berada di luar kebenaran dominan.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar